Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Gusti Ayu Sri Darmayani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien memerlukan upaya peningkatan kolaborasi antar tenaga kesehatan. Salah satu hambatan terbentuknya kolaborasi yang efektif adalah stereotip. Stereotip merupakan persepsi atau cara pandang mengenai seseorang atau sekelompok orang. Penelitian ini bertujuan mengekplorasi persepsi peserta didik profesi kesehatan dan praktisi kesehatan tentang stereotip. Metode. Penelitian ini menggunakan disain studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan sampel menggunakan maximum variety sampling yang melibatkan mahasiswa tahap akademik, mahasiswa tahap profesi dan praktisi kesehatan. Pengambilan data primer dilakukan melalui diskusi kelompok terarah. Analisis data dilakukan dengan analisis tematik. Hasil. Diskusi kelompok terarah dilakukan sembilan kali dengan total responden 71 responden. Responden peserta didik tahap akademik dan tahap profesi terdiri dari program studi pendidikan dokter, program studiilmu keperawatan dan program studi farmasi. Setiap program studi diwakili oleh delapan responden. Untuk praktisi kesehatan terdiri dari delapan dokter, delapan perawat dan tujuh apoteker. Terdapat empat tema yang diperoleh yaitu tipe stereotip, faktor yang memengaruhi terbentuknya stereotip, implikasi stereotip dan cara mengatasi stereotip.Pembentukan sterotip ini dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman tentang profesi lain, setting pelayanan, kultur hierarkis, pengalaman individu terkait pelayanan kesehatan dan pandangan masyarakat. Stereotip menyebabkan hambatan pada komunikasi, menurunkan kepercayaan diri pada profesi kesehatan tertentu. Stereotip ini dapat diatasi dengan cara meningkatkan kompetensi profesi, knowledge sharing antar profesi, pengenalan peran dan kompetensi profesi serta mempunyai tujuan untuk keselamatan pasien. Simpulan. Stereotip positif dan negatif terdapat pada semua profesi yang memberikan dampak negatif pada kolaborasi. Stereotip ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang profesi lain, setting pelayanan, kultur hierarkis, pengalaman individu dan pandangan masyarakat tentang profesi kesehatan. Untuk mengatasi hal itu diperlukan adanya pengenalan peran profesi lain dan refleksi diri dari setiap individu. Selain itu diperlukan adanya pendidikan interprofesi untuk mengatasi pembentukan stereotip sehingga dapat meningkatkan kualitas kolaborasi pelayanan interprofesi
ABSTRACT
Background. Effective and efficient health services require efforts to increase collaboration between health professionals. One of the barrier of effective collaboration is stereotypes. Stereotypes represent perceptions or perspectives about a person or group of people. This study aims to explore perceptions of health professional students and practitioners regarding stereotypes. Methods. This study was a qualitative study with phenomenology approach. Samples were selected using maximum variety sampling method, involving students from both academic and clinical stages as well as health practitioners. Primary data collection was conducted through focus group discussion. Data obtained were analyzed using thematic analysis. Results. Nine focus group discussions were conducted with 71 respondents. Eight students of three health professions study programs were involved in this study, representing study programs of medicine, nursing, and pharmacy. Eight medical practitioners, eight nurses, and seven pharmacists were also involved in focus group discussions representing health professionals. Four themes were identified from this study including types of stereotypes, factors affecting stereotypes formation, implications of stereotypes, and how to overcome stereotypes. Stereotype formation was affected by the lack of understanding of other health professions' role, hierarchical culture, personal experience in receiving healthcare, and community view. Stereotypes among health professionals caused obstacles in healthcare team communication and reduced self-confidence in certain health professionals. These stereotypes may be overcome through competency development and knowledge sharing among professionals as well as introduction of other health care professionals' roles and competences so that each profession possessed similar goals for patients' safety. Conclusion. Both positive and negative stereotypes affected collaboration negatively. Stereotypes were greatly affected by the lack of understandings, healthcare settings, hierarchical cultures, personal experiences, and society view regarding certain health profession. Therefore, understanding of other professions' role and self-reflection were important, as well as interprofessional education (IPE) and collaborative practice (IPCP) to overcome the stereotypes formation.
