Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salinah
"ABSTRAK
Latar Belakang: Kanker endometrioid merupakan keganasan ginekologi yang sering terjadi pada wanita. Hewan coba kanker endometrioid dengan karakteristik yang sesuai manusia diperlukan untuk memahami karsinogenesis secara molekular dan pengembangan terapi baru. p16INK4amerupakan gen supresor tumor yang ekspresinya menurun pada kanker endometrioid dan memiliki nilai prognostik. Ekspresi protein ini pada hewan coba diteliti untuk menilai kesesuaian dengan kanker endometrioid pada manusiaMetode: 15 blok parafin yang terdiri dari 5 jaringan uterus tikus normal, 5 jaringan uterus hiperlasia atipia dan 5 jaringan kanker endometrioid dilakukan pulasan imunohistokimia dan dinilai intesitas ekspresi p16INK4a dengan IHC profiler Image-J.Hasil dan Diskusi:Skor ekspresi p16INK4a meningkat bermakna pada kelompok hiperplasia dibandingkan dengan ekspresi pada kelompok normal p = 0,003 dan menurun bermakna pada kelompok kanker endometrioid dibandingkan kelompok normal p = 0,01 . Ekspresi berlebihan dari gen supresor tumor pada kelompok hiperplasia dapat merupakan salah satu mekanisme sel untuk mengurangi peningkatan proliferasi.Kesimpulan: Ekspresi tertinggi p16INK4a ditemukan pada hiperplasia endometrium dan menunjukkan ekspresi menurun hingga negatif pada kanker endometrioid yang sesuai dengan gambaran ekspresi pada manusia.

ABSTRACT
BackgroundEndometrioid cancer is one of the most common cancer in female. Animal model that representative to human endometrioid cancer is needed to develop new therapy and understanding molecular carcinogenesis. Decrease expression of p16INK4a, a tumor suppressor gene, is found in endometrioid cancer and has prognostic value. Expression of this protein in animal model was studied to evaluate its similarity with human endometrioid cancer.Method15 paraffin blocks of rat consist of 5 normal uterine tissues, 5 atypical hyperplasia of uterine tissues, and 5 endometrioid cancer tissues were stained for immunohistochemistry analysis of p16INK4a expression by using IHC profiler Image J software.Result and DiscussionExpression score of p16INK4a was significantly increase in hyperplasia group compared to normal group p 0,003 and decrease significantly in endometrioid cancer group compared to normal group p 0,01 . Excessive expression of p16INK4a in hyperplasia group is one of cells mechanism to reduce proliferation activity.ConclusionHighest expression of p16INK4a was found in hyperplasia group and decrease to negative expression in endometrioid cancer group. These patterns was similar to human endometrioid cancer."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Haris
"Latar belakang dan tujuan: Infark miokardium merupakan salah satu penyumbang kematian terbesar di Dunia. Evaluasi ukuran akhir infark merupakan prediktor kuat untuk menentukan prognosis pada pasien dengan infark miokardium. Saat ini belum ada penelitian infarct model pada hewan coba (babi) yang membandingkan pengukuran area infark miokardium dengan menggunakan metode MRI di Indonesia. Metode : Eksperimental 13 sampel dengan pembuatan infarct model. Pengukuran massa dan ukuran infark miokardium dilakukan setelah 6-8 minggu perlakuan dengan menggunakan metode LGE MRI dan hitung massa dengan timbangan secara manual dissection. Data dianalisis dengan uji Wilcoxon, kemudian ketepatan data dipertajam dengan analisis berulang secara intraclass correlation (ICC). Hasil: Massa area infark menurut MRI 4,62 gr (2,58 gr-14,08 gr) vs massa area infark menurut manual dissection 7,68 gr (2,31 gr -17,99 gr), dengan p = 0,093, dengan nilai korelasi yang rendah pada uji ICC (r value 0,084). Ukuran area infark menurut MRI 3,20 % (1,68 %-12,01%) vs ukuran area infark menurut manual dissection 4,48 % (1,23 % - 9,19 %), dengan p = 0,721, dengan nilai korelasi yang rendah pada uji ICC (r value 0,17), tidak ada perbedaan bermakna pada pengukuran MRI dibandingkan dengan manual dissection pada timbangan, akan tetapi memiliki korelasi yang rendah. Simpulan: Pada penelitian ini perhitungan massa infark maupun ukuran infark antara metode MRI dan hitung massa (timbangan) secara manual dissection tidak setara. Metode manual dissection yang dilakukan pada penelitian ini tidak ideal dalam perhitungan massa maupun ukuran infark miokardium.

