Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ibnu Masud
"Latar Belakang: Peraturan Kementerian Kesehatan No.15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jamaah haji menempatkan pasien dengan infeksi tuberkulosis dapat masuk dalam kategori tidak memenuhi syarat Isthitaah pada Tuberkulosis Totally drug Resistance (TDR) atau tidak memenuhi syarat Istithaah sementara pada Tuberkulosis sputum BTA Positif, Tuberkulosis Multi Drug Resistance, sehingga jamaah haji dengan TB berpotensi tidak dapat melaksanakan rukun islam kelima tersebut. Selain itu tingkat kebugaran dengan kategori cukup disyaratkan untuk memenuhi Istithaah kesehatan sesuai pasal 10. Saat ini belum ada laporan mengenai karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi Istithaah kesehatan pada jemaah haji dengan infeksi tuberkulosis Tujuan: Mengetahui karakteristik jamaah haji DKI Jakarta dengan infeksi tuberkulosis, mengetahui proporsi dan faktor-faktor terkait Istithaah kesehatan pada Jamaah haji dengan infeksi tuberkulosis. Metode: Studi potong lintang terhadap 31 jemaah haji DKI Jakarta yang sedang mendapatkan pengobatan tuberkulosis pada saat pelaksanaan ibadah haji tahun 2018. Kuesioner juga dilakukan terhadap Tim Kesehatan Haji Indonesia yang mendampingi subyek sebagai data tambahan. Analisa bivariat terhadap variabel kategorik-kategorik dilakukan menggunakan uji Chi Square atau bila persyaratannya tidak terpenuhi, maka dilakukan uji Fisher. Selanjutnya analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil: Pada studi ini didapatkan 31 subyek jemaah haji dengan Infeksi tuberkulosis dan menjalani pengobatan pada penyelenggaraan haji 2018. Dari data tersebut diketahui Sebagian besar subyek dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki: 19/31(61,3 %) dan hampir seluruhnya berusia antara 40 hingga 60 tahun keatas: 30/31(96.8%). Sebagian besar subyek memiliki IMT yang normal atau lebih: 28/31 (90.3 %). Penegakan diagnosis TB pada jamaah haji lebih banyak melalui konfirmasi klinis: 17/31 (54.8%) dengan 93% subyek tidak bergejala. Seluruh subyek sudah menyelesaikan fase intensif dan memiliki BTA negatif yang dinyatakan layak terbang. Pada penelitian ini, mengacu kepada Peraturan Kementerian Kesehatan No.15 Tahun 2016, seluruh subyek memenuhi syarat Istithaah kesehatan haji dalam kriteria Memenuhi Syarat Istithaah Kesehatan Haji dengan Pendampingan, yaitu subyek menderita TB dengan sputum BTA negatif pada pemeriksaan akhir kelayakan terbang: 29/31 (94%) atau TB MDR yang sudah dinyatakan layak pergi haji oleh Tim Ahli Klinis TB MDR: 2/31 ( 0.6 %). Subyek jemaah haji dengan Infeksi tuberkulosis memiliki tingkat kebugaran cukup 12/31 (38.7%), kurang 13/31 (41.9%) dan sangat kurang 6/31 (19.30%), sesuai dengan kriteria kebugaran yang ditetapkan dalam penelitian ini. Hasil Kuesioner kepada Tim Kesehatan Haji Indonesia diketahui bahwa semua jamaah mampu melakukan Thawaf, Sai, dan wukuf di Padang Arafah sebagai rukun haji. Kesimpulan: Subyek yang sudah menyelesaikan fase intensif dengan sputum BTA yang negatif atau TB MDR yang dinyatakan layak berangkat haji oleh TIM Ahli Klinis TB MDR dinyatakan layak terbang pada pemeriksaaan kesehatan tahap ketiga dengan Memenuhi Syarat Istithaah dengan Pendampingan. Sebanyak 19/31 subyek jamaah haji dengan tuberkulosis memiliki tingkat kebugaran dibawah nilai cukup. Meskipun demikian jamaah haji dengan infeksi tuberkulosis masih mampu menjalankan rukun haji di tanah suci. Pada penelitian ini, komorbid, lama pengobatan dan kadar Hb tidak signifikan secara statistik mempengaruhi Istithaah kesehatan dengan infeksi tuberkulosis.

