Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erwin
Abstrak :
Latar Belakang : lnstabilitas postural I jatuh adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan pusat kekuatan anti gravitasi pada dasar penyanggah tubuh (misalnya, kaki saat berdiri), atau memberi respon secara cepat pada setiap perpindahan posisi atan keadaan staffs. Prevalensi instabilitas postural di AS 30% dari penduduk usia lebih 60 tahun pernah jatuh, di RSCM tahun 2003 sebesar 23,3%. Faktor risiko yang melatar belakangi terjadinya jatuh adalah faktor ekstrinsik an faktor intrinsik. Faktor intrinsik terbagi dua sistemik (pneumonia, hipatensi ortostatik, hiponatremi, gagal jantung, infeksi saluran kemih) dan lokal (OA servikal, OA gem, Benign paroxiysmalpositional vertigo (BPPV), gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, kelemahan otot tungkai bawah). Jatuh memiliki penyulit yang cukup serius, mulai dari cedera ringan sampai fraktur femur. Dengan mengetahui faktor risiko jatuh sedini mungkin, maka kita dapat mencegah terjadinya jatuh dan penyulitnya. Tujuan : mengetahui sebaran faktor intrinsik lokal serta hubungannya dengan instabilitas postural I jatuh. Metodologi : Studi potong lintang dengan basal-sampel 97 orang usia Lanjut yang memenuhi kriteria inklusi. Waktu : Januari-Juni 2005 di Divisi Geriatri RSCM. Tingkat instabilitas diukur dengan posturografri. Hasil : Dari penelitian ini didapat hasil prevalensi instabilitas postural sebesar 64.9%. Prevalensi perempuan 52,3% dan laki-laki 47,7%. Menurut kelompok umur prevalensi tertinggi pada umur > 80 taken sebesar 75,0%. Pada analisa bivariat osteoariritis servikal merupakan faktor intrinsik lokal yang mempunyai hubungan bermakna terhadap kejadian instabilitas postural dengan OR 3,28 (1K 95% 1,25-8,63) p= 0,02 dan pada analisa multivariat dengan inetode backward regresi logistitik didapatkan nilai OR 3,22 (1K 95% 1,18-89,74) p = 0,02. Gangguan pendengaran merupalcan faktor intrinsik lokal yang mernpunyai hubungan bermalma terhadap instabilitas postural pada analisa bivariat dengan nilai OR : 3,95 (1,29-12,11) p= 0,02 dan pads analisa multivariat dengan ailai OR 3,22 (1,18-89,74) pr= 0,02. Osteoartritis genii, BPPV, gangguan penglffiatan dan kelemaban otot tungkai bawah hell m dapat dibuktilcan mempunyai hubungan bermakna dengan instabilitas postural pada penelitian ini. Simpulan : Prevalensi instabilitas postural pada penelitian ini sebesar 64,9%. Ganggaan pendengaran dan OA servikal menrpakan faktor instrinsik lokal yang mempunyai hubungan yang bermakna terhadap instabilitas postural. OA genii, BPPV, gangguan penglihatan dan kelemahan otot tungkai bawah belum dapat dibuktikan mempunyai hubungan bermakna dengan instabilitas postural pada penelitian ini.
Backgrounds : Instability/falls is inability to maintain central anti gravity strength of supporting structures of the body (e.g. feet while standing) or to give adequate response to positional changes or static condition Prevalence of postural instability in US reached > 30% in population aged > 60 years old A Study conducted in RSCM by Handayani (2003) found the prevalence as high as 23.3%. -Risk factors that responsible for falls are intrinsic and extrinsic factors. Intrinsic factors consist of systemic (pneumonia, orthostatic hypotension, hyponatresmia, heart failure, urinary tract infection) and local factors (cervical OA, knee OA, BPPV, visual impairment, hearing impairment, lower lambs weakness). Falls may have mild complication like mild trauma to serious complications such as femoral fracture. By identifying risk factors of instability/falls earlier, we may prevent falls and its complications. Objective = to determine intrinsic local factors and its relationship with instability/falls. Methods : Cross sectional study on 97 elderly patients who fullfled inclusion criteria was conducted in RSCM from January to June 2005 in outpatient clinic, Geriatric Division FKUI 1 RSCM. Results : From this study we found the prevalence of instability was 64.9%. The prevalence in female (52.3%) was higher than male (47.7%) patience According to age group, the highest prevalence was found in age group of > 80 years (75%). After bivariat analysis, we found cervical OA was intrinsic local factor which bad significant relation with incidence of postural instability with OR 3.28 (CI 95% 1.25-8.63); Bivariat and multivariate analysis of logistic regression using backward method we found OR 3.22 (Cl 95% 1.18-89.74); p= 0.02. Hearing impairment was local intrinsic factor that had significant relation with postural instability after bivariat analysis with OR 3.95 (Cl 95% 1.29-12_ l 1); p= 0.02 and multivariate analysis with OR. 3.22 (Cl 95% 1.18$9.74); p= 0.02. BPPV, knee OA, visual impairment and lower limb weakness had not been proven yet to have significant relation with postural instability in this study. Conclusion : Prevalence of instability in thus study is 64.9%. Hearing impairment and cervical OA were intrinsic local factors that showed statistically significant relation with postural instability. Knee OA, BPPV, visual impairment, and lower limb weakness had not been proven to have significant relation with instability in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21412
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Provides complete information on the functional anatomy of the shoulder, the mechanics of movement, and the evaluation and treatment of shoulder disorders. It promotes current, evidence-based practice with coverage of the latest rehabilitation and surgical techniques. Case studies show the clinical application of key principles, and follow the practice patterns from the APTA Guide to Physical Therapist Practice, 2nd Edition, relating to shoulder disorders.
