Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yosua Praditya Suratman
Abstrak :
Bergesernya ancaman konvensional kedalam bentuk ancaman non-konvensional merupakan ancaman besar bagi Indonesia. Ancaman non-konvensional berupa perang proxy sudah dan tengah dijalankan di Indonesia kedalam beberapa bentuk, termasuk didalamnya adalah konflik internal. Jumlah konflik internal, baik horizontal maupun vertikal yang semakin meningkat sejak era reformasi dapat saja terjadi karena memang ada pengaruh dan kepentingan asing. Perang proxy cenderung lebih dipilih oleh kelompok kepentingan karena biayanya yang murah dibandingkan perang konvensional, akan tetapi dampak dan daya hancurnya sangat signifikan. Memang menjadi sulit apabila pemerintah mencoba melihat apakah konflik terjadi secara alamiah atau ada unsur kesengajaan (by designed). Untuk itu perlu melakukan pemetaan konflik internal yang telah dan sedang terjadi di berbagai bidang, khususnya di luar bidang militer. Pemetaan ini akhirnya akan menuntun pemerintah, terlebih aparat keamanan dalam menelusuri aktor dan kelompok-kelompok kepentingan. Konflik internal saat ini memang dilatarbelakangi oleh berbagai aspek, yaitu ideologi, politik, ekonomi, dan sosial-budaya, yang berpotensi menjadi perang proxy di Indonesia. Akhirnya, perang proxy akan tetap dipilih oleh aktornya mengingat sumber daya yang digunakan (manusia dan alam) adalah milik negara yang dituju. Posisi Indonesia yang strategis, serta besarnya kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, membuat Indonesia akan selalu berada di bawah bayang-bayang ancaman perang proxy.
Bogor: Universitas Pertahanan Indonesia, 2017
345 JPUPI 7:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnaen
Abstrak :
Dengan metode kualitatif, penelitian ini mengkaji permasalahan bagaimana dan mengapa Henry Dunant Centre (HDC) dapat terlibat untuk memfasilitasi penyelesaian konflik di Aceh antara Pemerintah Indonesia dan GAM serta menganalisa penyebab berbagai kegagalannya. Kecuali dalam konteks pembicaraan sejarah konflik di Aceh, penelitian ini mengambil periode mulai dari awal tahun 2000 sampai diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh, Mei 2003. Dalam hubungan internasional, peran diplomasi resmi (official) atau diplomasi track one tidak selamanya berhasil dalam menyelesaiakan konflik, terutama konflik internal. Anarkisnya situasi konflik internal membuat diplomasi resmi sering mengalami frustrasi dalam menyelesaiakan kasus yang ada. Karena itu, konflik internal biasanya diselesaikan tidak melalui lembaga-lembaga resmi internasional tetapi oleh organisasi non pemerintah (NGO) yang dikenal sebagai un-official diplomay atau track two diplomacy. Fleksibilitas dan sifat netral membuat NGO lebih mudah terlibat dan diterima oleh semua pihak tanpa terikat pada protokoler atau ketakutan tiadanya pengakuan terhadap kedaulatan maupun legitimasi. Fokus konsentrasi NGO yang penuh terhadap masalah yang ia hadapi membuatnya lebih mampu memahami permasalahan yang ada dan relatif tidak terbebani oleh keterbatasan waktu. Resiko yang dihadapi ketika peran fasilitasi atau mediasi yang ia lakukan gagalpun tidak terlalu berat, baik bagi NGO itu sendiri maupun bagi pihak-pihak yang terlibat konflik. Alasan inilah yang menjadikan mengapa NGO, seperti HDC, lebih mudah diterima sebagai aktor pihak ketiga untuk menyelesaikan konflik internal daripada aktor resmi lain, seperti PBS, organisasi regional atau antar negara. Kegagalan peran pihak ketiga dalam memediasi konflik pada dasarnya bukanlah karena ketidakmampuannya bertindak sebagai pihak penengah, tetapi karena tiadanya political will dari pihak-pihak yang terlibat konflik itu sendiri dan dukungan maupun tekanan masyarakat internasional untuk menyelesaikan konflik yang ada. Ini karena dalam konflik internal ada kelaziman umum dimana para pemimpin kelompok bersengketa memiliki sifat patologi yang lebih senang mengobarkan propaganda perang total yang mengutamakan kemenangan mutlak dan menafikan kemungkinan kompromi atau dialog dengan lawannya daripada menyelesaiakan dengan cara damai.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Primus Wawo
Abstrak :
