Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Singh, Karan
New York: Oxfords University Press, 2003
133 SIN h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kottak, Conrad Phillip
New York: McGraw-Hill, 2012
306 KOT m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Toety Heraty Noerhadi Rooseno, 1933-
"Bahwa manusia dan budaya tak dapat dipisahkan adalah suatu kenyataan universil yang tak perlu langsung dimasalahkan. Tetapi bila kita dalam budaya mutakhir melihat derap pembangunan disertai arus pengalihan teknologi, kemudian dihadapkan pada pola-pola dan gaya hidup konsumtif, maka sudah saatnya kiranya untuk memperhatikan masalah manusia dalam budaya, sebagai suatu subyek menghadapi obyek-obyek dalam lingkungannya.
Di sinilah letak sumbangan suatu orientasi filsafat yang sebagai orientasi teoretis dapat memberi suatu kerangka referensi untuk meneliti fenomena budaya dalam lingkungan kita, khususnya di mana di satu fihak pengalihan teknologi menjadi sumber daya utama bagi pembangunan. Di lain fihak manusia harus meningkatkan daya seleksi terhadap pengalihan teknologi ini.
Dalam sistematik filsafat, maka bidang filsafat tentang manusia mengetengahkan kodrat manusia adalah pada subyektivitas, sebagai suatu subyek atau aku di satu fihak. Di lain fihak pula pada kehidupan budayanya, sehingga semakin menariklah untuk memasalahkan bersama kedua kodrat manusia, akte dalam budaya ini.
Suatu pembedaan budaya dalam tahap ontologis, fungsional dan mitis menyertai pembedaan aku ontologis, fungsional, dan mitis pula yang menampilkan bersama berbagai hakekat dan dimensi aku pada umumnya.
Aku ontologis mendasari dimensi aku yang mengambil jarak dari obyek, meneliti, dan kemudian cenderung untuk menguasai, bersikap intrumentil-teknologis. Teknologi sebagai penerapan sistematis akal-budi kolektif manusia memang ingin mencapai pcnguasaan yang lebih besar atas alam dan atas semua proses manusiawi. Aku ontologis merupakan dimensi aku yang mutlak untuk suatu aku teknologis dalam ruang lingkup budaya.
Aku ontologis mengambil jarak dari lingkungan secara absolut tetapi pada filsafat Rene Descartes dan Maine de Biran keduanya, akan nyata bahwa aku ontologis yang semula dianggap bersifat terpisah murni dan mandiri, menunjuk pada unsur lain, ialah unsur nonaku. Rupanya aku ontologis menampilkan selalu aspek fungsional, subyek selalu menunjuk kehadiran hal yang lain, subyek ataupun obyek lain.
Filsafat analitik menanggapi filsafat sebagai kumpulan pernyataan-pernyataan bahasa, dan aku pula merupakan suatu kata dalam bahasa, dikenal sebagai salah satu kata deiktik. Kata aku sebagai kata deiktik ternyata merupakan suatu pusat orientasi bagi kata-kata lainnya. Pernyataan bahasa yang bertolak dari obyek-obyek menunjuk selalu pada suatu pusat referensi, suatu subyek atau aku.
Aku ontologis yang ternyata nyaris bersifat ontologis murni, menampilkan bahwa subyek menunjuk pada obyek, sebaliknya filsafat analitik dari obyek menunjuk pada subyek; dua gerak bertentangan ini saling menunjang mengetengahkan aspek fungsional pada aku.
Aku fungsional melihat dirinya dalam relasi dengan obyek, dan relasi ini yang semakin menjadi realita. Teknologi dan teknokrasi cenderung untuk melihat manusia melebur menurut fungsi mereka dalam relasi ini: pengaturan yang efisien menguasai kehidupan manusia demi kelancaran sistem-sistem kolektif--relasionil. Ini pun ciri suatu teknologi modern: aku fungsional menjadi aku operasional."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1979
D243
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranto Gunawan
Bandung: Ink Media, 2006
291.7 RAN m (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Universitas Nasional
050 PFH 1 (1991) I
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Oliver, Lauren, 1982-, (author.)
