Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwijaya Shavira
"Latar Belakang: Tannerella forsythia merupakan salah satu agen etiologi utama pada penyakit periodontitis yang merupakan penyakit pada jaringan periodontal penyebab kerusakan tulang alveolar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu menyebabkan kerusakan tulang alveolar, namun protokol eksperimennya bervariasi sehingga dibutuhkan evaluasi literatur secara sistematis untuk dapat menjelaskan mekanisme bakteri tersebut dalam menyebabkan kerusakan tulang. Tujuan: Tujuan dari tinjauan sistematis ini adalah untuk mengevaluasi secara sistematis dan terstruktur berbagai literatur ilmiah dalam bentuk artikel dengan topik relevan untuk menganalisis mekanisme kerusakan tulang alveolar oleh bakteri Tannerella forsythia pada penyakit periodontitis. Metode: Pencarian literatur secara online dilakukan dari bulan Juli sampai bulan November 2020. Penelitian dilakukan dengan berpedoman pada PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses) sebagai panduan dalam penulisan tinjauan sistematis. Literatur yang memenuhi syarat dievaluasi pada empat kriteria inklusi: 1) artikel dipublikasikan dalam Bahasa Inggris, 2) artikel diterbitkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, 3) artikel tersedia dalam fulltext, 4) literatur berupa research article. Hasil: Pencarian literatur mengidentifikasi sebanyak lima artikel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan lolos pada tahap penilaian kelayakan. Artikel-artikel tersebut diterbitkan pada tahun 2011-2017. Di antara kelima artikel tersebut, terdapat tiga artikel yang membahas pengaruh faktor virulensi serta infeksi bakteri utuh Tannerella forsythia terhadap kerusakan tulang, sementara dua artikel lainnya membahas pengaruh bakteri hingga terjadinya inflamasi. Penelitian yang dilakukan menargetkan sel yang berbeda-beda, di antaranya monosit, makrofag, human gingival fibroblast (HGF), periodontal ligament cell (PDL), hingga bone marrow dendritic cell (BMDC). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui Tannerella forsythia mampu menginduksi sekresi sitokin proinflamasi pada sel, di antaranya sitokin utama dalam osteoklastogenesis seperti interleukin-6 (IL-6), IL-1β, dan tumor necrosis factor a (TNF-a), dan melalui penelitian secara in vivo, Tannerella forsythia mampu menyebabkan kerusakan tulang pada hewan percobaan. Kesimpulan: Setelah dilakukan analisis pada lima literatur terpilih, ditemukan bahwa bakteri Tannerella forsythia dapat memicu kerusakan tulang alveolar melalui interaksi dengan sel residen dan sel imun pada jaringan periodonsium sehingga menyebabkan respons inflamasi. Mediator inflamasi yang diproduksi oleh sel-sel tersebut kemudian dapat mendorong terjadinya kerusakan tulang dengan menginduksi ekspresi faktor receptor of nuclear factor-kappa ligand (RANKL) yang terlibat dalam difrerensiasi osteoklas sebagai sel perombak tulang.

