Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Sasyabella Febriani
"
ABSTRAKKeanggotaan Prancis dalam FATF dan Pendanaan Aksi Teror Paris Tahun 2015AbstrakPenelitian ini berupaya untuk mengetahui mengapa kebijakan penanggulangan pendanaan terorisme Prancis yang berdasarkan standar FATF tidak mampu dalam mencegah sejumlah praktek pendanaan aksi teror di Paris tahun 2015. Penelitian ini menggunakan pendekatan historical institutionalism untuk melihat bagaimana evolusi kelembagaan FATF, keterlibatan Perancis dalam keputusan FATF, dan pengaruh keputusan FATF terhadap Prancis berkaitan dengan bidang penanggulangan pendanaan terorisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa walaupun Prancis memiliki peran yang penting dalam keanggotaan FATF dalam menentukan standar internasional terhadap kebijakan penanggulangan pendanaan terorisme, tetapi secara historikal, Prancis mengabaikan sejumlah hal-hal penting yang mendorong semakin terbukanya celah praktek pendanaan terorisme.
ABSTRACTFrance Membership in Fatf and Financing Paris Terror Attacks in 2015 Abstract This study is attempt to explain why the French counter terrorism financing policy based on FATF standards is not able to prevent the financing terrorism activities of terror acts in Paris by 2015. This research used historical institutionalism approach to see how institutional evolution of FATF, France involvement in FATF decision, and the influence of FATF decision on France relates to the field of countering terrorism financing. The research method used qualitative approach. The result of this study indicate that although France has important role in FATF, but historically, France has ignored some important things which cause the financing activities for terrorist network. Keywords France, FATF, Europe, Terrorism Financing, Historical Institutionalism. "
2018
T51405
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ridwan Rasyid
"Pada awalnya pemerintahan nagari tidak memisahkan antara urusan administrasi dengan urusan adat. Seiring berjalannya waktu, terjadi dualisme kelembagaan di pemerintahan nagari. Masa kolonial Belanda menjadi awal dari munculnya dualisme kelembagaan di nagari yang memisahkan antara kewenangan adat dengan kewenangan administratif. Dualisme ini berlanjut hingga masa Orde Baru yang mana pemerintah nagari digantikan dengan pemerintahan desa. Pada masa reformasi, nagari dikembalikan, namun tetap masih mengalami dualisme kelembagaan seperti sebelumnya. Skripsi ini melihat mengapa gerakan baliak ka nagari (kembali ke nagari) tidak mengembalikan nagari seperti bentuk awalnya yang tidak memisahkan kewenangan adat dengan kewenangan administrasi. Pendekatan historical institutionalism digunakan untuk menganalisis mengapa hal tersebut masih terjadi dengan melihat sejarah dan mencari peristiwa masa lalu yang masih berdampak terhadap pilihan-pilihan aktor yang membentuk ulang pemerintahan nagari di masa sekarang. Skripsi ini menemukan ada tiga aktor yang terlibat dalam kembalinya nagari, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten. Pemerintah kabupaten memiliki wewenang paling besar untuk menentukan bentuk pemerintahan nagari. Namun, karena pemerintah pada masa Orde Baru menguasai pemerintahan desa, aparat pemerintah kabupaten dibatasi pilihannya untuk dapat bertindak rasional dalam mengurus pemerintahan desa serta berdampak terhadap kurang kompetennya dalam mengembalikan pemerintahan nagari pada masa reformasi.
Initially, the nagari government did not separate administrative affairs from customary affairs. Over time, there was institutional dualism in the nagari government. The Dutch colonial period was the beginning of institutional dualism in the nagari, which separated customary authority from administrative authority. This dualism continued until the New Order period when the nagari government was replaced by the village government. During the reformation period, the nagari was restored, but still experienced institutional dualism as before. This thesis looks at why the baliak ka nagari (return to the nagari) movement did not return the nagari to its original form, which did not separate customary authority from administrative authority. The historical institutionalism approach is used to analyze why this still happens by looking at history and looking for past events that still have an impact on the choices of actors who reshape the nagari government in the present. This thesis finds that there are three actors involved in the return of nagari, namely: central government, provincial government, and district government. The district government has the most authority to determine the form of nagari government. However, because the government during the New Order era controlled the village administration, district government officials were limited in their options to act rationally in managing the village administration, which resulted in a lack of competence in restoring the nagari government during the reform era."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library