New York: NY Harper, 2016
813.6 OLI r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Fitriani
"As the international society continue to witness varying forms of threats to humanity, the concept of human security as introduced by the state has constantly been challenged for its inadequacy to capture and address the realities of human insecurity. The silver lining of this situation, however, relies on how those mainstream ideas of human securities are continuously contested and redefined through the medium of art. Through the use of alternative public and transnational space, art represents sincere aspirations of the people and facilitate them to realize their vision of their own-and others-in)securities, beyond the imaginary, yet powerful, wall of sovereignty which serve the national and rational interests of the powerful actors."
Departemen Hubungen Internasional Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Untung Ongkowidjaja
"ABSTRAK
Melalui penulisan tesis ini pada dasarnya penulis mencoba menemukan pnnsip-prinsip yang mendasari adanya kebutuhan akan hak-hak azasi manusia. Bagaimana keterkaitan antara konsep gambaran manusia dengan tuntutan-tuntutan atau hak-hak azasi itu? Dan bagaimana menempatkan hak azasi manusia di dalam konteks yang sesuai? Jawaban terhadap masalah itulah yang hendak dikemukakan lewat tesis ini.
Dalam hipotesis penulis berasumsi bahwa setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini, sama-sama memiliki hak untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Namun demikian, terdapat konsep yang berbeda-beda mengenai gambaran apa yang dimaksud dengan ?manusia seutuhnya?. Karena perbedaan persepsi tentang gambaran manusia seutuhnya, maka mengakibatkan tuntutan akan hak-hak azasi yang berbeda pula. Dengan demikian, penulis berasumsi bahwa ada keterkaitan erat antara konsep citra manusia dengan tuntutan hak azasi manusia.
Pertama-tama penulis memperlihatkan prinsip Hukum Kodrat sebagai dasar legitimasi hak-hak azasi manusia khususnya lewat pemahaman John Locke. Hukum Kodrat dipandang identik dengan hukum alam dan merupakan hukum moral bagi manusia untuk mengetahui tentang yang adil dan yang tidak. Bagi John Locke Hukum kodrat adalah perintah dari Tuhan, karena itu bersifat mengiat manusia. Tuhan mempunyai kuasa untuk mewajibkan manusia melakukannya. Hukum kodrat hanya bisa dipengerti oleh makhluk rasional.
Menurut Locke manusia secara kodrati bersifat rasional, sehingga terdapat keselarasan antara hukum kodrat dan rasio manusia. Sekali manusia dilahirkan ia memiliki kesempatan untuk hidup dan menikmati kehidupan itu sendiri. Semua manusia yang dilahirkan memiliki derajat yang sama, sehingga tidak boleh saling merugikan. Jadi, gambaran manusia yang seutuhnya adalah manusia yang dapat menikmati hidup dan benda-benda yang menjadi miliknya, sesuai dengan usaha dan masing-masing individu.
Dalam rangka itu, maka tuntutan hak yang dibutuhkan adalah hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak atas milik pribadi. Dan hak azasi itu diperoleh berdasarkan pemberian dari Tuhan.
Kedua penulis memperlihatkan prinsip utilitarianisme sebagai dasar dalam pembemtukan hak azasi manusia, khususnya lewat pemahaman John Stuart Mill. Utilitarianisme sendiri dimengerti sebagai suatu pemahaman yang menekankan aspek kegunaan atau manfaat bagi John Stuart Mill di dalam kesenangan-kesenangan ada perbedaan-perbedaan kualitatif intrinsik. Patokan untuk melihat perbedaan kwalitatif intrinsik ini mengacu pada cita-cita tentang manusia, di mana manusia melakukan kesenangan itu dalam rangka atau berguna untuk mengembangkan dan menyempurnakan kodratnya sebagai manusia.
John Stuart Mill memahami bahwa manusia dilahirkan bukan dalam keadaan yang utuh - sempuma. Karena itu ia membutuhkan sarana untuk berkembang dan menyempumakan dirinya sebagai manusia. Masing-masing manusia memiliki perbedaan watak, dan karena keunikan inilah maka manusia membutuhkan keleluasaan untuk berkembang ke arah jadi dirinya. Di sini terdapat aspek individualitas. Pola dasarnya manusia dilahirkan makhluk rasional, maka kebahagiaan terletak pada kebebasan untuk berpikir dan berdiskusi.
