Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nugraha Medica Prakasa
"ABSTRAK
Pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh bank dalam rangka menyalurkan dana kepada masyarakat. Bank juga harus menetapkan jaminan pada setiap fasilitas kredit yang diberikan kepada debitur. Oleh karena itu, bank wajib memperhatikan jaminan dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Jaminan dalam pemberian kredit pada bank adalah jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat perorangan. Seiring dengan perkembangan dunia perekonomian dan hukum, maka pada saat ini telah dimungkinkan bagi bank untuk menerima jaminan yang berupa hak merek. Nilai dan bentuk lembaga pengikatan hak merek tersebut adalah hal yang paling utama dan mendasar yang harus diperhatikan dalam menerima jaminan berupa hak merek tersebut. Nilai suatu hak merek dapat terlihat dari laporan keuangan
perusahaan pemilik hak merek tersebut. Berdasarkan sifat kebendaan hak merek sebagai benda tidak berwujud yang dapat dialihkan atau beralih, maka bentuk lembaga pengikatan jaminan atas hak merek tersebut adalah lembaga jaminan fidusia."
2007
T 17401
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dionisius Ardy Tanzil
"Perlindungan Hukum Merek menjadi perlindungan yang sangat penting dalam dunia perekonomian dan dalam mewujudkan identitas dari sebuah produk baik itu barang maupun jasa. Dengan cepatnya perkembangan teknologi melalui globalisasi, Merek yang ada di dunia semakin beragam jenisnya, terdapat merek-merek nontradisional yang salah satunya yaitu merek 3 Dimensi. Di Indonesia, perlindungan atas Hukum Merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang ini menggantikan Undang-undang sebelumnya dengan ketentuan yang lebih lengkap dalam melindungi merek-merek baru yang ada di dunia. Merek 3 Dimensi sebagai salah satu merek yang lebih baru atau nontradisional hadir sebagai merek dengan jenis yang lebih baru sehingga lebih unik dan semakin menunjukkan identitas produk melalui fisiknya. Salah satu produk yang dilindungi dengan perlindungan Merek 3 Dimensi adalah Minifigure dari produsen mainan merek Lego. Mainan Minifigure Lego dilindungi dengan perlindungan Merek 3 Dimensi sebagai usahanya dalam menjaga bentuk Minifigurenya sehingga tidak digunakan oleh pihak lain. Lego dalam melindungi Minifigurenya dengan perlindungan Merek 3 Dimensi beberapa kali digugat oleh Pelaku usaha atau produsen mainan lainnya. Lego mendaftarkan Minifigurenya dengan Perlindungan Hukum Merek 3 Dimensi setelah perlindungan atas Hak Paten Minifigurenya sudah habis.

Trademark protection is a very important protection in economic matters and represent the identity of a product, both for goods and services. With the technological development through globalization, trademarks in the world are increasingly diverse, there are non-traditional trademark, one of which is 3 Dimensional Trademark. In Indonesia, the protection of the Trademark Law is regulated in Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications. This regulation replaces the previous regulations with more complete provisions in protecting new shape of trademarks that exist in the world. 3 Dimensional Trademark as one of the newer or non-traditional trademark presents as a newer type of Trademark, it is more unique and appeals the product identity from a company through its physical appearance. One of the product protected by the 3 Dimensional Trademark protection is Minifigure from Lego brand, the toy manufacturer. Lego Minifigures are protected with 3 Dimensional Trademark protection as an effort to maintain the shape of the Minifigure so it is not used by other parties or manufacturer. Lego in protecting its Minifigure with 3 Dimensional Trademark protection has been sued several times by another parties or other toy manufacturers. Lego protected its Minifigure with 3 Dimensional Trademark Protection after the Minifigure's Patent expired."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Bella Tamora Debora
"Penelitian ini bertujuan menganalisis perlindungan hukum dan asas keadilan pada Putusan Pidana No 50/Pid.Sus/2018/PN Jepara, serta mengkaji upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi merek terdaftar. Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum yuridis normatif dengan
menggunakan teori hukum, teori perlindungan hukum, dan teori keadilan. Hasil dari penelitian ini adalah Putusan pidana No 50/Pid.Sus/2018/PN Jepara belum
berdasarkan pada asas keadilan dan mencerminkan perlindungan hukum bagi pemegang merek terdaftar. Upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi merek
terdaftar antara lain melalui jalur peradilan apabila ada pelanggaran dan dalam kasus seperti Cocobrico bisa memanfaatkan sistem perekaman (recordasi) dan aplikasi Ceisa HKI Kementerian Keuangan untuk melindungi dari ekspor-impor pihak lain dengan tanpa izin pemegang hak. Pemberian informasi mengenai upaya perlindungan yang dapat dilakukan untuk melindungi merek terdaftar dan peningkatan kesadaran akan pentingnya perlindungan merek dari pemilik merek terdaftar dan aparat penegak hukum serta masyarakat dirasa penting untuk menghindari pelanggaran HKI di kemudian hari.

