Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rinda Martanti Riswandi
Abstrak :
Latar belakang: Di Indonesia praktik bayi FIV telah berkembang cukup pesat di berbagai klinik dan Rumah Sakit. Namun begitu, belum ada studi terkait luaran pertumbuhan dan perkembangan pada bayi FIV. Tujuan:Mengetahui dan menganalisis profil tumbuh kembang dan hubungan luaran anak usia 0-3 tahun hasil kehamilan FIV dibandingkan hasil kehamilan alami. Metode:Studi potong lintang digunakan untuk menggambarkan data karakterstik, luaran pertumbuhan dan perkembangan, serta morbiditas. Kemudian dilakukan kohort retrospektif pertumbuhan anak sejak lahir sampai usia saat pemeriksaan pada kelompok anak usia 0-3 tahun. Hasil: Tren BB, PB/TB, dan LK antara kedua kelompok cenderung sama sampai usia 30 bulan, usia 15 bulan, dan usia 24 bulan. Uji Capute Scalesdidapatkan hasil gangguan komunikasi pada 9 anak, yaitu 3 anak FIV dan 6 anak non-FIV dengan 66,7% dan 16,7% BBLR late-preterm. Kelompok subjek hasil kehamilan FIV memiliki risiko kehamilan 2,65x multipel dengan nilai interval kepercayaan/IK 1,877-3,762 (p<0,001), risiko seksio sesarean 2,48x nilai IK 1,938-3,190 (p<0,001), 1,8x kelainan kongenital nilai IK 1,296-2,514 (p 0,061),dan risiko ASI tidak eksklusif 2,68x nilai IK1,573-4,593 (p<0,001) dibandingkan kelompok subjek hasil kehamilan alami. Regresi multivariat menunjukkan kelompok subjek FIV memiliki 39,8x risiko kehamilan multipel (p0,001) dan 5x ASI tidak eksklusif (p 0,002) dibandingkan kelompok subjek hasil kehamilan alami. Simpulan:Tren BB, PB/TB, dan LK antara kedua kelompok relatif sama sampai usia tertentu. Gangguan komunikasi cenderung lebih banyak dijumpai pada anak hasil FIV. Anak hasil FIV memiliki risiko lebih tinggi kehamilan multipel, kelahiran SC, kelainan kongenital, dan ASI eksklusif inadekuat dibandingkan anak hasil kehamilan alami. ......Background:The IVF practice has been well developed in a number of health facilities and hospitals in Indonesia. However, the growth and development in children conceived from IVF have not yet been studied. Objective:To understand and analyze the growth and development profile of children aged 0-3 years conceived through IVF method compared to spontaneous pregnancy. Methods: Cross-sectional study was conducted to describe the characteristic, growth and development profile, and morbidities data. Retrospective cohort study on growth data from birth to current age was also performed. Results:The trend of body weight, body length/height and head circumference between the two groups tend to be similar up to 30 months, 15 months, and 24 months of age. Capute Scales test depicted communication disorders in 9 children consisted of 3 IVF and 6 non-IVF children with 66.7% and 16.7%, respectively, were LBW late-preterm. Subjects with IVF had 2.65x higher risk of multiple pregnancies with CI 1.877-3.762 (p<0.001), 2.48x higher risks of SC labour 2.48x CI 1.938-3.190 (p<0.001), risks of congenital anomalies 1.8x CI 1.296-2.514 (p 0.061) and risks of inadequate breast feeding 2.68x CI 1.573-4.593 (p<0.001) than non-IVF subjects. Multivariate regression showed that IVF subjects had higher risks of multiple pregnancy 39.8x (p 0.001) and inadequate breast feeding 5x (p 0.002) than non-IVF subjects. Conclusion:The trend of body weight, body length/height and head circumference between the two groups are relatively similar up to a certain age. Communication disorders are found higher in IVF subjects. Subjects with IVF pregnancy also had higher risks of multiple pregnancies, SC labour, congenital anomalies, and inadequate breast feeding compared to non-IVF subjects.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57772
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fedrik Monte Kristo
Abstrak :
