Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Josef Parsaulian
"Di negara-negara maju kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak yang didapatkan pada laki-laki dan memperlihatkan peningkatan sejak 40 tahun yang lalu, jauh melebihi kanker lain. Sementara Kekerapan kanker paru belakangan ini mulal menunjukkan kecenderungan menurun menyusul menurunnya konsumsi rokok yang dianggap salah satu penyebab terjadinya kanker paru untuk negara-negara maju.
Di Indonesia menunjukkan hal yang sebaliknya dengan makin banyaknya ditemukan penderita kanker paru dan 80% dari penderita ini adalah perokok. Dikatakan pula lingkungan udara yang tercemar oleh hasil gas buang baik dari pabrik ataupun kendaraan yang makin banyak, merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya kanker paru. Khusus untuk kita di Indonesia dimana masih tingginya kasus Tuberkulosa paru maka lesifibrotik pada jaringan paru, dapat sebagai prediksi timbulnya kanker paru.
Meskipun belum dapat dipastikan faktor mana yang paling berperan tetapi berbagai faktor ini mempertinggi resiko seseorang mendapatkan kanker paru. Di Jakarta sendiri kanker paru menduduki urutan ke 3 atau 4 diantara 10 jenis tumor ganas yang paling sering ditemukan. (16)
Didalam penatalaksanaan kasus kanker paru penting diketahui a) jenis kanker (histopatologis) b) derajat (stadium) penyakit dan c) tampilan (performance status) penyakit tersebut. (16)
Bidang radiologi mempunyai peranan yang sangat besar pada penatalaksanaan ini baik dalam diagnosa maupun untuk penentuan derajat atau stadium penyakit.
Dalam penentuan derajat penyakit ini harus ditentukan eksistensi tumor serta perluasannya, terlibat atau tidaknya kelenjar getah bening dan kemungkinan adanya metastase. Banyak jenis pemeriksaan radiologis yang dapat dimanfaatkan untuk hal ini baik pemeriksaan konvensional ataupun pemeriksaan yang bersifat invasif.
Tomografi komputer merupakan jenis pemeriksaan yang penting dalam bidang radiologi. Dikatakan jenis pemeriksaan ini selain bersifat tidak invasif juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis pemeriksaan yang lain, baik didalam mengambarkan eksistensi massa tumor serta perluasannya maupun menilai kemungkinan adanya pembesaran kelenjar getah bening serta metastase."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kaka Renaldi
"ABSTRAK
Latar belakang: Sejak tahun 1980 Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IPD FKUI/RSCM) membuat kriteria derajat gastritis kronik berdasarkan gambaran esofagogastroduodenoskopi (EGD) adanya hiperemis dan erosi. Kriteria derajat gastritis kronik ini banyak digunakan di seluruh Indonesia namun kriteria tersebut belum pernah dilakukan uji diagnostik.
Tujuan: Mendapatkan akurasi diagnostik derajat gastritis kronik berdasarkan pemeriksaan EGD dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi.
Metode: Penelitian ini merupakan uji diagnostik derajat gastritis kronik berdasarkan hasil pemeriksaan EGD pada pasien yang memiliki indikasi, dibandingkan dengan gambaran histopatologi sebagai pemeriksaan baku emas yang dilakukan di Pusat Endoskopi Saluran Cerna (PESC) Divisi Gastroenterologi Departemen IPD FKUI/RSCM dari Oktober 2014 hingga Februari 2015. Uji diagnostik yang dilakukan ada 2 yaitu uji diagnostik gastritis sedang - ringan dan berat - sedang. Masing-masing uji diagnostik di atas, ditampilkan parameter-parameter uji diagnostik berupa sensitivitas (Se), spesifisitas (Sp), nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), serta rasio kemungkinan (RK) positif dan negatif. Seluruh parameter di atas menyertakan interval kepercayaan 95% (IK 95%).