This study aims to analyze legal protection and the principle of justice in Criminal Decision No. 50/Pid.Sus/2018/PN Jepara, as well as to examine the efforts that can be made to protect registered trademarks. The approach method used in this paper
is normative juridical law research using legal theory, legal protection theory, and justice theory. The result of this research is that the criminal verdict No. 50/Pid.Sus/2018/PNJepara has not been based on the principle of justice and reflects legal protection for registered trademark holders. Efforts should be made to protect the registered brand among others in the court, if there is a violation,
and in such cases can take advantage Cocobrico recording system(recordasi) and application of IPRs Ceisa Ministry of Finance in order to protect from export-impro another party without permission of the rights holder. Providing information on the
protective measures that can be taken to protect registered trademarks and increasing awareness of the importance of trademark protection from registered
trademark owners and law enforcement officers and the public are deemed important to avoid future IPR violations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdullah Loefti
"I. Masalah Pokok. Hak khusus untuk memakai suatu merek menurut Undang-Undang Merek 1961 didasarkan pada pemakaian yang pertama kali, suatu merek di Indonesia. Sebagai pemakai pertama suatu merek, oleh undang-undang dianggap mereka yang mendaftarkan merek itu, kecuali jika dibuktikan bahwa orang lain yang menjadi pemakai pertama sesungguhnya dari merek itu. Dengan demikian dalam suatu perselisihan tentang hak atas merek, maka yang berhak atas merek sengketa adalah mereka yang berhasil membuktikan telah memakai merek sengketa untuk pertama kalinya. Suatu merek mempunyai hubungan yang erat dengan pengesahaan yang menghasilkan atau mengedarkan barang-barang dengan memakai merek itu. Oleh karena itu suatu merek tidak dapat berlaku tanpa ada perusahaannya dan merek itu hapus dengan hapusnya perusahaan yang bersangkutan. dengan demikian kita saksikan apabila seseorang hendak mengoperkan mereknya kepada orang lain, maka harus juga dia mengoperkan segala goodwill yang berkenaan dengan merek itu. Jika telah terjadi peralihan hak suatu merek secara sah, maka pada pemakaian ini dapat pula dihitung pemakaian oleh orang-orang yang berhak atas merek itu terlebih dahulu dan telah kemudian mengalihkan haknya itu. Menurut sistem ini akan sukar untuk memberikan suatu lisensi kepada orang lain, yaitu yang merupakan izin untuk memakai merek itu Perikatan secara umum adalah hubungan hukum antara dua· pihak atau lebih yang dapat lahir baik karena undang-undang maupun perjanjian. Perikatan hak atas merek yang lahir karena undang-undang misalnya pewarisan, namun bagian terbesar adalah lahir karena perjanjian. Hak atas merek menurut Undang-Undang Merek 1961 bukan merupakan obyek perikatan yang dapat berdiri sendiri, karena hakekatnya hak atas merek merupakan goodwill daripada perusahaan yang memproduksi atau memperdagangkan barang-barang. Karena itu perikatan hak atas merek merupakan perikatan sekunder yang selalu bergantung pada adanya perikatan primer, antara lain jual-beli perusahaan, pendirian perserikatan atau badan hukum.
2. Metode Peneletian. Skripsi ini disusun dengan mengumpulkan data baik yang berupa data primer maupun sekunder. Sifat penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitis yaitu kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui gambaran yang lebih jelas tentang suatu peristiwa/obyek. Untuk melengkapinya dipergunakan metode wawancara.
