Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
Hasanuddin
"Tesis ini membahas mengenai pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara (asset declaration) dalam upaya pemberantasan korupsi. Pelaporan harta kekayaan merupakan suatu kewajiban penyelenggara negara menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara merupakan perwujudan dari prinsip-prinsip good governance terutama prinsip transparansi dan akuntabilitas yang bertujuan untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Untuk kepentingan pemberantasan korupsi yang meliputi tindakan pencegahan dan penindakan, pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara berfungsi sebagai sarana untuk menguji integritas penyelenggara negara atau calon penyelenggara negara, menanamkan sifat kejujuran, keterbukaan dan tanggung jawab di kalangan penyelenggara negara, mendeteksi potensi konflik kepentingan antara tugas-tugas publik penyelenggara negara dan kepentingan pribadinya, serta dapat digunakan untuk mendeteksi adanya illicit enrichment atau sebagai pintu masuk dan sebagai bukti pendukung penyelidikan dan penuntutan perkara korupsi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 itu sendiri masih mengandung beberapa kelemahan terutama yang terkait dengan kewenangan lembaga pengelola pelaporan dan lemahnya sanksi yang tercantum dalam undang-undang. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara belum sepenuhnya bisa efektif untuk memastikan ketaatan dan kejujuran penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaannya karena kewenangan yang diberikan oleh undang-undang terbatas pada pendaftaran dan pemeriksaan, tidak disertai dengan kewenangan yang lebih luas berupa pemberian sanksi administratif secara langsung ataupun memberikan rekomendasi yang sifatnya mengikat kepada atasan penyelenggara negara. Adapun dalam hal penyelenggara negara didakwa melakukan tindak pidana korupsi, maka harta kekayaan penyelenggara negara yang mengalami peningkatan yang tidak wajar harus dibuktikan dengan sistem pembuktian terbalik.
This thesis discusses the asset declaration of public officials in an effort to eradicate corruption. Asset Declaration is an obligation of public officials as stated in Law No. 28 of 1999 on the Governance of State that Free From Corruption, Collusion and Nepotism. Asset declaration system is the implementation of good governance principles especially the principle of transparency and accountability in order to creating democratic and clean government that free from corruption, collusion and nepotism. In an attempt on combating corruption which is included preventive and punitive measures, asset declaration functions as a tool for examining the integrity of public officials as well as public officials candidate and could also serves to evoke honest, transparent, and accountable characters of public officials. Other essential purposes of asset declaration system are detecting conflict of interests and illicit enrichment of public officials and also function as an entrance for investigating corruption practices. Law No. 28 of 1999 itself still contains some weaknesses, especially related to the authority of reporting agency and the weakness of sanctions contained in the legislation. Indonesian Corruption Eradication Commission (KPK) as a reporting agency of public officials? asset declaration is not fully effective in ensuring compliance and honesty of public officials in reporting their entire assets because of its limited authority given by the existing legislation. The commission should have been given greater authority such as to impose a direct administrative sanction or to provide a binding punitive recommendation to the superior of the public officials who has intentionally not fulfilled reporting obligation. In terms of a public official is accused corruption, the significant increase of the accused?s asset must be proven by using the reversal of the burden of proof."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2013
T32534
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Hermien Hadiati Koeswadji
Surabaya: Sinar Wijaya, 1984
345.05 HER d
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Lambok Marisi Jakobus Sidaburat
"Pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti oleh Kejaksaan dihadapkan pada persoalan harta benda korporasi yang dijadikan sebagai jaminan utang kepada kreditor. Pada kondisi ini, eksekusi harta benda korporasi sebagai pembayaran uang pengganti melalui jalur pidana tidak dapat berperan optimal karena dihadapkan pada persoalan hukum tertentu. Artikel ini berfokus untuk mengetahui hambatan yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam mengeksekusi uang pengganti perkara tindak pidana korupsi. Selain itu, untuk mengetahui penggunaan hukum kepailitan sebagai instrumen hukum dalam mengeksekusi harta benda korporasi sebagai bentuk pembayaran uang pengganti. Penggunaan instrumen hukum kepailitan dalam mengeksekusi harta benda korporasi telah memenuhi syarat kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kejaksaan harus dapat mencegah terjadinya tunggakan pembayaran uang pengganti dengan mendata dan menyita harta benda korporasi yang sudah harus dilakukan sejak penyidikan."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:2 (2019)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Kartini Muljadi
Jakarta: Kencana, 2005
346.04 KAR h
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Kartini Muljadi
Jakarta: Kencana, 2005
346.04 KAR h
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Tiara Nuswantari
"Yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas harta kekayaan yang dipisahkan dengan tujuan social, keagamaan dan kemanusiaan. Dengan diundangkannya Undang-undang nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, sudah seharusnya yayasan dijalankan dengan prinsip non-profit oriented. Pokok Permasalahan yang dibahas dalam penulisan tesis ini adalah perlindungan hukum terhadap harta kekayaan yayasan yang tidak berstatus sebagai badan hukum, perlindungan terhadap harta kekayaan yayasan yang telah berstatus sebagai badan hukum dan perlindungan terhadap harta kekayaan yayasan berdasarkan Undang-undang nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004,serta penerapan asas keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengelolaan harta kekayaan yayasan.
