Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
617.51 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurbaiti Iskandar
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
617.51 NUR i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurbaiti Iskandar
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
617.51 UNI t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Melina Tiza Yanuardani
Abstrak :
Pendahuluan: Ukuran anatomi nostril normal mendapat sedikit perhatian pada bayi usia kurang dari dua tahun. Gagasan tentang hidung yang ideal adalah penting untuk rekonstruksi daerah ini, terutama untuk bibir sumbing dan perbaikan hidung. Metode: Dilakukan studi potong lintang. Aspek basal foto diambil dari screen capture video. Sepuluh antropometri lubang hidung diukur dan dianalisa menggunakan software Image J. Hasil dibandingkan secara statistik menggunakan uji t dua sisi dan koefisien korelasi dihitung. Hasil: 156 subjek (usia rata-rata, 9,5 bulan; anak perempuan, n: 72 dan anak laki-laki, n: 84; Deutero Melayu ras, n: 127 dan ras lainnya, n: 29). Tidak terjadi perbedaan bermakna (p> 0,05) pada ras Deutero Melayu dan ras lain, yaitu tonjolan tip hidung, panjang alar, ketebalan alar, lebar dan panjang collumella, lebar sill. Lebar dasar alar, lebar sub alar, lebar anatomi dan lebar morfologi hidung secara signifikan lebih pamjang pada ras Deutero Melayu dibandingkan dengan ras lainnya (p <0,05). Pada usia kurang dari 9 bulan bayi ras Deutero Melayu, setiap kelompok usia (0-3, 4-6, 7-9), terdapat peningkatan nilai lebar lubang hidung 0,77- 1,04 mm dan nilai tinggi lubang hidung 0,4-0,54 mm. Pada ras Deutero Melayu, semua pengukuran nostril berkorelasi positif dengan usiadan berat badan (p<0,05). Kesimpulan: Morfologi normal nostril pada populasi bayi Indonesia kurang dari 2 tahun sudah dideskripsikan. Dengan menyediakan data referensi dari morfometrik lubang hidung yang normal pada bayi Indonesia, dapat menjadi pedoman untuk pengobatan sumbing atau rekonstruksi bayi Indonesia. ......Introduction: Indonesian normal nostril anatomy has received little attention in infants younger than 2 year. The notion of an ideal nose is critical to reconstruction, especially for cleft lip and nose repair. Methods: A cross sectional study was performed. Basal aspect images taken from screen capture of the video. Ten anthropometric measurements of the nostril were measured and analyzed with Image J software. Results were compared statistically using the two-tailed t test and correlation coefficients were calculated. Results: 156 infants were included (median age, 9,5 months; girls, n:72 and boys, n: 84; Deutero Malay race, n:127 and other race, n: 29). Measurements were similar (p>0.05) in Deutero Malay races and other races, included nasal tip protrusion, alar length, ala thickness, collumella width and length, sill width.Alar base width, sub alar width, anatomical width andmorphological width of nose were significantly longer in Deutero Malay race than in other race (p<0.05). In under 9 months old Deutero Malay infant, everyage group (0-3, 4-6, 7-9) were increase their sill width value 0,77- 1,04 mm and nostril height value 0,4-0,54 mm. Measurements of Deutero Malay race were correlated positively with age and weight (p < 0.05). Conclusion: Normal nostril morphology is described in a population of Indonesian infants. By providing reference data of normal nostril morphometric in Indonesian infants, it can guuide the cleft treatment or reconstruction of the Indonesian infant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Melati
Abstrak :
