Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farah Fakhria Fuad
"Penelitian ini disusun oleh peneliti untuk menjelaskan implikatur percakapan dan pelanggaran maksim yang terdapat dalam tiga iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh Bohemian Browser Ballett yang berjudul `Die Spolermafia`, `Flugscham` dan `das gröste Verbrechen unserer Zeit`. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang diterapkan kepada ketiga iklan tersebut. Setelah dilakukan penelitian secara merinci, hasil yang ditunjukkan memperlihatkan bahwa setiap iklan yang diteliti memiliki makna implisit yang ingin disampaikan kepada penonton yang melihatnya. Makna implisit yang ingin disampaikan merupakan kritik terhadap kejadian yang sedang dialami oleh umat manusia pada masa kini, seperti pembagian spoiler film oleh oknum tidak bertanggungjawab, pemanasan global, dan kapitalisme. Selain itu, di ketiga iklan ini juga terdapat pelanggaran maksim, yaitu ketika seseorang melanggar maksim saat melakukan percakapan. Pelanggaran maksim yang sering muncul dalam ketiga iklan ini adalah pelanggaran pada maksim relevansi dan maksim kuantitas.
This research was compiled by researchers to explain the implications of conversations and maxims violations contained in three public service advertisements made by Bohemian Browser Ballett entitled "Die Spolermafia", "Flugscham" and "das gröste Verbrechen unserer Zeit". The method used in this research is descriptive method applied to the three advertisements. After detailed research, the results shown show that each advertisement studied has an implicit meaning to be conveyed to the viewer who sees it. The implicit meaning to be conveyed is a critique of events currently being experienced by humanity today, such as the distribution of film spoilers by irresponsible people, global warming, and capitalism. In addition, there are also violations on these three advertisements, namely when someone violates the maxims while having a conversation. Maximum violations that often appear in these three ads are violations of the maxim of relevance and quantity maxim."
2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Syufrida
"Skripsi ini berisi pengkajian terhadap salah satu komik Indonesia yang berjudul Si Juki Komik Strip. Sebagai wacana hiburan sekaligus wahana kritik sosial, komik akan dikaji dari segi pragmatik, khususnya implikatur percakapan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan implikatur percakapan yang terkandung dalam unsur verbal pada komik. Selain itu, akan dijelaskan pula bentuk dan jenis pelanggaran-pelanggaran prinsip kerja sama yang terjadi dalam unsur-unsur verbal komik sebagai penanda adanya implikatur percakapan. Metode yang digunakan pada penelitian ini, yaitu metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran terhadap keempat maksim prinsip kerja sama dalam unsur verbal pada komik tersebut, dengan kecenderungan terjadi pada maksim relevansi dan maksim cara. Selain itu, ditemukan tiga kategori implikatur yang terkandung dalam unsur verbal pada komik, yaitu kategori direktif, ekspresif, dan representatif. Dari ketiga kategori tersebut, terlihat kecenderungan penggunaan implikatur kategori ekspresif yang terkandung dalam unsur verbal pada komik tersebut.
This thesis discusses one of Indonesian comics called Si Juki Komik Strip. As a discourse and medium of social criticism, the comic is discussed from a point of view of pragmatics, particularly on conversational implicature. This research aims at explaining its conversational implicatures consisting of verbal elements. The types of the violation of the cooperative principle shows conversational implicature, which is also explained in this study. This study used qualitative method. The result shows that there are violations of the four maxims of the cooperative principles?mostly of the maxim of relation and manner. Furthermore, three categories of implicatures were found in the verbal elements in the comic: directive, expressive, and representative. Of the three categories, the expressive implicature is the most frequently found in the verbal elements of the comic."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S61259
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Sekhudin
"[ABSTRAK
Tesis ini membahas tindak tutur dan implikatur percakapan melalui analisis wacana kritis (AWK) dalam tayangan Sentilan Sentilun Episode "Selangkah Menuju RI 1" di Metro TV dengan metode kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk menunjukkan bentuk tuturan dan implikatur percakapan yang dikomunikasikan sehingga ditemukan strategi tutur yang digunakan. Hasil analisis wacana kritis (AWK) menunjukkan bahwa tayangan Sentilan Sentilun Episode "Selangkah Menuju RI 1" di Metro TV lebih sering menggambarkan keadaan untuk menyampaikan pesan dan secara jelas menampilkan partisipannya. Strategi tutur yang sering digunakan adalah strategi tindak tutur tidak langsung (TTTL) dibandingkan strategi tindak tutur langsung (TTL). Hal ini terkait dengan penyampaian implikatur percakapan berupa pengungkapan citra Subjek, kritik, ajakan, meyakinkan, sindiran, ejekan, pengharapan, permintaan, saran, pengungkapan kesulitan, perintah, dan penegasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk menyampaikan implikatur percakapan, partisipan dalam tayangan Sentilan Sentilun Episode "Selangkah Menuju RI 1" di Metro TV terlihat jelas menggunakan strategi persuasif. Baik dengan bentuk tuturan asertif, direktif, maupun komisif.