Background: Indonesian Ministry of Health Regulation No. 15 of 2016 on health policy for Hajj pilgrims puts patients with tuberculosis (TB) infection in the category of not fulfilling Isthahah (conditions Totally Drug Resistance TB) or does not meet temporary Istithaah ( Smear positif TB, Multi Drug Resistance (MDR) TB), so that pilgrims with TB potentially unable for hajj. In addition, the level of fitness with sufficient category is required according to chapter 10. At present, there is no reports on the health Istithaah of pilgrims with tuberculosis infection. Objective: To determine the characteristics of DKI Jakarta pilgrims with tuberculosis infection, to find out the proportion of low fitness levels for pilgrims with tuberculosis infection and to find out the factors related to Istithaah. Methods: A cross-sectional study of 31 Special Capitol Region of Jakarta pilgrims who were receiving tuberculosis treatment during the Hajj pilgrimage in 2018 was conducted; in addition, the Indonesian Hajj Health Team who accompanied the subjects was also included as additional data. Bivariate analysis of categoric-categoric variables are done using Chi Square method or as alternative, the Fisher method is used if the Chi Square test requirements are not fufille. Significant variables will be further analyzed with multivariate analysis using the logistic regression test Results: A total of 31 subjects of the Hajj were found with tuberculosis infection and underwent treatment. The majority were male: 19/31 and aged above 40 years old : 30/31, BMI normal or more: 28/31, diagnosis through clinical confirmation: 17/31 with 29/31 of subjects asymptomatic. All subjects have completed the intensive phase of TB treatment. Subjects with negative sputum smear at the final inspection of flightworthiness: 29/31 or MDR TB that has been declared eligible for Hajj by the MDR TB Clinical Expert Team: 2/31 .Subjects of pilgrims with tuberculosis infection have a sufficient fitness level of 12/31, less :13/31 and very less :6/31 , according to the fitness criteria established in this study. The results of the questionnaire to the Indonesian Hajj Health Team revealed that all pilgrims were able to do Thawaf, Sai, and stay in Padang Arafah. Conclusion: Subjects who have completed the intensive phase with negative sputum smear or MDR TB who were declared eligible by the MDR TB Clinical Expert Team were declared eligible to hajj with Istithaah Requirements with Assistance. As many as 19/31 of Hajj pilgrims with tuberculosis had a level of fitness below sufficient value. Nevertheless, subjects are still able to run the pillars of the Hajj. Nevertheless, subjects are still able to run the pillars of the Hajj. In this study, comorbidities, duration of treatment and HB level were not statistically significant affecting health status with tuberculosis infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salman Mauluddin Idris
"Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia dan pengirim jemaah haji terbanyak ke Arab Saudi. Minat penduduk muslim Indonesia berhaji sangat tinggi mengakibatkan masa tunggu keberangkatan yang sangat panjang. Lamanya masa tunggu mempengaruhi kesiapan dan kemampuan jemaah haji, termasuk status kesehatannya. Jemaah haji yang berangkat ke Arab Saudi dengan risti penyakit dan usia lanjut berpotensi menimbulkan permasalahan kesehatan selama menunaikan ibadah haji. Kebijakan Istithaah Kesehatan Haji merupakan upaya untuk melakukan filterisasi kesehatan bagi Jemaah sebelum berangkat agar dapat menunaikan ibadah haji dalam keadaan sehat dan mandiri. Istithaah kesehatan ditetapkan saat pemeriksaan kesehatan tahap kedua, satu tahun sampai tiga bulan sebelum keberangkatan ke Arab Saudi. Implementasi kebijakan tidak terlepas dari tantangan dan kendala di lapangan, sehingga perlu dilakukan revisi dan simplifikasi agar tujuan kebijakan menjaga kesehatan jemaah haji sebelum berhaji dapat tercapai dengan baik. Oleh karena itu menarik untuk dilakukan Policy Review terhadap kebijakan istithaah kesehatan haji yang ada, untuk menghasilkan rekomendasi terhadap kebijakan istithaah kesehatan haji yang sedang direvisi dan disimplifikasi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualititatif dengan metode wawancara mendalam terhadap informan kunci serta telaah dokumen. Segitiga kebijakan Walt dan Gilson digunakan untuk melakukan review terhadap kebijakan istithaah kesehatan haji dengan melihat dimensi aktor, konten, konteks dan proses dalam penyusunan sampai implementasi kebijakan ini. Kesimpulan hasil review menunjukkan kebijakan telah dilaksanakan dengan baik dari pusat sampai ke daerah, tetapi perlu pengembangan dan revisi terkait pemeriksaan kesehatan dan penentuan status Istihaah Kesehatan. Keterlibatan aktor Pusat dan Daerah dengan kewenangan/perannya berjalan sinergis dan responsif terhadap permasalahan yang ada. Harmonisasi kebijakan selaras dengan peraturan yang lebih tinggi dan sinergis dengan kebijakan dari Kementerian Agama terkait penyelenggaraan haji. Revisi dan simplifikasi terhadap substansi kebijakan berdasarkan hasil diskusi dan saran dari stakeholder digunakan sebagai masukan dalam membuat penyempurnaan konten kebijakan istithaah kesehatan haji. Secara konteks, faktor yang mempengaruhi pengembangan dan implementasi kebijakan istithaah kesehatan adalah faktor situasional terkait kondisi internal Jemaah, yaitu tingginya angka risti kesehatan dan usia lanjut pada jemaah haji, serta kondisi eksternal yaitu kebijakan pelaksanaan ibadah haji Arab Saudi sebagai respon dari kondisi kesehatan masyarakat internasional yang berpengaruh terhadap pelaksanaan ibadah haji. Faktor struktural yaitu belum adanya struktur organisasi yang menangani program kesehatan haji di Dinkes Provinsi dan Kab/Kota, sehingga penyelenggaraan kesehatan haji belum terkelola dengan baik. Proses Birokratisasi melibatkan stakeholder terkait dalam penyusunan sampai penerapan kebijakan, tidak terbatas pada pemerintah tetapi juga masyarakat dan keagamaan agar kebijakan yang disusun sesuai dengan syariat Islam. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk menganalisis apakah kebijakan berjalan dengan baik serta kepentingan pengembangan kebijakan selanjutnya. Penelitian merekomendasikan untuk melakukan revisi dan simplifikasi terhadap substansi Kebijakan Istithaah Kesehatan Haji, kemudian perlu pembahasan untuk mitigasi kondisi kesehatan khusus yang mempengaruhi penyelenggaraan haji. Selain itu perlu peningkatan kerjasama terkait pertukaran dan pemanfaatan data jemaah antara Kemenag dengan Kemenkes serta Dinkes Provinsi dan Kab/Kota, sosialisasi Istithaah kesehatan haji dalam materi edukasi kesehatan pada manasik haji di Kabupaten/Kota, serta diperlukan struktur organisasi untuk menjalankan program kesehatan haji di Dinkes Provinsi dan Kab/Kota, sehingga jemaah haji dapat mencapai kondisi istithaah kesehatan sebelum berangkat menunaikan ibadah haji di Arab Saudi.

Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world and sends the most pilgrims to Saudi Arabia. The interest of the Indonesian Muslim population for hajj is very high resulting in a very long waiting period for departure. The length of the waiting period affects the readiness and ability of the pilgrims, including their health status. Pilgrims who leave for Saudi Arabia with a history of illness and old age have the potential to cause health problems during the pilgrimage. The Istithaah Hajj Health Policy is an effort to carry out health screening for pilgrims before departure so that they can perform the Hajj in a healthy and independent condition. Health istithaah is determined during the second phase of the medical examination, one year to three months before departure to Saudi Arabia. Policy implementation is inseparable from challenges and obstacles in the field, so it is necessary to revise and simplify the policy, so that the policy objectives of maintaining the health of pilgrims before pilgrimage can be achieved properly. Therefore, it is interesting to carry out a Policy Review of the existing Hajj health istithaah policies, to produce recommendations for the Hajj health istithaah policies which are being revised and simplified. This research was conducted using a qualitative approach using in-depth interviews with key informants and document analysis. Walt and Gilson's policy triangle is used to review the Hajj health istithaah policy by looking at the dimensions of actors, content, context, and process in the preparation to implementation of this policy. The conclusion of the review results shows that the policy has been implemented well from the center to the regions government, but it needs development and revision related to medical examination and determining the status of Health Istihaah. The involvement of central and regional actors with their authority/role is synergistic and responsive to existing problems. Policy harmonization is in line with higher regulations and synergistic with policies from the Ministry of Religion regarding the implementation of Hajj. Revision and simplification of the substance of the policy based on the results of discussions and suggestions from stakeholders are used as input in making improvements to the content of the Hajj health istithaah policy. In context, the factors that influence the development and implementation of health istithaah policies are situational factors related to the internal conditions of the pilgrims, like the high number of health high risk and old age among pilgrims, as well as external conditions, specifically the policy of pilgrimage by Saudi Arabia Kingdom, as a response to the health situation of the international community that influence for the pilgrimage. Structural factors such as the absence of an organizational structure that handles the Hajj health program at the Provincial and District/City Health Offices, that impact the implementation of Hajj health is not well managed. The bureaucratization process involves relevant stakeholders in the formulation and implementation of policies, not limited to the government but also the community and religion so that the policies prepared are in accordance with Islamic law. Monitoring and evaluation is carried out to analyze whether the policy is running well and the interests of further policy development. The research recommends revising and simplifying the substance of the Hajj Health Istithaah Policy, then discussing the mitigation of special health conditions that affect the implementation of the Hajj. In addition, it is necessary to increase cooperation regarding the exchange and utilization of pilgrims data between the Ministry of Religion and the Ministry of Health as well as Provincial and District/City Health Offices, socialization of Hajj health Istithaah in health education materials on Hajj rituals in Regencies/Cities, and an organizational structure is needed to run the Hajj health program at the Health Office Provinces and Regencies/Cities, so that pilgrims can reach a state of health istithaah before leaving to perform the pilgrimage in Saudi Arabia."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library