Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Penggunaan CT sken kepala pada pasien cedera kranioserebral ringan (CKR), saat ini masih kontroversial. Penelitian ini mempunyai tujuan mengetahui gejala klinis bermakna yang berhubungan dengan adanya gambaran CT sken abnormal pada pasien CKR dengan Skala Koma Glasgow (SKG) 13 - 15. Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menganalisa catatan medik yang dibuat seragam pada penderita CKR dengan SKG 13 - 15 yang dirawat inap di ruang rawat Bagian Neurologi RSCM tahun 1999 - 2001. Hasil penelitian diperoleh data bahwa dari 1663 penderita dengan cedera kranioserebral, yang dirawat terdapat 1166 (70.1 %) penderita CKR dengan SKG 13-15. Dari pasien CKR yang dirawat, hanya 271 (23.2 %) penderita yang menjalani pemeriksaan CT Sken. Kelainan CT Sken yang ditemukan diantaranya edema serebri (11.4 %), perdarahan intra parenkhimal (10.7%), perdarahan epidural (16.2 %), perdarahan subdural (18.1 %), perdarahan subarakhnoid (5.5 %) dan campuran (13.8 %). Analisis lanjutan menunjukkan bahwa gangguan saraf otak, amnesia, kehilangan kesadaran lebih dari 10 menit dan muntah bermakna secara statistik dengan kelainan CT Sken. Kombinasi keempat gejala klinis tersebut mempunyai sensitifitas yang tinggi (90 %) dalam memprediksi adanya kelainan pada gambaran CT sken. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi patokan untuk menganjurkan CT Sken kepala pada penderita CKR dengan SKG (13 – 15). (Med J Indones 2004; 13: 156-60)

There is still a controversy among the neurologists whether brain CT scan must be performed on the mild head trauma patients. This study was executed to find out the correlation between the brain CT scan image findings and its clinical impairment among the mild head trauma patients with Glasgow Coma Scale (GCS) score of 13 to 15. The study was a retrospective study by analyzing the uniform medical records of the head trauma patients hospitalized at the Neurology ward of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital within the period of 1999 to 2001. During that period 1,663 patients were hospitalized due to head trauma, and 1,166 of them (70.1 %) were suffered from mild head trauma patients with GCS score of 13-15. Among those with brain CT scan examinations (N: 271), the neurological abnormalities were found on 144 (53.1%) of patients, consisted of cerebral edema (11,4%), intracerebral hemorrhage (5.5%), epidural hemorrhage (16.2%), subdural hemorrhage (18.1%), subarachnoid hemorrhage (5.5%), and combination (13.8%). The further analysis showed that cranial nerves disturbance, amnesia, loss of conciousness for more than 10 minutes, and vomiting are significantly correlated to the brain CT scan abnormality. Combination of the above four clinical signs and symptoms have sensitivity of 90 % in predicting brain insults. This findings may be used as a simple set of clinical criteria for identifying mild head trauma patients who need undergo CT scan examination. (Med J Indones 2004; 13: 156-60)"
Medical Journal of Indonesia, 13 (3) Juli September 2004: 156-160, 2004
MJIN-13-3-JulSep2004-156
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Alfi Isra
"Latar Belakang: Cedera kepala merupakan penyebab kematian paling sering pada orang dewasa muda, Dari penelitian perkiraan keluaran pasien cedera kepala sudah dapat diprediksi dalam 3 hari perawatan. Klasifikasi diffuse injury berdasarkan tomografi komputer kepala saat pertama kali datang dengan melihat sisterna mesensefalika, derajat midline shift dan ada atau tidak rnassa intrakranial operatif dapat memprediksi kematian pasien cedera kepala. Skala diffuse injury dibagi menjadi 4 subgrup, makin tinggi skala diffuse injury-nya, makin tinggi angka kematiannya.