Salah satu penyebab hidung tersumbat adalah disfungsi katup hidung, baik akibat kolapsnya katup hidung luar KHL atau sempitnya katup hidung dalam KHD. Namun hal ini belum ada data di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan besar sudut KHD dan tahanan udara hidung TUH dengan penilaian subjektif hidung tersumbat pada orang Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya dan menjelaskan peran KHD pada ras Asia, khususnya orang Indonesia. Studi kasus kontrol terdiri atas 40 kasus hidung tersumbat dan 80 kontrol tanpa keluhan hidung tersumbat. Kedua kelompok dilakukan penilaian subjektif dengan kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation NOSE. Penilaian objektif terdiri atas pengukuran besar sudut KHD dengan nasoendoskopi dan TUH dengan rinomanometri aktif anterior. Penelitian ini mendapatkan besar sudut KHD kanan kelompok kasus sebesar 15,5 10,1 p = 0,123 dan sudut KHD kiri 17,2 9,0 p = 0,022. Pada kelompok kontrol, sudut KHD kanan 19,6 11,8 p = 0,123 dan sudut KHD kiri 23,2 12,5 p = 0,022. Studi ini mendapatkan bahwa kombinasi besar sudut KHD kanan ndash; kiri dan total TUH saja, tidak mampu berdiri sendiri untuk menjelaskan hubungannya terhadap fenomena kompleks hidung tersumbat yang dinilai menggunakan kuesioner NOSE. Penilaian hidung tersumbat perlu mempertimbangkan faktor lain, yaitu dinamika fisiologis dan kelainan mukosa lainnya seperti kondisi konka inferior, adanya septum deviasi yang menyempitkan area KHD, kelapangan kavum nasi, keberadaan/kondisi NSB, dan bentuk KHD setiap lubang hidung, sebagai sebuah kesatuan.
One of the cause for nasal obstruction is nasal valve dysfunction, which may happen due to collapsing external nasal valve ENV or narrowing of the internal nasal valve INV angle. There is no published data in Indonesia, in regards to this matter. This thesis aims to investigate the relation of INV angle and nasal airway resistance NAR in regards to subjective complaint of nasal obstruction in Indonesian. This thesis also hope to contribute as basic data for future studies and may provide explanation about the role of INV in Asian, especially Indonesian. A case control study was conducted with 40 cases of nasal obstruction and 80 controls without nasal obstruction. Both groups' subjective evaluation was examined using Nasal Obstruction Symptom Evaluation NOSE quessionaire. Objective assessments such as INV angle using nasoendoscopy and NAR using active anterior rhinomanometry. The right INV angle in case group was 15,5 10,1 p = 0,123 and left INV angle was 17,2 9,0 p = 0,022. In the control group, the right INV angle was 19,6 11,8 p = 0,123 and left INV angle was 23,2 12,5 p = 0,022. This study shows the combination of right-left INV angle and total NAR alone are not sufficient to explain the complex phenomena of nasal obstruction which was measured using NOSE questionnaire. Nasal obstruction evaluations should consider other factors such as the physiology dynamics and other mucosal state such as the inferior turbinate's condition, presence of septal deviation which narrowed the INV area, wide nasal cavity, presence of NSB and the shape of INV in each nostril as a unit.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rafif Hanif Harmadi
Abstrak :
Perkembangan teknologi yang begitu cepat, menyebabkan terciptanya banyak tantangan dalam bidang transportasi, salah satunya pada kereta cepat. Pada saat kereta cepat memasuki terowongan, akan terjadi perubahan tekanan yang begitu drastis, Hal ini tentunya akan berdampak bagi penumpang, dan juga kondisi kereta. Oleh karena itu diperlukannya metode untuk mengurangi besarnya beban terhadap fenomena perubahan tekanan di dalam terowongan. Salah satu cara mengurangi beban ini adalah dengan mengubah panjang nose kereta cepat. Pada penelitian ini dilakukan pengaruh panjang hidung kereta cepat saat memasuki terowongan terhadap koefisien drag dan perubahan tekanan. Analisis melakukan metode computational fluid dynamics (CFD) menggunakan ANSYS FLUENT dengan variasi panjang nose 9,12, dan 15 meter. Hasil simulasi menunjukkan bahwa semakin panjang hidung kereta cepat semakin kecil tekanan dan drag yang dihasilkan. Untuk nilai koefisien drag terdapat perubahan sebesar 7 % dari panjang hidung 9 meter ke 12 meter, dan 5,5 % dari panjang hidung 12 ke 15 meter. ......The rapid development of technology has created many challenges in the field of transportation, one of which is the high-speed