ABSTRACT
This research discusses the speech acts and conversational implicatures through the critical discourse analysis (CDA) in Sentilan Sentilun Program Episodes "Selangkah Menuju RI 1" on Metro TV by using the qualitative methods. The purpose of this research is to show that the form of speech acts and conversational implicatures has found its strategy to be communicated. The results of the Critical Discourse Analysis (CDA) indicate that the Sentilan Sentilun Program Episodes "Selangkah Menuju RI 1" on Metro TV was more often describing the state of delivering the message and clearly displayed its participants. Speech act strategy was more frequently using the Indirect Speech Acts (ISA) rather than Direct Speech Acts (DSA). Due to this is associated with the conversational implicatures such as subject image, criticism, persuasing, convincing, insinuation, teasing, wishing, asking, suggesting, expression of adversity, orders, and the affirmation. Moreover, it can be concluded that to deliver conversational implicatures, participants in the Sentilan Sentilun Program Episodes "Selangkah Menuju RI 1" on Metro TV apparently used the persuasive strategies neither the form of speech assertive, directive, or commissive, This research discusses the speech acts and conversational implicatures through the critical discourse analysis (CDA) in Sentilan Sentilun Program Episodes "Selangkah Menuju RI 1" on Metro TV by using the qualitative methods. The purpose of this research is to show that the form of speech acts and conversational implicatures has found its strategy to be communicated. The results of the Critical Discourse Analysis (CDA) indicate that the Sentilan Sentilun Program Episodes "Selangkah Menuju RI 1" on Metro TV was more often describing the state of delivering the message and clearly displayed its participants. Speech act strategy was more frequently using the Indirect Speech Acts (ISA) rather than Direct Speech Acts (DSA). Due to this is associated with the conversational implicatures such as subject image, criticism, persuasing, convincing, insinuation, teasing, wishing, asking, suggesting, expression of adversity, orders, and the affirmation. Moreover, it can be concluded that to deliver conversational implicatures, participants in the Sentilan Sentilun Program Episodes "Selangkah Menuju RI 1" on Metro TV apparently used the persuasive strategies neither the form of speech assertive, directive, or commissive]"
2015
T44701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Hasianna Omega Tessalonika
"Sebagai bahasa yang bergantung pada penggunaan konteks, bahasa Jepang memiliki banyak tuturan dengan informasi yang disampaikan secara implisit. Informasi tersebut dapat berupa presuposisi dan implikatur percakapan. Penelitian ini membahas mengenai persamaan dan perbedaan presuposisi dan implikatur percakapan yang terkandung dalam satu tuturan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan hubungan presuposisi dengan implikatur percakapan dalam tuturan bahasa Jepang. Penelitian dilakukan mengacu pada teori prinsip kerja sama oleh Herbert Paul Grice dan teori presuposisi oleh George Yule dan Robert Stalnaker. Data penelitian diambil dari serial drama Keibuho Daimajin yang dikumpulkan dengan metode simak catat. Penyajian data dilakukan dengan menuliskan aksara Jepang, romaji, glossing, dan terjemahan bahasa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan 28 data dengan implikatur, 14 data dengan presuposisi, dan enam data dengan presuposisi dan implikatur percakapan dalam satu tuturan. Presuposisi dan implikatur percakapan sama-sama tidak diutarakan secara eksplisit, tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Implikatur percakapan adalah maksud sebenarnya penutur, tetapi presuposisi adalah informasi tambahan yang diselipkan dalam tuturan secara implisit.