Tujuan: Menentukan derajat diffuse injury untuk memperkirakan kemungkinan kematian 3 hari pertama pasien dewasa cedera kepala sedang dan berat,
Desain dan Metode: Studi dengan disain nested case control yang bersarang pada penelitian prospektif tanpa pembanding. Pasien dewasa cedera kepala derajat sedang dan berat yang mengalami kematian dini akan dimasukkan sebagai kelompok studi, sedangkan kelompok kontrol akan diambil secara random dari pasien-pasien yang tidak mengalami kematian dini.
Hasil: Dari 103 subyek penelitian didapatkan 24 (23,3%) penderita mengalami CKB dan 79 (76,7%) penderita CKS. Terdapat 23 (22,3 %) penderita yang meninggal daiam 3 hari pertama. Faktor yang berpeng ruh terhadap kematian adalah SKG, diffuse injury, sisterna mesensefalika, mid/Inc shift 5 mm atau lebih, denyut nadi, frekuensi nafas, jumlah leukosit dan tekanan PC02. Hasil analisis muitivariat menunjukkan bahwa faktor resiko independen kematian 3 hari pertama adalah skala diffuse injury (p=0,005), midline shift 5 mm (p=0,000) dan denyut nadi (p=0,016).
Kesimpulan: Skala diffuse injury unfavorable dapat memprediksi kematian dalam 3 hari pertama. Midline shift 5 mm sebagai komponen skala berperan sebagai faktor resiko terjadinya kematian pasien dewasa cedera kepala sedang dan berat.

Background: Head injury is the most frequent cause of mortality in young adult. Previous studies showed that outcome of head injured patient could be predicted in the first 3 days from the on set. Classification of head injury based primarily on information gleaned from the initial computerized tomography (CT) is described. It utilizes the status of the mesencephalic cisterns, the degree ofmidiine shift in millimeters, and the presence of absence of one or more surgical masses could be predict mortality in trauma. The term `diffuse injury' is divided into four subgroups, and the higher mortality had a strong correlation with the higher scale,
Objective: To formulate prediction scale using `diffuse injury' to know the risk of moderate and severe head injury in the first 3 days.
Methods: It was cross sectional study and continued with nested case control without comparison between moderate and severe head injury patient. Patient who was died in the first 3 days were included as study group while control group has been consisted of patient who was not died in the first 3 days and selected randomly.
Result: from 103 subject, there were 24 (23,3%) severe head injury and 79 (76,7%) moderate head injury. There were 23 (22,3%) patients who was died in the first three days. Significant factor that had influence to the mortality were GCS, diffuse injury, mesencephalic cisterns, midline shift 5 mm or more, pulse rate, respiratory rate, leucocytes count and PCO2 . Multivariate analysis showed the independent risk factors to mortality in the first 3 days were diffuse injury (p=0,006), midline shift 5 mm or more (p=0,000) and pulse rate (p=0,016).
Conclusion: Diffuse injury could predict mortality in the first 3 days of head injury patient. Midline shift as one of diffuse injury components is the leading risk factor of mortality in moderate and severe head injury patients in this research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fritz Sumantri
"Latar belakang : Proses yang mengikuti setelah terjadinya cedera kranioserebral berat ada 2 , yaitu kerusakan primer dan sekunder . Disfungsi pernafasan adalah salah satu hal yang terjadi pada kerusakan otak sekunder dan dapat kita ketahui dari pemeriksaan analisa gas darah yang kita lakukan . Dari hasil pemeriksaan analisa gas darah tersebut, kita dapati PaO2 dan PaCO2 . Tekanan tekanan oksigen dan karbondioksida tersebut ternyata memiliki pengaruh terhadap perubahan laju aliran darah kcotak . Di mana peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2 akan meningkatkan laju aliran darah ke otak , sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Sedangkan penurunan PaCO2 dan peningkatan PaO2 dapat menurunkan laju aliran darah ke otak yang akan mengancam terjadinya proses iskemik . Perubahan perubahan tekanan gas diatas disinyalir memiliki hubungan dengan hasil akhir yang didapat pada cedera kranioserebral. Oleh sebab itu kami melakukan penelitian untuk mengeksplorasi hubungan antara tekanan gas gas tersebut terhadap hasil akhir , khususnya PaCO2 yang tinggi (> 45 mmHg) dan PaO2 yang rendah ( < 85 mmHg ) terhadap hasil akhir setelah perawatan selama 3 hari .
