Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devi
"Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi yang disebabkan oleh diabetes mellitus. Kelainan mata ini telah menjadi salah satu dari dua penyebab utama kebutaan di Amerika Serikat. Penghantaran obat secara sistemik dan topical tidak dapat dilakukan karena berbagai keterbatasan. Ditemukan bahwa metode paling efektif untuk menghantarkan obat ini adalah dengan injeksi intravitreal. Akan tetapi, ditemukan juga bahwa metode ini dapat meningkatkan tekanan di dalam mata dan pendarahan retina. Oleh karena itu dibutuhkan metode enkapsulasi obat terkendali yang mampu membantu obat agar dapat dilepaskan dalam jangka waktu yang lebih panjang, sehingga frekuensi injeksi dapat dikurangi. Sistem seperti ini dapat dibuat dengan memformulasikan triamsinolon dengan polimer PLGA ke dalam bentuk mikropartikel. Mikropartikel ini dapat dibuat dengan metode emulsifikasi-penguapan pelarut yang menghasilkan effisiensi enkapsulasi obat sebesar 25,3% dan penjeratan obat sebesar 6,17%.
Penggunaan polimer sebagai material enkapsulan dikombinasikan dengan penggunaan surfaktan kationik, dengan variasi konsentrasi sebesar 0,5; 1,0; 1,5% (m/v). Zeta potensial dari mikropartikel yang dimodifikasi dengan DDAB diukur dan ditemukan bahwa nilai tersebut sebanding dengan perubahan konsentrasi DDAB yang ditambahkan. Interaksi elektrostatis dari mikropartikel yang bermuatan positif dengan HA yang bermuatan negatif pada vitreous juga ditentukan dengan pengukuran zeta potensial. Vitreous yang digunakan adalah vitreous sapi yang memiliki kandungan HA yang mirip dengan vitreous mata manusia. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa zeta potensial semua sampel pada vitreous dengan konsentrasi DDAB yang berbeda tidak berbeda secara signifikan. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena HA yang mendominan di dalam campuran vitreous-mikropartikel.

Diabetic retinopathy is one of the complications caused by diabetes mellitus. This disorder of the eyes has become one of two major blindness in the United States. Systemic and topical drug delivery cannot be done because of various limitations. The drug is most likely delivered intraocular using intravitreal injection. However, it was later found that this method can lead to an increase in intraocular pressure (IOP) and retinal bleeding. Therefore, controlled drug encapsulation system which allows drug release within a longer time is required, so the frequency of injection may be reduced. Such systems can be made by formulating triamsinolon with PLGA in the form of microspheres. The microspheres are fabricated using emulsification-solvent evaporation method and have an average drug encapsulation of 25.3% and drug loading of 6.17%.
The use of polymers as material encapsulant also be combined with the use of cationic surfactants, whose concentration is varied by 0.5; 1.0; and 1.5% (w/v). Zeta potential of the modified microparticles are measured and it is found that this variable directly proportional to the DDAB concentration. Electrostatic interaction of the positively charged microspheres with negatively charged HA in vitreous will be also determined by measuring the zeta potential. Vitreous used in the experiments is bovine vitreous, which contains nearly same amount of HA with human?s vitreous. Nearly the same amount of zeta potential is measured from sampels with different DDAB concentration. It is most likely caused by the dominance of HA in the vitreous-microspheres mixture.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63437
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Parmaditya Pamungkas