Background: Myocardial infarct is one of the most prevalent causes of death worldwide. Evaluation of the resulting infarction area is a strong predictor for the prognosis of patients post myocardial infarction (MI). At the moment, there has not been a study in Indonesia that compares magnetic resonance imaging (MRI) and direct mass weighing in a porcine model. Methods: 13 samples were made using an infarct porcine model. Measurements of MI weight and infarct size were conducted 6 to 8 weeks after coronary artery ligation using both LGE MRI and direct mass weighing following manual dissections. Data were tested using Wilcoxon test, and further analyzed using intraclass correlation (ICC). Results: Infarct area weight calculation using MRI averaged 4,62 gr (2,58 gr -14,08 gr) while infarct area weight calculation using mass weighing averaged 7,68 gr (2,31 gr-17,99 gr), with p = 0,093, with a very low correlation score from ICC test (r value 0,084). Infarct size area calculation using MRI averaged 3,20 % (1,68 %-12,01%) while infarct size calculation using mass weighing averaged 4,48 % (1,23 % - 9,19 %), with p = 0,721, with a very low correlation score from ICC test (r value 0,17) Conclusion: The results between infarct area weight and infarct size using MRI with mass weighing after manual dissection was not comparable. Manual dissection method that has been used in this study was not ideal to calculate myocardial infarct area weight and myocardial infarct size."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Giselvania
"Latar Belakang: Spatially Fractionated Grid Radiotherapy (SFGRT) dilaporkan berperan dalam tatalaksana tumor berukuran besar, termasuk karsinoma sel hati (KSH). Namun, pengetahuan mekanisme kerja SFGRT masih terbatas. Studi hewan coba besar dapat bermanfaat untuk menambah bukti ilmiah, dimana studi ini merupakan studi pertama induksi KSH dengan N-Diethylnitrosamine (DENA) pada babi domestik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pola kematian sel, efek bystander, efek abscopal, serta respons imun dari SFGRT pada hewan coba besar dengan KSH.
Metode: Uji eksperimental dilakukan pada 10 babi domestik (Sus scrofa domesticus) yang diinduksi dengan injeksi DENA 15 mg/kgBB dan fenobarbital (PB) 4 mg/kgBB. Subjek dievaluasi secara periodik menggunakan USG, CT scan, analisa darah. Diagnosis KSH ditegakkan dengan pemeriksaan imaging dan histopatologi. Subjek dirandomisasi sebagai kontrol negatif, kontrol positif, penerima intervensi SFGRT1x20 Gy dosis tunggal, atau penerima intervensi radiasi lengkap SFGRT 1x20 Gy + Stereotactic Body Radiotherapy (SBRT) 3x8 Gy. Pemeriksaan flowcytometryAnnexin dilakukan untuk melihat pola kematian sel, dan biomarker TNF-a, IFN-ɣ, FOXP3 untuk melihat respons jaringan tumor dan jaringan hati di dalam dan di luararea radiasi.
Hasil: Karsinogenesis berhasil pada seluruh subjek setelah 15-22 bulan induksi, berupa KSH dan angiosarkoma hepatik. Peningkatan FOXP3 diamati pada subjek yang mengalami keganasan dibandingkan kontrol negatif, sementara TNF-a dan IFN-ɣ mengalami penurunan. Pemeriksaan Annexin menunjukkan rendahnya jumlah sel viabel signifikan pada perlakuan radiasi lengkap SFGRT+SBRT (18.65%) dibandingkan grup SFGRT saja (63,13%-89,09%). Sel viabel tumor di luar area radiasi juga terdapat penurunan, menunjukkan kemungkinan efek bystander. EkspresiFOXP3 mengalami penurunan dan terjadi peningkatan %CD8+ pasca perlakuanradiasi.