train. When the high-speed train enters the tunnel, there will be a drastic change in pressure, this will certainly have an impact on passengers, as well as the condition of the train. Therefore we need a method to reduce the magnitude of the load on the phenomenon of pressure changes in the tunnel. One way to reduce this load is to change the nose length of the high speed train. In this study, the effect of the nose length of the fast train when entering the tunnel was carried out on the drag coefficient and pressure changes. The analysis performed a computational fluid dynamics (CFD) method using ANSYS FLUENT with variations in nose length of 9,12, and 15 meters. The simulation results show that the longer the nose of the fast train, the smaller the pressure and drag generated. For the drag coefficient value, there is a change of 7 % from a nose length of 9 meters to 12 meters, and 5.5% from a nose length of 12 to 15 meters.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ballenger, John Jacob
Jakarta : Binarupa Aksara, [date of publication not identified]
617.51 BAL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Masrin Munir
Jakarta: UI-Press, 2002
PGB 0208
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Hartono Abdoerrachman
Jakarta: UI-Press, 1998
PGB 0138
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Chandra
Abstrak :
Latar Belakang: Penelitian mengenai petanda inflamasi akut terkait pajanan uap las pada pekerja las sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, tidak semua penelitian tersebut sepakat terjadi perbedaan jumlah petanda inflamasi akut sesudah terpajan uap las. Penelitian ini ingin mengetahui apakah terjadi perbedaan jumlah petanda inflamasi akut akibat pajanan uap las dengan sel netrofil mukosa hidung sebagai petanda inflamasinya. Metode:Pada penelitian longitudinal ini, 110 pekerja di sebuah perusahaan pembuat knalpot diperiksa jumlah sel netrofil mukosa hidungnya sebelum dan sesudah terpajan uap las serta diukur kadar logam Kromium, Besi, Mangan, dan Aluminium dalam darah pada 40 pekerja diantaranya. Dilakukan pengukuran kadar logam Cr, Fe, Mn, dan Al di lingkungan kerja untuk menilai kadar pajanan. Hasil:Pengukuran lingkungan menunjukkan kadar Kromium, Besi, Mangan, dan Aluminium udara berada di bawah Nilai Ambang Batas. Sel netrofil sediaan apus sebelum dan sesudah terpajan uap las 8 jam sama – sama berjumlah 2 sel/10 lpk (p = 0,233). Pada penelitian ini juga ditemukan kadar dalam darah logam Cr sebesar 1,03 µg/l; logam Fe sebesar 283.787,73 µg/l; logam Mn sebesar 14,96 µg/l; dan logam Al sebesar 25,68 µg/l. Kesimpulan:Tidak ditemukan perbedaan jumlah sel netrofil mukosa hidung yang bermakna secara statistik akibat pajanan uap las. ......Background and Objective: Many studies about acute inflammation marker regarding metal fume exposure have been conducted but not all agree that metal fume exposure will raise acute inflammation response. One of the acute inflammation markers is nasal mucous neutrophil and this study was conducted to investigate the difference of neutrophil count after being exposed to metal fume as acute inflammation response. Methods: This study used a longitudinal design with 110 welders as subjects. Nasal mucous neutrophil data was collected before and after 8 hours metal fume exposure. Metal fume (i.e. Chromium, Iron, Manganese, and Aluminum) exposure in the work place was measured with AAS while blood metal level in 40 subjects among them was with ICP-MS. Results: Chromium, Iron, Manganese, and Aluminum fume level in the work place was under Threshold Limit Value while Chromium, Iron, Manganese, and Aluminum blood level was 1,03 µg/l; 283.787,73 µg/l; 14,96 µg/l; and 25,68 µg/l respectively.Neutrophil count before and after 8 hours metal fume exposure didn’t show any difference with statistically significance (p = 0,233) Conclusions: There was no statistical significant increase of nasal mucous neutrophil regarding metal fume exposure
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>