Latar Belakang: Penggunaan fertilisasi in vitro (IVF) sebagai Teknologi Reproduksi Terbantu (ART) untuk mengatasi infertilitas semakin meningkat secara global. Meskipun transfer embrio pada tahap blastosis merupakan praktik umum dalam prosedur IVF, terdapat kekhawatiran mengenai hasil perinatal yang terkait dengan tahap ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor prediktor dalam mencapai embrio blastosis dengan kualitas tertinggi (grade AA) berdasarkan kualitas embrio hari ketiga, kualitas sperma, dan karakteristik pasien. Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada peserta IVF di sebuah klinik di Jakarta, Indonesia, dari Januari hingga Desember 2019. Studi melibatkan 320 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Variabel yang dianalisis meliputi kualitas embrio hari ketiga, grade embrio blastosis, kualitas sperma, dan usia ibu. Analisis statistik dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah sel (> 8 sel) dan simetrisitas embrio hari ketiga adalah prediktor signifikan dalam mencapai embrio blastosis grade AA. Usia ibu dan kualitas sperma tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan grade embrio blastosis. Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menekankan pentingnya kualitas embrio dalam menentukan hasil embrio blastosis. Kesimpulan: Jumlah sel dan simetrisitas embrio hari ketiga merupakan prediktor dalam mencapai embrio blastosis grade AA pada peserta IVF. ......Background: The use of in vitro fertilization (IVF) as an Assisted Reproductive Technology (ART) to address infertility is on the rise globally. While embryo transfer at the blastocyst stage is a common practice in IVF procedures, there are concerns regarding the perinatal outcomes associated with this stage. This study aimed to identify predictors of achieving the highest quality blastocyst (AA grade) based on the quality of third-day embryos, sperm quality, and patients' characteristics. Methods: A retrospective cohort study was conducted on IVF participants at a clinic in Jakarta, Indonesia, from January to December 2019. The study included 320 patients who met the inclusion criteria. Variables analyzed included third-day embryo quality, blastocyst grade, sperm quality, and maternal age. Statistical analyses were performed using SPSS software. Results: The results showed that cell number (>8 cells) and symmetricity of third-day embryos were significant predictors of achieving AA grade blastocysts. Maternal age and sperm quality did not show significant associations with blastocyst grade. The study findings aligned with previous research highlighting the importance of embryo quality in determining blastocyst outcomes. Conclusion: Cell number and symmetricity of day 3 embryos were the predictors of AA grade blastocyst in IVF participants.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Batara Imanuel
Abstrak :
Pengawetan fungsi reproduksi dengan simpan beku oosit matur tidak dapat dilakukan pada pasien kanker, sehingga simpan beku oosit imatur menjadi pilihan. Simpan beku oosit imatur masih terkendala angka maturasi dan fertilisasi yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh vitrifikasi sel kumulus granulosa sebagai representasi maturitas dan kualitas oosit matur dan imatur. Penanda maturitas adalah GDF-9, BMP-15, FSHR, LHR, dan koneksin-37, sedangkan kaspase-3 dan survivin sebagai penanda kualitas. Kadar protein total dan protein spesifik penanda maturitas (FSHR, LHR) dan kualitas (kaspase-3) oosit juga diteliti untuk memperoleh gambaran komprehensif pascavitrifikasi. Disain penelitian adalah true eksperimental in-vitro, dilakukan dari bulan Juli 2020 sampai Februari 2022. Subjek penelitian adalah pasien yang menjalani program fertilisasi in-vitro di klinik bayi tabung Morula IVF, RSIA Bunda Jakarta. Sampel sel kumulus-granulosa dari 38 pasien dengan diagnosis sindrom ovarium polikistik (SOPK) dianalisis. Prosedur vitrifikasi dilakukan dengan memajan sel kumulus-granulosa pada medium ekuilibrasi (VS1, 15% etilen glikol) selama 5 menit dan medium vitrifikasi (VS2, 15% etilen glikol, 15% dimethyl sulfoxide dan 0,5 M sukrosa) selama 30 detik. Sel kumulus-granulosa dimasukkan secara cepat ke nitrogen cair (suhu -196 oC). Setelah 5 menit, sampel dihangatkan dengan memajankan larutan sukrosa bertingkat 0,5 M, 0,25 M, 0.125 M. Metode real-time quantitative polimerase chain reaction (rt-qPCR) digunakan untuk