Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Togi Asman
"ABSTRAK
PENDAHULUAN. Salah satu penyakit akibat kerja yaitu hematuria dapat terjadi akibat para pekerja mengalami benturan berulang antara telapak tangan atau telapak kakinya dengan sesuatu permukaan alat yang keras. Hematuria karena getaran terjadi akibat hemolisis intravaskuler yang timbul akibat adanya jejas mekanik terhadap eritrosit yang terdapat pada pembuluh darah telapak tangan dan lengan. Dari data sekunder pada bulan Maret 1999 di Pusat Kesejahteraan Mahasiswa UI (Universitas Indonesia ) ditemukan keluhan badan capek, lemah, tangan kebas dan pada pemeriksaan fisik di lapangan menunjukkan konjungtiva anemis ( 28,6 %) dari pekerja pemotong rumput di kompleks UI depok.
SUBJEK PENELITIAN.Populasi penelitian ini adalah seluruh operator pemotong rumput di kompleks Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat. METODOLOGI.Penelitian ini meliputi pemberian intervensi berupa akselerasi getaran dalam sumbu x = 8 m / dtk 2 dan 10 m / dtk 2 pada frekuensi getaran 40 Hz semuanya diatas NAB (nilai ambang batas ) sesuai ketetapan Departemen Tenaga Kerja dan TLVs dari ACGIH dengan lama pajanan per hari dan mesin pemotong rumput `Tanaka RBK 250 yang digunakan operator ( pekerja ) pemotong rumput di kompleks Ul Depok, Jawa Barat.
Untuk mendapat informasi hubungan berbagai variabel metode yang digunakan adalah kuasi eksperimental (desain pre dan post test). Pada penelitian ini variabel umur, masa kerja, dan variabel penggunaan alat pelindung merupakan variabel yang dimasukkan dalam variabel para eksperimental yang akan dipelajari pengaruhnya terhadap terjadinya hematuria, ( sedimen eritrosit dalam urin ).
HASIL PENELITIAN. Dan hasil analisis diperoleh bahwa 3 orang diantara subjek penelitian terdapat hematuria (15 % ). Sedangkan terdapat hubungan yang signifikan antara lama pajanan dengan hematuria sesudah kerja ( p < 0,05 ) dengan nilai odds ratio = 1,37 pada konfiden interval 95 % . Lama pajanan getaran tangan lengan 5 - 7 jam ( X = 6,37 jam ) berhubungan dengan terjadinya hematuria, resiko menjadi hematuria dengan lama pajanan per hari > 6 jam adalah sebesar 1,37 kali dibanding dengan lama pajanan per hari 5 6 jam. Umur, masa kerja tidak berhubungan dengan hematuria demikian juga API) (pemakaian alat pelindung diri ) tidak ada hubungan yang signifikan terhadap terjadinya hematuria sesudah kerja, namun dari hasil analisa statistik didapat nilai odds ratio yang cukup besar yaitu 6,50 pada konfiden interval95 % untuk pemakaian AHD. Resiko untuk menjadi hematuria pada operator yang tidak selalu memakai API) ( sarung tangan) adalah 6,50 kali dibanding dengan yang selalu memakai APE) ( sarong tangan ) pada waktu keija.
REKOMENDASI Oleh karena itu disarankan agar lama pajanan per hari operator pemotong rumput di UI dikurangi sebaiknya lama pajanan per hari 4 - < 6 jam,serta selalu menggunakan sarung tangan pada waktu kerja, pegangan alat pemotong rumput diberi lapisan yang dapat mengurangi getaran tangan lengan. Perlu penelitian berlanjut yang lebih luas untuk mengetahui besar dan kronisitas dari hemolisis serta dampaknya terhadap fungsi ginjal.

ABSTRACT
INTRODUCTION. One of the occupational disease is Haematuria. It can happen because worker gets collision continuously between hand sole or foot sole with a hard surface. Haematuria that caused by vibration, happens because of intravasculer hemolysis that come out because of being mechanic scraped to blood vessels of hand sole and arm. According to secondary data in March 1999 at welfare Center of Indonesia University, found complaint, tired body, weak, finger numbness and physic survey in the field showed anemis conjunctiva 28,6 % (8 workers) from Grass Cutter worker at UI area in Depok.
SUBJECT OF RESEARCH. This research population is all Grass Cutter operator at University of Indonesia area in Depok, west Java.