Japanese has many utterances with implicitly conveyed information as a language that depends on context. Such information can be in the form of presuppositions and conversational implicatures. This study discusses the similarities and differences between presuppositions and conversational implicatures in an utterance. This study aims to explain the relations between presupposition and conversational implicature in Japanese utterances. The research referred to the theory of cooperation principle by Herbert Paul Grice and the theory of presupposition by George Yule and Robert Stalnaker. The research data were taken from the drama series Keibuho Daimajin and collected by observation and note. Data was presented by writing Japanese characters, romaji, glossing, and translating into Indonesian. The results showed 28 data with implicature, 14 with presupposition, and six with presupposition and conversational implicature in the same utterance. Presupposition and conversational implicature are not explicitly stated, but there are differences between the two. Conversational implicature is the speaker's intention, but presupposition is additional information tucked into the utterance implicitly."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oktiva Herry Chandra
"Pemahaman implikatur percakapan lebih sulit jika dibandingkan dengan pemahaman makna tersurat tuturan, lebih-lebih di dalam wacana humor yang penuh dengan muatan budaya pembuat tuturan tersebut. Perbedaan budaya yang melatarbelakangi masing-masing penutur dan petutur akan berdampak pada mudah dan tidaknya makna implisit tersebut diungkap kembali.
Penelitian ini bertujuan memaparkan dan memberikan deskripsi tentang pemahaman implikatur percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama. Paparan dan deskripsi tersebut mencakup strategi penguasaan atau pemahaman implikatur percakapan serta sebab-sebab kegagalan di dalam memahami implikatur percakapan.
Teori yang menjadi landasan di dalam penelitian kualitatif ini adalah teori Grice (1975) tentang implikatur percakapan dan prinsip kerja sama dan teori Sperber dan Wilson (1995) tentang enam fitur teori relevansi. Data penelitian ini terdiri atas informasi tentang strategi atau cara menarik inferensi pragmatik dalam sebuah percakapan dan jawaban responden terhadap kuesioner. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis data kualitatif dan rnetode analisis pragmatik dengan menggunakan analisis fitur relevansi.
Dari analisis data penelitian ini diperoleh temuan bahwa strategi pemahaman implikatur percakapan pada lima jenis tindak tutur, yaitu 1) tindak tutur direktif, 2) tindak tutur komisif, 3) tindak tutur ekspresif, 4) tindak tutur representatif, dan 5)tindak tutur deklaratif, tidak menunjukkan perbedaan cara di dalam menarik inferensi pragmatik sebuah tuturan. Untuk dapat menarik implikasi pragmatik sebuah tuturan keenam fitur relevansi digunakan,yaitu 1) eksplikatur, 2) andaian dan simpulan implikatur, 3) sumber petutur, 4) pengungkapan makna, 5) aksesabilitas, dan 6) tuturan sementara. Kesalahan dalam menenrukan salah satu fitur relevansi tersebut akan berdampak pada kesulitan di dalam memahami implikasi pragmatik sebuah tuturan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa keterpahaman sebuah implikatur percakapan mensyaratkan kemampuan petutur untuk dapat mengidentifikasi keenam fitur relevansi tersebut dengan benar. Kegagalan di dalam memahami implikatur percakapan disebabkan kegagalan di dalam mengidentifikasi dan mendeskripsikan salah satu atau beberapa fitur. Adapun jenis fitur relevansi yang gagal diidentifikasi sangat bervariasi antara responden yang satu dengan responden lain. Responden gagal menginterpretasikan wacana humor yang ada karena salah di dalam 1) menangkap eksplikatur ujaran, 2) mengambil andaian dan simpulan implikatif, 3) mengembangkan kesan konteks ujaran, 4) memberikan pemaknaan yang tepat pada ujaran, atau 5) menentukan tuturan sementara yang dijadikan acuan dalam membuat simpulan.

Understanding a conversational implicature is more difficult than comprehending the explicit meaning of an utterance, especially humor discourses, which are rich of speaker's cultural background. The cultural difference between speaker and hearer creates an impact on revealing the understanding of implicit meaning.
The aims of this research are to explore and to describe a conversational implicature understanding, which appears as the result of cooperative principle violations. The explanation and description encompass the strategy of conversational implicature understandings and the causes of failure in understanding conversational implicature.
This qualitative research is based on Grice's (1975) theory of conversational implicature and cooperative principle and Sperber and Wilson's (1995) theory of relevance. The sources of data are the information of strategy or way of pragmatic inferring and the answer of respondents to questionnaires. Qualitative and pragmatic analyses using six features of relevance theory are conducted to analyze the data.