Penulisan ini menggunakan metode yuridis normative yaitu menitikberatkan pada peraturan yang berlaku, referensi dan literature-literatur serta pelaksanaan peraturan dalam prakteknya. Dari hasil penelitian ini ditemukan dalam praktek bahwa dengan diundangkannya Undang-undang nomor 16 tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004 sebenarnya harta kekayaan yayasan mendapatkan perlindungan hukum dari Undang-undang Yayasan tersebut. Untuk itu masih dibutuhkan peran aktif yang terkait kepada masyarakat dan juga kepada instansiinstansi yang terakut dengan permasalahan ini agar amanat Undang-undang dapat tercapai.
The Foundation is a legal entity consisting of separated assets with social purpose, religious and humanitarian. With the promulgation of Law No.16 Year 2001 Jo. Act No.28 of 2004 on Foundation, it has become a necessity that the foundation should be opearated using the principle of non-profit oriented. Subject to be discussed in this writing is about legal protection of Foundation?s assets as a non legal entity, as a legal entity and based on Law No.16 Year 2001 Jo. Act No. 28 of 2004 on Foundation. This writing method is using the judicial normative which focuses on promulgation of Law No.16 Year 2001 Jo. Act No. 28 of 2004 on Foundation, Foundation?s assets actually get the legal protection of the Laws that apply Foundation. For it is still needed a very active role of government to socialize the law Foundation and other regulations related to society, to the agencies associated with the foundation so that the mandates of the Law can be achieved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31404
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Onneri Khairoza
"Tesis ini membahas mengenai perampasan harta kekayaan terdakwa tindak pidana pencucian uang yang meninggal dunia di persidangan sebelum putusan dijatuhkan. Ketentuan ini sebagaimana yang diatur dalam 79 Ayat (4) Undang- Undang Nomor : 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Fokus permasalahan yang dibahas adalah mengenai dasar pemikiran perampasan harta kekayaan hasil tindak pidana dalam pasal tersebut, mekanisme perampasannya, serta kaitannya dengan Pasal 77 KUHP mengenai hapusnya kewenangan menuntut pidana karena terdakwa meninggal dunia dan Asas Praduga Tidak Bersalah (presumption of innocence). Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif).
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa perampasan harta kekayaan dalam Pasal 79 ayat (4) undang-undang di atas adalah dalam rangka memenuhi standar international dalam perampasan hasil tindak pidana. Selain itu juga merupakan bentuk adopsi dan penerapan dari non conviction based (civil forfeiture), dalam rangka mewujudkan keadilan serta memastikan bahwa tidak seorang pun berhak atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pasal 79 ayat (4) tersebut merupakan suatu pelengkap dan terobosan dalam beracara dan tidak bertentangan dengan Pasal 77 KUHP karena dipisahkannya pelaku tindak pidana dengan tindak pidananya. Ketentuan tersebut juga tidak pula bertentangan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah, karena hasil kejahatan tidak lagi dipandang berkaitan dengan pelaku tindak pidananya. Namun dalam pelaksanaanya belum diatur secara terperinci mengenai mekanisme (prosedur) yang harus dijalankan dalam merampas harta kekayaan hasil tindak pidana berdasarkan Pasal 79 ayat (4) tersebut. Tidak adanya mekanisme yang terperinci dalam melakukan perampasan harta kekayaan terdakwa pencucian uang yang meninggal dunia, dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan kesewenang-wenangan (abuse of power) oleh penegak hukum.