"Latar belakang: SARS-CoV2, virus yang menyebabkan COVID-19 merupakan masalah kesehatan terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini. Gangguan penghidu dan pengecap saat ini telah diakui menjadi suatu entitas gejala pada COVID-19 namun studi terkait evaluasi objektif dan tata laksana gangguan ini masih sangat terbatas. Tujuan penelitian: Mengetahui gambaran klinis gangguan penghidu pada COVID-19 berdasarkan uji penghidu alkohol (UPA) dan uji penghidu intravena (UPI) serta efektifitas terapi hidung sebagai tambahan terapi standar pasien COVID-19 dengan gangguan penghidu. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol paralel dengan penyamaran tunggal pada 2 kelompok menggunakan 24 pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengalami gangguan penghidu dan dirawat di RS Cipto Mangunkusumo periode Juli-Oktober 2020. Penapisan gangguan penghidu menggunakan UPA dan dilanjutkan dengan UPI. Protokol terapi hidung yang digunakan terdiri dari steroid intranasal, cuci hidung Nacl 0,9%, dekongestan topikal dan balsam aromatik selama 2 minggu kemudian dilakukan analisis statistik perbedaan delta pada hasil pemeriksaan UPA dan UPI menggunakan Uji T independent atau Uji Mann Whitney. Hasil: Terdapat 4 subyek yang keluar dari penelitian dan analisis akhir dilakukan hanya pada 10 subyek per kelompok. Pada pengukuran awal didapatkan rerata nilai pengukuran UPA yang terganggu (kontrol 5,13 ± 3,79; terapi 2,6 ± 2,23). Pada pemeriksaan UPI didapatkan perlambatan onset UPI {kontrol 26 (8-300); terapi :131,5 (20-300)} penurunan nilai durasi {(kontrol:111 (0-182); terapi:44 (0-70)}. Uji perbedaan delta semua variabel pasca terapi didapatkan bahwa terdapat hasil perbedaan signifikan pada onset UPI kelompok terapi (p<0,001) dibandingkan kontrol. Terdapat peningkatan persentase perbaikan semua biomarka: UPA (170,13%), onset UPI (13,45%), dan durasi UPI (32,82%) pada kelompok terapi dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan keunggulan persentase >10%. Kesimpulan: Karakteristik gambaran gangguan penghidu pada subyek COVID-19 pada penelitian ini sesuai dengan jenis gangguan penghidu sensorineural. Subyek pada kedua kelompok mengalami perbaikan gangguan penghidu pasca follow up 2 minggu. Pemberian terapi hidung memberikan nilai tambah dengan bukti awal perbaikan pada nilai onset UPI dibanding pemberian terapi standar saja.
......Background: SARS-CoV2, the virus that causes COVID-19, makes the disease biggest health problem the world facing today. Smell and taste disorders are currently recognized as a symptom entity in COVID-19, but studies related to objective evaluation and management of this disorder are still very limited. Aim : To evaluate the clinical presentation of olfactory disorders in COVID-19 based on the alcohol sniff test (AST) and the intravenous olfaction test (IOT) and the effectiveness of the nasal therapy protocol as an adjunct to standard therapy in COVID-19 patients with olfactory disorders. Methods: This study was a two-group single-blind randomized trial of 24 COVID-19 patients with olfactory disorders in Cipto Mangunkusumo General Hospital from July to October 2020. Assestment of olfactory function in this study was performed using AST and IOT. Screening for olfactory disorders performed using AST and followed by IOT. The nasal therapy used consisted of intranasal steroids, Nacl 0,9% nasal washing, topical decongestants and aromatic balms for 2 weeks. Statistical analysis of delta differences was carried based on the results of AST and IOT using independent T test or Mann Whitney test. Results: Four subject were lost to follow up. The final analysis was performed on each 10 subjects per group. The initial measurement showed all subjects included in this study have decreased AST value (control: 5.13 ± 3.79; therapy: 2.6 ± 2.23). Late onset IOT {control: 26 (8-300); therapy: 131.5 (20-300)}, decreased duration {(control: 111 (0-182); therapy: 44 (0-70)}. Statistical tests of delta differences of all post-therapy variabel found that there were significant results on delta IOT latency in the treatment group (p <0.001). There were difference of the percentage improvement of AST (170.13%), IOT onset (13.45%), and duration of IOT (32.82%) in the therapy group compared to the control group. with a percentage advantage >10% Conclusion: The characteristics of the olfactory disorder in COVID-19 subjects in this study were in accordance with the type of sensorineural olfactory disorders. Both subject of two groups have showed improvement in two weeks follow up. The administration of a nasal therapy provides early evidence of improvement in the IOT onset value compared to standard therapy alone."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library