Background: Tannerella forsythia is one of the main etiologic agents in periodontitis, the inflammation of the periodontal tissue disease that cause alveolar bone destruction. Several studies have shown that these bacteria are capable of causing alveolar bone destruction, but the experimental protocol varies so that a systematic literature evaluation is needed to explain the mechanism of these bacteria in causing bone damage. Objective: The aim of this systematic review is to systematically evaluate and analyze the scientific literature in the form of articles with topics related to the mechanism of alveolar bone destruction by Tannerella forsythia in periodontitis. Methods: Online literature search was conducted from July to November 2020. The study was carried out based on PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses) as a guide in writing a systematic review. Eligible literature is evaluated on four inclusion criteria: 1) articles published in English, 2) articles published in the past 10 years, 3) articles available in full text, 4) literature in the form of research articles. Results: The literature search identified five articles that had met the inlcusion criteria and passed the eligibility assessment stage. These articles were published in 2011-2017. Among the five articles, there are three articles that discuss the effect of virulence factors and infection of whole bacteria on bone destruction, while two other articles discuss the influence of bacteria to inflammation. The research conducted targets different cells, including monocytes, macrophages, human gingival fibroblasts (HGF), periodontal ligament cells (PDL), and bone marrow dendritic cells (BMDC). Based on the research results, it is known that Tannerella forsythia is able to induce the secretion of pro-inflammatory cytokines in cells, including the main cytokines in osteoclastogenesis such as interleukin- 6 (IL-6), IL-1β, tumor necrosis factor a (TNF-a), and through in vivo research, Tannerella forsythia is capable of causing bone destruction in experimental animals. Conclusion: After analyzing the five selected articles, it was found that the Tannerella forsythia can trigger alveolar bone destruction through its interaction with resident cells and immune cells in the periodontium tissue, causing an inflammatory response. Inflammatory mediators produced by these cells can then trigger bone damage by inducing the expression of the receptor of nuclear factor-kappa ligand (RANKL),which is involved in differentiation of osteoclasts as bone resorption cells"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Imam Santoso
"Latar Belakang: Cedera kranioserebral merupakan penyebab kematian paling sering pada orang dewasa muda. Dari penelitian perkiraan keluaran pasien cedera kranioserebral sudah dapat diprediksi dalam 3 hari perawatan (3 x 24 jam). Skor Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) yang terdiri dari perubahan suhu tubuh, nadi, pernafasan dan peningkatan jumlah lekosit darah dapat memprediksi kejadian infeksi, kematian pada trauma. Pada penelitian sebelumnya bila digabung dengan SKG dapat memprediksi kematian cukup akurat sebanding dengan skala prediktor lain yang ada sebelumnya. Tujuan: Merumuskan model prediksi gabungan SKG dengan skor SIRS untuk mengetahui risiko kematian 3 hari pertama pada pasien dewasa cedera kranioserebral derajat sedang dan berat. Desain dan Metode: Studi dengan disain prospektif potong lintang yang dilanjutkan dengan nested case control tanpa pembanding antara pasien cedera kranioserebral derajat sedang dan berat yang mengalami kematian dalam 3 hari pertama sebagai kelompok studi dengan kelompok kontrol yang diambil secara acak dari pasien-pasien yang tidak mengalami kematian dini. Hasil: Dari 113 subyek penelitian didapatkan 18 (15.9%) penderita mengalami CKB dan 95 (84.1%) penderita mengalami CKS. Terdapat 27 (23.9%) penderita yang meninggal dalam 3 hari pertama. Skor SIRS 22 terjadi pada 83 (73.4%) penderita. Faktor yang berpengaruh terhadap kematian adalah SKG, skor SIRS ≥2 dan frekuensi nafas > 20 kali/menit (p 0.000). Hasil analisis multi variat enter menunjukan bahwa faktor risiko independen kematian 3 hari pertama adalah SKG<9 (p-0.000) dan skor SIRS 2 (p-0.001), dengan probabilitas kematian 99.9% Kesimpulan: Gabungan Skor SIRS ≥2 dan SKG <9 dapat memprediksi kematian dalam 3 hari pertama. Takipneu sebagai komponen SIRS berperan sebagai faktor risiko terjadinya kematian pasien dewasa cedera kranioserebral sedang dan berat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Iswanto Pantoro
"Kejadian Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) pasca bedah jantung terbuka masih merupakan salah satu komplikasi yang banyak ditemukan. Salah satu faktor risikonya adalah durasi pintas jantung. Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 187 pasien bedah jantung terbuka di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2014-2015. Subjek dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan durasi pintas jantung (durasi >60 menit dan ≤60 menit). Sebanyak 107 (57,2%) pasien mengalami SIRS dalam 24 jam pasca operasi. Kejadian SIRS ditemukan pada 75 (65,8%) pasien dari kelompok durasi >60 menit dan 32 (43,8%) pasien dari kelompok durasi ≤60 menit. Melalui analisis multivariat regresi logistik, didapatkan hubungan bermakna (p<0,05) antara durasi CPB dan SIRS dengan OR2,04 (IK95% 1,05-3,93). Durasi CPB merupakan faktor risiko independen dari kejadian SIRS pasca bedah jantung terbuka.