mengukur ekspresi relatif dan sandwich Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mengukur kadar protein. Analisis data menggunakan T-independent atau Mann-Whitney. Analisis ekspresi relatif gen target level mRNA menggunakan rumus Pfaffl. Didapatkan kadar protein total yang tidak berbeda bermakna antara sel kumulus-granulosa oosit matur dan imatur (30 µg/mL dan 12,5 µg/mL, nilai p > 0,05). Kadar protein spesifik FSHR, LHR dan Kaspase-3 juga tidak berbeda bermakna antara kelompok oosit matur dan imatur (masing-masing adalah 0,47 µg/mL dan 0,48 µg/mL, 0,1 µg/mL dan 0,09 µg/mL, 0.51 µg/mL dan 0.58 µg/mL, nilai p > 0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna ekspresi relatif BMP-15, LHR dan koneksin-37 pascavitrifikasi pada kelompok sel kumulus-granulosa oosit matur dan imatur (masing-masing 1,6 dan 1,4 kali untuk BMP-15, 2,3 dan 2,3 kali untuk LHR, 0,9 dan 0,9 kali untuk koneksin-37, nilai p < 0,01). Didapatkan penurunan bermakna ekspresi relatif GDF-9 dan FSHR pada kelompok sel kumulus-granulosa oosit matur dan imatur (masing-masing 0,2 dan 0,1 kali untuk GDF-9, 0,3 dan 0,02 kali untuk FSHR, nilai p < 0,01). Ekspresi relatif gen penanda kualitas oosit matur dan imatur yaitu survivin dan kasapase-3 tidak berubah pascavitrifikasi (1,3 dan 1,2 kali untuk survivin, 0,7 dan 0,8 kali untuk kaspase-3, nilai p > 0,05). Analisis kadar protein FSHR, LHR, dan kaspase-3 pascavitrifikasi menunjukkan bahwa vitrifikasi tidak mengubah ekspresi gen sel kumulus granulosa oosit matur dan imatur (masing-masing adalah 0,4;0,4 µg/mL dan 0;4;0,5 µg/mL untuk FSHR, 0,1;0,1 µg/mL dan 0,1;0,1 µg/mL untuk LHR, 1,9;1,5 µg/mL dan 1,7;1,6 µg/mL untuk kaspase-3, nilai p > 0,05). Disimpulkan simpan beku sel kumulus-granulosa dengan metode vitrifikasi tidak mengubah ekspresi gen penanda maturitas dan kualitas oosit kecuali GDF-9 dan FSHR. Vitrifikasi terbukti aman untuk mempertahankan viabilitas sel kumulus-granulosa sebagai representasi kesintasan oosit matur dan imatur. ......Fertility preservation through mature oocytes cannot be recommended for cancer patients and immature oocytes is preferable. However, immature oocyte vitrification remains unfavorable due to low number of mature oocytes as well as low fertilizability post-warming. This study aimed to investigate the effect of cumulus-granulosa cells' vitrification on maturity and quality-associated markers of mature and immature oocytes as an indirect assessment. Expression of GDF-9, BMP-15, FSHR, LHR, and Connexin-37 genes which represent oocyte maturity and oocyte quality (caspase-3 and survivin) were analyzed post-warming. Protein total and specific proteins including FSHR, LHR, and Caspase-3 were also measured to comprehend the effect of vitrification. This was an in-vitro experimental study conducted from Juli 2020–February 2022 in Morula IVF Jakarta Clinic. A total of 38 cumulus-granulosa cell samples from infertile women diagnosed with polycystic ovary syndrome (PCOS) were analyzed. Vitrification was commenced by exposing the cells sample to the equilibration medium containing 15% EG for 5 minutes followed by exposing the cells to vitrification medium (15% EG and 15% DMSO) for 30 seconds. Cell samples were subsequently immersed in liquid nitrogen (-196 0C) for 5 minutes. Warming procedure using sucrose solution (0.5 M, 0.25 M, 0.125 M) was performed consecutively. Real-time quantitative polymerase chain reaction (rt-qPCR) dan sandwich ELISA was utilized to measure relative expression and concentration of both total and specific protein. Data analysis was performed using T-independent or Mann-Whitney and Pfaffl formulation for fold-changes measurement. This study found that concentration of both total (30 µg/mL vs. 12.5 µg/mL, p > 0.05) and specific proteins was similar between cumulus-granulosa cells of mature and immature oocytes (FSHR: 0.47 µg/mL vs. 0.48 µg/mL , LHR: 0.1 µg/mL vs. 0.09 µg/mL, and caspase-3: 0.51 µg/mL and 0.58 µg/mL, respectively, p > 0.05). Relative expression of maturity-associated genes such as BMP-15, LHR and connexin-37 post-warming did not significantly different