The findings of the research show that the strategies used in understanding conversational implicatures of the five speech acts, namely, 1) directive, 2) commissive, 3) expressive, 4) representative, and 5) declarative, aren't dissimilar in inferring pragmatic implications of utterances. To infer pragmatic implications, speaker applies simultaneously the six features of relevance, such as 1) explicature, 2) implicit premise and conclusion, 3) hearer's source, 4) meaning judgment, 5) accessibility, and 6) garden-path utterance. A mistake in determining one of the features of relevance causes difficulties in understanding the pragmatic implication of utterances.
The analysis shows that the comprehension of a conversational implicature requires the hearer's ability to identify six features of relevance. A failure in identification of one or some features causes a misunderstanding in comprehending the conversational implicatures. And the features that can't be identified by respondents vary among them. Respondents fail to interpret the humor discourses since they fail in 1) identifying the explicature of utterance, 2) determining the implicative premise and conclusion, 3) developing the contextual meaning of utterance, 4) giving the right meaning of the utterance, or 5) determining the garden-path of utterance as reference in interpreting the discourses.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T1227
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raina Surtiani
"ABSTRAK
Jurnal ini bertujuan untuk menganalisis unsur pragmatik, yaitu implikatur percakapan dan pelanggaran maksim yang terdapat pada web drama Gogh rsquo;s Starry Night. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik kajian pustaka. Manusia sebagai makhluk sosial berinteraksi menggunakan bahasa yang merupakan sarana efektif untuk berkomunikasi satu sama lain. Dalam praktiknya, penutur bahasa banyak menggunakan implikatur dan pelanggaran maksim untuk mencapai tujuan tertentu dan menyampaikan maksud tertentu secara tidak langsung. Karakter-karakter pada drama Gogh rsquo;s Starry Night banyak menggunakan implikatur percakapan dan melakukan pelanggaran maksim demi mencapai tujuan yang diinginkan. Pelanggaran maksim yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pada drama ini berupa flouting a maxim dan violating a maxim, serta pelanggaran pada maksim relevansi, maksim pelaksanaan, dan maksim kuantitas, dilakukan untuk mengecoh dan menyenangkan mitra tutur, serta untuk menyampaikan maksud yang ingin disampaikan tanpa perlu mengatakannya secara langsung.

ABSTRACT
This journal focuses on analyzing the pragmatic elements, which are the conversational implicature and violation of maxims, from dialogues used in Gogh rsquo s Starry Night. This journal uses qualitative method with the technique of literature review. As social beings, humans are interacting with language, which is an effective way to communicate with one another. In real life, speakers use a lot of implications and maxim violations to achieve certain goals or to deliver their intentions indirectly. Characters in Gogh rsquo s Starry Night use a lot of conversational implicatures and violating maxims to attain those goals. Maxim violations which are used by the characters on this drama such as flouting a maxim, violating a maxim, and the violation of maxim of relevance, maxim of manner, and maxim of quantity, are used to deceive and satisfy the hearer, or to tell the truth without saying it directly."
2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Chris Prihartini Maryanto
"ABSTRAK
Penulis tertarik untuk menganalisis ujaran-ujaran Iago, seorang tokoh di dalam Othello, dari sudut pandang pragmatik karena dua hal, yaitu: pertama, karena belum ada mahasiswa di Jurusan Sastra Inggris yang mengambil ujaran-ujaran yang terdapat di dalam drama untuk dianalisis dari sudut pragmatik, dan kedua, karena ujaran-ujaran yang penulis analisis adalah ujaran-ujaran yang digunakan oleh Iago untuk memperdaya lawan bicaranya, tetapi tidak merusak hubungan sosial antarpenyerta komunikasi. Dikatakan demikian karena Iago melakukan tindakan memperdaya tidak secara langsung, melainkan melalui implikatur. Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa masalah yang dibahas di dalam skripsi ini adalah masalah makna dan fungsi ujaran: yaitu ujaran yang tidak hanya mengungkapkan makna harfiahnya, melainkan juga menampilkan fungsi ujarannya. Hal ini dapat terjadi karena di dalam ujaran tersebut terdapat daya ilokusi dan yang disertai dengan konteks dapat membawa lawan bicara sampai pada kesimpulan yang diinginkan uleh penutur.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memerikan (1) bagaimana ujaran-ujaran yang dipakai seseorang, di dalam hal ini Iago di dalam Othello, dapat memperdaya lawan bicaranya, dan (2) maksim apa saja dari prinsip kerja sama Grice yang dilanggar ketika Iago melakukan tindakan memperdaya itu.
