Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edy Siswoyo
"Perlindungan hukum terhadap satu Invensi khususnya paten, dengan pemberian Hak Paten akan memberikan manfaat bagi perekonomian nasional, juga akan lebih mendorong bagi para penemu teknologi untuk mengembangkan idenya. Untuk itu sudah sepatutnya negara memberikan perlindungan yang memadai terhadap Hak Paten tersebut. Secara normatif negara memberikan perlindungan hukum baik secara perdata maupun pidana kepada pemegang Hak Paten. Ancaman pidana dalam Undang Undang Paten untuk menegaskan bahwa negara turut melindungi hak milik perorangan, sepertinya halnya Hak Paten. Tanda bukti hak tersebut adalah Sertifikat Paten yang berfungsi untuk melindungi pemegangnya dari pihak lain yang tanpa seijinnya menggunakan klaim Hak Paten tersebut. Menurut hukum acara perdata, Sertifikat Paten mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna, jadi tidak dapat diganggu gugat, sampai ada bukti yang membuktikan sebaliknya. Tetapi dalam hukum acara pidana kekuatan bukti Sertifikat Paten tersebut, tidak berarti mengikat hakim. Namun bukan berarti Hakim acara pidana dapat begitu saja mengesampingkan alat bukti surat otentik seperti hal-nya Sertifikat Paten. Dalam tindak pidana dibidang Paten, kewenangan Hakim pidana adalah untuk membuktikan secara materiil apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur hukum dalam surat dakwaan jaksa dan memperoleh keyakinan terdakwalah pelakunya. Persoalan paten tersebut memenuhi unsur kebaruan atau tidak, hal itu adalah kompetensi Pengadilan Niaga. Mengingat Sertifikat Paten merupakan bukti hak bagi pemegangnya dan diperoleh melalui prosedur dan mekanisme yang begitu ketat seperti yang diatur dalam undang-undang paten, setelah melalui proses pemeriksaan formil dan materiel."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merges, Robert Patrick
Virginia: Michie, 1997
346.048 6 MER p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Rahmadhani
"Skripsi ini membahas mengenai Valuasi dan Eksekusi terhadap Hak Paten sebagai Objek Jaminan Utang yang telah menjadi topik perbincangan untuk diterima di Indonesia. Mengenai Hak Paten sebagai Jaminan telah diatur dalam Undang-Undang Paten Nomor 13 Tahun 2016 bahwa Hak Paten dapat dijadikan objek jaminan fidusia. Melakukan Valuasi terhadap Hak Paten menjadi hal yang penting, mengingat bahwa dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 terdapat ketentuan bahwa nilai benda sebagai objek jaminan Fidusia harus dicantumkan dalam Akta Fidusia. Dari segi Perbankan, Nilai Hak Paten sebagai agunan juga akan menjadi pertimbangan dalam pemberian kredit perbankan berdasarkan prinsip 5C rsquo;s. Hak Paten merupakan benda tidak berwujud yang unik pada dirinya sendiri, sehingga menelaah mengenai Eksekusi Hak Paten juga merupakan hal yang penting, karena memiliki konsep yang berbeda dengan kebendaan lainnya. Dengan digunakannya metode penelitian yuridis empiris, Penulis berusaha menemukan bagaimana melakukan Valuasi dan Eksekusi terhadap Hak Paten apabila dijadikan Jaminan Utang.
......This research is concerning about Patent Valuation and Execution as a Debt Collateral. Patent as a Collateral regulate in Patent Law 13 2016 that Patent can be a Fiduciary object. Valuation of Patent is important, considering that in the Fiduciary Law 42 1999 there is a provision about a value of the object as the object of the Fiduciary must be written in the Fiduciary Deed. In terms of Banking, the Value of Patent as collateral will also be a consideration in banking credit based on 5C 39 s principles. Patent is an unique intangible object itself, so it is important to analyze the Execution of the Patent as it has a different concept than the others. With the use of empirical juridical research methods, the author tries to find how to Valuate and Execute Patent as a Debt Collateral."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jesslin Guvani
"Fokus skripsi ini adalah untuk menelaah lebih jauh bagaimana impor paralel obat paten terjadi dan bagaimana peraturan-peraturan dari instansi terkait menerapkan perlindungan terhadap hak Pemegang Paten Obat tersebut. Dengan demikian, skripsi ini meneliti segala regulasi terkait isu impor paralel baik dari UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten serta peraturan-peraturan yang diterbitkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Badan Pengawas Obat Makanan. Sejauh ini, hanya BPOM dan Kemenkes saja yang sudah melindungi kepentingan Pemegang Paten terkait impor paralel obat paten, sedangkan instansi lainnya belum melihat urgensi dalam mengenali impor obat paten ini dan belum ada peraturan yang mengaturnya secara spesifik.