Hasil Penelitian: Dari 230 subjek didapatkan karateristik penelitian perempuan lebih banyak dari laki - laki dengan perbandingan 3:2, terdapat merata pada semua kelompok usia, DM 23%, hipertensi 36,5% dan infeksi H.pylori 2,6%. Hasil uji diagnostik gastritis ringan - sedang: Se 0.95 (IK 95% 0.87-0.98), Sp 0.96 (IK 95% 0.86-0.99), NDP 0.97 (IK 95% 0.89-0.99), NDN 0.94 (IK 95% 0.84-0.98), RK Positif 23.39 (IK 95% 6.09- 89.74) dan RK Negatif 0.05 (CI 95% 0.02-0.14). Hasil uji diagnostik gastritis sedang - berat: Sensitivitas 0.93 (IK 95% 0.82-0.98), Spesifisitas 0.94 (IK 95% 0.86-0.98), Nilai Duga Positif 0.91 (IK 95% 0.79-0.96), Nilai Duga Negatif 0.96 (IK 95% 0.88-0.99), Rasio Kemungkinan Positif 16.54 (IK 95% 6.32-43.28) dan Rasio Kemungkinan Negatif 0.05 (CI 95% 0.02-0.21).
Kesimpulan: Pemeriksaan EGD memiliki akurasi yang baik untuk menegakkan diagnosis derajat gastritis kronik.

ABSTRACT
Background: Since 1980, Division of Gastroenterology Department of Internal Medicine FKUI/RSCM had made a criteria for chronic gastritis grading based on hyperemic and erosion that are found in gastric?s mucosa based on esophagogastroduodenoscopy (EGD) examination. This criteria is used nationwide all over Indonesia but until now there is no diagnostic study for chronic gastritis grading based on EGD examination compare to histopathology examination as the gold standard.
Purpose: To get diagnostic accuracy of chronic gastritis grading based on EGD compared to histopathology.
Methods: This research is a diagnostic study about chronic gastritis grading by EGD from patients that had indication for, compared to histophatology as a gold standard in gastrointestinal endoscopy room Division of Gastroenterology Department of Internal Medicine FKUI/RSCM from October 2014 to February 2015. There will be 2 diagnostic study, mild to moderate gastritis and severe to moderate gastritis diagnostic study. For every diagnostic study, the parameters that will be showed are Sensitivity (Se), Specificity (Sp), Possitive Predictive Value (PPV), Negative Predictive Value (NPV), Possitive Likelihood Ratio and Negative Likelihood Ratio (NLR). The 95% confidence interval will be included.
Results: Of 230 subjects, there were more women than men with ratio 3:2, age didn?t affect the grading of chronic gastritis, type 2 diabetes was found in 23% patients, hypertension was found in 36,5% patients and H.pylori infection in only 2.6% patients. The results for mild to moderate gastritis : Sensitivity 0.95 (CI 95% 0.87-0.98), Specificity 0.96 (CI 95% 0.86-0.99), Possitive Predictive Value 0.97 (CI 95% 0.89- 0.99), Negative Predictive Value 0.94 (CI 95% 0.84-0.98), Possitive Likelihood Ratio 23.39 (CI 95% 6.09-89.74), and Negative Likelihood Ratio 0.05 (CI 95% 0.02-0.14). The results for moderate to severe gastritis : Sensitivity 0.93 (CI 95% 0.82-0.98), Specificity 0.94 (CI 95% 0.86-0.98), Possitive Predictive Value 0.91 (CI 95% 0.79-0.96), Negative Predictive Value 0.96 (CI 95% 0.88-0.99), Possitive Likelihood Ratio 16.54 (CI 95% 6.32-43.28), and Negative Likelihood Ratio 0.05 (CI 95% 0.02-0.21).