This thesis discusses the confiscation assets in money laundering defendant who died in the trial before the verdict handed down. This provision as provided in Paragraph 79 (4) of Law No. 8 of 2010 Concerning the Prevention and Combating Money Laundering. Focus on the issues discussed is the rationale for the confiscation property crime in the article, the mechanism of confiscation, and its relation to Article 77 of the Criminal Code regarding the authority demanding the abolishment of death penalty for the accused and the presumption of innocence. This study uses a normative juridical research. From the results of the study concluded that the confiscation property under Article 79, paragraph (4) above legislation is in order to meet international standards in the confiscation proceeds of crime. There was also a form of adoption and application of non-conviction based (civil forfeiture), in order to achieve justice and to ensure that no one has the right to property that is proceeds of crime. Article 79 paragraph (4) it is a complement and a breakthrough in the proceedings and not contrary to Article 77 of the Criminal Code because it separated the criminal with criminal acts. Such provisions are not contrary to the presumption of innocence, because the crime is no longer considered related to the perpetrators of criminal acts. But the implementation has not been regulated in detail the mechanisms that must be executed in the property seized proceeds of crime under Article 79, paragraph (4) is. The absence of a detailed mechanism of confiscation property in the conduct of money laundering defendants who died, the implementation can lead to abuse of power."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30270
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Peranginangin, Aslina
"
ABSTRAKBerlakunya UU Rumah Sakit sejak tanggal 28 Oktober 2011, telah mewajibkan Pengelola Rumah Sakit untuk menyesuaikan anggaran dasarnya, khuhusnya memisahkan atau merubah kegitan usahanya menjadi hanya dibidang perumahsakitan saja. Rumah Sakit didirikan oleh Pemerintah atau swasta dalam bentuk Badan Hukum, dan Yayasan adalah salah satu Badan Hukum pengelola Rumah Sakit yang wajib memisahkan bidang usahanya Pemisahan ini mengakibatkan perubahan status hukum harta kekayaan Yayasan, karena pada hakekatnya Yayasan merupakan kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Pemisahaan bidang usaha Yayasan harus diikuti pemisahan harta kekayaan Yayasan yang akan dibagi secara proposional sesuai dengan pemisahan bidang usaha Yayasan tersebut.
ABSTRACTThe Hospital Law start applied on October 28th , 2011, has required Hospital’s owner to adapt their statutes, especially for separate or change to the field of activity to be a hospitalization only.The Hospital could established by the Government or the private sector by legal persons, and the Foundation is one of the legal persons who founding the Hospital be required to separate their business, its will be lead to changes in the legal status of these assets the Foundation, because the Foundation founded as a wealth separated to achieve certain goals in the field of social, religious and humanitarian. Business separation of the Foundation must be followed with separation of assets, will be divided according to proportional business sectors of the Foundation."
2013
T33189
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Feynita Susilo
"Program Tax Amnesty pada dasarnya merupakan sarana yang diberikan pemerintah untuk pengungkapan harta kekayaan Wajib Pajak secara sukarela untuk membayar pajak (voluntary tax compliance). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan data dan informasi yang berasal dari pengungkapan kekayaan melalui program Tax Amnesty dapat digunakan dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak dan keberlakuannya apabila dijadikan dasar untuk kasus tindak pidana pencucian uang oleh aparat penegak hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, suatu pendekatan penelitian hukum yang dilakukan dengan menganalisis bahan pustaka atau data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan data dan informasi yang berasal dari pengungkapan harta kekayaan dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak jelas tidak dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan pengungkapan tersebut dilakukan secara sukarela (voluntary) dan untuk kepentingan negara. Penggunaan informasi yang bersifat voluntary tersebut dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak dapat melanggar prinsip non-self incrimination. Selain itu, apabila melihat pada kasus Putusan Pengadilan Jakarta Utara Nomor 626/Pid.Sus/2022/PN Jkt. Utr., Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU TA) pada dasarnya dipergunakan untuk mengundang para pihak untuk melaporkan dan/atau mengungkapkan harta kekayaan karena Pasal 20 UU TA berkaitan dengan asas rekonsiliasi yang merupakan bagian bentuk trust dari Wajib Pajak untuk melaporkan harta kekayaannya. Maka itu tidak boleh sebenarnya proses rekonsiliasi dijadikan dasar dalam penyidikan karena apabila dijadikan satu-satunya bukti untuk menarik perbuatan pidana tindak pencucian uang, maka akan melanggar asas seseorang tidak boleh dihukum atas keterangannya sendiri.