2019
T55559
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghini Alfikra
Abstrak :
Hipertensi adalah salah satu penyakit tidak menular yang berkontribusi pada sebagian besar kematian di dunia. Sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, puskesmas berperan dalam tindakan preventif, promotif, dan kuratif terhadap hipertensi. Praktik kolaborasi interprofesi menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada penatalaksanaan klien hipertensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana persepsi tenaga kesehatan terhadap praktik kolaborasi interprofesi dalam penanganan klien hipertensi di Kota Bekasi. Penelitian dilakukan di 9 Puskesmas di Kota Bekasi, yaitu dokter, perawat, bidan, apoteker/ asisten apoteker, kesehatan masyarakat, dan ahli gizi. Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif cross-sectional, sampel 112 responden dengan teknik quota sampling. Instrumen yang digunakan adalah Perception of Collaboration Model Questionnaire (PINCOM-Q) versi Bahasa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan persepsi kolaborasi interprofesi pada kategori baik (50,9%) dan kurang baik (49,1%). Hasil penelitian dapat menjadi landasan bagi tenaga kesehatan untuk mengevaluasi praktik kolaborasi interprofesi pada pelayanan hipertensi. ......Hypertension is a non-communicable disease that contributes to the majority of deaths in the world. As a first-level health service facility, community health centers play a role in preventive, promotive, and curative measures against hypertension. The practice of interprofessional collaboration is one of the factors that contribute to the management of hypertensive clients. This study aims to identify the perceptions of health workers regarding the practice of interprofessional collaboration in treating hypertensive clients in Bekasi City. The research was conducted at 9 Community Health Centers in Bekasi City, namely doctors, nurses, midwives, pharmacists/pharmacist assistants, public health, and nutritionists. This research design uses a cross-sectional descriptive research design, a sample of 112 respondents using a quota sampling technique. The instrument used was the Indonesian version of the Perception of Collaboration Model Questionnaire (PINCOM-Q). The research results show that perceptions of interprofessional collaboration are in the good (50.9%) and poor (49.1%) categories. The results of the research can be a basis for health workers to practice interprofessional collaboration in hypertension services.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Permanasari
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kolaborasi antar profesi kesehatan di Instalasi Rawat Intensif RSPON Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Jumlah sampel 110 orang dari berbagai profesi yang bertugas di Instalasi Rawat Intensif RSPON Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta selama bulan November 2023. Kuesioner AITCS II digunakan untuk menilai tingkat kolaborasi dan Structural Equation Modeling - Partial Least Squares (SEM-PLS) untuk menilai faktor-faktor yang dianggap berhubungan dengan kolaborasi seperti Budaya Organisasi, Komunikasi, Penghargaan dan Kepercayaan, Peran dan Tanggung Jawab, Ketersediaan Waktu dan Sumber daya, Dukungan Manajemen dan Kepemimpinan. Hasilnya menunjukkan tingkat kolaborasi baik dengan rata-rata skor AITCS II sebesar 4,14. Kesimpulan : Budaya organisasi, komunikasi, dan pemahaman terhadap peran dan tanggung jawab mempengaruhi secara signifikan terhadap kolaborasi antar profesi. Temuan ini menjadi masukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan efektivitas layanan kesehatan dengan mengoptimalkan peran dan tanggung jawab tenaga kesehatan di rumah sakit. Budaya kolaboratif dan komunikasi efektif juga menjadi kunci dalam meningkatkan hasil perawatan pasien. ......This research aims to identify factors that influence collaboration between health professionals at the RSPON Prof. Intensive Care Installation. Dr. Dr. Mahar Mardjono Jakarta. This research uses a cross sectional design with a quantitative approach. The total sample is 110 people from various professions who work at the RSPON Prof. Intensive Care Installation. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta for November 2023. The AITCS II questionnaire was used to assess the level of collaboration and Structural Equation Modeling - Partial Least Squares (SEM-PLS) to assess factors considered to be related to collaboration such as Organizational Culture, Communication, Respect and Trust, Roles and Responsibilities, Availability of Time and Resources power, Management and Leadership Support. The results show a good level of collaboration with an average AITCS II score of 4.14. Organizational culture, communication, and understanding of roles and responsibilities significantly influence collaboration between professions. These findings provide input for hospitals to improve the effectiveness of health services by optimizing the roles and responsibilities of health workers in hospitals. A collaborative culture and effective communication are also key to improving patient care outcomes.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliana
Abstrak :
Praktik kolaborasi memiliki pengaruh yang besar untuk kepuasan pasien dan kepuasan profesi pemberi asuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi determinan kepuasan perawat pada Interprofesional Colaborative Practice (IPCP). Metode penelitian menggunakan studi cross sectional yang dilakukan dari bulan Maret sampai Desember 2021. Kuesioner yang digunakan hasil modifikasi, dan telah dilakukan uji validitas dan reabilitas. Kuesioner Profesional Factor, Organizational factor dan Interactional Factor nilai uji validitas 0.427-0.722 dan uji reabilitas 0.905 dengan butir kuesioner 17 item. Untuk nilai uji validitas kuesioner kepuasan perawat dalam interkolaborasi 0.590 – 0.913 dan uji reliabilitas 0.980 dengan butir kuesioner 31 item. Kuesioner disebarkan kepada 242 perawat yang bersedia mnjadi responden dan memenuhi criteria inklusi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa faktor yang mempengaruhi dan bermakna dengan kepuasan perawat dalam IPCP adalah Faktor Profesional (p=0.001), Faktor Organisasional (p=0.048). Simpulan, Faktor Profesionalpaling berpengaruh pada kepuasan perawat dalam melaksanakan inter kolaborasi dengan profesi lain, Faktor Profesional memegang peran yang sangat besar dalam mengerakkan perawat untuk menguasai kompetensinya agar tujuan asuhan dan pelayanan terhadap pasien dapat dicapai secara efisien dan efektif. ......Collaboration practice greatly influence inpatient’s outcomes and the satisfaction for the nursing profession. The aim of this research is to identify the determinant factors of nurse’s satisfaction in Interprofessional Collaborative Practice (IPCP). This research used cross-sectional study that was conducted from March until December 2021. Questionnaires were distributed to 242 nurses. The questionnaire used was modified, and validity and reliability tests were carried out. Professional Questionnaire Factors, Organizational Factors and Interaction Factors, the value of the validity test is 0.427-0.722 and the reliability test is 0.905 with 17 questionnaire items. For the value of the validity test of the nurse satisfaction questionnaire in the intercollaboration of 0.590 – 0.913 and the reliability test of 0.980 with 31 items of questionnaire items. Questionnaires were distributed to 242 nurses who answered the questions and met the inclusion criteria.The results of the study revealed that the factors that influence and also significant with nurse satisfaction in IPCP are Professional Factor (p = 0.001), Organizational factor (p = 0.048). In conclusion, Professional Factor is the most influential factor for nurse satisfaction in carrying out inter-collaboration with other professions. Professional Factor plays a huge role in moving nurses to master their competencies so that the goals of care and service to patients can be achieved efficiently and effectively.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Indah Pertiwi
Abstrak :