Conclusion: Esophagogastroduodenoscopy feature has good accuracy to diagnose the grading of chronic gastritis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58689
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rianti Maharani
"ABSTRAK
Prevalensi kolitis ulseratif semakin meningkat dari tahun ketahun. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (EEDMD) terhadap gambaran histopatologi dan  ekspresi TNF-α, COX-2, dan NF-κβ pada jaringan kolon mencit Swiss berusia 20 minggu yang diinduksi dengan Dextran Sodium Sulfat (DSS) 2% melalui air minum. EEDMD dosis 100 mg, 200 mg, 300 mg, aspirin 0,21 mg, diberikan per oral selama 2 minggu. Pemeriksaan kandungan EEDMD menunjukan kadar total fenol sebesar 4,4103% atau 44,103 mgGAE/g ekstrak, kadar flavonoid sebesar 0,3429% atau 3,429 mgQE/g ekstrak, dan memiliki aktivitas antioksidan sedang (IC50 sebesar 219,716 µg/mL). Pemeriksaan histopatologi pada jaringan kolon mencit dinilai dengan mengkuantifikasi jumlah radang dan rerata sel goblet pada jaringan kolon yang diwarnai hematoksilin-eosin. Pemberian EEDMD pada semua dosis menunjukan perbedaan bermakna pada jumlah radang (p<0,00) dan rerata sel goblet (p<0,00). Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk melihat ekspresi TNF-α, COX-2. NF-κβ. Sel positif mengekspresikan TNF-α, COX-2, dan NF-κβ dihitung/1000 sel epitel. Hasil menunjukan EEDMD mampu menurunkan ekspresi TNF-α secara signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif. Sedangkan pada COX-2 (p<0,80) dan NF-κβ (p<0,90) tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

ABSTRACT
Ulcerative colitis prevalence increases from year to year. The purpose of this research to see the effect of Ethanol Extract of Mahkota Dewa Leaves (EEDMD) on histopathology and expression of TNF-α, COX-2, and NF-κβ on 20-week Swiss mice tissue induced with 2% Dextran Sodium Sulfate (DSS) through drinking water. EEDMD dose 100 mg, 200 mg, 300 mg, aspirin 0.21 mg, given orally for 2 weeks. Examination of EEDMD content showed total phenol levels of 4.4103% or 44.103 mgGAE / g extract, flavonoid levels of 0.3429% or 3.429 mgQE / g extract, and had moderate antioxidant activity (IC50 of 219.716 µg / mL). Histopathological examination of mice colon tissue was assessed by quantifying the amount of inflammation and the mean of goblet cells in colon tissue stained by hematoxylin-eosin. Giving EEDMD at all doses showed a significant difference in the number of inflammation (p <0.00) and mean goblet cells (p <0.00). Immunohistochemical examination was performed to see the expression of TNF-α, COX-2. NF-κβ. Positive cells express TNF-α, COX-2, and NF-κβ counts / 1000 epithelial cells. The results showed that EEDMD significantly reduced TNF-α expression compared to negative controls. Whereas in COX-2 (p <0.80) and NF-κβ (p <0.90) there were no significant differences."
2019
T52377
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmadi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Diagnosis Inflammatory Bowel Disease (IBD) masih didasarkan pada pemeriksaan invasif (endoskopi dan histopatologi). Fecal calprotectin merupakan petanda inflamasi intestinal non invasif yang dapat digunakan untuk membedakan IBD dengan penyakit intestinal non inflamasi, namun studi-studi yang ada masih memberikan perbedaan nilai diagnostik dan hubungannya dengan derajat IBD.
Tujuan : Membuktikan bahwa pemeriksaan fecal calprotectin memiliki nilai diagnostik yang tinggi untuk mendiagnosis IBD serta berhubungan dengan derajat IBD. Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang untuk melakukan uji diagnostik. Penelitian dilakukan di beberapa rumah sakit di Jakarta mulai bulan September 2014 sampai Februari 2015. Kurva ROC dibuat untuk mendapatkan nilai diagnostik fecal calprotectin dan uji Krusskal Wallis untuk menilai perbedaan kadar fecal calprotectin menurut derajat IBD.
Hasil : Terdapat 71 pasien IBD berdasarkan pemeriksaan kolonoskopi diikutkan dalam penelitian. Dari pasien tersebut didapatkan sebanyak 57 pasien ditetapkan definite IBD berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Kadar fecal calprotectin lebih tinggi bermakna pada pasien IBD dibanding yang bukan IBD (553,8 μg/g vs 76,95 μg/g, p < 0,001). Didapatkan nilai titik potong 179,3 μg/g dengan sensitivitas 96% (IK 95% 0,88-0,99), spesifisitas 93% (IK 95% 0,69-0,99) dan Area Under Curve (AUC) 99,5% (IK 95% 0,98-1,00). Didapatkan perbedaan bermakna kadar fecal calprotectin pada masing-masing derajat IBD (p < 0,001).