3. Hal Yang Diketemukan a. Hak atas merek adalah merupakan hak kebendaan immateriil yang dapat dimiliki seseorang baik karena pendaftarannya maupun karena pemakaian yang sesungguhnya. b. Lisensi hak atas merek tidak dikenal dalam Undang-Undang merek 1961 karena ketentuan tersebut bertentangan dengan pasal 20 mengenai pemindahan hak. Dengan lisensi dimaksudkan pemberian izin untuk memakai merek kepada orang lain dengan persyaratan tertentu. Pemakaian oleh licensee penerima izin dianggap sebagai pemakaian oleh Licensor pemberi izin dan karena itu hak atas merek pendaftaran merek tetap ada pada Licensor. Walaupun Undang-Undang tidak mengatur, praktek pemberian lisensi menggunakan merek dagang ini hidup dan berkembang dalam masyarakat dan dituangkan dalam bentuk perjanjian I lisensi. Peranan penanaman modal asing dalam proses alih tehnologi sangat penting dalam pembangunanan ini sudah tentu memerlukan sarana hukum untuk melindungi kepentingan para pihak yang terlibat, antara lain perlindungan lisensi merek dagang dalam undang-undang nasional.
4. KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN Kesimpulan Lisensi merupakan segi perikatan berdasarkan perjanjian yang tidak dikenal dalam Undang-Undang Merek 1961, tetapi karena tidak dilarang oleh undang-undang, ketentuan tersebut sah dan mengikat para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Saran-Saran Seyogyanya pemerintah segara mrnengajukan perubahan atas Undang-Undang Merek 1961, dalam mana ketentuan-ketentuan mengenai lisensi diatur didalamnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabriando Leonal
"Tesis ini membahas tentang Sinkronisasi hukum antara aturan dan konsepsi HKI bidang merek dengan Hukum Persaingan sebagaimana di atur dalam pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kedua domain hukum ini terlihat saling bertentangan satu sama lain namun sebenar nya kedua domain hukum ini bersifat komplementer dan saling mengisi satu sama lain untuk keharmonisan sistem hukum itu sendiri yakni efisiensi sistem perekonomian. Dengan menganalisis hubungan hukum antara konsepsi HKI bidang merek dengan hukum persaingan usaha dan menganalisis perlindungan hukum yang di berikan dari pendaftaran merek terhadap tindakan praktik persaingan usaha tidak sehat dalam bidang merek serta menganalisa implementasi pasal 50 huruf b Undang-Undang No.5 Tahun 1999 khusus nya perjanjian lisensi di harap kan agar kasuskasus yang menyangkut perjanjian lisensi dapat berkurang. Oleh karena itu di dalam Tesis ini juga akan dibahas tentang studi kasus yang berhubungan dengan lisensi merek dalam kaitan nya dengan praktik persaingan usaha tidak sehat.

This thesis discusses about the synchronization between the rule of law and conception of the brand with the IPR (Intellectual Property Rights ) field in Competition Law as set in the article 50 letter b of Law No. 5 year 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. Both the legal domain is seen in conflict with each other but actually his second this legal domain is complementary and complement each other for the harmony of the legal system itself that is the efficiency of economic systems. By analyzing the legal relationship between the conception of the brand with the IPR field of competition law, and analyze the legal protection that is given to the actions of the trademark registration unfair business practices in the areas of brand, and then analyze the implementation of article 50 letter b of LawNo.5 of 1999 its special licensing agreement expected it to cases involving the licensing agreement can be reduced. Therefore in this thesis has also been discussed on case studies relating to license its brand in connection with unfair business practices."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28875
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ilham Suryadirja
"Seiring dengan meningkatnya arus perdagangan barang dan jasa di era perdagangan bebas dewasa ini, pilihan berbagai macam produk baik barang dan jasa semakin bervariasi dan beragam. Keluasan pilihan bagi konsumen dalam menentukan pilihan produk tersebut menjadikan merek dagang menjadi sangat relevan dan penting, karena kualitas dan reputasi suatu produk tercermin dari pilihan merek yang tersedia. Persaingan yang ketat dalam upaya meraih kesuksesan pasar atas suatu produk yang diluncurkan pasaran sedikit banyak tergantung dari beberapa hal diantaranya : persepsi konsumen atas kualitas merek, bentukdesain merek, packaging, sistem distribusi, ketersediaan di pasar dan faktor-faktor penunjang lainnya. Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 pasal 1 ayat 1, merek didefinisikan sebagai sebuah tanda yang terdiri dari : gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang mempunyai daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Sedangkan di Amerika, kemasan tiga dimensi / trade dress dalam merek diatur dalam Lanham Act. Guna mendapatkan perlindungan merek sesuai dengan Lanham Act di U.S, maka bentuk tampilan tersebut setidaknya harus memenuhi 2 syarat : adanya unsur nonfunctionality dari bentuk tampilan, dan unsur distinctive atau daya pembeda. Nonfunctionality artinya bentuk tampilan suatu produk harus tidak bersifat fungsional, artinya tidak bisa didaftarkan apabila bentuk tampilan produk tersebut merupakan syarat agar produk tersebut berfungsi (atau dengan kata lain produk tersebut tidak bisa berfungsi apabila tidak ditampilkan sedemikian rupa). Syarat yang kedua adalah daya pembeda ; artinya bentuk atau tampilan suatu produk tersebut harus berbeda dengan produk yang lain, dan tentunya mempunyai kekhasan tersendiri sehingga bisa dibedakan dengan bentuk produk pesaingnya. Fungsi pembeda diantara merek lebih jauh tidak hanya terbatas pada bebedanya kata, huruf, warna tetapi juga berkembang ke arah bentuk tampilan luar produk, packaging, aroma, suara dan juga kesan atas produk tersebut. Bentuk tampilan luar (trade dress) dalam UU Merek No.15 tahun 2001, belum merupakan unsur yang termasuk dalam merek, sehingga tidak bisa mendapatkan perlindungan apabila ternyata ada bentuk tampilan produk yang mirip/ tidak berbeda meskipun berbeda kata, huruf warna yang digunakan satu sama lain, sehingga perlu diupayakan pengaturan lebih lanjut pada UU Merek yang akan datang. Tampilan luar yang berupa 3 dimensi juga diatur dalam desain industri, meskipun demikian ada perbedaan yang signifikan antara tampilan luar yang bisa dilindungi di bawah UU Merek dengan UU Desain Industri karena persyaratan tampilan luar berbeda satu sama lain.

As increased trade flows of goods and services in the era of free trade this adult choice various kinds of products both goods and services more varied and diverse. Sweep choice for consumers in determining product choice makes trademark be very relevant and essential because quality and reputation a product of choice brand reflected available. Intense competition in an attempt to grab the market success of a product that launched the market more or less depending on several things including: the consumer's perception of the quality of the brand, brand design, packaging, distribution systems, availability in the marketplace and other ancillary factors. According to Act No. 15 of 2001 article 1 paragraph 1, brand is defined as a token consisting of: pictures, names, words, letters, numbers, colors, composition or a combination of these elements that have power and is used in the activity of the criterion of trade goods or services. While in america, packaging three-dimensional / trade dress in brand arranged in lanham act. To shelter brand lanham act in accordance with the u.s., and the display at least to meet the requirements of two conditions: nonfunctionality element of view, form and the distinctive or power of distinguishing. Nonfunctionality means the appearance of a product should not be functional, meaning cannot registered if the view that product is a requirement to product functioning ( or in other words those products cannot function if not shown such ). The second requirement is a distinguishing; it means form or appearance of a product should be different with other products and certainly have particularity vidual so as to be distinguishable in the product competition. The function of distinguishing between brand further not only limited to bebedanya word, letters, color but also evolve toward the form of a display outside products, packaging, the scent of; sound and also an impression upon the products. The form of a display outside ( trade ) in the act of dress brand Act No. 15 of 2001, was no of an element whose brands, including in so that cannot be shelter if it turns out that there is a form resembling that of a display of products / is no different in spite of different word, letters color that is used to one another, so that should be channeled further arrangement on the act of brands to come. The appearance of three-dimensions are also provided for in the design industry owever there is a significant difference between a display beyond which can be protected under the law on brands with law industrial design because beyond the requirements of a display different from one another."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30965
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Teofilus Edbert
"Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Pasal 41 ayat (8) yang dimaksud dengan pengalihan hak atas suatu Merek telah selesai hal ini dimungkinkan untuk dilakukan meskipun tanda tersebut masih ada dalam tahap pendaftaran. Ini menunjukkan bahwa pengalihan dapat terjadi meskipun hak atas merek belum ada, mengingat hak atas merek baru telah muncul setelah Merek yang bersangkutan didaftarkan dan disebut sebagai merek terdaftar. Padahal, menurut Pasal 584 KUHP Hukum perdata untuk mentransfer barang, seseorang harus memilikinya
kewenangan atas benda-benda tersebut terlebih dahulu, dan menurut Pasal 1320 salah satunya Keabsahan perjanjian adalah adanya "hal tertentu" atau objek yang jelas yang seharusnya tidak dipenuhi oleh merek yang masih dalam taraf Registrasi. Sekilas transfer seperti ini mirip dengan Preliminary Agreement Jual Beli atau PPJB yang dilakukan untuk jual beli rumah yang belum selesai dibangun dibangun di. Tesis ini membahas latar belakang berlakunya Pasal 41 ayat (8) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan menganalisis bagaimana artikel ini dapat digunakan di Indonesia juga memberikan perbandingan antara pasal ini dengan PPJB yang sudah berlaku sejak lama di Indonesia.