Obyektif : mengetahui peranan PaCO2 tinggi dan PaO2 rendah terhadap hasil akhir setelah 3 hari perawatan pada pasien pasien cedera kranioserebral berat .
Metade : cross sectional, dengan membandingkan nilai PaO2 dan PaCO2 pads waktu pasien datang dengan hasil akhir yang terjadi setelah 3 hari perawatan.
Hasil : dari 84 sampel yang terkumpul , dilakukan pemeriksaan analisa gas darah sewaktu pasien datang, kemudian dilihat hasil akhir setelah 3 hari perawatan . Didapatkan suatu hasil bahwa PaO2 yang rendah akan mempunyai kecenderungan resiko kematian dalam 3 hari yang lebih besar, dibanding penderita yang PaO2 nya normal (p
Kesimpulan : PaO2 dan PaCO2 dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam usaha untuk mengetahui basil keluaran pasien pasien cedera kranioserebral berat.

Background: Two processes following a severe craniocerebral injury are primary and secondary damage. Respiratory dysfunction is one of the secondary damage which can be detected by blood gas analysis revealing 02 and CO2 arterial pressure (Pa02 and PaCO2). These arterial PaO2 and PaCO2 influence the blood flow velocity to the brain, whereas elevation of PaCO2 and reduction of PaO2 will increase the blood flow velocity to the brain and thus increase intracranial pressure. On the contrary, reduction of PaCO2 and elevation of PaO2 will decrease the blood flow velocity to the brain and could be a thread for ischemic process. The alteration of blood gas above is suggested to have a correlation with the outcome of craniocerebral injury patients. In this study, we explored the correlation of blood gas pressure especially high PaCO2 (>45 mmHg) and low Pa02 (<85 mmHg) with patient's outcome after 3 days of hospital care.
Objective: To know the correlation of high PaCO2 and low PaO2 with the outcome of severe craniocerebral injury patients after 3 days of hospital care.
Methods: This is a cross-sectional study. Patient's initial arterial PaO2 and PaCO2 was compared with patients arterial Pa02 and PaCO2 after 3 days of hospital care.
Results: Blood gas analysis was done in 84 samples at their initial admission and compared with the blood gas analysis taken after 3 days of hospital case_ It was shown that patients with low PaO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal Pa02 (p<0,05); patients with high PaCO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal PaCO2 (p<0,05); and patients with low PaCO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal PaCO2 (p<0,05).
Conclusion: Arterial PaO2 and PCaO2 can be used as one of the consideration for predicting the outcome of severe craniocerebral injury patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusfiatra
"ABSTRAK
Latar Belakang : Gangguan sustained attention merupakan gangguan kognitif yang paling sering terjadi pascacedera kepala, yang akan mempengaruhi kualitas hidup dan produktivitas kerja pasien dan faktor yang mempengaruhinya belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi gangguan sustained attention visual dan auditorik pascacedera kepala dan faktor yang mempengaruhinya.Metode : Studi ini dilakukan secara potong lintang deskriptif pada pasien pascacedera kepala di IGD, Ruang Rawat dan Poliklinik Neurologi RSCM bulan Oktober 2016 - Januari 2017. Faktor yang dianalisis adalah derajat cedera kepala, dan gambaran CT scan kepala berupa jumlah lesi dan lokasi lesi. Penilaian sustained attention visual dilakukan dengan pemeriksaan Ruff 2 7 Selective Attention Test RSAT dan penilaian sustained attention auditorik dengan lsquo;A rsquo; Random Letter Test. Gangguan sustained attention visual ditetapkan jika T Score Total Speed atau T Score Total Accuracy < 40. Gangguan sustained attention auditorik ditetapkan jika terdapat kesalahan > 2 pada lsquo;A rsquo; Random Letter Test.Hasil : Diantara 38 orang subjek pascacedera kepala, didapatkan prevalensi gangguan sustained attention visual sebesar 60,5 