in either cumulus-granulosa cells obtained from mature or immature oocytes (BMP-15: 1.6 vs. 1.4 fold, LHR: 2.3 vs. 2.3 fold, connexin-37: 0.9 vs. 0.9 fold, p > 0.05). However, we observed decreased relative expression of GDF-9 and FSHR post-warming in either cumulus-granulosa cells obtained from mature or immature oocytes (GDF-9: 0.2 vs 0.1 fold, and FSHR: 0.3 vs. 0.02 fold, p < 0.01, respectively). In protein level, concentration of FSHR, LHR, and caspase-3 as well as protein total post-warming did not significantly different than that of fresh condition (FSHR: 0.4 vs. 0.4 µg/mL and 0.4 vs. 0.5 µg/mL, LHR: 0.1 vs. 0.1 µg/mL dan 0.1 vs. 0.1 µg/mL, and caspase-3: 1.9 vs. 1.5 µg/mL and 1.7 vs. 1.6 µg/mL, repectively, p > 0,05). This study concluded that vitrification is a safe procedure for fertility preservation which is able to preserve cumulus-granulosa cells viability as a representative of mature and immature oocytes survival post-warming.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Athalia Yasmine
Abstrak :
Fertilisasi In Vitro (IVF) adalah salah satu Teknik Reproduksi Berbantu (TRB) untuk membantu orang dengan masalah infertilitas yang mempengaruhi jutaan orang usia reproduksi di seluruh dunia. Akses yang setara ke perawatan kesuburan masih menjadi tantangan; biaya hidup yang tinggi, kurangnya kebijakan yang mendukung—dan akses terbatas ke perawatan infertilitas. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif-komparatif untuk melihat perbandingan pertanggungan hukum dan asuransi di antara dua negara besar ASEAN, Indonesia & Singapura. Dimana pemerintah Singapura sebagai pronatalis mencakup sebagian besar perawatan kesuburan dengan skema pembiayaannya dan Indonesia tidak memiliki perlindungan oleh negara. Masuk akal bagi kedua negara untuk mengatur undang-undang di mana mengadopsi mandat asuransi infertilitas adalah salah satu cara untuk meningkatkan akses ke layanan ini untuk memastikan ketersediaan informasi dan fasilitas layanan kesehatan reproduksi yang aman, berkualitas, dan terjangkau. ......In Vitro Fertilization (IVF) is one of the Assisted Reproductive Technique to help people with infertility that affects millions of people of reproductive age worldwide. Equal and equitable access to fertility care still remain as a challenge; high living costs, lack of supportive policies—and limited access to infertility treatments. This research use juridical normative method with descriptive-comparative approach to see the comparison of legal and insurance coverage in between two major ASEAN country, Indonesia & Singapore. Whereas, Singapore government as a pronatalist covers most of the fertility treatments with its financing scheme and Indonesia had zero coverage by the state. It is reasonable for both country to regulate a law where adopting an infertility insurance mandate which cover the process of IVF is one way to increase access to these services to ensure the availability of safe, quality, and affordable reproductive health information and service facilities.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ervan Surya
Abstrak :
Latar belakang: Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu tata laksana utama dalam penanganan infertilitas. Penyuntikan human Chorionic Gonadotropin (hCG)eksogen merupakan salah satu tahapan penting dalam proses FIV untuk proses maturasi oosit. Walaupun sudah terdapat penelitian sebelumnya mengenai korelasi kedua hal tersebut, namun belum didapatkan suatu model prediksi maturitas oosit. Tujuan:Mengetahui korelasi kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan terhadap tingkat maturitas oosit pada FIV dan model prediksi maturitas oosit. Metode:Penelitian ini merupakan sebuah penelitian potong lintang yang dilakukan pada peserta program FIV di Klinik Yasmin, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia sejak Januari 2020 hingga Desember 2020. Pasien dengan riwayat prosedur pembedahan ovarium, kemoterapi, radioterapi, dan peserta poor responder dieksklusi dari penelitian. Dilakukan penyuntikan r-hCG 250 µg secara subkutan pada semua