Kesimpulan : Pemeriksaan fecal calprotectin memiliki nilai diagnostik yang tinggi untuk mendiagnosis IBD serta berhubungan dengan derajat IBD.

ABSTRACT
Background : Diagnosis of inflammatory bowel disease (IBD) is still based on invasive examination such as endoscopy and biopsy. Fecal calprotectin as a intestinal inflammation marker can used for diagnosis, but studies still had different diagnostic value and it?s correlation with grading of IBD.
Objective : Proving that fecal calprotectin have a high diagnostic value for IBD and correlation with grading of IBD. Methods : A cross sectional study for diagnostic of IBD. This study was conducted at several Hospitals in Jakarta from September 2014 until February 2015. A curve of ROC to determined diagnostic value of fecal calprotectin and Krusskal Wallis analysis to assessed of different value of fecal calprotectin according grade of IBD were made.
Results : Based on colonoscopy, 71 patient IBD were participated in this study. There were 57 patient diagnosis as definite IBD based on histopathology examination. Value of fecal calprotectin for IBD patient was higher than non IBD (553.8 μg/g vs 76.95 μg/g, p < 0,001). Value of fecal calprotectin was 179.3 μg/g as a new cutoff value with sensitivity 96% (CI 95% 0.88-0.99), specificity 93% (CI 95% 0.69-0.99) and Area Under Curve (AUC) 99.5% (CI 95% 0.98- 1.00) for diagnostic IBD. There was significant differences value of fecal calprotectin according every grade of IBD ( p < 0.001 ).
Conclusion : Fecal calprotectin has a high diagnostic value for IBD and correlated with grading of IBD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christin Wigin Hia
"Latar Belakang: Kanker ovarium menduduki peringkat ke-3 sebagai kanker tersering pada perempuan di Indonesia. Keganasan ovarium dianggap sebagai silent killer karena tidak memiliki gejala yang signifikan pada stadium awal sehingga hampir 50% pasien datang sudah pada stadium lanjut. Oleh karena itu, diperlukan alat skrining di pelayanan primer untuk mendeteksi keganasan ovarium dan salah satu modalitas pemeriksaan adalah ultrasonografi sederhana.
Tujuan: Mengetahui nilai diagnostik pemeriksaan ultrasonografi sederhana dalam menilai keganasan tumor ovarium dibandingkan hasil histopatologi pascaoperasi.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien tumor ovarium di polikinik Ginekologi RSCM Jakarta yang dilakukan operasi pada bulan Maret hingga Juli 2015. Sampel penelitian diambil dengan metode consecutive sampling. Analisis menggunakan uji Chi-square dan regresi logistik untuk mencari hubungan antara pola morfologi ultrasonografi dengan hasil histopatologi dimana terdapat hubungan bermakna apabila nilai p<0,05. Selain itu, dibuat model persamaan dari regresi logistik untuk menghitung probabilitas
Hasil: Terdapat 80 subjek penelitian dimana 58 subjek (72,5%) dengan tumor jinak dan 22 subjek (27,5%) dengan tumor ganas. Hasil ultrasonografi dengan pola morfologi ≥2 menunjukkan hasil ganas pada 53,8% subjek dengan nilai diagnostik sensitivitas 100%, spesifisitas 82,8%, nilai duga positif 68,8%, dan nilai duga negatif 100%. Pola morfologi yang paling berpengaruh terhadap keganasan tumor ovarium adalah permukaan dalam dinding kista ireguler, multilokular, terdapat penonjolan papiler, dan ada bagian padat dalam tumor. Probabilitas subjek mendapat tumor ganas apabila memiliki pola morfologi ≥3 adalah lebih dari 88,9%,
Kesimpulan: Pemeriksaan ultrasonografi sederhana dapat digunakan untuk mendeteksi keganasan tumor ovarium.
......Background: Ovarian cancer ranked 3rd most common cancer in Indonesian women. Ovarian malignancy is considered as silent killer because there is no significant symptom in early stage therefore almost 50% patients came in late stage. Thus, screening tool is needed in primary health care to detect ovarian malignancy and one of recommended modality is simple ultrasound examination.
Aim: To know diagnostic values of simple ultrasound examination to detect ovarian malignancy compared with post operative histopathologic findings.