Untuk itu perlu ada jaminan akan kebebasan untuk berpikir dan berdiskusi, kebebasan untuk bertindak sesuai dengan pendapatnya, sejauh tidak merugikan orang lain - di dalam rangka idividualitasnya. Selanjutnya dibutuhkan batas-batas wewenang masyarakat atas individu. Dalam hal ini pada dasarnya hak azasi manusia diperoleh berdasarkan solidaritas manusia yang hidup di dalam suatu masyarakat.
Ketiga, penulis memperlihatkan suatu pemahaman yang didasarkan pada filsafat Eksistensial-humanistik, yaitu suatu pemahaman yang menekankan adanya atau kehadiran atau eksistensi manusia yang memiliki values baik pada dirinya sendiri, maupun dalam kaitannya dengan semesta. Untuk itu penulis berusaha memaparkan pendekatan psikologis eksistensiat-humanistik Abraham Maslow.
Bagi Abraham Maslow manusia bereksistensi di dunia yang tidak kosong karena ada banyak individu di dalamnya. Manusia memiliki nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan dasar yang bersifat hierarkhis dan ia pun memiliki potensi-potensi alamiah, serta kemampuan untuk berkembang secara psikolagls. Setiap individu pada dasarnya dapat mengembangkan dirinya semaksimal mungkin ke arah aktualisasi diri.
Menurutnya manusia yang seutuhnya adalah manusia yang sudah mencapai taraf teraktualisasikan dirinya. Karena konsep manusia yang seutuhnya adalah manusia yang mengaktualisasikan din secara maksimai, maka ada prakondisiprakondisi yang dibutuhkan (dapat dilihat sebagai hak azasi) individu yang harus tercipta dalam suatu masyarakat. Prakondisi-prakandisi itu adalah Kemerdekaan untuk berbicara, Kemerdekaan untuk melakukan apa saja - sejauh tidak merugikan orang lain, kemerdekaan untuk menyelidiki, kemerdekaan untuk mempertahankan atau membela diri, adanya nilai-nilai atau prinsip yang beriaku atau diyakini dan dijamin, seperti keadilan, kejujuran, ketertiban, kewajaran. Dengan demikian prakondisiprakondisi yang dapat dilihat sebagai HAM dalam bahasa hukum adalah hak-hak yang tercipta atas dasar kreativitas manusia.
Melalui penelusuran ini, maka penulis menyimpulkan secara induktif bahwa pertama, terdapat prinsip-prinsip yang mendasar timbulnya kebutuhan akan HAM, yaitu prinsip Hukum Kodrat, di mana HAM diperoleh berdasarkan pemberian Tuhan; prinsip utilitarianisme, di mana HAM diperoleh berdasarkan pengakuan antar manusia yang sating berbagi dan bekeija sama atau salidaritas manusia; prinsip eksistensial humanistik, di mana HAM diperoleh melalui krativitas manusia yang bereksistensi di dalam zaman. Kedua, Terdapat kaitan yang sangat erat antara gambaran mansuia dengan hak-hak yang dibutuhkannya. Melalui kesimpulan itu, maka muncul kesimpulan ketiga bahwa gambaran-gambaran tentang manusia pada zaman dan budaya tertentu berbeda. Karena itu muncullah hak-hak yang bersifat umum dan hak-hak yang bersifat khusus. Dengan demikian HAM dapat ditempatkan dalam konteksnya dengan mempbrhatikan aspek universal dan regional.
Berkenaan dengan situasi aktual yang sedang terjadi di Indoensia, maka penulis menekankan betapa penting HAM yang didasari dengan konsep gambaran yang jelas tentang siapa manusia. HAM dilihat menjadi suatu sistem nilai atau etika di dalam menggunakan kekuasaan. HAM juga menjadi suatu etika di dalam membangun bangsa dan negara atau di dalam menyusun strategi kebudayaan itu sendiri.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>