subjek. Kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan dan tingkat maturitas oosit setiap subjek dikumpulkan dan dianalisis. Hasil:Didapatkan sebanyak 28 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian. Didapatkan korelasi yang tidak bermakna antara kadar hCG 12 jam pascapenyuntikan dan tingkat maturitas oosit (r = 0,052, p = 0,788). Namun, didapatkan kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan yang lebih tinggi pada subjek dengan tingkat maturitas >75% (mean diff 34.78,p = 0.046). Didapatkan titik potong kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan sebesar 90.15 mIU/mL untuk memprediksi tingkat maturitas yang baik. (sensitivitas 68.2%, spesifisitas 83.3%). Prediksi tingkat maturitas oosit dapat dilakukan dengan mengetahui kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan dan indeks massa tubuh (IMT) subjek (sensitivitas 83.3%, spesifisitas 68.2%).Simpulan:Kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat maturitas oosit yang lebih baik pada peserta program FIV. Tingkat maturitas oosit dapat diprediksi melalui kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan dan IMT. ......Background: In vitro fertilization (IVF) is one of the main treatments of infertility. Exogenous Human chorionic gonadotropin (hCG) injection is an important process of IVF and thought to be vital in determining oocyte maturation. This study aims to determine the relationship between 12 hours post-injection serum hCG and oocyte maturation rate on IVF participants. Method: This is a cross-sectional study on IVF participants on Yasmin Clinic, dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta, Indonesia, during the period of January 2020 to December 2020. Subjects with history of ovarian surgery, chemotherapy, radiotherapy, and poor responder subjects were excluded from the study. Subjects were injected with 250 µg of r-hCG subcutaneously. Twelve hours post-injection serum hCG level and oocyte maturation rate were collected and analyzed accordingly. Result: A total of 28 subjects were included in the study. It was found that higher 12 hours post-injection serum hCG was related with subjects with >75% oocyte maturation rate (mean diff 23.78, p = 0.046). The cut-off point of 12 hours post-injection serum hCG in order to predict better oocyte maturation rate was found to be 90.15 mIU/mL (sensitivity 68.2%, specificity 83.3%). Oocyte maturation rate predicted may be calculated using body mass index and 12 hours post-injection serum hCG. (sensitivity 83,3%, specificity 68,2%). Conclusion: Higher 12 hours post-injection serum hCG was associated with higher oocyte maturation rate on IVF subjects. Oocyte maturation rate may be predicted using body mass index and 12 hours post-injection serum hCG
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cherysa Rifiranda
Abstrak :
Latar belakang: Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu metode tata laksana infertilitas yang paling banyak dilakukan di dunia. Kualitas embrio pada FIV sangat dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas oosit. Kadar AMH merupakan marka yang rutin diperiksakan pada peserta program FIV. Namun, belum diketahui secara jelas hubungan AMH dengan kualitas dan jumlah oosit. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional retrospektif dengan desain potong lintang pada seluruh peserta program FIV usia 18-45 tahun di Klinik Yasmin, RSCM Kencana, Jakarta, pada periode Januari 2013 hingga Desember 2019. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling. Subjek dengan data tidak lengkap, memiliki etiologi infertilitas berupa sindrom ovarium polikistik, endometriosis, dan faktor sperma dieksklusi dari penelitian. Data kadar AMH, jumlah oosit total, oosit matur, oosit terfertilisasi, dan laju fertilisasi didapatkan oleh pasien. Hasil: Didapatkan sebanyak 692 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada analisis bivariat, didapatkan korelasi kuat antara kadar AMH dengan jumlah oosit total (r = 0,650, p < 0,001), jumlah oosit matur (r = 0,642, p < 0,001), dan jumlah oosit terfertilisasi (r = 0,607, p < 0,001), sedangkan