Pelaksanaan interprofessional collaboration (IPC) oleh perawat belum optimal. Manajer Pelayanan Pasien (MPP) mempunyai peran yang dapat meningkatkan pelaksanaan IPC. Penelitian ini bertujuan agar teridentifikasinya gambaran pelaksanaan IPC, peran MPP yang dipersepsikan perawat dan MPP, serta hubungan peran MPP dengan pelaksanaan IPC oleh perawat dengan menggunakan desain cross sectional. Pelaksanaan IPC diukur menggunakan instrumen yang dimodifikasi dari Assessment of Interprofessional Team Collaboration Scale (AITCS) II dan Interprofessional Collaboration Scale. Peran MPP diukur menggunakan instrumen yang dimodifikasi dari National Study From the Commission for Case Manager Certification. Responden penelitian berjumlah 157 perawat. Pelaksanaan IPC oleh perawat memiliki rerata 96 (74,1%). Peran MPP berdasarkan persepsi MPP memiliki rerata 111,7 (90%), sedangkan menurut persepsi perawat memiliki rerata 92 (75%). Hasil penelitian didapatkan adanya hubungan peran MPP dengan pelaksanaan IPC (p< 0,001; α: 0,05). Faktor lain yang berhubungan ialah usia (p= 0,028; α: 0,05), lama kerja (p= 0,042; α: 0,05), dan level kompetensi (p= 0,004; α: 0,05). Peran MPP yang paling berhubungan dengan pelaksanaan IPC ialah peran informational (koefisien B= 0,727). Manajer pelayanan pasien disarankan meningkatkan peran informational sehingga ada proses pertukaranan informasi antara MPP dan PPA yang meningkatkan pelaksanaan IPC. Direktur pelayanan medis disarankan untuk melakukan advokasi mengenai peran MPP kepada seluruh PPA.


The implementation of interprofessional collaboration (IPC) by nurses is not yet optimally conducted. The Case Managers (CM) has a role that can improve the implementation of the IPC. This research aimed to identify the description of the implementation of IPC, the role of CM perceived by nurses and CM, and the relationship between the role of CM and the implementation of IPC by nurses using a cross sectional design. The implementation of IPC was measured using an instrument modified from Assessment of Interprofessional Team Collaboration Scale (AITCS) II and Interprofessional Collaboration Scale. The role of CM was measured using an instrument modified from National Study From the Commission for Case Manager Certification. The research respondents were 157 nurses. The implementation of IPC by nurses had an average of 96 (74.1%). The role of CM based on CM perception had an average of 111.7 (90%), while based nurses perception it had an average of 92 (75%). The research results found a relationship between the role of CM and the implementation of IPC (p< 0.001; ±: 0.05). Other related factors were age (p= 0.028; ±: 0.05), working time (p= 0.042; ±: 0.05), and level of competence (p= 0.004; ±: 0.05). The role of CM which was most related to the implementation of IPC was the informational role (coefficient B = 0.727). The CM is suggested to increase the informational role so that there is a process of information exchange between CM and PPA that improves the implementation of IPC. The director of medical services is suggested to conduct an advocacy for the role of CM to all PPA.

2019
T53313
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaina Hanum
Abstrak :

Pendahuluan: Kolaborasi penalaran klinis merupakan salah satu bagian penting dalam kolaborasi interprofesi, yaitu kolaborasi berbagai profesi kesehatan dalam menyusun sebuah kerangka berpikir mengenai masalah pasien dan manajemen tatalaksananya. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan sebagai kerangka pengelolaan masalah kesehatan adalah Integrated Care Pathway (ICP). Salah satu metode pembelajaran dalam program pendidikan interprofesi kesehatan (IPE) tahap lanjut yang diselenggarakan Rumpun Ilmu Kesehatan UI adalah case-based discussion, yaitu diskusi dengan menggunakan kasus pemicu dan kerangka ICP untuk menyusun rencana pengelolaan kesehatan pasien. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi proses kolaborasi penalaran klinis dalam diskusi kasus tersebut, menggali berbagai faktor yang memengaruhi proses kolaborasi penalaran klinis, serta pemanfaatan ICP yang digunakan sebagai kerangka pengelolaan masalah. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan responden penelitian dilakukan dengan metode maximun variation sampling pada kelompok interprofesi yang mengikuti program IPE RIK UI. Sebanyak empat observasi diskusi dan empat FGD dilakukan untuk mengeksplorasi proses kolaborasi penalaran klinis dan pemanfaatan kerangka ICP. Empat wawancara mendalam terhadap tutor diskusi dan telaah dokumen terhadap empat kerangka ICP yang telah diisi dilakukan untuk triangulasi data. Hasil penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi penalaran klinis dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap individu dan tahap kelompok, dengan menerapkan seluruh kompetensi kolaborasi terutama kompetensi terkait peran dan tanggung jawab, serta kerja sama tim. Dalam diskusi kolaborasi penalaran klinis, kerangka ICP dapat digunakan sebagai panduan pengelolaan masalah kesehatan individu, namun kurang optimal digunakan dalam pengelolaan masalah kesehatan komunitas. Proses pembelajaran tersebut didukung oleh beberapa faktor, seperti pengalaman kerja praktik dan kolaborasi, dan usia anggota kelompok interprofesi yang relatif sebaya. Beberapa tantangan pemanfaatan kerangka ICP dalam pembelajaran kolaborasi penalaran klinis antara lain kasus pemicu yang digunakan, prior knowledge mengenai ICP, dominasi profesi dan peran tutor dalam proses diskusi interprofesi. Simpulan: Pembelajaran kolaborasi penalaran klinis dengan menggunakan kerangka ICP bermanfaat utk membantu peserta didik dalam menyusun pengelolaan masalah kesehatan dan meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap berbagai kompetensi kolaborasi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai tantangan penggunaan kerangka ICP dalam pembelajaran kolaborasi penalaran klinis diantaranya perbaikan kasus pemicu dan kerangka pengelolaan masalah kesehatan, yang disusun secara komprehensif dengan mempertimbangkan keilmuan dan cakupan kompetensi seluruh profesi kesehatan yang akan terlibat dalam pembelajaran tersebut. Kata kunci: kolaborasi penalaran klinis, pendidikan interprofesi kesehatan, kompetensi kolaborasi, kerangka Integrated Care Pathway, case-based discussion

 


Introduction: Collaborative clinical reasoning is an important part of interprofessional collaborative practice, in negotiating patients problem and its management. Integrated Care Pathway (ICP) can be used as a framework in developing comprehensive patient care. Interprofessional education program held by Health Science Cluster Universitas Indonesia implemented case-based discussion as one of the learning methods, to discuss a clinical problem within an interprofessional team using ICP framework. This study aims to explore the collaborative clinical reasoning process in undergraduate interprofessional team, and the use of integrated care pathway framework as a guidance in discussing patient problem and its comprehensive management. Method: This research is a qualitative study with phenomenology design. The selection of respondents was conducted using maximum variety sampling method. A total of four observations and four focus group discussions were conducted to explore the collaborative clinical reasoning process using the ICP framework. In-depth interviews with the tutors of the discussions and document analysis were also conducted as triangulation processes. Result: This study shows that the collaborative clinical reasoning was held in two stages, individual and group stages. All of the collaboration competency domains were applied during the interprofessional discussion, especially roles and responsibilities and teams and teamwork. ICP framework could be used as a guidance in collaborative clinical reasoning process to discuss the patients management and discharge plan. The influencing factors were experience in clinical clerkship and previous exposure to IPE, and the similarities of the team members age. This study also shows few challenges in this learning process, including the clinical case used in the discussion, the need of prior knowledge about the framework, domination during the discussion, and the role of tutor. Conclusion: The interprofessional education on collaborative clinical reasoning using ICP framework could help students discussing clinical problem and developing comprehensive and collaborative care plan. To optimize the process of the discussion and the interaction among interprofessional team members, clinical case used in the discussion should be prepared thoroughly and consider the competency and scope of knowledge of all health profession involved in the IPE program. 