St. Louis, Missouri: Elsevier Churchil Livingstone, 2012
617.572 044 PHY
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Chusaini San
Abstrak :
The construction of the retaining wall should be base on stability calculation and safety factor, because any error in the construction process can have fatal consequences in property damages and the lost of life. The case of retaining wall at Lapangan Parkir Dermaga Pengumbuk is the damage of its retaining wall, which can be observe by the movement of the retaining wall in horizontal direction and the cracks on the retaining wall. Analysis indicate that the retaining wall failure on this case is due to shear instability, and the creep also contributed to the construction movement on the location. This paper contains the analysis of the problems on the retaining to have an effective and efficient alternative problem solutions.
Palembang: Program studi magister Teknik Siping Univ.Sriwijaya, 2006
624 CAN 1 (1-2) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Irawan
Abstrak :
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah terjadinya krisis keuangan, perhatian pemerintah di berbagai negara terhadap financial instability semakin besar. Perhatian tersebut antara lain karena semakin disadari arti penting dan peran strategis sektor perbankan pada umumnya dan sistem keuangan pada khususnya dalam suatu perekonomian, dan terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan financial instability selama 30 tahun baik di negara berkembang maupun negara maju. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Swedia dan Finlandia, telah mengalami krisis keuangan atau resesi yang biasanya diiringi dengan menurunnya harga aset-aset dan berbagai permasalahan di sektor perbankannya. Hal ini telah diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Borio, Kennedy dan Prowse (1994), Bank for International Settlements (1998) dan IMF (2000). Dalam World Economic Outlook tahun 1998, IMF memberikan gambaran tentang biaya yang harus ditanggung oleh perekonomian sebagai akibat krisis keuangan. Pada saat terjadi krisis mata uang, secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi kembali ke trendnya dalam jangka waktu sekitar I-1,5 tahun, dan kumulatif output lost untuk setiap krisis sekitar 4,25%. Untuk krisis mata uang yang parah output lost-nya bahkan mencapai sekitar 8.25%. Sementara Krisis Perbankan, relatif membutuhkan waktu recovery yang lebih Iama dan output lost yang lebih banyak dibandingkan currency crisis: secara rata- rata membutuhkan waktu sekitar tiga tahun untuk pertumbuhan output kembali ke trendnya, dan ourpur loss yang terjadi bisa mencapai sekitar 1 l,5%. Apa yang diuraikan di atas sangat relevan untuk dipertimbangkan dalam menganalisis berbagai pemasalahan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada saat terjadi krisis keuangan menghantam pada tahun 1997. Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi selama krisis ekonomi, penulis melihat dua fenomena yang menarik untuk diteliti, yang berkaitan tentang keterkaitan antara upaya untuk mencapai stabilitas harga dengan stabilitas sistem keuangan. Fenomena pertama, upaya pemerintah untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan dengan memberikan batuan likuiditas bagi bank-bank yang mengalami masalah likuiditas telah mendorong meningkatnya laju inflasi. Dengan kata lain upaya untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan telah mengorbankan stabilitas harga. Fenomena kedua, upaya bank Sentral dalam mengendalikan inflasi telah menyebabkan terjadinya fenomena credit crunch di Indonesia. Dengan kata lain, upaya untuk mencapai stabilitas harga telah menyebabkan stabilitas sistem keuangan menjadi terganggu. Diskusi tentang bagaimana keterkaitan antara kebijakan moneter dalam mencapai stabilitas harga serta dampaknya pada stabilitas sistem keuangan sebenarnya sudah terjadi antara pengambil kebijakan dengan ekonom dan antar ekonom sendiri, misalnya Svensson (1996), Taylor (1996), Bean (1998) dan Goodfriend (2001) juga Bernanke dan Gertler(1999). Sehubungan dengan uraian di atas, tulisan ini mencoba meneliti beberapa pertanyaan yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Pertama, pengaruh shock pada tingkat suku bunga, dalarn upaya untuk mencapai stabilitas harga, pada peningkatan financial instability Indonesia. Kedua, pengaruh shock yang berasal dari pertumbuhan kredit, saat terjadi ganguan stabilitas harga, pada peningkatan financial instability Indonesia. Ketiga, pengaruh shock pada harga pada peningkatan financial instability Indonesia. Keempat, meneliti konsistensi antar stabilitas harga sebagai suatu sasaran akhir kebijakan moneter dengan upaya untuk menghindari financial instability. Kelima, meneliti meneliti apakah terdapat pengaruh yang asymmetric pada hubungan antara tingkat suku bunga, harga dan kredit dengan financial instability. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, dibangun model VAR yang biasa dipergunakan dalam analisis kebijakan moneter secara quatitatif dengan memasukkan variabel yang mengukur financial instability. Berdasarkan model tersebut di dapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: Shock positif yang berasal dari suku bunga, kredit dan harga memberikan pengaruh pada meningkatnya financial instability Indonesia. Peningkatan suku bunga sebagai instrumen yang dipergunakan untuk mengendalikan harga merupakan komponen terbesar yang menjadi sumber peningkatan financial instability. Price stability dan financial stability merupakan dua hal yang dapat sekaligus dicapai sebagai sasaran dalam pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia. Kenaikan yang berasal dari variabel harga, tingkat suku bunga dan kredit memberikan magnitude yang relatif lebih besar pada peningkatan derajat financial instability dibandingkan dengan penurunan ketiga variabel tersebut terhadap penurunan derajat financial instability. Atau dengan kata lain terdapat pengaruh yang asymmetric pada hubungan antara tingkat suku bunga, harga dan kredit dengan financial instability.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
D668
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Budiastuti
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fitria
Abstrak :
Tujuan: Membuktikan kesahihan dan keandalan Foot and Ankle Ability Measure (FAAM) dalam versi Bahasa Indonesia Metode: Desain uji potong lintang. Penelitian dilakukan pada 42 orang tentara pasukan khusus dengan instabilitas pergelangan kaki. Setiap responden mengisi kuesioner FAAM versi Bahasa Indonesia yang sudah diujicobakan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengisian kuesioner SF-36 sebagai baku emas kuesioner kualitas hidup untuk menilai kesahihan konvergen. 2 minggu dari pengisian pertama dilakukan pengisian kembali kuesioner FAAM untuk menilai keandalan test-retest. Hasil: Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala aktivitas keseharian dengan skor komponen mental dan skor komponen fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,417, dan 0,458. Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala olahraga dengan skor komponen fisik dan fungsi fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,430 dan 0,464. Didapatkan konsistensi internal dengan cronbach alpha 0,917 dan 0,916 untuk subskala aktivitas keseharian dan subskala olahraga. Didapatkan nilai korelasi interkelas sedang untuk subskala olahraga sebesar 0,78. Kesimpulan: FAAM versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan dan keandalan yang baik. ......Objective: to assess validity and realibility of Foot Ankle Ability Measure in Indonesia version . Method : design of this study is cross sectional study. This research was to 42 special force army personal with ankle instability. Every subject was asked to fill out Indonesian version of Foot and Ankle Ability Measure quetionairre. And SF-36 quetionairre as gold standard of quality of life to assess validity. After 2 weeks, subject is asked to fill FAAM quetionairre again to assess test-retest realibility. Result : There was significant correlation with moderate value between FAAM-I activity daily living subscale and mental component summary and physical component summary with r 0,417 and 0,458 respectively. There was also significant correlation with moderate value between FAAM-I sport subscale with r 0,430 and 0,464 respectively. The internal consistency with cronbach alpha was 0,917 and 0,916 for ADL subscale and sport subscale. Interclass correlation for sport subscale was 0,78. Conclusion : Indonesian version of FAAM have good validity and realibility.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58755
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Bonauli