Kesimpulan: Induksi KSH pada babi domestik dapat dilakukan dengan pemberian DENA+PB dengan periode latensi 15-22 bulan. Penurunan jumlah sel viabel secara signifikan tampak pada kelompok perlakuan radiasi lengkap (SFGRT 1x20Gy + SBRT 3x8Gy) dengan jalur apoptosis pada area di dalam dan di luar area radiasi yang menunjukkan peran efek bystander/abscopal. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Gideon Hot Partogi
"Pendahuluan: Gangguan pendengaran sensorineural (GPSN) merupakan penyakit kronis yang insidennya meningkat seiring dengan pertambahan usia. Implantasi koklea menjadi tatalaksana utama dengan kalibrasi menggunakan prosedur baku emas yaitu audiometer nada murni (PTA) yang bersifat subjektif. Akan tetapi, PTA tidak dapat dilakukan pada pasien yang kurang kooperatif dan kebingungan akibat demensia, seperti pada pasien geriatrik sebagai mayoritas pasien GPSN. Pengukuran objektif lainnya dapat dilakukan dengan mendeteksi auditory evoked potential (AEP) yang direkam pada batang otak menggunakan stimulus listrik (E-ABR) dan kortikal melalui perekaman local field potential (LFP). Namun, belum terdapat penelitian yang merekam AEP menggunakan elektrode intrakortikal serta membandingkan dan mengkorelasikan ambangnya dengan respons batang otak. Penelitian ini bertujuan sebagai pemodelan awal kasus tuli didapat dengan implan koklea untuk mengevaluasi ambang respons auditorik pada batang otak, korteks auditorik primer (A1), dan posterior auditory field (PAF) menggunakan hewan coba kucing. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari perbedaan bermakna antara ambang respons auditorik kortikal menggunakan metode perbandingan amplitudo pre-stimulus-post-stimulus (Z-score) dan inter-trial phase coherence (ITPC).
Metode: Perekaman dilakukan pada 5 ekor kucing dengan implan koklea yang ditulikan terlebih dahulu dengan injeksi neomisin interskalar. Respons auditorik batang otak direkam menggunakan elektrode permukaan, sedangkan respons auditorik kortikal direkam menggunakan elektrode intrakortikal dalam kondisi teranestesi isoflurane. Ambang respons auditorik ditetapkan menggunakan metode Z-score dan ITPC, sedangkan ambang respons auditorik batang otak ditetapkan dengan metode ITPC karena kurangnya data pre-stimulus.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada ambang respons auditorik kortikal menggunakan metode Z-score dan ITPC (p = 0,455). Terdapat perbedaan bermakna antara ambang respons auditorik batang otak dan kortikal (p<0,001), dengan median paling kecil pada batang otak dan terbesar pada PAF. Korelasi positif yang bermakna juga ditemukan antar keseluruhan titik perekaman, dengan korelasi terbesar secara kortikokortikal A1 dan PAF (r=0.835, p<0.001).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa pengukuran ambang respons auditorik batang otak dan kortikal secara objektif memiliki potensi dalam aplikasi klinis untuk menilai kesuksesan implantasi koklea pasien tuli didapat. Peningkatan ambang respons auditorik sepanjang jaras pendengaran menunjukkan kompleksitas jaras pendengaran.

Introduction: Sensorineural hearing loss (SNHL) is a chronic disease whose incidence increases with age. The primary treatment of SNHL is cochlear implantation with the subjective pure-tone audiometer (PTA) as the gold standard calibration procedure. However, PTA cannot be performed on patients who are less cooperative and confused due to dementia, such as geriatric patients, who make up the majority of SNHL patients. Another objective test is to detect auditory evoked potentials (AEP) recorded in the brainstem (E-ABR) and auditory cortex via the brain local field potential (LFP) using electric stimulus. However, no studies have used intracortical electrodes to record AEP as well as compare and correlate its threshold with auditory brainstem response. This study aims as an early model of acquired deafness with cochlear implant to evaluate auditory responses in the brainstem, primary auditory cortex (A1), and posterior auditory field (PAF) using cats as an animal model. In addition, this study also aims to compare the cortical auditory response threshold determined using the pre-stimulus-post-stimulus amplitude comparison (Z-score) and inter-trial phase coherence (ITPC) methods.
Method: Recording was performed on 5 cochlear implanted cats, previously deafened using interscalar neomycin injection. Brainstem auditory responses were recorded using surface electrodes, while cortical auditory responses were recorded using intracortical electrodes under isoflurane anaesthetic. The auditory response threshold was determined using the Z-score and ITPC methods, while the brainstem auditory response threshold was determined using the ITPC method due to the lack of pre-stimulus data.
Result: There was no significant difference in the cortical auditory response threshold using the Z-score and ITPC methods (p = 0.455). There was a significant difference between the brainstem and cortical auditory response thresholds (p<0.001), with the smallest median in the brainstem and the largest in PAF. A significant positive correlation was also found at all recording points, with the largest positive correlation found between A1 and PAF (r=0.835, p<0.001).
Conclusion: This study demonstrates that objective measurements of brainstem and cortical auditory response thresholds have the potential to be used to evaluate the success of cochlear implantation in patients with acquired hearing loss. An increase in the auditory response threshold along the auditory pathway indicates
complexity in the auditory pathway.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library