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Sutarsa
Abstrak :
Dinamika masalah kesehatan masyarakat yang semakin kompleks menuntut sistem pelayanan kesehatan yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasien, keluarga dan masyarakat. Dalam pemberian layanan yang berorientasi pada kesehatan dan kepuasan pasien, kerjasama begbagai profesi kesehatan tersebut sangat diperlukan. Diversitas jenis sumber daya manusia kesehatan dalam sistem pelayanan kesehatan perlu dikelola dengan bijaksana sehingga mendukung praktik kolaborasi lintas-profesi yang efektif. Inter-profesional collaborative dalam organisasi pelayanan kesehatan dapat meningkatkan performa sistem kesehatan, mengurangi fragmentasi layanan dan meningkatkan kualitas layanan serta keamanan pasien. Namun, sistem pendidikan profesi kesehatan saat ini belum mampu mendorong terbentuknya kompetensi inter-professional collaborative. Clinical leadership memfasilitasi proses inter-professional dollaborative dalam penyelenggaraan layanan kesehatan. Kompetensi clinical leadership berkaitan erat dengan kompetensi inter-profesiional collaborative untuk mendorong pemberian layanan yang komprehensif dan berorientasi pada pasien dan masyarakat. Untuk menumbuhkan clinical leadershipp diperlukan strategi yang berfokus pada individu dan organisasi. Strategi yang berfokus ada individu dapat dicapai melalui sistem pendidikan dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada komunitas dan pendidikan lintas profesi (inter-professional education). Strategi yang berfokus pada organisasi dapat dilakukan melalui pembentukan asosiasi pimpinan klinis dan mendorong terciptanya organisasi kesehatan dengan performa yang optimal. Berbagai kajian untuk mengevaluasi kurikulum pendidikan profesi kesehatan untuk mengidentifikasi integrasi kompetensi clinical leadershop ke dalam sistem pendidikan yang telah berlangsung. Berbagai kegiatan in-service training juga perlu dievaluasi untuk melihat peluang integrasi kompetensi inter-professional collaboration dan clinical leadership ke dalam komponen in-service training.
Jakarta: The Ary Suta Center, 2018
330 ASCSM 40 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Sutarsa
Abstrak :
Dinamika masalah kesehatan masyarakat yang semakin kompleks menuntut sistem pelayanan kesehatan yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasien, keluarga dan masyarakat. Dalam pemberian layanan yang berorientasi pada kesehatan dan kepuasan pasien, kerjasama begbagai profesi kesehatan tersebut sangat diperlukan. Diversitas jenis sumber daya manusia kesehatan dalam sistem pelayanan kesehatan perlu dikelola dengan bijaksana sehingga mendukung praktik kolaborasi lintas-profesi yang efektif. Inter-profesional collaborative dalam organisasi pelayanan kesehatan dapat meningkatkan performa sistem kesehatan, mengurangi fragmentasi layanan dan meningkatkan kualitas layanan serta keamanan pasien. Namun, sistem pendidikan profesi kesehatan saat ini belum mampu mendorong terbentuknya kompetensi inter-professional collaborative. Clinical leadership memfasilitasi proses inter-professional dollaborative dalam penyelenggaraan layanan kesehatan. Kompetensi clinical leadership berkaitan erat dengan kompetensi inter-profesiional collaborative untuk mendorong pemberian layanan yang komprehensif dan berorientasi pada pasien dan masyarakat. Untuk menumbuhkan clinical leadershipp diperlukan strategi yang berfokus pada individu dan organisasi. Strategi yang berfokus ada individu dapat dicapai melalui sistem pendidikan dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada komunitas dan pendidikan lintas profesi (inter-professional education). Strategi yang berfokus pada organisasi dapat dilakukan melalui pembentukan asosiasi pimpinan klinis dan mendorong terciptanya organisasi kesehatan dengan performa yang optimal. Berbagai kajian untuk mengevaluasi kurikulum pendidikan profesi kesehatan untuk mengidentifikasi integrasi kompetensi clinical leadershop ke dalam sistem pendidikan yang telah berlangsung. Berbagai kegiatan in-service training juga perlu dievaluasi untuk melihat peluang integrasi kompetensi inter-professional collaboration dan clinical leadership ke dalam komponen in-service training.
Jakarta: The Ary Suta Center, 2018
330 ASCSM 40 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library