Ketika pemimpin rezim Orde Baru, Soeharto, dijatuhkan oleh gerakan reformasi rakyat Indonesia pada bulan Mei 1998 harapan berlangsungnya sebuah pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur yang demokratis menjadi keinginan semua pihak. Semua pihak tentunya tidak ingin lagi melihat adanya berbagai bentuk intervensi dan pemerintah pusat yang berlebihan di luar aturan hukum yang ada, seperti yang tampak pada praktek pemilihan di era Orde Baru. Namun kenyataan justru tidak menunjukkan sebuah perubahan yang signifikan. Bahkan konflik muncul akibat bentuk intervensi seperti di era Orde Baru terlepas dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Studi ini berfokus pada konflik Internal PDI-P antara Megawati (DPP) dan Tarmidi Suhardjo (DPD) dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta Periode Tahun 2002-2007. Metode penelitian yang digunakan studi ini meliputi empat aspek. Pertama, pendekatan kualitatif. Kedua, tipe penelitian deskriptif analitis. Ketiga, teknik pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam (interview indepth), data sekunder dengan studi kepustakaan. Keempat, teknik analisis dengan kualitatif. Adapun temuan-temuan yang dihasilkan dari studi ini dengan menggunakan metodologi di atas meliputi; Legitimasi hukum yang telah diperoleh oleh Sutiyoso berupa ketetapan DPRD DKI Jakarta tentang mengakuan oleh DPRD DKI Jakarta sebagai Gubernur DKI Jakarta Periode Tahun 2002-2007, dan penetapan atau pelantikan oleh Presiden RI setelah sebelumnya dipilih secara sah oleh sebagian anggota DPRD DKI Jakarta menunjukkan bahwa secara hukum Sutiyoso adalah Gubernur DKI Jakarta Periode Tahun 2002-2007. Meskipun Sutiyoso terpilih sesuai mekanisme perundang-undangan yang berlaku, namun munculnya berbagai kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure group) yang menolaknya sebagai Gubernur DKI Jakarta merupakan indikasi tidak maksimalnya legitimasi politik yang diperolehnya, Bahkan dukungan yang diberikan oleh Megawati (DPP) terhadap Sutiyoso tidak memperkuat legitimasi politik tersebut, karena Megawati (DPP) melakukannya di luar prinsip-prinsip demokrasi yang berlaku secara umum. Begitu pula tampilnya elemen kekuatan politik masyarakat baik kelompok kepentingan (interest group) maupun kelompok penekan (pressure group) dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur yang memperjuangkan aspirasi dan calonnya masing-masing harus dipandang sebagai sebuah bentuk partisipasi politik masyarakat Jakarta yang memberi kontribusi terhadap proses demokrasi terutama pada mekanisme pencalonan dan pemilihan. Karena itu adanya penilaian bahwa sejumlah aksi atau demonstrasi tidak murni atau ditunggangi tentu tidak relevan lagi dibicarakan dalam kaitannya dengan proses-proses politik yang terkait dengan kekuasaan dan kepentingan. Selanjutnya, adanya pengakuan anggota DPRD DKI Jakarta terutama anggota DPRD dari Fraksi PDI-P bahwa diantara mereka tidak diperintah memilih Sutiyoso dapat dianggap sebagai salah satu bentuk kebohongan publik. Sebab munculnya rekomendasi Megawati (DPP) Nomor: 94911NIDPPIVII12002 tanggal 15 Juli 2002 yang memerintahkan agar Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta memilih Sutiyoso setidaknya membuktikan adanya penyimpangan dalam proses politik. Dan penyimpangan itulah yang menjadi hakekat dari sumber konflik internal PDI-P antara Megawati (DPP) dan Tarmidi (DPD). Konflik muncul karena Megawati (DPP) tidak menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokratisasi, yang berarti pula telah melanggar pokok-pokok pikirannya sendiri yang pernah dilontarkan ke publik sebelum menjadi Ketua Umum PDI-P. Dan sebagai dampak dari penyimpangan ini tidak hanya membuat Tarmidi Suhardjo dipecat sesuai Surat Nomor: 205/DPP/KPTSI/X/2002 tanggal 8 Oktober 2002 dan keluar dari PDI-P, tetapi akan mempengaruhi perolehan suara PDI-P pada pemilu 2004. Dukungan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI-P dan sebagai Presiden terhadap Sutiyoso merupakan bukti bahwa penguasa cenderung mempertahankan kekuasaannya. Karena itu dukungan Megawati terhadap Sutiyoso dalam pemilihan Gubennir/Wakil Gubernur DKI Jakarta Periode Tahun 2002-2007 tidak lepas dari kepentingan jangka pendek dan jangka panjang Megawati (DPP). Kepentingan jangka pendek Megawati berupa kepentingan ekonorni dan jaminan stabilitas sisa masa jabatannya. Sedangkan untuk jangka panjang kepentingan Megawati (DPP) berupa naiknya kembali elit PDI-P dipanggung politik nasional setelah memenangi permilu 2004. Karena itu terpilihnya Sutiyoso yang sangat ditentukan oleh adanya kekuatan politik DPP PDI-P harus dilihat sebagai bagian dari proses tawar menawar politik (bargaining) antara kepentingan Sutiyoso yang ingin terpilih kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta Periode Tahun 2002-2007 dan kepentingan Megawati yang ingin agar masa kekuasaannya yang tanggal beberapa bulan lagi dapat bertahan, serta kepentingan PDI-P untuk pemenangan pemilu 2004. Namun bagaimanapun juga intervensi Megawati (DPP) dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta dengan mendukung Sutiyoso yang bukan kader PDI-P patut disesalkan oleh kader dan massa PDI-P, karena Megawati selaku Ketua Umum Partai dalam mengeluarkan rekomendasi dalam mendukung Sutiyoso tidak didahului dengan menjelaskan ke seluruh massa pendukungnya bahwa dukungannya terhadap Sutiyoso adalah demi kepentingan kekuasaannya dan kepentingan PDI-P.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13855