Sytemic inflammatory Response Syndrome (SIRS) is a major complication foundat patient following open heart surgery. One of the risk factors is the duration of the cardiopulmonary bypass. A historical cohort study had been done on 187 postcardiac surgery patients in RSUPN Cipto Mangunkusumo. The subjects were divided into 2 separate groups based on the duration of cardiopulmonary bypass (duration >60 minutes and ≤60 minutes). There were 107 (57.2%) patients having SIRS within 24 hours following the surgery. SIRS was found on 75 (65.8%) patients from group with duration >60 minutes and 32 (43.8%) patients from group with duration ≤60 minutes. Through logistic regression multivariate analysis, there was a significant difference (p<0.05) with OR 2.04 (CI95% 1.05-3.93) between two groups. Therefore, duration of cardiopulmonary bypass was an independent risk factor of post open heart surgery SIRS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretha Gunawan
"Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi menyebabkan penglepasan sitokin proinflamasi yang secara resiprokal dapat memodulasi sensitifitas nyeri. Asetaminofen merupakan analgetik yang sering digunakan dan bekerja pada susunan saraf pusat, sedangkan ibuprofen menghambat siklooksigenase dan diyakini dapat mengurangi penglepasan sitokin. Penelitian ini membandingkan ibuprofen intravena 800 mg dan asetaminofen intravena 1000 mg dalam mengurangi respons inflamasi pascaoperasi ekstremitas bawah dengan parameter konsentrasi IL-6 dan CRP sebagai penanda nyeri.Metode: Uji klinis acak tersamar ganda dengan kontrol aktif di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada Juli - November 2017. Setelah mendapatkan izin dari Komite Etik, 62 subjek yang menjalani pembedahan elektif ortopedi ekstremitas bawah dialokasikan secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok A Asetaminofen mendapatkan asetaminofen intravena 1000 mg sedangkan Kelompok I Ibuprofen mendapatkan ibuprofen intravena 800 mg masing-masing setiap 6 jam. Sampel darah untuk pemeriksaan respons inflamasi IL-6 dan CRP diambil sesaat sebelum selesai pembedahan sebelum obat dimasukkan, 4, 6, dan 24 jam setelah pemberian obat pertama kali. Derajat nyeri VAS saat istirahat maupun bergerak diukur pada saat setelah pasien tersadar dari pembiusan, 4, 6, 8 dan 24 jam pascaoperasi. Hasil: Serum IL-6 dan CRP tidak berbeda bermakna antara kelompok A dan I pada semua waktu pengukuran. VAS saat bergerak dan istirahat lebih rendah pada kelompok I pada 24 jam pascabedah p

Background Postoperative pain causes release of proinflammatory cytokines that reciprocally modulate pain sensitivity. Acetaminophen is a commonly used analgesic and acts on central nervous system, whereas ibuprofen inhibits cyclooxygenase and is believed to reduce cytokine release. This study compared intravenous ibuprofen 800 mg and intravenous acetaminophen 1000 mg in reducing postoperative inflammatory responses in lower extremity surgery with IL 6 and CRP as pain indicator.Methods Double blind randomized clinical trial with active control at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in July November 2017. After obtaining approval from Ethics Committee, 62 subjects undergoing elective orthopedic surgery of lower extremities were randomly assigned to 2 groups. Group A Acetaminophen received 1000 mg intravenous acetaminophen while Group I ibuprofen received 800 mg intravenous ibuprofen every 6 hours respectively. Blood samples for inflammatory responses IL 6 and CRP were taken at the end of surgery prior to administration of study drug, 4, 6, and 24 hours afterward. Pain VAS at rest and with movement was assessed immediately after the surgery when patient recovered, 4, 6, 8 and 24 hours postoperative.Results There is no significant difference in serum IL 6 and CRP between group A and I at all time measurements. VAS at rest and with movement was lower in group I at 24 hours postoperative p."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library