The Tax Amnesty program is basically a tool provided by the government for the voluntary disclosure of taxpayers' assets to pay taxes (voluntary tax compliance). The purpose of this research is to determine whether the use of data and information originating from wealth disclosure through the Tax Amnesty program can be used in the process of investigating, inquiring and/or criminally prosecuting taxpayers and its validity if used as the basis for a criminal case of money laundering by authorities. law enforcer. The research method used in this research is normative juridical research, a legal research approach carried out by analyzing library materials or secondary data. The results of this research indicate that the use of data and information originating from the disclosure of assets in the process of investigation, inquiry and/or criminal prosecution of Taxpayers is clearly not feasible. This is because the disclosure is carried out voluntarily and is in the interests of the state. The use of voluntary information in the process of inquiry, inquiry and/or criminal prosecution of Taxpayers may violate the principle of non-self incrimination. Apart from that, if we look at the case of North Jakarta Court Decision Number 626/Pid.Sus/2022/PN Jkt. Utr., Article 20 of Law Number 11 of 2016 concerning Tax Amnesty (UU TA) is basically used to invite parties to report and/or disclose assets because Article 20 of the TA Law is related to the principle of reconciliation which is part of the form of trust of the Mandatory Tax to report his assets. Therefore, the reconciliation process cannot actually be used as the basis for an investigation because if it is used as the only evidence to attract criminal acts of money laundering, it will violate the principle that a person should not be punished based on his own statement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nataya Fariza
"Membina sebuah rumah tangga memang tidak semudah membalikkan tangan, pasti selalu ada konflik yang timbul terutama masalah harta kekayaan dalam perkawinan. Apabila sebelum melangsungkan perkawinan suami isteri tidak membuat perjanjian kawin, maka harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta persatuan bulat. Kemudian selama perkawinan berlangsung, terjadi sesuatu hal misal suami boros dan berkelakukan tidak baik yang mengakibatkan harta bersama akan habis, maka isteri dapat mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan ke Pengadilan Negeri, karena perjanjian kawin sudah tidak dapat lagi dibuat setelah perkawinan berlangsung. Dari keadaan tersebut di atas, maka yang jadi permasalahan penelitian ini yaitu bagaimanakah akibat hukum dari pemisahan harta kekayaan yang dilakukan berdasarkan perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan dan bagaimana secara yuridis pertimbangan Hakim mengenai pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan sebagaimana ternyata dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2901 K/Pdt/2012 tanggal 9 Desember 2013. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis dalam meneliti mengacu pada aturanaturan hukum yang ada. Maka ditemukan jawabannya bahwa akibat hukum yang timbul sebagaimana ternyata dalam kasus yang diteliti yaitu tidak dapat diadakan pemisahan karena isteri tidak memenuhi Pasal 186 BW, sehingga objek sengketa tetap menjadi harta bersama suami dan isteri. Untuk perjanjian pisah harta yang telah dibuat dihadapan Notaris menjadi batal demi hukum karena mengandung cacat yuridis dan bertentangan dengan undang-undang. Dan Putusan Mahkamah Agung sudah tepat dan telah sesuai dengan Pasal 119 BW, karena antara suami dan isteri tersebut tetap terjadi persatuan harta bulat. Sedangkan penerapan Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perkawinan dalam pertimbangan Hakim dianggap kurang tepat karena tidak terjadi perubahan perjanjian kawin.
Fostering a household is not as easy as turning the hand, there is always a conflict triggered by wealth in marriage. If spouse did not make a prenuptial agreement, separation asset and any asset they acquire during the course of their marriage would be community asset. Furthermore, during the marriage takes place, if there is something happen e.g. the husband is extravagant and does not have good manner which is caused community asset would be lost, the wife could propose a claim for asset separation to District Court, because prenuptial agreement could no longer be made after marriage took place. According to that circumstances, the consent of this research is how the legal consequences of the assets separation that is performed by prenuptial agreement made after marriage and how the juridical considerations of the Judge regarding separation assets in marriage, as it turns out in the Supreme Court Verdict No. 2901 K / Pdt / 2012 dated December 9, 2013. By using a normative juridical research method, the author in researching refers to rules of existing law. Then found the answer that the legal consequences arising in this case study that the separation cannot be held because the wife does not comply with Article 186 BW, then the object of dispute remain the property of the husband and wife. And the prenuptial agreement that has been made before a Notary cancelled and void because of flawed juridical and contrary to law. And Supreme Court decisions were appropriate and in accordance with Article 119 of the BW, as between husband and wife are still having community assets. While the application of Article 29 paragraph (4) of the Law of Marriage in consideration of Judges considered less appropriate because there is no change in prenuptial agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44573
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library