Data diambil dari ujaran-ujaran Iago di dalam Othello. Korpus data penulis analisis dengan menggunakan model analisis tujuan (goal analysis) yang dikemukakan oleh Parisi dan Castelfranchi (1981), dilengkapi dengan (1) teori tindak tutur (speech act) yang dikemukakan oleh Austin (1978), (2) teori pragmatik (pragmatics) yang dikemukakan oleh Levinson (1983). (3) teori konteks (context) yang dikemukakan oleh Dascal (1981) dan (4) teori tindakan memperdaya (deceptive action) yang dikemukakan oleh Vincent dan Castelfranchi (1981).
Kesimpulan analisis skripsi ini adalah bahwa Iago selalu berhasil memperdaya lawan bicaranya karena ia memiliki kompetensi komunikatif, yang memungkinkan dia dapat mengenali konteks situasi ujaran dengan baik.

"
1990
S14099
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hafifa Eighta Novira
"Pelanggaran prinsip kerja sama sering kali terjadi dalam pertuturan sehari-hari, termasuk di media sosial. Penelitian ini memaparkan bagaimana ilokusi pada komentar para warganet di Twitter berhubungan erat dengan munculnya pelanggaran prinsip kerja sama dan implikatur percakapan. Hal tersebut mampu mencerminkan kecenderungan perspektif para warganet pengguna Twitter tentang kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kombinasi kualitatif dan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data observasi nonpartisipatoris. Data yang digunakan diambil dari Twitter, yakni kolom komentar sebuah cuitan bertema kekerasan seksual pada mahasiswi Indonesia. Teori yang digunakan untuk membedah data adalah teori implikatur Grice dan tindak ilokusioner Searle. Hasil penelitian ini adalah para warganet cenderung melanggar maksim cara dalam berkomentar serta ilokusi yang mendominasi adalah direktif. Para warganet cenderung menanyakan hal di luar konteks; menyarankan hukuman yang pantas untuk pelaku kekerasan seksual; mempromosikan barang dan jasa; dan yang paling khas adalah menyebut nama pengguna Twitter lainnya dalam komentar. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi secara rekursif tersebut juga menunjukkan karakteristik pelanggaran prinsip kerja sama di Twitter.

Violations of cooperative principle often occur in everyday speech, including on social media. This research describes how illocutionary acts in netizens’ comments on Twitter are related to the emergence of violations of cooperative principle and conversational implicatures. This reflects the tendency of the perspective of Twitter users regarding cases of sexual assault against Indonesian female scholar. This research uses a combination of qualitative and quantitative approaches with non-participatory observation data collection techniques. The data used in this research was taken from the comment column in Twitter of a tweet themed about sexual assault against Indonesian female scholar. The theories used in data analysis are Grice’s implicature and Searle's illocutionary act. The result of this research is that netizens tend to violate the maxim of manner in commenting and the dominant illocutionary act is directive. Netizens tend to ask questions outside the context; suggest appropriate punishments for perpetrator of sexual assault; promote goods and services; and the most typical is mentioning other Twitter usernames in their comments. These recursive violations also show the characteristics of violations of the cooperative principle on Twitter."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Putri Ramdhani
"Instagram menjadi media bagi komikus untuk mengembangkan komik berbasis digital. Salah satu komik yang memanfaatkan Instagram dalam penyajian digital adalah Woiangok. Woiangok (Komik Sinting) adalah komik yang menceritakan kisah komedi Angok dan teman-temannya. Dalam membangun unsur humor, komik ini mengandung implikatur percakapan serta melanggar prinsip kerja sama. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengungkapkan implikatur percakapan yang terkandung dalam Woiangok. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa dua belas komik digital dari akun Instagram @woiangok tahun 2021 yang mengandung implikatur percakapan. Analisis data dilakukan menggunakan teori fungsi umum tindak tutur Yule (2014), prinsip kerja sama Grice (1975), dan sifat humor Danandjaja (1988). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat jenis implikatur yang berfungsi sebagai penunjang humor dalam Woiangok, yaitu implikatur direktif, ekspresif, representatif, dan komisif. Selain itu, terdapat juga pelanggaran pada maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara sebagai faktor terjadinya implikatur. Dari hasil penelitian ini, kemunculan terbanyak ditemukan pada jenis implikatur direktif kategori penyampaian perintah, implikatur representatif kategori penyampaian fakta, pelanggaran maksim relevansi, dan humor bersifat mempunyai arti ganda.