Method: This study used cross-sectional design in Cipto Mangunkusumo Hospital gynecologic outpatients with ovarian tumor undergone operation between March to July 2015. Samples were taken using consecutive sampling. Analysis was done using Chi-square test and logistic regression to find the relationship between ultrasound morphologic patterns with histopathologic findings where there is a significant relationship when p value < 0.05. Furthermore, a model derived from logistic regression was made to calculate the probability having ovarian malignancy.
Result: There were 80 subjects which 58 subjects (72.5%) have benign tumor and 22 subjects (27.5%) have malignant tumor. Ultrasound examination result using ≥2 morphologic patterns gave malignant result in 53.8% subjects with diagnostic values of sensitivity of 100%, specificity 82.8%, positive predictive value of 68.8%, and negative predictive value of 100%. The most important patterns were irreguler internal cyst wall, multilocular, presence of pappilary projection, and presence of solid component. The probability of subject having ovarian malignancy if there were ≥3 morphologic patterns was more than 88.9%.
Conclusion: Simple ultrasound examination can be used to detect ovarian malignancy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Hertanto
"Angka kejadian fraktur yang masih cukup tinggi, diikuti komplikasi berupa nonunion akan menimbulkan berbagai masalah selama proses penyembuhan yang berujung pada tingginya biaya kesehatan. Berbagai tindakan pencegahan perlu diberikan berdasarkan faktor-faktro yang dapat mempengaruhi penyembuhan tulang. Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan pemberian soybean pada tikus sparaque dawley dengan patah tulang femur yang terbagi atas kelompok A/kontrol, kelompok B/25 mg, dan kelompok C/50 mg. Evaluasi dilakukan dengan radiologi dan histopatologi. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada evaluasi radiologi pada ketiga kelompok. Didapatkan perbedaan yang bermakna pada evaluasi histopatologi pada kelompok C dibandingkan kelompok lainnya"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013;
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andita Dwi Hidayati
"Latar Belakang: USG payudara dan mamografi secara luas digunakan sebagai modalitas diagnostik yang efektif untuk mengevaluasi kelainan payudara. Derajat keganasan histopatologis berperan penting dalam
manajemen karsinoma payudara. Ketersediaan pemeriksaan histopatologis yang terbatas dan sebaran pemeriksaan USG dan mamografi yang lebih luas diharapkan dapat membantu klinisi dalam menentukan penatalaksanaan karsinoma payudara lebih dini. Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan nilai
mamografi serta USG payudara dengan mengetahui keterkaitan temuan morfologis lesi berdasarkan USG payudara dan mamogram yang dapat mengidentifikasi derajat keganasan histopatologis karsinoma payudara. Metode: Studi retrospektif ini melibatkan subyek dengan karsinoma payudara primer yang
menjalani USG dan mamografi serta belum menjalani prosedur apapun. Temuan USG dan mamogram dianalisis dan dikorelasikan dengan derajat keganasan histopatologis. Variabel dianalisis menggunakan uji chi-square dan Kolmogorov-Smirnov. Hasil: Diperoleh 174 subyek karsinoma payudara. Usia rerata subyek 52 tahun. Ukuran massa <5 cm paling banyak ditemukan (61,1%) dan memiliki hubungan yang signifikan dengan derajat keganasan histopatologis (p<.05). Batas lesi, ekhogenisitas lesi dan kalsifikasi
lesi pada USG (p <.05) berhubungan dengan derajat keganasan histopatologis. Sedangkan untuk bentuk lesi, bentuk irregular lebih banyak ditemukan dibandingkan lesi lain dengan distribusi yang hampir sama antara derajat 1, 2, dan 3. Proporsi batas lesi paling banyak di derajat 3 yakni batas tidak tegas.