tidak didapatkan korelasi antara kadar AMH dengan laju fertilisasi (r = 0,076, p = 0,049). Setelah dilakukan kontrol terhadap usia dan indeks massa tubuh, didapatkan korelasi antara kadar AMH dengan jumlah oosit total, jumlah oosit matur, jumlah oosit terfertilisasi, dan laju fertilisasi (p < 0,05). Berdasarkan analisis, nilai titik potong kadar AMH serum untuk memprediksi jumlah oosit optimal adalah 1.615 ng/mL (sensitifitas 77%, spesifisitas 77.3%). Simpulan: Kadar AMH serum berkorelasi dengan jumlah oosit total, jumlah oosit matur, jumlah oosit terfertilisasi, dan laju fertilisasi ......Background: In vitro fertilization (FIV) is one of the most widely practiced infertility treatment methods in the world. The quality of embryos in FIV is strongly influenced by the number and quality of oocytes. AMH level is a marker routinely checked on FIV program participants. However, it is not clear the relationship between AMH and the quality and quantity of oocytes. Method: This study is a retrospective observational analytic study with a cross-sectional design on all FIV program participants aged 18-45 years at the Yasmin Clinic, RSCM Kencana, Jakarta, from January 2013 to December 2019. Sampling was carried out by total sampling. Subjects with incomplete data, having infertility etiology in the form of polycystic ovary syndrome, endometriosis, and sperm factors were excluded from the study. Data on AMH levels, total oocyte count, mature oocytes, fertilized oocytes, and fertilization rate were obtained by the patient. Result: There were 692 subjects who met the inclusion and exclusion criteria. In the bivariate analysis, there was a strong correlation between AMH levels and the total number of oocytes (r = 0.650, p <0.001), the number of mature oocytes (r = 0.642, p <0.001), and the number of fertilized oocytes (r = 0.607, p <0.001), whereas there was no correlation between AMH levels and fertilization rate (r = 0.076, p = 0.049). After controlling age and body mass index, a correlation was found between AMH levels with total oocyte count, mature oocyte count, fertilized oocyte count, and fertilization rate (p <0.05). Based on the analysis, cut-off of AMH level to predict optimal total oocyte is 1.615 ng/mL (sensitivity 77%, specificity 77.3%). Conclusion: Serum AMH levels correlate with the total number of oocytes, the number of mature oocytes, the number of fertilized oocytes, and fertilization rate.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vini Rismayanti Putri
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai inspanningsverbintenis dan resultaatsverbintenis dalam program bayi tabung (Analisis Putusan No. 325/Pdt.G/2017/Pn. Sby). Fokus dari penelitian ini adalah mengenai inspanningsverbintenis dan resultaatsverbintenis di dalam suatu tindakan medis khususnya dalam penyelenggaraan program bayi tabung dan pertanggungjawaban hukum terhadap dokter dalam hal memperjanjikan hasil tertentu dalam program bayi tabung. Bentuk penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif dengan tipe deskriptif dan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa inspanningsverbintenis adalah perikatan berdasarkan usaha yang maksimal. Sedangkan, resultaatsverbintenis adalah perikatan berdasarkan hasil kerja. Penyelenggaraan program bayi tabung termasuk ke dalam perjanjian yang bersifat inspanningsverbintenis. Apabila dokter menjanjikan hasil tertentu (resultaatsverbintenis) maka dokter dapat digugat dengan alasan wanprestasi. Gugatan tersebut hanya dapat dilakukan apabila memang ada perjanjian antara para pihak. Dalam program bayi tabung gugatan atas dasar wanprestasi dapat terjadi apabila dokter telah menyanggupi suatu keberhasilan kepada pasien. Hasil penelitian ini menyarankan agar komunikasi antara dokter dengan pasien lebih ditingkatkan kembali guna menghindari suatu kesalahpahaman. Serta untuk perjanjian yang bersifat resultaatsverbintenis harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan dokter tetap harus memberikan penjelasan lengkap termasuk risiko yang melekat atas tindakan medis yang akan dilakukanya.
