Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Melia Prabangasta Yustisia
"Kejahatan siber memiliki karakteristik tersendiri seperti borderless dan menimbulkan korban yang banyak. Karakteristik inilah yang menjadikan dimungkinkannya locus delicti kejahatan penyebaran illegal content terdapat di banyak tempat sekaligus. Tulisan ini meninjau tentang penentuan locus delicti yang digunakan penegak hukum di Indonesia dalam kasus illegal content, sekaligus meninjau urgensi untuk membuat teori baru mengenai locus delicti dalam kejahatan siber. Studi dilakukan dengan metode analisis yuridis normatif, dan ditunjang wawancara kepada pihak Kejaksaan dan Kepolisian.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada praktiknya penegak hukum masih dapat melakukan perluasan penafsiran dari ajaran locus delicti yang ada. Kejaksaan dan Kepolisian menggunakan ajaran tindakan badaniah, sementara Majelis Hakim menggunakan ajaran akibat.

Cybercrime has its own characteristics such as borderless nature and inflicting widespread victims. These characteristics are what might makes the locus delicti of crime of illegal content distribution found in many places at once. This thesis reviews the determination of locus delicti used by Indonesian law enforcement in cases of illegal content, as well as reviewing the urgency to create a new theory about the locus delicti in cybercrime. The study will be conducted using normative analysis method, and supported by in-depth interview to the law enforcement.
The result of this study concluded that in practice, law enforcement still be able to expand the interpretation of the existing teachings of locus delicti. Prosecutors and police using the doctrine of bodily conduct, while the judges using the doctrine of the result.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62310
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Taufik Ajiputera
"Jaringan internet atau Web telah menjadi alat penting untuk mencapai berbagai kebebasan umum (HAM) dan kemajuan manusia. Saat menggunakan aplikasi berbasis internet, informasi berupa data pribadi menjadi acuan. Mengingat banyaknya penyalahgunaan informasi menyebabkan memudarnya Hak Asasi Manusia, dimana sebagian orang tidak bersedia jika data pribadinya tersebar di media sosial. Semakin banyak pengguna internet yang disalah gunakan sebagai sarana kejahatan, maka banyak pihak yang merasa bahwa hak privasinya tak lagi mendapat perlindungan. Undang-Undang Indonesia tak hanya menciptakan hukuman bagi pihak yang menyebar luaskan data pribadi untuk kejahatan pidana konten ilegal namun memberikan perlindungan bagi korban untuk mendapatkan hak nya dengan menghapus informasi/dokumen elektronik yang dimana dikenal dengan istilah Hak Untuk Dilupakan atau Right To Be Forgotten. Hal ini diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik walaupun yang pada pelaksanaannya belum ada aturan secara eksplisit namun pemerintah memberikan kesempatan bagi para korban untuk melakukan permohonan penghapusan atas konten illegal tersebut. Ketentuan hukum tersebut merumuskan keberadaan penghormatan atas hak pribadi orang lain khusus bagi mereka yang keberatan atas suatu data yang tidak relevan tentang dirinya. Berdasarkan pemahaman Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik dapat dipahami bahwa penghapusan informasi/dokumen elektronik menjadi suatu kewajiban ketika dimintakan oleh orang yang bersangkutan berdasar penetapan pengadilan karena secara substansi dinilai tidak relevan.

The internet network or Web has become an important tool for achieving various general freedoms (HAM) and human progress. When using internet-based applications, information in the form of personal data becomes a reference. Considering that the large number of misuses of information causes the decline of human rights, some people are unwilling to have their personal data spread on social media. The more internet users are misused as a means of crime, the more people feel that their right to privacy is no longer protected. Indonesian law not only creates penalties for parties who disseminate personal data for criminal crimes of illegal content but provides protection for victims to obtain their rights by deleting electronic information/documents which is known as the Right to Be Forgotten. This is regulated in Article 26 of the Electronic Transaction Information Law, although in its implementation there are no explicit regulations, but the government provides an opportunity for victims to request the removal of illegal content. These legal provisions stipulate the existence of respect for the personal rights of other people specifically for those who object to irrelevant data about themselves. Based on the understanding of Article 26 paragraph (3) of the Electronic Transaction Information Law, it can be understood that the deletion of electronic information/documents becomes an obligation when requested by the person concerned based on a court order because it is deemed substantially irrelevant."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zaki Nur Said Hanan
"Pertumbuhan pesat penggunaan internet telah menyebabkan meningkatnya jumlah situs web ilegal yang menyebarkan konten berbahaya, penipuan, atau tanpa izin. Penelitian ini mengembangkan sistem klasifikasi situs web ilegal dengan memanfaatkan teknik knowledge distillation berbasis DeepSeek, di mana model besar (teacher) digunakan untuk auto-labeling pada dataset yang dibangun sendiri. Data berlabel hasil distilasi digunakan untuk melatih model student yang lebih ringan. Tiga algoritma—Support Vector Machine (SVM), Random Forest (RF), dan Naive Bayes (NB)—dibandingkan performanya menggunakan proses tokenisasi, penghapusan stopword, vektorisasi TF-IDF, dan oversampling untuk mengatasi ketidakseimbangan kelas. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa Random Forest memberikan akurasi tertinggi, yakni 97,2%, dengan F1-score makro rata-rata 0,97, sementara Naive Bayes lebih unggul dalam kecepatan pemrosesan meski presisinya lebih rendah. Studi ini menegaskan efektivitas kombinasi knowledge distillation dan algoritma pembelajaran mesin konvensional untuk klasifikasi situs web ilegal serta dapat menjadi dasar pengembangan sistem penyaringan konten web di masa mendatang.