......The focus of this thesis is to further evaluate parallel importation of patented drug and how regulation from related departments protect the drug Patent Holder's right. Thus, this thesis will refer to the issues of parallel importations in relation to Law no. 14 Year 2001 regarding Patents and other regulations published by the Minister of Trade, Minister of Health, Director General of Customs, and Food and Drug Supervisory Body. To date, only the Food and Drug Supervisory Body and Minister of Health have given adequate protection to the Patent Holder against parallel imports, while other governmental bodies have yet to recognize the urgency of acknowledging the importation of patented drugs therefore no such regulation has been specifically made upon it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54375
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Windo Wahidin
"

Perkembangan bisnis dengan sistem franchise semakin marak. Franchise merupakan suatu sistem pemasaran, dimana pemilik franchise (Franchiser) memberikan hak kepada pemegang franchise (franchisée) untuk memasarkan barang dan jasa franchiser dengan menggunakan merek dagang dan/atau jasa, metode, cara dan format bisnis (standar operasional prosedur) yang ditentukan oleh franehisor untuk jangka waktu teitentu dan di suatu wilayah tertentu. Untuk itu franchisée harus membayar biaya franchise, biaya royalty dan biaya-biaya lainnya kepada franehisor.

Sistem bisnis franchise mulai tumbuh pada tahun 1850 di Amerika Serikat dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Seiiring dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia sistem bisnis franchise mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dalam bentuk restoran siap saji, binatu, fotocopy, cuci cetak foto, dll. Hubungan dalam sistem franchise dibangun atas dasar hubungan perjanjian, yang dikenal dengan peijanjian franchise. Hubungan - hubungan yang terjalin tersebut melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Apabila terjadi sengketa para pihak akan mengupayakan jalur musyawarah untuk mufakat. Jika musyawarah tidak tercapai, maka para pihak akan menempuh jalur pengadilan.

Munculnya franchise telah menimbulkan permasalahan di bidang hukum. Untuk itu pemerintah Indonesia segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/Kep/l9V7 tentang Ketentuan Pendaftaran dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Kedua peraturan tersebut dibuat agar kedudukan franehisor dan franchisée diatur untuk meminimalisir perselisihan yang mungkin teijadi. Sampai kini di Indonesia belum terdapat perundang-undangan yang secara khusus mengatur masalah perdagangan dengan sistem franchise. Selama ini praktek yang dilakukan didasarkan pada kesepakatan tertulis dalam bentuk francliisee didasarkan pada asas kebebasan berkontrak seperti tertuang pada pasal 1338 KUHPerdata.

"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T23033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manda Pratomo
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh sistem perlindungan hak paten (PRP) di 19 negara berkembang terhadap arus masuk FDI dari negara inovatif selaku home country (Amerika serikat, Jepang dan Jerman) pada periode dimana telah diberlakukannya enforcement TRIPS Agreement bagi negara berkembang. Berbeda dengan penelitian sebelumnya dimana pengukuran sistem PRP hanya melihat komponen kehadiran dari regulasi, penelitian ini menggunakan index yang dapat menangkap tingkat efektivitas dari implementasi penerapan sistem PRP di suatu negara. Hasil estimasi menunjukkan bahwa sistem PRP yang kuat dan efektif di host country dapat meningkatkan nilai arus masuk FDI ke negara berkembang
......This study aims to analyze the influence of patent protection systems (PRPs) in 19 developing countries on FDI inflows from innovative countries as home country (United States, Japan and Germany) in the period when enforcement of TRIPS Agreement for developing countries has been implemented. In contrast to previous studies where the measurement of the PRP system only looked at the attendance component of the regulation, this study uses an index that captures the effectiveness of implementing the PRP system in a country. The estimation results show that a strong and effective PRP system in host country can increase the value of FDI inflows to developing countries."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tumang, Yurina M.`
Depok: Sekolah Kajian Strategik Global Universitas Indonesia, 2005
T23022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meta Diansari
"Skripsi ini membahas permasalahan perlindungan paten terhadap obat antiretroviral ARV HIV/AIDS serta bagaimana akses publik terhadap obat ARV yang dilindungi paten di Indonesia diulas dengan studi kasus penggunaan Pasal 31 TRIPS sebagai fleksibilitas perlindungan paten berupa lisensi wajib dan pelaksanaan paten oleh pemerintah di beberapa negara.Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Adapun temuan dalam penelitian ini adalah obat ARV termasuk obat esensial sehingga pemenuhan akses ketersediaan dan keterjangkauannya merupakan kewajiban bagi negara untuk menjaminnya. Terdapat permasalahan ketika harga obat ARV yang dilindungi paten sangat tinggi sehingga untuk mengupayakan akses terhadap obat-obatan ARV yang dilindungi paten, maka Indonesia memanfaatkan celah perlindungan paten yang disebut dengan pelaksanaan paten oleh pemerintah terhadap obat ARV.Namun Indonesia belum dapat melaksanakan dengan maksimal fleksibilitas TRIPS yang tersedia yaitu mekanisme Lisensi Wajib untuk akses obat-obatan guna pengobatan penyakit manusia karena belum ada Peraturan Menteri yang mengaturnya.
......