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Allbert Fitri Syaid
Abstrak :
Studi ini dilatarbelakangi oleh adanya konflik yang terjadi di internal Partai Demokrat dan bertujuan untuk dapat melihat perkembangan pelembagaan Partai Demokrat baik yang berjalan sebelum terjadinya konflik hingga pasca terjadinya konflik di internal Partai Demokrat. Dalam konteks dan latar tersebut selanjutnya penelitian ini akan dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban terkait dengan bagaimana konflik yang terjadi di internal Partai Demokrat dapat mempengaruhi institusionalisasi di Partai Demokrat. Dalam melakukan analisis terhadap penelitian ini, peneliti menggunakan teori konflik dan teori institusionalisasi partai. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Dalam Teknik pengumpulan data, data primer di peroleh melalui metode wawancara dengan informan yang terkait, dan data sekunder di peroleh melalui studi dari berbagai referensi yang berasal dari buku, penelusuran terhadap berbagai situs yang memuat hasil riset, dokumen partai politik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya konflik internal Partai Demokrat dipengaruhi adanya perebutan kekuasaan yang terjadi di internal partai. Terjadinya Konflik tersebut juga didasari pada adanya dominasi elit yang kuat dalam mempengaruhi jalannya organisasi. Sehingga, kuatnya personafikasi figur di Partai Demokrat tersebut memberikan dampak negatif terhadap pelembagaan Partai Demokrat berdasarkan pada empat dimensi teori institusionalisasi dari Randall dan Svasand (2002) yakni pada dimensi kesisteman, identitas nilai, otonomi kebijakan dan pengetahuan publik. ...... This study is motivated by the existence of conflicts that occurred within the Democratic Party and aims to be able to see the development of Democratic Party institutions both before the conflict occurred and after the conflict occurred within the Democratic Party. In this context and background, this research will then be carried out. This study aims to find answers related to how internal conflicts within the Democratic Party can affect the institutionalization of the Democratic Party. In analyzing this research, researchers used conflict theory and party institutionalization theory. This study uses a descriptive qualitative research method. In data collection techniques, primary data was obtained through interviews with relevant informants, and secondary data was obtained through studies of various references from books, searches of various sites containing research results, documents of political parties. The results of this study indicate that the internal conflict of the Democratic Party has an impact on the existence of power struggles that occur within the party. The occurrence of this conflict also opposes the domination of strong elites in influencing organizational temptation. Thus, the strong personification figure in the Democratic Party has a negative impact on the institutionalization of the Democratic Party based on the four dimensions of institutionalization theory from Randall and Svasand (2002), namely on the systemic dimension, value identity, policy autonomy and public knowledge.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Saiful Mahdi
Abstrak :
Muslimin Indonesia (MI) adalah organisasi massa yang sudah mengalami penggabungan dan perubahan bentuk, dari fungsi partai politik independen hingga menjadi salah satu unsur dalam Partai Persatuan Pembangunan. Perubahan bentuk ini dilakukan karena adanya kebijakan politik dari Jenderal Soeharto pada tahun 1971 yang menginginkan agar diadakan pengelompokkan partai politik berdasarkan persamaan ideologi dan platform partai. Tujuan politik dari Orde Baru mengadakan pengelompokkan terutama terhadap kelompok politik Islam adalah untuk memudahkan pengawasan dan mudah memecah dari dalam. Dalam kondisi yang pro dan kontra terhadap ide fusi