Ekhogenisitas heterogen lebih sering ditemukan pada tumor derajat 2 dan lesi hipoekhoik lebih banyak ditemukan pada tumor derajat 3. Saat dilakukan analisis tambahan dengan membagi derajat keganasan menjadi 2 grup (derajat rendah dan derajat tinggi), batas dan orientasi lesi pada USG (p <.05) berhubungan dengan derajat keganasan histopatologis sedangkan kalsifikasi lesi dan ekhogenisitas lesi tidak berhubungan. Tidak ada hubungan antara karakteristik lesi pada mamogram (densitas payudara, bentuk,
batas, densitas lesi, dan kalsifikasi) dengan derajat keganasan histopatologis (nilai p > 0,05). Proporsi batas spikulasi lebih banyak ditemukan pada lesi derajat rendah. Simpulan: Orientasi pararel lebih banyak
ditemukan pada tumor derajat tinggi. Batas tidak tegas paling banyak ditemui di kedua kelompok derajat keganasan namun proporsi lebih banyak ditemukan pada lesi derajat tinggi. Tidak ditemukan hubungan signifikan antara morfologis lesi pada mamogram dengan derajat keganasan.
......Background: Breast ultrasonography (USG) and mammography are widely used as effective diagnostic modalities to evaluate breast abnormalities. Histological grade plays big role in management of breast
carcinoma. The purpose of this study was to increase the value of mammography and ultrasound. Also, knowing which features on ultrasound and mammogram that can predict histological grade. The limited
availability of histopathological examinations and better access of ultrasound and mammography can assist clinicians in management of breast carcinoma. Method: A retrospective study was conducted by
reviewing imaging of women with breast cancer who had not undergone any procerdure. Mammogram and US findings were analyzed in compliance with operational definition and later compared with histopathological data. All variables were analyzed using chi-square and Kolmogorov-Smirnof. Result:
Mean age at diagnosis of breast cancer was 52 years. Tumor size <5 cm was the most common (61.1%) and had significant relation with tumor grade (p<.05). In terms of ultrasound findings, the only differential
findings between ultrasound findings and histopathological grade were margin, echogenicity, and calcifications (p < .05). As for the shape of the lesions, an irregular shape was more observed compared to other lesions with almost equal distribution between grade 1, 2, and 3. Heterogene echogenicity was more frequently found on grade 2 and hypoechoic lesions were more common in grade 3 tumor. When additional analysis was carried out by dividing the histological grade into 2 groups (low grade and high grade), margin and orientation on the ultrasound (p <.05) had relation to tumor grade while the
calcification of the lesion and the echigenicity were not related. No significant difference between mammogram features (breast density, shape, margin, lesion density, and calcifications) and tumor grade
(p>.05). The proportion of spiculated margin in mamogram is more common in low-grade lesions. No significant association between ultrasound features (shape, echogenicity, posterior pattern, and calcifications) with histological grade. Conclusion: Margin and orientation of the lesion on ultrasound have a relationship with histological grade. Parallel orientation is more common seen in high-grade
tumors. Indistinct borders were commonly found in both groups; however, a higher proportion was found
in high-grade lesions. No significant relation was found between mammogram features and tumor grade"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigitta Setiawan
"Otak merupakan salah satu organ yang rentan hipoksia. Hipoksia menyebabkan kerusakan neuron terutama pada neuron korteks serebrum. Hingga saat ini belum ada agen neuroproteksi yang direkomendasikan untuk stroke iskemik sehingga terapi adjuvan sangatlah perlu diteliti. Ekstrak etanol Acalypha indica (AI) dan Centella asiatica (CA) telah banyak diketahui mampu mencegah kerusakan sel akibat hipoksia melalui aktivitas antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan neuroproteksi kedua herbal berdasarkan gambaran histopatologi neuron korteks serebrum. Sampel yang digunakan sebanyak 30 tikus jantan Spraque-Dawley yang diinduksi hipoksia selama 7 hari dan dilanjutkan dengan pemberian sediaan uji. Pemberian kombinasi AI dan CA menggunakan 2 dosis berbeda yaitu AI 200 mg/kgBB + CA 150 mg/kgBB dan AI 250 mg/kgBB + CA 100 mg/kgBB. Pemberian tunggal CA diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB. Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan menghitung rerata persentase sel normalnya. Hasil uji one way ANOVA tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada rerata persentase sel normal antar kelompok (p=0,575). Namun, terjadi peningkatan rerata persentase sel neuron normal dibanding kontrol negatif dengan urutan peningkatan terbanyak sebagai berikut: hipoksia+kombinasi 2 (15,43%), hipoksia+kombinasi 1 (11,46%) dan hipoksia+tunggal 2 (3,3%). Dapat disimpulkan bahwa pemberian kombinasi AI dan CA memiliki kecenderungan memperbaiki kerusakan sel neuron pascahipoksia.