This thesis explains about the issue of patent protection of antiretroviral drugs ARVs HIV AIDS and how public access to patent protected antiretroviral drugs in Indonesia is reviewed by the case studies of the use of Article 31 TRIPS as the patent protection flexibility which is form of compulsory license and the government use in several countries. The research method in writing this thesis is juridical normative.The findings to be presented in this research are the fulfillment of access to availability and affordability ARV drugs which are including essential drugs is the government rsquo s obligation to ensure it. There is a problem when the price of patent protected antiretroviral drugs is high that in order to seek access to patented ARV drugs, Indonesia exploits patent protection gaps called patents by the government against ARV drugs. However, Indonesia has not been able to exploits TRIPS flexibility maximally in Compulsory License mechanism for access to drugs for the treatment of human diseases is just because there is no Ministerial Regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Adriel Devanza
"Dengan berkembangnya penerapan Hukum Kekayaan Intelektual dalam pasar, serta meningkatnya perdagangan internasional, muncul dua konsep hukum dalam rezim HKI, yaitu Exhaustion yang merupakan hilangnya hak distribusi barang terkait HKI, serta Impor Paralel, yang merupakan tindakan mengimpor barang terkait HKI masuk ke dalam sebuah negara yang mana HKI barang tersebut telah terdaftar. Terdapat dua bentuk prinsip Exhaustion; National Exhaustion dimana hak distribusi barang hanya hilang di dalam negeri, yang mana jika dilakukan penjualan dari luar negeri maka hak distribusi masih ada dan impor paralel dapat dilarang, dan International Exhaustion dimana hak distribusi barang dimanapun barang dijual dan Impor Paralel diperbolehkan. Dalam Penelitian ini Penulis akan mengkaji prinsip Exhaustion dan Impor Paralel yang dianut oleh rezim Hak Cipta, Hak Merek, dan Hak Paten di Indonesia, hasil penelitian yang ditemukan adalah terdapat kekosongan hukum prinsip Exhaustion serta pengaturan Impor Paralel dalam rezim Hak Cipta melalui UU 28/2014 dan Hak Merek melalui UU 20 2016. Dalam konteks UU Hak Paten secara eksplisit melarang Impor Paralel melalui ketentuan Pasal 160 ayat (1) dengan pengecualian obat-obatan, tetapi masih terdapat ambiguitas prinsip Exhaustion yang dianut apa dalam rezim Paten. Atas berbagai kekosongan hukum tersebut Penulis membandingkan ketentuan Hukum Indonesia dengan Hukum Amerika Serikat dalam ranah Intellectual Property bagi Hak Merek, Hak Paten, dan Hak Cipta untuk menemukan metode terbaik untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Hasil perbandingan dan analisa penulis adalah diperlukanya ketentuan Exhaustion dan Impor Paralel yang tegas dalam Hak Cipta Serta Hak Merek melalui penjelasan yang spesifik kapan terpicunya Exhaustion, dalam konteks Hak Merek juga dapat dicontoh ketentuan Lever Rule AS, bagi UU Hak Paten perlu kejelasan mengenai doktrin Exhaustion untuk memberi kejelasan mengenai kebolehan Post-sale Restriction atau perjanjian pengendalian distribusi setelah penjualan.
......With the development of the application of Intellectual Property Law in the global market, as well as the increase in international trade, two legal concepts have emerged in the IPR regime, namely Exhaustion, which is the loss of distribution rights of IPR-related goods, and Parallel Importation, which is the act of importing IPR-related goods into a country where the IPR of the goods has been registered. There are two forms of the Exhaustion principle; National Exhaustion where the right to distribution of goods is only lost in the country of origin, which if sales are made from abroad then the distribution rights still exist and parallel imports can be prohibited, and International Exhaustion where the right to distribution of goods wherever the goods are sold and Parallel Imports are allowed. In this study, the author will examine how the principle of Exhaustion and Parallel Imports adopted by the Copyright, Trademark Rights, and Patent Rights regimes in Indonesia, the results of the research found are that there is a legal vacuum of the Exhaustion principle and Parallel Import arrangements in the Copyright regime through Law No. 28 of 2014 and Trademark Rights through Law No. 20 of 2016. In the context of the Patent Law, it explicitly prohibits Parallel Imports through the provisions of Article 160 paragraph (1) with the exception of medicines, but there is still ambiguity as to what Exhaustion principle is adopted in the Patent regime. For the various legal lacunae, the author compares the provisions of Indonesian Law with United States Law in the realm of Intellectual Property for Trademark Rights, Patent Rights, and Copyright to find the best method to fill the legal lacunae. The results of the comparison and the author's analysis are the need for strict Exhaustion and Parallel Import provisions in Copyright and Trademark Rights through a specific explanation of when Exhaustion is triggered, in the context of Trademark Rights can also be emulated by the provisions of the US Lever Rule, for the Patent Rights Act it is necessary to clarify the doctrine of Exhaustion to provide clarity on the permissibility of Post-sale Restriction or distribution control agreements after sales. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library