dan gangguan sustained attention auditorik sebesar 57,9 . Subjek cedera kepala sedang 55,3 memiliki potensi risiko 15,7 kali mengalami gangguan sustained attention dibandingkan cedera kepala ringan 34,2 IK 95 1,21-204,5 . Subjek dengan lesi fokal di hemisfer bilateral 23,7 memiliki potensi risiko 7,92 kali mengalami gangguan sustained attention dibandingkan subjek dengan CT scan normal 50 IK 95 1,19-131,54 .Kesimpulan : Gangguan sustained attention banyak dijumpai pascacedera kepala. Cedera kepala sedang dan lesi fokal di hemisfer bilateral merupakan faktor yang mempengaruhi gangguan sustained attention

ABSTRACT
Background Impaired sustained attention is the most common cognitive impairment after head injury, which will affect quality of life and work productivity. Its influencing factors are yet to be known. The objective of this study is to determine the prevalence of impaired visual and auditoric sustained attention as well as its associated factors.Methods This was a descriptive, cross sectional study performed on patients after head injury in the emergency unit, inpatient unit, and outpatient unit of Cipto Mangunkusumo Hospital from October 2016 to January 2017. We analyzed the degree of injury as well as head CT scan, including amount of lesion and location of lesion. Visual sustained attention was evaluated using the Ruff 2 and 7 Selective Attention Test, whereas auditoric sustained attention was evaluated using lsquo A rsquo Random Letter Test. Impaired visual sustained attention was established if the Total Speed T Score or Total Accuracy T Score was "
2017
T55607
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rubiana Nurhayati
"Latar Belakang: Pada cedera kranioserebral sedang dan berat terjadi stimulasi aksis HPA, aktivasi sel imunokompeten yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi. Peningkatan sitokin menyebabkan stimulasi aksis HPA yang menyebabkan terpacunya pelepasan barman kortisol oleh korteks kelenjar adrenal. Beberapa penelitian menunjukkan semakin tinggi kadar kortisol dalam plasma pada penderita cedera kranioserebral maka semakin buruk prognosis karena tingginya mortalitas.
Metode: Studi porospektif tanpa kelompok pembanding untuk melihat hubungan kadar kortisol dalam darah pada onset < 48 jam terhadap keluaran kematian dan hidup selama 3 hari perawatan pada penderita cedera kranioserebral dengan skala koma glasgow 3-12.
Hasil: Dari 64 subyek, terdapat 54,7% subyek mati pada 3 hari perawatan pertama. Rerata kadar kortisol darah subyek adalah 32,88+10,16 µg/dl, sedangkan rerata nilai SKG adalah 9,17+2,49. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar kortisol dengan nilai SKG dimana pada nilai SKG 3-6 kadar kortisol dalam darah paling tinggi (p<0.05). Rerata kadar kortisol pada keluaran mati lebih tinggi bermakna dibadingkan dengan keluaran hidup yaitu 44,38+8,87 µg/dl (p<0.05). Titik potong kadar kortisol untuk kematian adalah 31,1 µg/dl, spesifisitas 94,3% dan sensitifitas 96,6%. Pada nilai SKG 3-8, 85,7% subyek mati. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai SKG dengan keluaran mati.
Kesimpulan: Keluaran kematian pada penderita cedera kranioserebral menunjukkan kadar kortisol dalam darah yang Iebih tinggi dan nilai SKG yang lebih rendah dibandingkan dengan keluaran hidup.

Background: There are many processes in moderate and severe head injury, such as HPA axis stimulation, immuno-competent cell activation that cause releasing of inflammation mediator. Increasing of cytokine causes HPA axis stimulation and triggers cortisol release by adrenal cortex. Previous studies showed that the increasing of plasma cortisol related with poor outcome in head injury patient.
Methods: Prospective study without control in head injury patients with GCS 3-12 and onset less than 48 hours. The aim of this study was to see relation between blood cortisol level and outcome in three days of hospitalization.