tersebut Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nahdhatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Tarbiyah Islamiyah sepakat mendeklarasikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di tahun 1973. Sejak tahun 1973-1994, kepemimpinan di PPP dikuasai oleh elite-elite politik dari unsur Muslimin Indonesia.Di bawah pimpinan HMS Mintaredja kondisi partai dalam keadaan yang kompak walaupun terjadi konflik internal partai tetapi berkat adanya kedudukan beberapa ulama kharismatik seperti KH Bisri Syansuri berhasil diredam. Bagi seluruh anggota legislatif, Mintaredja memberikan kebebasan mengeluarkan pendapatnya tanpa khawatir akan dipecat dari keanggotaan DPR maupun partai. Kejatuhan Mintaredja di PPP karena ia telah tidak disukai lagi oleh Jenderal Soeharto terutama sejak keberaniannya menuntut kepada Soeharto agar PPP diberikan kursi kementrian di kabinet. Mulai tahun 1978, pimpinan di PPP diambil alih oleh Djaelani Naro secara kontroversial tanpa melalui suatu forum Muktamar partai. Selama dipimpin oleh Djaelani Naro, keadaan PPP mulai diterpa oleh konflik internal yang luar biasa konflik tersebut tidak hanya melibatkan antara elite politik MI versus NU, tetapi juga antara elite politik ME versus MI. Djaelani Naro memiliki- kebijakan keras terhadap para anggota legislatif yang menyimpang dari kebijakan Orde Baru. Sosok Naro lebih terkesan sebagai perpanjangan-tangan kebijakan rezim Orde Baru di PPP. Keberanian Djaelani Naro untuk mencalonkan dirinya sebagai salah seorang wakil presiden RI di tahun 1988 pada saat sidang umum MPR, telah mengakibatkan kemarahan Soeharto terhadapnya. Periode kepemimpinan Ismail Hasan Meutareum (1989-1994), mulai membenahi konflik internal partai melalui kebijakan rekonsiliasi terhadap tokoh-tokoh PPP baik dari unsur NU, MI,SI, dan Pena. Ismail Hasan melakukan kebijakan untuk mengurangi fanatisme berlebihan diantara empat unsur tersebut melalui bentuk pengajian bersama dan pendidikan-pendidikan kader bersama.Yang diinginkan olehnya adalah fanatisme terhadap PPP saja.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T4274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaiyatul Akmar
Abstrak :
Penelitian ini meneliti konflik internal di Partai Keadilan Sejahtera tahun 2016 antara anggota DPR RI periode 2014-2019 Fahri Hamzah dengan Pimpinan DPP PKS yaitu Ketua Majelis Syuro Habib Salim Segaf Al-Jufri dan Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman. Konflik antara Fahri Hamzah dengan Pimpinan DPP PKS bukanlah konflik yang hanya bersifat Individualistis tetapi juga bersifat Faksional. Konflik ini dipicu akibat pemecatan yang dilakukan Pimpinan DPP PKS kepada Fahri Hamzah karena tidak patuh pada putusan Pimpinan partai dan melanggar AD/ART partai. Fokus penelitian ini adalah pada mengapa faksionalisasi dapat mempengaruhi konflik internal di Partai Keadilan Sejahtera antara Fahri Hamzah dengan pimpinan DPP PKS. Teori utama yang digunakan ialah teori konflik politik Maswadi Rauf dan Marcus Mietzner, serta didukung oleh teori dari ahli lain mengenai faksionalisasi Dennis C. Beller, Frank P. Belloni, dan David Hine. Rauf menyatakan bahwa konflik timbul karena kelangkaan posisi dan sumber-sumber, tetapi Mietzner mengungkapkan bahwa konflik internal partai disebabkan karena partai politik yang tidak terlembaga dengan baik yang ditunjukkan dari gagalnya mekanisme resolusi konflik internal partai. Sedangkan Beller dan Belloni menyatakan bahwa keberadaan faksionalisasi di tubuh partai dapat dipahami sebagai pemicu konflik karena kecenderungan aktor yang bertindak secara kolektif demi mencapai tujuan bersama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tehnik pengumpulan data observasi, wawancara mendalam dan studi dokumen. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa konflik antara Fahri Hamzah dengan Pimpinan DPP PKS disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan oleh pencampuran antara nilai-nilai (values) PKS yang sudah dilanggar oleh Fahri Hamzah yang bercampur dengan eksistensi Faksi yang bersaing secara tidak sehat di internal PKS. Sedangkan faktor eksternal disebabkan karena adanya kepentingan politik dari pemerintah akibat kritik keras Fahri Hamzah terhadap pemerintah karena hubungan antara KPK dengan PKS kurang baik setelah LHI ditangkap. Pada penelitian ini  disimpulkan bahwa konflik antara Fahri Hamzah dengan pimpinan partai terjadi akibat dari faksionalisasi yang tidak terlembaga dengan baik sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan partai yang tentu saja tidak terorganisir oleh semua kalangan