METHODOLOGY. This research derives from giving interference namely vibration acceleration in fuse x = 8 m 1 s 2 and 10 m 1 s z on vibration frequency 40 Hz, all above NAB ( value of limit threshold) according to Manpower Department and TLVs from ACGIH by using daily exposure from Grass Cutter machine ` Tanaka ` RBK 250 that used by Grass Cutter worker at UI area in Depok, West Java.
To get relation information of kind of method variable that used is kuasi experimental ( pre and post test design ). In this research age variable, life time exposure and variable the use of protecting tool is variable that put in variable para experimental that will be studied the effect how haematuria can happen ( sediment of erytrosit in urine ).
RESULT. Result show that 3 people among subject of research got haematuria ( 15 % ). While there is a significant relation between time of exposure and haematuria after working ( p < 0,05 ) with odd ratio value = 1,37 at confident interval 95 %. Vibration exposure of 5 --- 7 hour for daily ( X = 6,37 hour, median - 6,75 ) connected by haematuria , the risk of getting haematuria with time of daily exposure > 6 iwlu is 1,37 times compared with time of daily exposure 6 hour. Age, life time exposure is not connected with haematuria also API) ( the use of self protection tool ) there is not significan relation to get haematuria after working, but the result of statistic analization was gotten a big odd ratio value namely 6,50 at interval confident 95 %. The risk of getting haematuria with worker not always uses APE) ( glove ) is 6,50 times compared with someone that always uses API) ( glove ) when worker is working.
RECOMMENDATION. It is suggested to reduce time of daily exposure Grass Cutter operator at L3I, the best time of daily exposure is 4 -
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gathmyr
"Latar Belakang: Acute Kidney Injury pada COVID-19 merupakan komplikasi penting dan dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian diduga diperantarai kondisi inflamasi dan disregulasi imun, baik di awal maupun selama perawatan. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara IL-6, IL-10, TNF-" dengan AKI dan memprediksi perburukan hematuria, dan kejadian AKI Metode: Studi potong lintang dan prospektif kohort melibatkan 43 pasien COVID-19 derajad sedang dan berat yang dirawat di Rumah Sakit Pertamina Pusat di Jakarta, Indonesia dari bulan November 2020 hingga Januari 2021. Selama observasi dilakukan pemeriksaan darah lengkap, serum kreatinin, urinalisis, kadar IL-6, IL-10, TNF-" pada hari pertama dan hari ketujuh pengobatan atau sebelum hari ketujuh jika pasien meninggal atau dipulangkan, dan perubahannya di analisis. Insiden AKI ditentukan ketika perubahan serum kreatinin dan urin output memenuhi kriteria pedoman Kidney Disease Improving Global Outcomes. Uji korelasi dilakukan terhadap peningkatan sitokin dengan perubahan hematuria dan kreatinin. Uji Wilcoxon dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar sitokin diantara status albuminuria. Selanjutnya dilakukan uji Receiver Operator Characteristic untuk melihat kemampuan prediksi IL-6, IL-10, TNF-" terhadap perburukan hematuria dan kejadian AKI, menggunakan AUC minimal 0,7 dengan batas bawah IK 95% lebih dari 0,5 dan nilai p <0,05 Hasil: Terdapat korelasi antara peningkatan kadar serum IL-10 dengan perubahan serum kreatinin (r= -0,343; p 0,024) tetapi tidak pada perubahan IL-6 dan TNF-a. Perubahan hematuria tidak berkorelasi dengan peningkatan ketiga kadar sitokin. Juga tidak ada perbedaan dalam kadar sitokin di antara kelompok albuminuria. Kadar serum TNF-" dihari pertama perawatan dapat memprediksi AKI pada hari ke tujuh, AUC 85%; p=0,045 (IK 0,737-0,963), tetapi tidak dapat memprediksi perburukan hematuria Kesimpulan: Terdapat korelasi antara peningkatan IL-10 dengan perubahan serum kreatinin. TNF-! pada hari pertama perawatan dapat memprediksi kejadian AKI di hari ketujuh perawatan pasien COVID-19 derajat sedang dan berat.