The rapid growth of internet usage has led to an increasing number of illegal websites spreading harmful, fraudulent, or unauthorized content. This study develops an illegal website classification system using a knowledge distillation technique based on the DeepSeek model, where a large teacher model is utilized for autolabeling on a custom-built dataset. The labeled data from distillation is then used to train a lighter student model. The performance of three algorithms—Support Vector Machine (SVM), Random Forest (RF), and Naive Bayes (NB)—is compared, employing tokenization, stopword removal, TF-IDF vectorization, and oversampling to address class imbalance. Experimental results show that Random Forest achieves the highest accuracy at 97.2% with a macro-average F1-score of 0.97, while Naive Bayes excels in processing speed despite lower precision. This study demonstrates the effectiveness of combining knowledge distillation with conventional machine learning algorithms for illegal website classification and provides a solid foundation for future web content filtering systems."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ray Hans Surjadinata
"Sosial media telah membawa beberapa perubahan berarti berkat kehadiran fitur User Generated Content yang memungkinkan pengguna untuk membuat konten secara mandiri yang mengakibatkan kaburnya batas-batas komunikasi massa dengan privat, serta adanya algoritma penyebaran informasi milik platform sosial media yang mengubah aliran informasi dengan hanya memilih dan mengamplifikasi konten yang dianggap dapat menggugah dan meningkatkan keterlibatan pengguna. Tidak hanya itu, perkembangan sosial media juga mengubah fungsinya dari yang awalnya hanya sebagai sarana penyampaian informasi, kini juga menjadi sarana perdagangan melalui sistem elektronik. Namun kebebasan dalam pembuatan konten tersebut malah membawa isu baru mengenai maraknya penyebaran konten illegal seperti misinformasi yang dapat menyebabkan kekacauan dalam masyarakat maupun disinformasi yang dapat merugikan konsumen, terutama dalam fungsinya sebagai penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik. Penyebaran konten illegal juga diperparah oleh algoritma penyebaran informasi milik platform sosial media yang bersifat komersil yang hanya mengutamakan penyebaran informasi berbasis sensasionalisme untuk menarik keterlibatan pengguna sebanyak mungkin demi keuntungannya sendiri. Mengacu pada semakin besarnya kebergantungan masyarakat akan keberfungsian platform sosial media yang kini semakin meluas khususnya di Indonesia, maka keproaktifan dan juga pertanggungjawaban para platform sosial media untuk memastikan keandalan sistem dalam layanan digitalnya pun sangat diperlukan, terutama dalam memoderasi konten dan menyediakan sistem tata kelola dalam memitigasi penyebaran konten tersebut. Sebagai penelitian doktrinal, dengan memahami konsep dan kerangka hukum yang ada sebagai sumber hukum tertulis, penelitian ini akan membahas mengenai kesesuaian upaya pertanggungjawaban dan tata kelola para platform sosial media dengan kerangka regulasi Indonesia dan juga dalam menangani resiko. Melihat peraturan perundang-undangan yang secara tegas melarang keberperanan platform dalam menyebarkan konten illegal, para platform sebagai bagian dari pertanggungjawabannya sudah seharusnya wajib memastikan bahwa pihaknya tidak menjembatani penyebaran konten illegal dengan menerapkan sistem tata kelola yang aman, andal, dan bertanggungjawab.

Social media has brought significant changes thanks to the feature of User Generated Content that allow users to create content independently which results in the blurring between mass and private communication, as well as the existence of information dissemination algorithms owned by social media platforms that changes the information flow by only selecting and amplifying content that is able to increase user-engagement. Notwithstanding, the development of social media has also changed its original function from means of disseminating information, to now also means of trading through electronic systems. However, freedom to create content has instead brought new issues regarding the rampant spread of illegal content such as misinformation that cause chaos in society or disinformation that can harm consumers, especially in its function as means of trade through electronic systems. The spread of illegal content is also exacerbated by the information dissemination algorithm owned by social media platforms that prioritizes the spread of sensationalism-based information to attract as much user-engagement for their own benefit. Referring to the increasing dependence of society on the functioning of social media platforms in Indonesia, the proactivity and responsibility of social media platforms to ensure the reliability of their digital environment are demanded, especially in moderating content and providing a system to mitigate the spread of such content. As a doctrinal study, understanding the existing legal concepts and frameworks as written legal sources, this study will discuss the suitability of social media platforms' responsibility and governance efforts with the Indonesian regulatory framework upon dealing with the risk. Seeing the laws and regulations that has strictly prohibited the role of platforms in spreading illegal content, platforms as part of their responsibility should ensure that they don’t bridge the spread of illegal content by implementing a safe, reliable, and responsible governance system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library