PKS. ......This research discusses about the Prosperous Justice Party internal conflict in 2016 between members of the Republic of Indonesia DPR for the 2014-2019 period namely Fahri Hamzah and the Prosperous Justice Party Leaders of the Syuro Council namely Habib Salim Segaf Al-Jufri and President party Mohamad Sohibul Iman. The conflict between Fahri Hamzah and Prosperous Justice Party Leaders is not a conflict that is only individualistic but also factional. The conflict was triggered by the dismissal carried out by the Prosperous Justice Party Leader to Fahri Hamzah because he did not comply with the party leadership and violated the party's AD/ART (basic rules). The main focus of this study is why factionalism could influence internal conflict in Prosperous Justice Party between Fahri Hamzah and Prosperous Justice Party Leaders. The main theory used in this study are Rauf's and Mietzner's conflict political theory, and it is supported  by theories from experts such as Dennis C. Beller, Frank P. Belloni, dan David Hine about factionalism. Rauf stated that the conflict occurred because of a vacant position and resources, but Mietzner revealed that the party's internal conflict was caused by political parties that were not well institutionalized as indicated by the failure of the party's internal conflict resolution mechanism. According to Beller and Belloni stated that the existence of factionalism in the party's body can be understood as a trigger for conflict because of the tendency of actors who act collectively to achieve common goals. This study uses qualitative research methods with techniques for collecting data on observation, in-depth interviews and document studies. The principal findings of this study reveal that the conflict between Fahri Hamzah and Prosperous Justice Party Leaders was caused by internal and external factors. Internal factors are caused by a combination of Prosperous Justice Party values that have been violated by Fahri Hamzah with the existence of Prosperous Justice Party factions that compete unfairly within Prosperous Justice Party. While external factors are caused by the political interests of the government due to Fahri Hamzah's strong criticism of the government because of the relationship between the KPK and PKS is poorly after LHI was arrested. The conclusion of this study shows that the conflict between Fahri Hamzah and party leaders was a result of factionalism that was not well institutionalized that had been violated as a result of party policies which of course were not organized by all Prosperous Justice Party Leaders circles.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54165
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Priguna
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang penurunan perolehan suara PKB pada pemilihan umum 2009. PKB merupakan partai yang memiliki ikatan moral dan historis dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi kemasyarakatan islam terbesar di Indonesia. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan salah satu pendiri PKB dan pernah memiliki peranan penting dalam tubuh partai sampai kemudian tersingkir dari kepengurusan PKB secara struktural pada tahun 2008 akibat konflik internal partai. Pada pemilu 2009 suara PKB mengalami penurunan yang begitu besar dibandingkan dengan dua pemilu sebelumnya pada tahun 1999 dan 2004 yang berhasil menjadi partai islam terbesar di Indonesia dari segi perolehan suara. Hal ini tentu tidak lepas dari konflik internal partai yang terus menerus terjadi serta kinerja PKB sebagai partai politik itu sendiri. ...... This thesis discusses the decreasing of PKB’s electoral vote in the 2009 elections. PKB is a party that has a moral and historical ties with the Nahdlatul Ulama (NU) which is the largest Islamic mass organizations in Indonesia. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) was one of the founders of PKB and has an important role within the party until then knocked out of the stewardship from PKB structurally in 2008 due to internal party conflict. In the 2009 general election PKB’s electoral vote decreased so large compared to the two previous elections in 1999 and 2004 who managed to become Indonesia's largest Islamic party in terms of votes. It is certainly ties with the party's internal conflicts that continue to occur and the lack performanceof PKB itself as a political party.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S53103
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library