Background: Acute Kidney Injury is an important complication and is associated with increased risk of death in COVID-19 due to inflammatory conditions and immune dysregulation, both at the beginning and during treatment. Aim: To determine the relationship between IL-6, IL-10, TNF-α with AKI and their ability to predict the worsening of hematuria, and the incidence of AKI. Methods: 43 moderate and severe COVID-19 patients treated from November 2020 to January 2021 at Pertamina Central Hospital in Jakarta, Indonesia were included in this cross-sectional and prospective cohort study. During observation, tests including complete blood count, serum creatinine, urinalysis, levels of IL-6, IL-10 and TNF-α were performed on the first and seventh day of treatment, or before day 7 if the patient died or was discharged, and the changes were analyzed. The incidence of AKI is determined when changes in serum creatinine and urine output meet the criteria in the Kidney Disease Improving Global Outcomes guidelines. Correlation test was performed on increased cytokines with changes in hematuria and creatinine. Wilcoxon test was performed to obtain differences in cytokine levels among albuminuria status. Receiver Operator Characteristic test was then carried out to see the predictive ability of IL-6, IL-10, TNF- α on the worsening of hematuria and the incidence of AKI. Results: There was a correlation between increased serum IL-10 levels with changes in serum creatinine (r= -0.343; p 0.024), but not in IL-6 and TNF-a levels. On the other hand, changes in hematuria did not correlate with an increase in the levels of the three cytokines. There was also no significant difference in the levels of cytokines among albuminuria groups. Serum TNF-! levels on the first day of treatment were able to predict AKI on the seventh day (AUC 85%; p=0.045; 95%CI 0.737-0.963), but did not predict the worsening of hematuria. Conclusion: There was a correlation between increased serum IL-10 with changes in serum creatinine. TNF-! on the first day of treatment can predict the incidence of AKI on the seventh day of treatment for moderate and severe COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Alfa Agustina
"Hematuria merupakan kondisi yang paling sering dijumpai pada kelainan ginjal atau saluran kemih. Hematuria didefinisikan sebagai adanya > 2 eritrosit/LPB atau > 12/?l pada pemeriksaan sedimen urin. Bagi klinisi, sangat penting mengetahui asal perdarahan tersebut karena berhubungan dengan prognosis dan tatalaksana pasien. Membran filtrasi glomerular bersifat selektif. Albumin merupakan komponen protein terbanyak di plasma, bermuatan negatif, tidak dapat melewati membran filtrasi glomerular karena adanya muatan negatif pada endotel glomerular. Pada kerusakan glomerular dapat terjadi gangguan muatan listrik endotel dan kerusakan struktur membran filtrasi sehingga menyebabkan proteinuria dan hematuria. Eritrosit juga berbentuk iregular akibat kerusakan dinding yang dikenal sebagai eritrosit dismorfik. Penelitian ini ingin melihat sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan urinalisis otomatis Sysmex UN-3000 dengan metode flow cytometry yang dapat menentukan morfologi eritrosit urin serta titik potong rasio albumin protein yang dapat membedakan asal hematuria. Desain penelitian ini adalah potong lintang dengan 44 subjek hematuria glomerular dan 43 subjek dengan hematuria non glomerular. Dengan menggunakan mesin Sysmex UN-3000 didapatkan sensitivitas 93,2 , spesifisitas 90,6 , nilai duga positif sebesar 91,1 , dan nilai duga negatif sebesar 92,87 untuk membedakan asal hematuria. Titik potong untuk rasio albumin kreatinin untuk membedakan asal hematuria adalah 310,39 mg/ gram kreatinin dengan sensitivitas 84,1 dan spesifisitas 83,7 . Titik potong untuk rasio protein kreatinin untuk membedakan asal hematuria adalah 723 mg/ gram kreatinin dengan sensitivitas 77,3 dan spesifisitas 76,7 . Titik potong rasio albumin protein untuk membedakan asal hematuria adalah 0,525 dengan sensitifitas 93,2 dan spesifisitas 74,4 . Pemeriksaan morfologi urin urin dengan metode flow cytometry dan pemeriksaan kadar rasio albumin protein urin mendapatkan hasil yang baik dan dapat membantu klinisi untuk membedakan sumber hematuria tersebut.