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Prognosis dan tatalaksana kanker kolorektal sangat dipengaruhi olehstadiumnya. Pada tahun 2012, the European Society for Medical Oncology mempublikasikan pedoman yang menyarankan evaluasi terhadap microsatellite instability MSI untuk menentukan perjalanan penyakit kanker kolorektal. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi faktor prognostik MSI-H pada kadar kesintasan 3 tahun. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder dari penelitian sebelumnya oleh Setyaningsih, dkk. yang berjudul ldquo;Penelitian Microsattelite Instability Melalui Ekspresi PMS2 dan MSH6 serta Tumor-Infiltrating Lymphocyte pada Kanker Kolorektal Kiri dan Kanan rdquo;. Kami memasukkan total 90 pasien yang didiagnosis sebagai kanker kolorektal yang menjalani bedah reseksi dari tahun 2008 hingga 2013 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Kami menganalisa status MSI sebagai faktor prognosis untuk menentukan kadar kesintasan 3 tahun yang disesuaikan dengan ukuran dan tipe tumor, metastasis, dan umur pasien. Hasil: Dari 90 pasien, 47 orang dapat dilakukan follow up. Mayoritas pasien didiagnosis dengan kanker kolorektal stadium III n=29; 61,7 , 8 pasien didiagnosis sebagai stadium IV, 9 pasien didiagnsosis sebagai stadium II, dan 1 pasien didiagnosis dengan stadidum I. Kesintasan tiga tahun untuk pasien MSI-H adalah 33,3 , 22,2 , dan 20 untuk stadium II, III, dan IV; dibandingkan dengan kesintasan tiga tahun untuk pasien MSI-L yaitu 0 , 5 , dan 0 p = 0,003 . Selain itu, berdasarkan analisis multivariate, kami menemukan bahwa MSI-L memiliki hazard ratio 2,421 1,991-2,851 dibandingkan dengan MSI-H p = 0,004 . Kesimpulan: MSI-H adalah faktor prognosis yang penting untuk menentukan kesintasan tiga tahun pada pasien kanker kolorektal. Kami menemukan bahwa pasien dengan MSI-H memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan pasien MSI-L. Temuan ini sejalan dengan pedoman dan penelitian sebelumnya yang menyarankan penggunaan MSI untuk menentukan perjalanan penyakit dan pilihan terapi pada pasien kanker kolorektal.
ABSTRACT Background The prognosis and treatment of colorectal cancer is based on its stadium. Due to its features, the prognosis stage II colorectal cancer is still considered inexact with the survival rates ranging from 87,5 in stage IIA to 58.4 in stage IIC.The European Society for Medical Oncology published a guideline in 2012 which suggests that microsatellite instability MSI should be evaluated to determine the course of the colorectal cancer. This study is aimed to investigate prognostic factor of MSI ndash H for 3 years survival rates. Method This study used secondary data from a previous study performed by Setyaningsih, et al. titled ldquo Penelitian Microsattelite Instability Melalui Ekspresi PMS2 dan MSH6 serta Tumor Infiltrating Lymphocyte pada Kanker Kolorektal Kiri dan Kanan rdquo . We included a total of 90 patients diagnosed with colorectal cancer who underwent resection surgery from 2008 to 2013 in RSUPN Cipto Mangunkusumo. We analyzed the MSI status as a prognosticfactor to determine 3 years survival rate, adjusted with the size and types of the tumor, metastasis, and age. Results Among 90 patients, 47 have been followed up. The median age was 47 years. The majority of the patients was diagnosed with stage III colorectal cancer n 29 61.7 , 8 patients were diagnosed with stage IV, 9 patients were diagnosed with stage II colorectal cancer, and 1 patient was diagnosed with stage I colorectal cancer. Three years survival rates for patients with MSI H are 33.3 , 22.2 , and 20 for stage II, III, and IV respectively, compared to 5 years survical rates for MSI L patients which are 0 , 5 , and 0 p 0.003 . Futhermore, with multivariate analysis, we found that MSI L has 2.421 1.991 2.851 hazard ratio compared to MSI H p 0.004 . Conclusions MSI H is an important prognostic factor to determine 3 years survival rate in colorectal cancer patients.We found that patient with MSI H have more favourable prognosis compared to MSI L patients This findings complements previous guidelines and studies which suggested the use of MSI to determine the disease course and treatment options in colorectal cancer.
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beighton, Peter
Abstrak :
Hypermobility of joints 4th edition follows the same format as its successful predecessors. The aim of which was to provide an overview of hyperlaxity of joints and this edition follows that aim by describing the most recent research and new developments in biochemistry, as well as providing practical advice on clinical features and management. Hypermobility of joints 4th edition provides illustrative case histories, a review of hypermobility in the performing arts and sports and an outline of heritable hypermobility syndromes. This book is a valuable reference tool for a wide number of specialties, although it will particularly be of interest to rheumatologists, orthopedic surgeons and medical geneticists.