Instagram has become a platform for comic artists to develop digital-based comics. One of the comics that utilizes Instagram for digital presentation is Woiangok. Woiangok (Komik Sinting) tells the comedic story of Angok and his friends. In constructing elements of humor, this comic involves conversational implicature and violates the principle of cooperation. This study aims to examine and reveal the conversational implicature contained in Woiangok. The method used in this research is qualitative. The data consists of twelve digital comics from the Instagram account @woiangok in 2021 that contain conversational implicature. Data analysis is conducted using Yule’s (2014) theory of the general function of speech acts, Grice’s (1975) cooperative principle, and Danandjaja’s (1988) the nature of humor. The research results show that there are four types of implicature that function to support humor in Woiangok: directive implicature, expressive implicature, representative implicature, and commissive implicature. Additionally, there are violations of the maxims of quantity, quality, relevance, and manner as factors contributing to implicature occurrence. From this study, the most common occurrences are found in the directive implicature category of issuing commands, representative implicature category of presenting facts, violations of the relevance maxim, and humor has a dual meaning."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Purwiati Rahayu
"Dalam skripsi ini, saya meneliti bagaimana empat orang pria dan seorang wanita Jerman dalam novel Das Superweib menyatakan persetujuan atau penolakan kepada mitra tutur. Saya membatasi percakapan antara empat orang tokoh pria dan seorang tokoh wanita karena kelima orang tersebut adalah tokoh sentral dalam novel karya Hera Lind ini. Ungkapan yang mereka gunakan untuk menyatakan persetujuan atau penolakan dianalisis dari tataran pragmatik berdasarkan teori implikatur percakapan dari Grice dan dari tataran sosiolinguistik berdasarkan teori mengenai ragam bahasa pria dan ragam bahasa wanita dari Katrin Oppermann-Erika Weber dan Ingrid Samel. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh empat orang tokoh utama pria dan seorang tokoh utama wanita Jerman dalam novel Das Superweib untuk menyatakan persetujuan atau penolakan ditinjau dari implikatur percakapan. Selain itu, ungkapan-ungkapan yang mereka gunakan untuk menyatakan persetujuan atau penolakan tersebut dikaitkan dengan ciri ragam bahasa pria dan ragam bahasa wanita. Setelah menganalisis data, saya menyimpulkan bahwa empat orang tokoh utama pria dalam novel Das Superweib lebih sering menggunakan implikatur percakapan dalam menyatakan persetujuan atau penolakan dibandingkan dengan tokoh utama wanita. Namun sebaliknya, ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh tokoh utama wanita dalam novel ini untuk menyatakan persetujuan atau penolakan lebih banyak menunjukkan ciri ragam bahasa wanita dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh empat orang tokoh utama pria yang menunjukkan ciri ragam bahasa pria.

In dieser Examensarbeit untersuche ich, wie vier deutsche Männer und eine deutsche Frau die Zustimmung oder Ablehnung zu ihren Gesprächspartnern ausdrücken. Ich habe meine Daten nur auf die Gespräche zwischen einer weiblichen Hauptfigur und vier männlichen Hauptfiguren im Roman ?Das Superweib? beschränkt, denn die fünf Personen sind die Zentralfiguren in dieser Arbeit von Hera Lind. Die Ausdrücke, die sie benutzen, um Zustimmung oder Ablehnung auszudrücken, werden pragmatisch und soziolinguistisch analysiert. Die Analyse basiert sich auf die konversationelle Implikatur-Theorie von Grice so wie auch die Theorie von Katrin Oppermann-Erika Weber und Ingrid Samel über Männersprache und Frauensprache. Das Ziel dieser Untersuchung ist, um herauszufinden, welche Ausdrücke, die vier deutsche Männer und die deutsche Frau im Roman ?Das Superweib? benutzen, um Zustimmung oder Ablehnung auszudrücken. Diese Ausdrücke werden vom Aspekt der konversationellen Implikatur gesehen. Auβerdem werden die Ausdrücke mit den Merkmalen der Männersprache und Frauensprache verglichen. Nach der Datenanalyse kam ich zu der Schluβfolgerung, dass die vier deutsche Männer im Roman ?Das Superweib? öfter als die deutsche Frau die konversationelle Implikatur benutzten, um Zustimmung oder Ablehnung auszudrücken. Im Gegensatz dazu sind Ausdrücke, die von der deutschen Frau benutzt wurden, um Zustimmung oder Ablehnung auszudrücken, mehr die Merkmale der Frauensprache zeigen, als die Ausdrücke von den vier Männern, die die Merkmale der Männersprache zeigen."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S14975
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>