Haematuria is the most common condition in renal or urinary tract disorders. Haematuria is defined as 2 erythrocytes LPB or 12 l on urine sediment examination. For the clinician, it is important to know the origin of the bleeding because is related to the prognosis and management of the patient. The glomerular filtration membrane is selective. Albumin is the most abudant protein component in the plasma, negatively charged, unable to pass through the glomerular filtration membrane due to a negative charge on glomerular endothelium. In case of glomerular damage, disruption of endothelial electrical charges occurs and causing damage structure membrane of the glomerular filtration causing proteinuria and hematuria. Erythrocyte morphology also becomes irregular and known as dysmorphic erythrocytes. This study want to find the sensitivity and specificity of automatic urinalysis examination Sysmex UN 3000 with flow cytometry method that can determine the morphology of erythrocytes and the cut off point of albumin protein ratio which can differentiate the source of hematuria. The design of this study was cross sectional with 43 subjects of non glomerular hematuria and 44 subjects with glomerular hematuria. The sensitivity of erythrocyte morphology was 93,2 , specificity 90,6 , positive predictive value 91,1 , and negative predictive value 92,87 . The cut off point for albumin creatinine ratio was 334,4 mg g creatinine with 84,1 sensitivity and 83,7 specificity. The cutoff point for the protein creatinine ratio was 723 mg g of creatinine with 77,3 sensitivity and 76,7 specificity. The cut off point of the albumin protein ratio was 0,525 with 93,2 sensitivity and 74,4 specificity. Examination of erythrocyte morphology in urine with Flow Cytometry method and examination of albumin protein ratio have good results and can help clinicians to distinguish the source of hematuria.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cyril Muhammad
"ABSTRAK
Siklofosfamid merupakan obat antikanker yang umum digunakan dalam regimen kemoterapi untuk penyakit kanker payudara. Namun, penggunaan siklofosfamid dapat menyebabkan efek samping yaitu sistitis hemoragik yang dapat menyebabkan pendarahan saat berkemih dan berkembang menjadi kanker kandung kemih. Efek samping tersebut disebabkan oleh hasil samping dari metabolisme siklofosfamid yaitu akrolein. Akrolein akan diekskresikan melalui urin dalam bentuk metabolit yaitu 3-HPMA. Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran kadar 3-HPMA dalam urin pasien kanker. Sampel urin diambil 4 jam setelah pemberian siklofosfamid dan urinalisis dilakukan untuk melihat resiko terjadinya hematuria. Analisis dilakukan secara KCKUT-SM/SM fase terbalik yang dilengkapi dengan sistem deteksi spektrometri massa triple quadrupole ESI positif. Preparasi sampel dilakukan dengan pengasaman dan dilusi. Metode analisis yang digunakan linier dengan rentang analisis 40-10000 ng/mL untuk 3-HPMA. Hasil analisis kadar 3-HPMA dalam 40 pasien kanker menunjukkan hasil yang sangat bervariasi, dengan konsentrasi terukur berkisar antara 113-9495 ng/mL dan kadar ternormalisasi kreatinin berkisar antara 650-5596 ng/mg kreatinin.
Pasien dengan hasil positif hematuria menunjukkan rata-rata kadar 3-HPMA yaitu 4839 ng/mg kreatinin, sementara untuk pasien dengan hasil negative hematuria menunjukkan rata-rata kadar yaitu 2419,431 ng/mg kreatinin.