London : Springer, 2012
e20426067
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andika Chandra Putra
Abstrak :
Latar Belakang: Faktor transkripsi Hypoxia inducible factor-1 (HIF-1 merupakanpengatur utama hipoksia, termasuk menyebabkan penekanan sistem perbaikan deoxyribose nucleic acid (DNA), sehingga menghasilkan instabilitas genetik pada sel kanker. Varian genetik HIF-1α C1772T (P582S) dan G1790A (A588T) dipercaya mempunyai aktivitas transkripsi yang lebih tinggi.Peranan polimorfisme HIF-1α ini sudah diteliti pada beberapa jenis kanker seperti kanker ginjal, payudara, ovarium, tetapi belum ada penelitian pada kanker paru. Metode: Polimorfisme HIF-1α diperiksa dengan menggunakan direct sequencing dengan total sampel 83 pasien kanker paru (42 adenokarsinoma, 30 skuamous sel karsinoma, empat adenoskuamous sel karsinoma dan tujuh kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) dan 110 subjek sehat sebagai kontrol. Hubungan polimorfisme HIF-1α dengan kelainan genetik/epigentik loss of heterozygot (LOH) TP53, LOH 1p34, LOH retinoblastoma-1 (RB1), inaktivasi p16 dan kelainan epidermal growth factor receptor (EGFR) kemudian diperiksa. Hasil: Frekuensi polimorfisme HIF-1α pada kanker paru dan kontrol telah sesuai dengan keseimbangan Hardy-Weinberg. Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan frekuensi genotipe C1772T atau G1790A antara kanker paru dengan kontrol sehat. Tetapi, frekuensi varian HIF1A C1772T ditemukan tinggi bermakna di pasien kanker paru dengan LOH TP53 (p=0,015). Pada pasien adenokarsinoma, individu dengan varian alel memiliki frekuensi tinggi LOH TP53 (p=0,047), LOH 1p34 (p=0,009) atau keduanya (LOH TP53 dan LOH 1p34) (p=0,008). Aktivitas transkripsi juga diperiksa secara in vitro dan ditemukan HIF1A varian pada sel kanker paru A549 mempunyai aktivitas yang meningkat secara bermakna dibanding wild type HI1F1A baik di kondisi normoksia atau hipoksia, terutama P582A di sel dengan mutan p53 (p< 0,0005 dan p< 0,005). Kesimpulan: Penelitian ini mengindikasikan polimorfisme gen HIF-1α mempunyai peranan penting dalam karsinogenesis paru terutama pada adenokarsinoma, diduga melalui peningkatan instabilitas genetik. ...... Background and objective: The transcription factor, hypoxia-inducible factor-1 (HIF-1), is a master regulator of hypoxia, including repression of DNA repair systems, resulting in genomic instability in cancer cells. The roles of the polymorphic HIF-1a variants, C1772T (P582S) and G1790A (A588T), which are known to enhance transcriptional activity, were evaluated in lung cancers. Methods: HIF-1a polymorphisms were assessed by direct sequencing in a total of 83 lung cancer patients (42 adenocarcinomas, 30 squamous cell, four adenosquamous cell and seven small cell lung carcinomas) and in 110 healthy control subjects. The relationship between these polymorphisms and the frequently observed genetic and/or epigenetic aberrations, TP53 loss of heterozygosity (LOH), 1p34 LOH, retinoblastoma-1 (RB1) LOH, p16 inactivation and epidermal growth factor receptor aberrations, was then assessed. Results: There were no significant differences in genotype frequencies for either C1772T or G1790A between lung cancer patients and healthy controls. However, the frequency of the HIF1A C1772T variant allele was significantly higher in lung cancer patients with TP53 LOH (P = 0.015). Among adenocarcinoma patients, individuals with variant alleles of either polymorphism showed significantly higher frequencies of TP53 LOH (P = 0.047), 1p34 LOH (P = 0.009), or either of these (P = 0.008) in the tumours. The in vitro transcriptional activity of these HIF1A variants in A549 lung cancer cells was significantly greater than that of the wild type under either normoxic or hypoxic conditions, especially for P582S in cells containing mutant p53 (P < 0.0005 and P < 0.005, respectively). Conclusions: These findings indicate that functional polymorphisms in the HIF-1a gene may have an important impact on lung carcinogenesis, especially in adenocarcinomas, possibly by increasing genomic instability.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>