The Brain is an organ that is vulnerable to hypoxia. Hypoxia induces neuronal cell death especially in cerebral cortex neuron. Until now, there are no neuroprotective agents that are recommended for ischemic stroke. Among all potential therapies, Acalypha indica (AI) and Centella asiatica (CA), are examples of promising herbs for preventing cell damage from hypoxia through their antioxidant activity. The research purpose was to show the neuroprotective capabilities of these herbs by examining their histopathological features. Thirty hypoxia-induced male Spraque-Dawley rats were given treatment that contain the combination of AI and CA (AI 200 mg/kgBW + CA 150 mg/kgBW and AI 250 mg/kgBW + CA 100 mg/kgBW) and a single CA 100 mg/kgBW. Through the histopathological examination, percentages of the normal cells were counted and analyzed. One way ANOVA was conducted and the results did not show a statistically significant difference between all of the groups (p=0.575). The quantitative results depict an increase in the percentage of normal neuron cells in all of the exposed groups compared to the negative control group: combination 2 (15,43%), combination 1 (11,46%) and single CA (3,3%), respectively. Thus, the combination of AI and CA treatment have a trend toward restoring the neuron damage."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heriyanto Khiputra
"Kanker kolorektal merupakan kanker keempat paling umum di dunia. Azoxymethane dan dextran sodium sulfate umumnya digunakan untuk menginduksi kanker kolorektal pada tikus tetapi zat ini dapat menyebabkan nekrosis, steatosis mikrovesikular dan pembentukan nodul tumor pada jaringan hati. Ekstrak kedelai yang disebut lunasin dapat mencegah kanker terjadi tetapi masih sedikit atau tidak ada bukti pengaruhnya terhadap hati.
Tujuan Untuk mengetahui efek dari lunasin pada histopatologi hati yang diinduksi dengan AOM dan DSS.
Metode Sebuah penelitian eksperimental dilakukan menggunakan 20 tikus Balb c laki-laki disuntik dengan AOM dan DSS. Ada 4 kelompok kontrol, 20 mg kgBB dosis lunasin, 30 mg kgBB dosis lunasin dan 40 mg kgBB dosis lunasin. Sampel dari setiap hati tikus yang selamat kemudian diamati di bawah mikroskop dengan kekuatan pembesaran 400 kali. Jumlah fokus nekrotik, fokus steatosis dan fokus displastik kemudian dikuantifikasi.
Hasil dalam percobaan ini ekstrak lunasin dengan dosis 30 mg kgBB menghasilkan nekrosis yang lebih rendah 9,0 3,4 dibandingkan dengan kelompok kontrol 14,0 0,8 p 0,017 dan juga fokus steatosis yang lebih rendah 3,8 1,3 dibandingkan dengan kelompok kontrol 11,5 1,9 p 0,002. Tidak ada fokus displastik ditemukan pada sampel tikus.
Kesimpulan lunasin dapat mencegah perkembangan fokus nekrotik dan steatosis pada hati tikus yang diinduksi dengan AOM dan DSS.
......Background Colorectal cancer is the fourth most common cancer in the world. Azoxymethane and dextran sodium sulfate are commonly used to induce colorectal cancer on mice but these substances could cause necrosis, microvesicular steatosis and formation of tumour nodule in liver tissue. An extract of soybean called lunasin could prevent cancer from happening but there is still little to no evidence of its effect on liver.
Aim To know the effect of lunasin on liver's histopathology induced with AOM and DSS.
Method An experimental study is carried out using 20 male Balb c mice injected with AOM and DSS. There are 4 groups control, 20 mg kgBW dose of lunasin, 30 mg kgBW dose of lunasin and 40 mg kgBW dose of lunasin. The sample of each surviving mice's liver is then observed under microscope with magnification power of 400 times. The number of necrotic foci, steatotic foci and dysplastic foci are then quantified.
