Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saptuti Chunaeni
"

 

ABSTRAK

 

Nama                        : Saptuti Chunaeni

Program Studi             : Program Doktor Ilmu Biomedik

Judul Disertasi             : Upaya Meningkatan Stabilitas Faktor VIII melalui

  Liofilisasi Produk Minipool Cryoprecipitate

  untuk Tatalaksana Penderita Hemofilia A di Indonesia.

Latar Belakang: Penderita Hemofilia di Indonesia sekitar 2.000 orang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Di Jabodetabek, 403 anak penderita hemofilia, 86% hemofilia A dan 54% diantaranya hemofilia A berat. Konsentrat F VIII digunakan untuk terapi sulih Hemofilia A, mahal, harus impor dan tidak selalu tersedia. Kriopresipitat sebagai terapi sulih alternatif, kandungan F VIII sedikit dan pemberiannya untuk segolongan darah. MC cair dari Mesir, dapat meningkatkan kandungan dan keamanan F VIII. Bentuknya cair dan suhu penyimpanan minus 30°C, sehingga perlu ditingkatkan stabilitasnya dengan liofilisasi menjadi MC kering.

Tujuan:Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui stabilitas dan keamanan MC kering lebih besar atau sama dengan MC cair.

Metode:Liofilisasi MC cair menjadi MC kering dilakukan agar lebih stabil dan dapat disimpan di suhu dingin (2-6°C) dan suhu ruang ( > 25°C). MC kering, ada yang ditambah eksipien (KE+) dan tanpa eksipien (KE-). Dilakukan uji banding stabilitas MC cair dan MC kering pada hari ke 0, 7, 30 dan 240, meliputi pemeriksaan kandungan F VIII, pH, osmolalitas dan kelarutan. Pemeriksaan keamanan MC cair menggunakan flowcytometri dan MC kering dengan hemaglutinasi dan kontaminasi bakteri.  

Hasil:MC Kering tanpa Eksipien (KE-) pada waktu penyimpanan 30 hari (T30) lebih tinggi F VIII-nya dibandingkan MC Kering dengan Eksipien (KE+) dan MC Cair. Namun pada waktu penyimpanan 240 hari (T240) penurunan F VIII pada KE- lebih banyak daripada KE+. Keamanan dengan memeriksa kontaminasi bakteri dan hemaglutinin pada MC kering sama dengan MC cair. 

Kesimpulan:MC kering tanpa eksipen yang disimpan pada suhu dingin dan suhu kamar, stabilitas kandungan F VIII sangat baik pada hari ke 30. Penambahan eksipien yang terlalu banyak, dapat menghancurkan protein yang terkandung di dalamnya. Keamanan MC kering sama dengan MC cair.

Kata kunci: F VIII, Hemofilia A, MC kering, Stabilitas.


ABSTRACT

 

Name                           : Saptuti Chunaeni

Programme of study   :Doctoral Program in Biomedical Science

Title                             :To Improve Stability of Factor VIII with Minipool

 Cryoprecipitate Lyophilized for Hemofilia a Treatment in

 Indonesia

 

 

Background:  There are about 2.000 hemophilia patients in Indonesia. Nowadays in

Jabodetabek alone, there are 403 children hemophilia mostly of 86% hemophilia A and 54% among them are of severe type.

Use of F VIII concetrate as a standard replacement therapy of hemophilia A, is expensive, needs to be imported from overseas and it is not always available. Cryoprecipitate as an alternative replacement therapy contains only a small yield F VIII and is only available for same blood group patients. Liquid minipool cryoprecipitate (MC) from Egypt can increase the F VIII content and safety. The MC, however is liquid and must be stored at – 30oC. Considering this, there is a need to improve the stability of F VIII by lyophilization procedure.

The aim of present study was to determine whether the stability and safety of dry MC was greater or equal to liquid MC.

Materials and Methods:Liquid of MC was lyophilized and was added excipients (KE+) or without excipient (KE-). Liyophilization is carried out to be more stable and can be stored at cold temperatures and room temperature. Tests on the stability on certain days (0, 7, 30 and 240.) including examination of F VIII content, pH, osmolality and solubility. Safety checks using flowcytometry and hemagglutination and bacterial contamination.

Results: Dry MC at T30 was higher in F VIII. At storage T240 the decrease in F VIII at KE- was more than KE +. The safety of a dry MC is the same as a liquid MC.

Conclusion: F VIII at KE- is better on T30. Adding excipients can destroy protein. The safety is the same.