Results: From 64 subjects, there are 54.7% subjects who died within 3 days of hospitalization. Mean of blood cortisol is 32.88+10.16 µg/dl, while mean of GCS is 9.17+2.49. There is significant correlation between blood cortisol level and GCS which is blood cortisol level is highest in subjects with GCS 3-6 (p<0.05). Mean cortisol level in poor outcome subjects is significantly higher (44.38+8-87 p.gldl) than good outcome subjects (p<0.05). Cut-off point of cortisol level for poor outcome is 31.1 µg/dl with 94.3% specificity and 96.6% sensitivity. In GCS 3-8 group, 85.7% subjects have poor outcome. There is significant correlation between GCS and poor outcome.
Conclusion: Moderate and severe head injury patient with poor outcome show higher blood cortisol level and lower GCS compare with patient with good outcome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Rafiqah Aulia
"Trauma kepala merupakan suatu istilah untuk salah satu jenis gangguan traumatis yang berdampak pada fungsionalitas otak. Trauma kepala dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologis, gangguan fisik, gangguan fungsi kognitif, dan gangguan psikososial secara temporer ataupun permanen. Trauma kepala merupakan salah satu masalah global karena menjadi salah satu penyebab terbanyak kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Penelitian ini telah memberikan gambaran secara faktual, sistematis, dan terbaru mengenai insidensi kasus trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) beserta karakteristik demografi yang diselidiki. Penelitian observasional dengan metode deskriptif dan analitik ini menggunakan desain potong lintang. Populasi penelitian adalah pasien trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di RSCM selama periode tahun 2016–2020 dengan besar sampel sebanyak 90 subjek yang pada data rekam medis didiagnosis mengalami trauma kepala dan diintervensi melalui prosedur bedah. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Dari 90 subjek penelitian, didapatkan bahwa mayoritas pasien berasal dari kelompok usia <21 tahun (31,1%), laki-laki (84,4%), pengguna JKN (88,9%), kecelakaan sebagai etiologi (65,6%), bukan rujukan (48,9%), rujukan dari Jawa (45,6%), antrean non-cito (55,6%), dan domisili Jabodetabek (61,1%). Hipotesis nol diterima pada analisis bivariat. Karakteristik demografi dari pasien trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di RSCM mayoritas berusia <21 tahun, laki-laki, pengguna JKN, korban kecelakaan, pasien bukan rujukan, pasien rujukan terbanyak dari Jawa, antrean non-cito, dan berdomisili di Jabodetabek. Tidak ada perbedaan penggunaan jaminan kesehatan dan etiologi antara berbagai golongan usia pasien. Selain itu, tidak ada perbedaan etiologi trauma kepala antara pasien laki-laki dan perempuan.

Head trauma is a traumatic disorder that impacts brain functionality. Head trauma can cause temporary or permanent neurological, physical, cognitive, and psychosocial dysfunction. Head trauma is a global problem because it is one of the leading causes of death and disability throughout the world. This research has provided a factual, systematic, and up-to-date description along with demographic characteristics of head trauma cases that underwent surgical procedures at RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). This observational research with descriptive and analytical methods uses a cross-sectional design. The study population was head trauma patients with a history of surgical procedures at RSCM during 2016–2020 with a sample size of 90 subjects who were diagnosed with head trauma in medical record and were intervened through surgical procedures. Sampling used purposive sampling technique. Of the 90 subjects, the characteristics were majorly <21 years (31.1%), men (84.4%), JKN users (88.9%), accidents as the etiology (65.6% ), non-referral (48.9%), referral from Java (45.6%), non-cito queue (55.6%), and Jabodetabek domicile (61.1%). The null hypothesis was accepted in the bivariate analysis. The demographic characteristics of head trauma patients with a history of surgical procedures at RSCM were majorly <21 years old, male, JKN users, accident victims, non-referral patients, most referral patients were from Java, non-cito queues, and lived in Jabodetabek. There were no differences in the use of health insurance and etiology between various patient age groups. In addition, there was no difference in the etiology of head trauma between male and female patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>