Result in this experiment lunasin extract with dose of 30 mg kgBW resulted in lower necrotic foci 9,0 3,4 compared to control group 14,0 0,8 p 0.017 and also lower steatotic foci 3,8 1,3 compared to control group 11,5 1,9 p 0.002 . No dysplastic foci is found on mice's sample.
Conclusion lunasin could prevent the development of necrotic and steatotic foci on liver of mice induced with AOM and DSS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Trienty Batari Gunadi
"ABSTRACT
Kanker kolorektal memiliki insidensi yang cukup tinggi dan pilihan kemoterapinya memiliki banyak efek samping sehingga perlu dicari antikanker yang potensial dengan efek samping sistemik yang minimal. Mangostin yang terkandung di dalam Garcinia mangostana Linn. terbukti memiliki potensi sebagai antikanker pada beberapa penelitian. Akan tetapi, kekurangan mangostin apabila diberikan peroral yaitu dapat didegradasi pada suasana asam seperti oleh asam lambung. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi sesuai agar mangostin mencapai kolon dengan meminimalisasi degradasi di lambung. Formulasi bentuk mikropartikel dapat meningkatkan absorpsi sedangkan enkapsulasi oleh kitosan-alginat dapat mencegah degradasi mangostin di lambung dan meningkatkan pelepasan di kolon. Akan tetapi, formulasi ini perlu dievaluasi keamanannya pada saluran pencernaan hewan coba dengan mengevaluasi histopatologi pada organ yang terlibat dengan absorpsi, metabolisme, dan ekskresi yaitu hati, ginjal, lambung, dan usus halus. Sebanyak 24 mencit BALB/c betina dibagi menjadi 4 kelompok: kelompok normal yang diberikan air, kelompok kontrol pelarut yang diberikan larutan gom arab (emulgator), dan kelompok mikropartikel mangostin yang dienkapsulasi kitosan-alginat (MMKA) 2 dan 5 g/KgBB (mengandung mangostin 74,8 dan 187 mg/KgBB), diberikan sekali. Setelah 14 hari, mencit yang masih hidup diterminasi dan organnya (hati, ginjal, lambung, usus halus) diambil untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi yang mengevaluasi gambaran degenerasi jaringan, nekrosis, perdarahan, dan infiltrasi sel radang. Perbedaan bermakna (p<0,05) ditemukan pada derajat kerusakan organ usus pada masing-masing perbandingan kelompok dosis MMKA 2 dan 5 g/KgBB dengan kelompok normal dan kontrol pelarut. Hasil ini mengindikasikan bahwa mikropartikel mangostin yang dienkapsulasi kitosan-alginat tidak menimbulkan perubahan histopatologis yang bermakna pada hati, ginjal, dan lambung, kecuali pada usus halus (p=0,002).

ABSTRACT
Colorectal cancer has high incidence and its chemotherapy has many side effects so it is necessary to find a new potential anticancer agent with minimal systemic side effects. Mangostin, contained in Garcinia mangostana Linn., has been predicted in several studies as a potential anticancer agent but it has a disadvantage if administered orally which is degraded in acidic environment such as stomach acid. Therefore, suitable formulation to minimize mangostin degradation in the stomach is necessary. Microparticle formulation improves absorption while chitosan-alginate encapsulation prevents mangostin release in the stomach instead release it in the colon. However, it is necessary to evaluate chitosan-alginate encapsulated mangostin microparticle (CAMM) safety in mice digestive tracts. This study aims to evaluate the histopathological changes of organs involved in absorption, metabolism, and excretion including the liver, kidney, stomach, and small intestine. Twenty four female BALB/c mice were divided into 4 groups: normal (water), control (Arabic gum solution), and 2 doses of CAMM (2 and 5 g/KgBW containing 74,8 and 187 mg/KgBW mangostin, respectively), given once at day 1. After 14 days, the survived mice were then sacrificed and its organs were taken to do histopathological examination which evaluates tissue degeneration, necrosis, hemorrhage, and inflammatory cells infiltration. Significant difference (p<0.05) was found in the small intestine between each doses of 2 and 5 g/KgBW CAMM groups compared to normal and control groups. The results indicate that chitosan-alginate encapsulated mangostin microparticles does not exert significant histopathological changes in the liver, kidney, and stomach except in the small intestine (p=0.02)."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>