This study discussed about inspanningsverbintenis and resultaatsverbintenis in In Vitro Fertilization program (analysis of verdict no. 325/Pdt.G/2017/Pn.Sby. The focus of this research is on inspanningsverbintenis and resultaatsverbintenis in medical practice especially In Vitro Fertilization implementation and law responsibilities towards doctors in terms of promising certain results in In Vitro Fertilization program. The form of this thesis research is normative juridical with descriptive type and qualitative method. The results of this study concluded that Inspanningsverbintenis is an engagement based on maximum effort. Whereas, Resultaatververbintenis is an engagement based on work results. The implementation of the In Vitro Fertilization program is considered to be Inspanningsverbintenis agreement. If the doctor promises certain results, the doctor can be sued on the grounds of default. The claim can be done only if there is an agreement between the parties. In the In Vitro Fertilization program a lawsuit on the basis of default can occur if the doctor has been able to achieve success in the beginning to the patient. The results of this study suggest that communication between doctors and patients be further improved in order to avoid a misunderstanding. As well for resultaatververbintenis agreements must be done in writing and signed by the parties and the doctor must provide a full explanation including the inherent risks of medical actions that will be done.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Y. Danang Prasetyo
Abstrak :
Latar Belakang: Sindrom ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan endokrin dan metabolisme dengan prevalensi tinggi. Salah satu akibat dari SOPK merupakan infertilitas. Fertilisasi In Vitro (FIV) merupakan salah satu alternatif dari masalah tersebut. Akan tetapi, belum terdapat penelitian yang mendeskripsikan hubungan SOPK dengan komplikasi obstetri pada pasien yang menjalani FIV dibandingkan dengan pasien lainnya. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komplikasi obstetri pada wanita yang menjalani program FIV dengan SOPK Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak tahun 2013-2019. Subjek penelitian merupakan seluruh wanita berusia diatas 18 tahun yang menjalani program FIV tanpa kelainan ginekologis lain selain SOPK. Luaran dalam penelitian ini adalah komplikasi obsteri berupa abortus dan IUFD. Analisa dilakukan dengan menggunakan cox-regresi untuk mendapatkan nilai Risk Ratio (RR) setelah dilakukan control terhadap confounding Hasil: Penelitian ini mengikutsertakan 355 wanita, dimana 72 diantaranya memiliki SOPK (20,3%). Komplikasi obstetri yang didapatkan pada subjek dengan SOPK adalah preterm (2,78%), IUFD (17,24%), abortus (9,72%), dan kehamilan ektopik (1,39%). Tidak dijumpai hubungan antara SOPK dengan IUFD pada wanita yang menjalani program FIV (RR: 1.07, 95%CI: 0.52-2.20, p-value: 0.864). Didapatkan adanya hubungan antara interaksi antara SOPK dengan pembelahan nisbah < 6 terhadap terjadinya abortus pada wanita yang menjalani program FIV. (RR: 7.32, 95%CI: 2.10-25.45, P-value: 0.002). Simpulan: SOPK tidak memengaruhi terjadinya IUFD dan abortus pada wanita yang menjalani program FIV. ......Introduction: Polycystic ovary syndrome (PCOS) is an endocrine and metabolic disorder with a high prevalence. One result of PCOS is infertility. In Vitro Fertilization (FIV) is one of the alternatives to the problem. However, there are no study describing the differences in obstetric complications of PCOS patients undergoing FIV compared to other patients. Aim: This study aims to determine the relationship of obstruction complications in women undergoing FIV programs with PCOS. Methods: This was a retrospective cohort study conducted at Dr. RSUPN. Cipto Mangunkusumo since 2013-2019. The study subjects were all women aged over 18 years who underwent FIV programs without other gynecological abnormalities besides PCOS. The outcomes in this study were obstetric complications in the form of abortion and IUFD. Analysis is done by using cox-regression to get the value of Risk Ratio (RR) after controlling for confounding Results: This study included 355 women, of whom 72 had PCOS (20.3%). Complications found in subjects with PCOS were preterm preterm were found in (2.78%), IUFD (17.24%), abortion (9.72%) and ectopic pregnancy (1.39%). No association was found between PCOS and IUFD in women undergoing FIV programs (RR: 1.07, 95% CI: 0.52-2.20, p-value: 0.864). Interaction between PCOS and ratio <6 had higher probability of having abortion in women undergoing FIV program obtained. (RR: 7.32, 95% CI: 2.10-25.45, P-value: 0.002). Conclusion: PCOS does not affect the occurrence of IUFD and abortion in women undergoing FIV programs.