ABSTRACT
Cyclophosphamide is an alkylating agent commonly used in chemotherapy regimens for breast cancer, non-Hodgkins lymphoma, leukemia, and lung cancer. However, the use of cyclophosphamide can cause toxic side effects on the bladder, namely hemorrhagic cytitis which can cause hematuria and can later develop into bladder cancer. These side effects are caused by the byproduct of cyclophosphamide metabolism, acrolein. 3-HPMA is a stable metabolite of acrolein found in urine that serves as biomarker of acrolein. In this study, we developed a method to quantify 3-Hydroxy Propyl Mercapturic Acid (3-HPMA) in cancer patients urine. Urine samples were taken 4 hours after cyclophosphamide administration and urin alysis was done to observe the risk of hematuria. Analysis of 3-HPMA was performed by reversed phase UPLC-MS/MS equipped with triple quadrupole mass spectrometer positive ESI mode detection. The mobile phase used for analysis is 0,1% formic acid in water and in acetonitrile (90:10 v/v). The MRM was set at m/z 222.10>90.97 for 3-HPMA and 164.10 > 122.02 for the internal standard NAC. Sample preparation was done by acidification and simple dilution. The analytical method used is linear within the consentration range of 40-10000 ng/mL. The results showed varied levels of 3-HPMA in 40 cancer patients urine, with measured concentrations ranging from 113-9495 ng/mL and creatinine-adjusted levels ranging from 650-5596 ng/mg creatinine. Patients with positive results of hematuria showed 3-HPMA levels that were relatively high with mean level of 4839 ng/mg creatinine."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Nurahman
"ABSTRAK
Siklofosfamid (CPA) merupakan obat sitotoksik golongan agen pengalkilasi yang telah terbukti efektif penggunaannya dalam kemoterapi kanker payudara dan berbagai jenis limfoma. Sebagai prodrug, siklofosfamid harus dimetabolisme terlebih dahulu oleh enzim sitokrom P450, salah satunya adalah CYP2B6 yang bersifat sangat polimorfik. Selain itu, siklofosfamid juga dapat menyebabkan efek samping berupa sistitis hemoragik yang ditandai dengan hematuria dan dapat berkembang menjadi kanker kandung kemih. Efek samping tersebut disebabkan oleh salah satu metabolit dari siklofosfamid, yaitu akrolein. Akrolein akan dimetabolisme kembali menjadi beberapa metabolit, salah satunya adalah asam 3-hidroksipropil merkapturat (3-HPMA) yang berada di urin dengan kelimpahan yang paling banyak. Oleh karena itu, sifat toksik akrolein dapat dimonitor dari kadar 3-HPMA dalam urin. Namun, polimorfisme enzim CYP2B6 juga perlu dianalisis karena enzim tersebut merupakan salah satu enzim pertama yang mengubah siklofosfamid menjadi metabolitnya, yaitu 4-hidroksisiklofosfamid, yang nantinya akan diubah menjadi metabolit turunan lain. Skripsi ini memuat hubungan antara kadar 3-HPMA dalam urin, polimorfisme CYP2B6, dan kejadian hematuria setelah pemberian siklofosfamid beserta metode bioanalisisnya. Berdasarkan penelusuran literatur yang dilakukan, diperoleh bahwa KCKUT-SM/SM tipe ESI positif dengan metode preparasi sampel pengasaman dan dilusi menghasilkan hasil analisis kadar 3-HPMA dalam urin setelah pemberian siklofosfamid yang optimal. Selain itu, terdapat tipe polimorf CYP2B6 yang dapat meningkatkan hidroksilasi siklofosfamid sehingga kadar 3-HPMA juga dapat meningkat. Risiko kejadian hematuria turut bertambah tinggi seiring meningkatnya kadar 3-HPMA dalam urin. Skripsi ini dapat digunakan sebagai pertimbangan tenaga medis dalam pemberian siklofosfamid untuk meningkatkan efektivitas dan keamanan terapi.

ABSTRACT
Cyclophosphamide (CPA) is an alkylating agent cytotoxic drug that has been proved effective in breast cancer and many types of lymphoma chemotherapy. As a prodrug, cyclophosphamide needs to be metabolized by cytochromes P450 enzymes, like CYP2B6 which is a very polymorphic one. Cyclophosphamide can also cause hemorrhagic cystitis that defined by hematuria that can lead to bladder cancer. That adverse effect is caused by one of the metabolites of cyclophosphamide that is acrolein. Acrolein will be metabolized into some other metabolites, one of them is 3-hydroxypropyl mercapturic acid (3-HPMA) that has the biggest abundance in the urine. Thus, acrolein toxicity can be monitored from 3-HPMA concentration in urine. However, CYP2B6 polymorphisms also must be analyzed because CYP2B6 is one of the first enzymes that breakdowns cyclophosphamide into its metabolite, which is 4-hydroxycyclophosphamide, that also will be metabolized into some other derivatives. This thesis informs the correlation between 3-HPMA urine concentration, CYP2B6 polymorphisms, and hematuria occurrences after cyclophosphamide administration and its bioanalysis methods. After the literature review, I found that positive ESI mode LC-MS/MS with acidification and dilution sample preparation method produces an optimal result for the 3-HPMA urine concentration after cyclophosphamide administration. Also, there is a type of CYP2B6 polymorph that increases CPA 4-hydroxylation which can lead to the rising of 3-HPMA concentration. The risk of hematuria also increases with the rising of 3-HPMA concentration in urine. This thesis can be used by medical personnel as a consideration in cyclophosphamide administration to increase the effectiveness and safety of the therapy.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library