Keywords:  F VIII, Hemophilia A, Lyophilized MC, Stability.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Arum Satiti
"Latar belakang: Pasien dengan hemofilia dan Von Willebrand (VWD) memiliki risiko infeksi terkait transfusi, salah satunya adalah infeksi hepatitis C (HCV). Skrining darah donor terbaru adalah nucleic acid testing (NAT) dengan window period 3 hari. Berdasarkan rekapitulasi pasien hemofilia dewasa di RS Cipto Mangunkusumo tahun 2012, ditemukan 38% mengalami infeksi HCV dan dua diantaranya sudah didiagnosis dengan sirosis hati. Pengobatan infeksi HCV secara dini dapat menurunkan risiko sirosis hati. Namun saat ini belum ada data mengenai proporsi infeksi HCV pada hemofilia dan VWD anak yang menggunakan NAT dan tidak menggunakan NAT untuk skrining darah donor.
Tujuan: Mengetahui proporsi infeksi HCV pada pasien hemofilia dan VWD anak yang tidak menggunakan skrining NAT dan yang menggunakan skrining NAT.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif yang dilakukan terhadap pasien hemofilia dan Von Willebrand (VWD) anak dengan riwayat transfusi komponen darah. Subyek penelitian dieksklusi bila memiliki riwayat penggunaan jarum suntik bergantian dan ibu dengan riwayat infeksi HCV C. Subyek penelitian dibagi menjadi kelompok tidak menggunakan skrining NAT dan menggunakan skrining NAT. Kemudian dilakukan pemeriksaan anti HCV pada tiap kelompok. Subyek dengan hasil anti HCV reaktif menjalani pemeriksaan HCV RNA. Kemudian dilakukan analisa risiko relatif (RR) antara penggunaan skrining NAT terhadap proporsi infeksi HCV.
Hasil: Studi dilakukan terhadap 108 subyek penelitian mendapatkan proporsi anti HCV reaktif pada kelompok yang tidak menggunakan skrining NAT sebesar 3,3% (3/91) dan pada kelompok yang mengguanakan skrining NAT sebesar 0% (0/17). Analisis hubungan antara penggunaan skrining NAT dan anti HCV reaktif ditemukan hasil RR = 1,034 (IK95% 0,996-1,074) dengan nilai P 0,448 dan kekuatan penelitian 8,3%. Hasil pemeriksaan HCV RNA tidak ditemukan virus pada kedua subyek dengan anti HCV reaktif.
Simpulan: Proporsi anti HCV reaktif pada kelompok dengan riwayat transfusi komponen darah yang tidak menggunakan skrining NAT lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang menggunakan skrining NAT. Namun hasil pemeriksaan HCV RNA tidak ditemukan virus pada seluruh subyek dengan anti HCV reaktif.
Title of the article : Hepatitis C Infection Related to Blood Transfusion in Children with Hemofilia and Von Willebrand Before and After the Implementation of Nucleic Acid Testing as the Method of Blood Donor Screening.
......Background: Patient with hemophilia and Von Willebrand (VWD) have an increased risk of acquiring transfusion transmitted infection (TTI). The latest technology of blood donor screening method were using nucleic acid testing (NAT). In 2012, there were 38% of adult with hemophilia acquiring hepatitis C infection in Cipto Mangunkusumo hospital and two of them had developed liver cirrhosis. Early initiation of therapy may prevent the progression of hepatitis C (HCV) infection into liver cirrhosis. Currently, there is no data regarding the incidence of HCV infection in children with hemophilia and VWD before and after the implementation of NAT for blood donor screening.
Aim: To determine the incidence of HCV infection in children with hemophilia and VWD who were not using NAT compares to the one who were using NAT as their blood screening method.
Method: It is a cohort retrospective study of children with hemophilia and VWD with history of blood transfusion. The exclusion criteria were personal history of sharing needle and having mother with history of HCV infection. Subjects were divided into the group of subjects who were using NAT and not using NAT for blood donor screening method. Anti HCV examination were performed on each group. HCV RNA examination were carried out only on subjects with reactive anti HCV result. Relative risk (RR) of using NAT related to the incidence of HCV infection were then calculated.
Results: Study in 108 subjects reported the incidence of reactive anti HCV in a group who were not using NAT around 2% (2/91) compared to other group who were using NAT around 0% (0/17). The association between NAT implementation and the incidence of HCV infection showed RR = 1.022 (CI95% 0.991-1.054) with P value of 0.54 and power of 8.4%. HCV RNA examination showed no virus were found on both subjects with reactive anti HCV.
Conclusion: The incidence of reactive anti HCV was higher in the group who were not using NAT compared to the other group who were using NAT as their blood screening method. However, HCV RNA showed no virus were found on all subjects with reactive anti HCV. It is recommended to consider NAT as screening method due to 3 subjects were found to have history of hepatitis C infection in current study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novie Amelia Chozie
"ABSTRAK
Hemartrosis berulang dan artropati merupakan morbiditas utama pada hemofilia A berat. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, terapi profilaksis dosis standar tidak terjangkau karena memerlukan biaya yang sangat mahal. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi profilaksis sekunder dosis rendah dibandingkan terapi on-demand pada anak hemofilia A berat.
Uji klinis acak terbuka selama 24 minggu telah dilakukan pada anak hemofilia A berat berusia 4?18 tahun dengan riwayat perdarahan sendi berulang, di Poliklinik Hematologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM. Subjek dialokasikan secara acak menjadi dua kelompok yaitu kelompok profilaksis dan on-demand. Kelompok profilaksis mendapat terapi faktor VIII 10 IU/kgBB 2 kali seminggu, sedangkan kelompok on-demand mendapat terapi sesuai protokol standar. Luaran primer adalah kekerapan perdarahan sendi dan luaran sekunder adalah skor HJHS) dan skor ultrasonografi (HEAD-US). Penelitian ini juga membandingkan kadar CTX-II urin dan inhibitor faktor VIII (Bethesda Assay) pada kedua kelompok.
Sejak bulan Juni 2015?Februari 2016 didapatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kekerapan perdarahan sendi pada kelompok profilaksis (5 ± 4,3) lebih baik dari pada kelompok on-demand (8 (3?30)), IK95% 0.9?6.99; p = 0,009. Perubahan skor HJHS pada kedua kelompok menunjukkan perbaikan klinis pada kelompok profilaksis dan perburukan pada kelompok on-demand, walaupun tidak bermakna secara statistik (IK95% -0.99?3; p = 0,320). Skor HEAD-US kelompok profilaksis lebih baik dibandingkan kelompok on-demand (IK95% 2? 8,81; p = 0,003). Perubahan kadar CTX-II urin pada kedua kelompok berbeda bermakna (IK95% 2.777?16.742; p < 0,001). Tidak didapatkan subjek yang terbentuk inhibitor faktor VIII pada kedua kelompok selama penelitian.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terapi profilaksis sekunder dosis rendah efektif mengurangi kekerapan perdarahan sendi, memperbaiki skor HEAD-US dan kadar CTX-II urin, dibandingkan terapi on-demand.