With the enactment of Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indication Article 41 paragraph (8), which means that the transfer of rights to a Mark has been completed, is possible to do this even though the sign is still in the registration stage. This indicates that the transfer can occur even though the right to a mark does not yet exist, considering that the right to a new mark has emerged after the Mark concerned has been registered and is called a registered mark. In fact, according to Article 584 of the Criminal Code Civil law to transfer goods, someone must own it authority over the said objects first, and according to Article 1320, one of the validity of the agreement is the existence of "certain things" or clear objects which should not have been fulfilled by a mark which is still in the registration stage. At first glance, a transfer like this is similar to a Preliminary Sale and Purchase Agreement or PPJB which is carried out to buy and sell a house that has not yet been built in. This thesis discusses the background to the enactment of Article 41 paragraph (8) of Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications and analyzes how this article can be used in Indonesia and also provides a comparison between this article and the PPJB which has been in effect for a long time in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Adriel Devanza
"Dengan berkembangnya penerapan Hukum Kekayaan Intelektual dalam pasar, serta meningkatnya perdagangan internasional, muncul dua konsep hukum dalam rezim HKI, yaitu Exhaustion yang merupakan hilangnya hak distribusi barang terkait HKI, serta Impor Paralel, yang merupakan tindakan mengimpor barang terkait HKI masuk ke dalam sebuah negara yang mana HKI barang tersebut telah terdaftar. Terdapat dua bentuk prinsip Exhaustion; National Exhaustion dimana hak distribusi barang hanya hilang di dalam negeri, yang mana jika dilakukan penjualan dari luar negeri maka hak distribusi masih ada dan impor paralel dapat dilarang, dan International Exhaustion dimana hak distribusi barang dimanapun barang dijual dan Impor Paralel diperbolehkan. Dalam Penelitian ini Penulis akan mengkaji prinsip Exhaustion dan Impor Paralel yang dianut oleh rezim Hak Cipta, Hak Merek, dan Hak Paten di Indonesia, hasil penelitian yang ditemukan adalah terdapat kekosongan hukum prinsip Exhaustion serta pengaturan Impor Paralel dalam rezim Hak Cipta melalui UU 28/2014 dan Hak Merek melalui UU 20 2016. Dalam konteks UU Hak Paten secara eksplisit melarang Impor Paralel melalui ketentuan Pasal 160 ayat (1) dengan pengecualian obat-obatan, tetapi masih terdapat ambiguitas prinsip Exhaustion yang dianut apa dalam rezim Paten. Atas berbagai kekosongan hukum tersebut Penulis membandingkan ketentuan Hukum Indonesia dengan Hukum Amerika Serikat dalam ranah Intellectual Property bagi Hak Merek, Hak Paten, dan Hak Cipta untuk menemukan metode terbaik untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Hasil perbandingan dan analisa penulis adalah diperlukanya ketentuan Exhaustion dan Impor Paralel yang tegas dalam Hak Cipta Serta Hak Merek melalui penjelasan yang spesifik kapan terpicunya Exhaustion, dalam konteks Hak Merek juga dapat dicontoh ketentuan Lever Rule AS, bagi UU Hak Paten perlu kejelasan mengenai doktrin Exhaustion untuk memberi kejelasan mengenai kebolehan Post-sale Restriction atau perjanjian pengendalian distribusi setelah penjualan.

