Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frenki
Abstrak :
Persoalan mengenai hubungan Islam dengan negara merupakan isu yang mendominasi perbincangan sejarah umat Islam semenjak abad 9 M sampai abad ke-21 M. Meskipun hampir 11 abad masalah ini dikaji, akan tetapi tidak pernah memberi satu kajian yang dapat diterima dan disepakati secara bersama. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya penjelasan secara tegas baik al-Quran maupun al-hadits sebagai sumber utama hukum Islam, sehingga terkesan bahwa Islam memberi kebebasan bagi munculnya ragam interprestasi dalam memahaminya. Tesis ini akan meneliti sejauhmana hubungan Islam dengan negara menurut perspektif Yusuf al-Qardhawi yang merupakan salah satu ulama al-Azhar kontemporer, dan Moh. Natsir seorang tokoh politik Islam di negara Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat diketahui letak persamaan dan perbedaan pemikiran keduanya dalam memahami persoalan hubungan Islam dengan negara. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, pendekatan fenomenologis dan metode deskriptif serta komperatif. Hasil dari penelitian di atas, penulis menemukan ada beberapa persoalan yang memiliki persamaan dan perbedaan pemikiran antara al-Qardhawi dan Natsir dalam memahami hubungan Islam dengan negara. Persoalan itu antara lain mengenai kedudukan negara dalam Islam, bentuk negara dan sistem pemerintahan, karakter pemimpin negara dan kewa;ganegaraan. Pemikiran politik al-Qardhawi sedikit banyak di pengaruhi oleh Hasan al-Banna, dan ia pernah menjadi aktivis gerakan al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Al-Qardhawi berpendapat bahwa Islam dan negara tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, bahwa dalam al-Quran dan Sunnah ditemukan aturan-aturan yang langsung walaupun tidak rinci mengenai masalah-masalah kenegaraan. Al-Qardhawi berargumen berdasarkan ayat-ayat al-Quran, hadits dan karakter Islam itu sendiri mengenai keberadaan negara dalam Islam. Pemikiran politik Natsir banyak dipengaruhi oleh gurunya Agus Salim dan sering sekali dalam perjuangan politiknya sebagai "Salimisten". Natsir berpendapat bahwa Islam dan negara tidak dapat dipisah. Islam menurutnya bukan sekedar bentuk format atau simbol, tetapi esensi dari ajaran Islam itu merupakan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
The problem about relation between Islam and state were predominating conference issue in the Islamic people history since 9 M till 21 M century. Although these problem was studied almost 11 century but not give and study that could accepted and agreed together. Those caused by there was not detail explanation, either of al-Quran also al-hadits as main source of Islam law, so Islam is impressed like gave freedom to many kind of interpretation comprehending of it. This thesis will examine carefully as far as a concept of ideal Islamic state, especially about relation between Islam and state according to perspective of Yusuf al-Qardhawi, a contemporary uIama of al-Azhar and Moh. Natsir, an Islamic politician figure in Indonesia. Expected this research is known difference and similarity thinking both them in order to understand Islam and state relation problem. The research methods that used are qualitative research method, phenomenology approach and descriptive and comparative method. The writer found that the result of the research above, there is some problem owning difference and similarity of thinking between al-Qardhawi and Natsir in order to understand Islam and state relation. That problem is about position of state in Islam, form of state and system of government, character of state leader and citizenship. Al-Qardhawi though, at least, was influenced by Hasan al-Bana, and he has been ever become activist of al-Ikhwanul al.-Muslimin in Mesir. Al-Qardawi thought that Islam and state could not be separated. According to him, in al Qur'an and as Sunnali found regulations about state affair, even, it is not detail. AI Qardhawi argument based on al-Qur'an verses, aI-hadits and character of Islam it self, about the existence of state in Islam. Most of Natsir though was influenced by his teacher; Agus salim and he often become "Salimisten" in his struggling politic. Natsir thought that Islam and state could not be separated. He said that Islam is not only format or symbol, but the essence of Islamic guidance is foundation on nation and state living.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T20325
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfan Firmanto
Abstrak :
Sebagian besar pemikir politik Islam klasik, memandang bahwa hubungan agama dan negara adalah satu kesatuan yang organis, yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bentuk kelembagaan bagi hubungan yang organik tersebut, muncul dalam bentuk khilafah, yang dianggap sebagai representasi sebuah sistem kekuasaan dan pemerintahan Islam, sejak dari zaman Abu Bakar Shidiq hingga berakhirnya kekhalifahan Usmani di Turki. Selama itulah kedudukan khalifah tetap aman dan selalu mendapat legitimasi dari para ulama yang memegang otoritas keagamaan dalam Islam. Kondisi tersebut menggambarkan hubungan antara politik atau kekuasaan dengan agama, sebagai hubungan simbiosis yang sating menguntungkan. Seiring dengan masuknya bangsa Eropa ke Timur Tengah, maka masuk pulalah pemikiran-pemikiran modern di kawasan tersebut. Salah satu diantara pemikiran tersebut adalah Sekularisme. Dengan faham itulah Ataturk di Turki mengejutkan dunia politik Islam dengan menggusur kekhalifahan Usmani yang memang sudah lemah. Menyusul satu tahun kemudian AIi Abd Raziq di Mesir dengan menerbitkan bukunya "Islam wa Ushul al-hukmmr ; Buhl fi al-Khila_;ah wa al-Hukumah fi al-Islam", yang juga inengkritisi eksistensi khilafah yang selama itu "disucikan". Namun keduanya menganggap bahwa khilafah adalah rezim otoritarianisme dan absolutisme yang tidak lagi relevan di zaman modem ini.
Mostly classical Islamic political scholar, looking that the relation of religion and state is one organic union, inseparable one with other. Form of the institutution for those relation, emerge in the form of khilafah, what is considered_ to be representation a system of power and Islamic, governance, since Abu Bakar Shidiq till the end of Usmani Emperor in Turki. During that's dimiciling khalifah remain to be peaceful and always get the legitimation from all moslem scholar, whom had holding religious authority in Islam, The Condition depict the relation of between politics or power with religion, as mutual symbiosis a profiting relation. With the arrival of Europe people to Mid-East area, they bring the new ideology to the area, one of that ideology is Secularisme. With that ideology Ataturk in Turki set the river on fire the Islamic politics by aborting imperium Usmani which is true have weak. One year later, then Ali Abd Raziq in Egypt, also critizied the khilafah power by publishing his book " Islam of Ida Ushul alhuk'n ; Bahs El al-Khilafah wa al-Hukumah fr al-Islwn", which is during that "sanctified". But both assuming that khilafah is regime of otoritarianisme and absolutisme which shall no longger be relevant in this modem epoch. Both emerging almost at the same time, with the same opinion, and global political in a same condition, regional and national which more or less is equal. Even both dissociated by far distancer, owning different personality, with the different of intellectual background, and of course own the different target, hence non an matter which coincidence happened, if both sudden emerge at the time of and same condition. This is one of reason disturbing to be checked in this thesis.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T18707
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library