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Upik Anggraheni Priyambodo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Penilaian kualitas oosit merupakan bagian terpenting dan tersulit dalam fertilisasi in vitro (FIV). Metode yang saat ini tersedia tidak dapat menilai jumlah dan maturasi oosit secara optimal pada prosedur petik oosit pada FIV. Anti Mullerian Hormone (AMH) dalam cairan folikel dihasilkan langsung oleh sel granulosa, yang diharapkan dapat menjadi parameter alternatif untuk meramalkan kuantitas dan kualitas oosit pada program FIV. Tujuan: Mengembangkan metoda nir-invasif pada program FIV dengan mengetahui nilai prognostik kadar AMH serum dan cairan folikel sebagai parameter alternatif untuk meramalkan kualitas oosit pada program FIV. Metode: Penelitian ini merupakan uji prognostik dengan desain potong lintang selama periode April 2012 hingga Juni 2013 di Poliklinik Yasmin, RSCM, Jakarta. Subjek penelitian merupakan pasien infertilitas yang menjalani program IVF. Pengukuran kadar AMH dan estradiol serum dilakukan pada awal siklus, sementara kadar AMH cairan folikel, jumlah oosit total, jumlah oosit matur dan morfologi oosit dinilai pada saat hari petik ovum. Kualitas oosit dinilai dari skor morfologi oosit modifikasi Xia. Analisis data menggunakan korelasi Pearson dan analisis regresi linier untuk mencari nilai prognostik kadar AMH serum dan cairan folikel sebagai peramal kualitas oosit. Hasil: Didapatkan 102 pasien FIV dengan protokol stimulasi pendek, yang diperiksa kadar AMH serum, kadar AMH cairan folikel, kadar estradiol serum kemudian dinilai jumlah oosit total, jumlah oosit matur dan skor morfologi. Berdasarkan hasil analisis multivariat didapatkan bahwa usia dan AMH serum dapat digunakan dalam meramalkan kualitas oosit (r = - 0,038; r = 0, 183; p < 0,05). Kesimpulan: Kadar AMH serum dan cairan folikel berkorelasi dengan kuantitas oosit. Kadar AMH serum dapat digunakan sebagai parameter untuk meramalkan kualitas oosit, namun tidak untuk AMH cairan folikel
ABSTRAK
Background: Assessment of oocyte quality is an important but difficult component in in vitro fertilization (IVF). Current methods available cannot predict ooctye number and maturation in oocyte pick-up optimally during IVF. Anti Mullerian Hormone (AMH) in follicular fluid is produced directly by granulosa cells, and it could be an alternative parameter to predict oocyte quantity and quality in IVF. Objective: To develop nir-invasif method in IVF program with knowing prognostic value of serum and follicular fluid AMH as alternative parameters to predict oocyte quality. Method: This is a prognostic study with cross sectional design, during a period of April 2012 until June 2013 in Yasmin Clinic, RSCM, Jakarta. The subjects of this study were infertile couples who underwent IVF. The measurement of serum AMH level and serum estradiol serum was done in the beginning of IVF cycles, while follicular fluid AMH, number of oocyte retrieved, number of mature oocyte, and oocyte morphology were measured at the day of ovum pick-up. Oocyte quality using morphological score modified from Xia criteria as parameter. Statistical analysis was done using Pearson correlation and linear regression analysis to measure predictive value of AMH as oocyte quality predictors. Result: We obtained 102 short protocol IVF patients. Serum AMH level, AMH level in follicular fluid, serum estradiol, oocyte count, number of mature ooctye, and morphological score were assessed. Based on multivariate analysis, we found that age and serum AMH level can be used to predict oocyte quality (r = - 0,038; r = 0, 183; p < 0,05). Conclusion: There were correlation between serum and follicular fluid AMH with oocyte quantity. AMH level in serum, but not follicular fluid, can be used as a parameter to predict oocyte quality.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>