With the development of the application of Intellectual Property Law in the global market, as well as the increase in international trade, two legal concepts have emerged in the IPR regime, namely Exhaustion, which is the loss of distribution rights of IPR-related goods, and Parallel Importation, which is the act of importing IPR-related goods into a country where the IPR of the goods has been registered. There are two forms of the Exhaustion principle; National Exhaustion where the right to distribution of goods is only lost in the country of origin, which if sales are made from abroad then the distribution rights still exist and parallel imports can be prohibited, and International Exhaustion where the right to distribution of goods wherever the goods are sold and Parallel Imports are allowed. In this study, the author will examine how the principle of Exhaustion and Parallel Imports adopted by the Copyright, Trademark Rights, and Patent Rights regimes in Indonesia, the results of the research found are that there is a legal vacuum of the Exhaustion principle and Parallel Import arrangements in the Copyright regime through Law No. 28 of 2014 and Trademark Rights through Law No. 20 of 2016. In the context of the Patent Law, it explicitly prohibits Parallel Imports through the provisions of Article 160 paragraph (1) with the exception of medicines, but there is still ambiguity as to what Exhaustion principle is adopted in the Patent regime. For the various legal lacunae, the author compares the provisions of Indonesian Law with United States Law in the realm of Intellectual Property for Trademark Rights, Patent Rights, and Copyright to find the best method to fill the legal lacunae. The results of the comparison and the author's analysis are the need for strict Exhaustion and Parallel Import provisions in Copyright and Trademark Rights through a specific explanation of when Exhaustion is triggered, in the context of Trademark Rights can also be emulated by the provisions of the US Lever Rule, for the Patent Rights Act it is necessary to clarify the doctrine of Exhaustion to provide clarity on the permissibility of Post-sale Restriction or distribution control agreements after sales. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Iman Faiz Pratama
"Merek merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual yang penggunaannya umum ditemukan di bidang perdagangan dan berbagai industri lainnya. Sebagai salah satu cabang dari cakupan kekayaan intelektual, merek mendapatkan hak perlindungan hukum.  Pasal 20 huruf f Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis  menjelaskan bahwa merek tidak dapat didaftar jika mengandung nama umum dan/atau lambang umum, namun pada praktiknya terdapat beberapa kasus penggunaan nama umum untuk digunakan sebagai merek. Disisi lain DJKI sebagai otoritas yang berwenang atas pendaftaran merek juga menyetujui  merek yang mengandung unsur nama dan/atau lambang umum yang diajukan oleh pemohon merek. Salah satu kasus yang cukup terkenal dan muncul menjadi pemberitaan adalah sengketa kasus merek Open Mic Indonesia antara Perkumpulan Stand Up Indonesia dengan Ramon Pratomo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan doktrin generic term/istilah umum terhadap peraturan perundang-undangan terkait merek di Indonesia dan istilah umum terhadap merek Open Mic Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang mana penelitian ini memperoleh data dari bahan hukum primer antara lain asas-asas hukum, filsafat hukum, norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan didukung oleh bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal, artikel, makalah, penelitian terdahulu yang berkaitan dengan masalah penelitian dan juga bahan hukum tersier berupa kamus, dan ensiklopedi.

Brand or trademark is one type of intellectual property rights whose use is commonly found in trade and various other industries. As one of the branches of intellectual property coverage, brands get legal protection rights.  Article 20 letter f of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications explains that a mark cannot be registered if it contains a common name and/or common emblem, but in practice there are several cases of using a common name to be used as a mark. On the other hand, DJKI as the competent authority for trademark registration also approves marks containing elements of common names and/or symbols submitted by trademark applicants. One case that is quite famous and appears in the news is the dispute over the Open Mic Indonesia brand case between the Indonesian Stand Up Association and Ramon Pratomo. This study aims to determine the application of generic term doctrine to laws and regulations related to brands in Indonesia and general terms to the Open Mic Indonesia brand. This research is a normative legal research where this research obtains data from primary legal materials including legal principles, legal philosophy, legal norms, contained in laws and regulations supported by secondary legal materials in the form of books, journals, articles, papers, previous research related to research problems and also tertiary legal materials in the form of dictionaries, and encyclopedias."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library