ABSTRACT
Repeated joint bleeds leading to irreversible progressive joint damage (hemophilic arthropathy) is the main problem in children with hemophilia. Current standard prophylacytic treatment in developed countries is beyond our capability as Indonesia has constraint resources. This study aimed to investigate the efficacy and safety of low dose secondary prophylaxis compare to on-demand treatment in children with severe hemophilia A.
An open, randomized controlled trial was conducted on severe hemophilia A children aged 4?18 years in Pediatric Hematology-Oncology Division Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital for 24 weeks. Eligible subjects were randomized into 2 groups: prophylaxis and on-demand group. All subjects were evaluated at week-0 and week-24 for inhibitor factor VIII (Bethesda Assay), ultrasonography (HEADUS scores) of six index joints (bilateral knees, ankles and elbows), HJHS (version 2.1, 2011) and urinary CTX-II (EIA). Subjects in prophylaxis group received factor VIII 10 IU/kgBW 2 times per week for 24 weeks. Any bleeding episodes in both groups were treated according to standard treatment (on-demand).
During June 2015?February 2016 there were 50 subjects enrolled in the study. Mean age in prophylaxis group was 12 ± 3.5 years and median age in on-demand group was 11.9 (6.518.2) years. Mean frequency of joint bleeds in prophylaxis group was 5 ± 4.3 compare to 8 (3?30) in on-demand group (95%CI 0.9?6.99; p = 0.009). Mean difference of HJHS between two groups was not significant (95% CI -0.99?3; p = 0.320). HEAD-US scores and urinary CTX-II in prophylaxis group was significantly better compare to on-demand group (95%CI 2?8.81; p = 0.003 and 95%CI 2,777?16,742; p < 0.001 respectively). No subjects showed showed inhibitor factor VIII in both groups.
We conclude that secondary low dose prophylaxis was effective to decrease joint bleeding episodes and improved HJHS scores, HEAD-US scores and urinary CTX-II, compared to on-demand treatment."
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library