Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anton Sutrisno
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang kemandirian Jaksa Penuntut Umum berkaitan dengan adanya kebijakan rencana tuntutan (rentut) yang berlaku secara internal di Kejaksaan. Sebelum Jaksa Penuntut Umum membacakan surat tuntutannya, ia harus mengajukan rencana tuntutan kepada atasannya secara berjenjang. Rentut diberlakukan oleh Kejaksaan dengan berdasarkan SEJA No 009/A/J.A/12/1985 tentang Pedoman Tuntutan Pidana dan diperbaharui dengan SEJA No : 001/JA/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Pidana Umum dan Pidana Khusus. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian menerangkan dengan adanya kebijakan rentut, maka kemandirian Jaksa secara fungsional menjadi tidak bebas dan mandiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Penuntut Umum, sebaiknya dimasa yang akan datang Jaksa bisa mandiri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, sehingga perlu dilakukan perubahan tentang prosedur dan mekanisme kebijakan rentut serta meningkatkan kualitas maupun integritas dari Jaksa sehingga akan terbentuk pribadi Jaksa yang profesional dan bertanggungjawab. ......This thesis discusses the independence of the Public Prosecutor relating to the policy charges of the plan (rentut) applicable internally in the Attorney General. Before the Public Prosecutor charges to read the letter, he must submit a claim to his superiors a plan in stages. Rentut imposed by the Prosecutor based SEJA No : 009/A/J.A/12/1985 Guidelines for Criminal Charges and updated by SEJA No : 001/JA/4/1995 Guidelines for General Crime Criminal Charges and Special Crimes. This study using a normative juridical approach. The results explain the presence of rentut policy, it is functionally independent Prosecutor is not free and independent in performing its duties and functions as a prosecutor, so it is necessary to change procedures and policy mechanism rentut and to improve the quality and integrity of the prosecution so that it will form personal and profesional attorney who is responsible.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29300
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Tsurayya
Abstrak :
Penuntut Umum memiliki peran penting dalam penegakan hukum, khususnya peradilan pidana. Salah satu peran penting tersebut adalah kewenangan untuk menuntut atau tidak menuntut suatu perkara ke pengadilan, yang dikenal dengan dominus litis atau pengendali perkara. dominus litis, peran aktif penuntut umum dimulai semenjak awal penyidikan, mengawasi penyidikan, mengawasi eksekusi putusan pengadilan, serta fungsi lainnya yang menyangkut kepentingan publik. Namun demikian, sistem peradilan pidana Indonesia cenderung mereduksi konsep dominus litis jaksa karena menganut sistem diferensiasi fungsional. Hal ini terlihat dari definisi penuntutan yang hanya dimaknai sebagai tindakan pelimpahan perkara ke pengadilan. Penelitian ini akan membahas tentang pengajuan tuntutan bebas oleh jaksa penuntut umum sebagai cerminan dari dominus litis. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif yang akan dikaitkan dengan peraturan hukum di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa jaksa penuntut umum di Indonesia dapat mengajukan tuntutan bebas sesuai dengan Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Tuntutan bebas dilakukan dalam hal kesalahan terdakwa tidak terbukti, unsur tindak pidana tidak terpenuhi, dan/atau pembuktian yang dihadirkan di persidangan tidak memiliki kekuatan pembuktian atau perolehan dua alat bukti dilakukan secara tidak sah. Salah satu faktor jaksa penuntut umum dalam mengajukan tuntutan bebas adalah karena adanya perubahan fakta persidangan dan fakta penyidikan. Selain itu, tuntutan bebas dilakukan dalam rangka supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia. ......Prosecutor has an important role in law enforcement, especially criminal justice. One of these important roles is the authority to prosecute or not prosecute a case to court, which is known as dominus litis or case controller. As a dominus litis, the prosecutor's active role starts from the beginning of an investigation, overseeing investigations, supervising the execution of court decisions, as well as other functions related to the public interest. However, the Indonesian criminal justice system tends to reduce the concept of prosecutor dominus litis because it adheres to a system of functional differentiation. This can be seen from the definition of prosecution which is only interpreted as an act of delegating cases to court. This research will discuss the subsmission of acquittal charges by the prosecutor as a reflection of dominus litis. This research is in the form of normative juridical which will be linked to legal regulations in Indonesia. Based on the research results, it was found that prosecutors in Indonesia can submit acquittal charges in accordance with the Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. An acquittal charge is made if the defendant's guilt is not proven, the elements of the crime are not fulfilled, and/or the evidence presented at trial does not have the strength of evidence or the acquisition of two pieces of evidence was carried out illegally. One of the factors of the prosecutor in submitting acquittal charges was due to changes in the facts of the trial and the facts of the investigation. In addition, acquittal charge are carried out in the framework of the rule of law and the protection of human rights.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Santoso
Abstrak :

Prosedur penyitaan menjadi gagasan baru yang dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam upaya mengembalikan kerugian korban, khususnya dalam kasus money laundering. Umumnya, penyitaan dilakukan oleh POLRI pada tahap penyidikan. Namun, karena adanya batas waktu dalam penyidikan, maka pada prakteknya seringkali tidak efektif dalam melakukan penyitaan aset. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum dapat membantu penyitaan tersebut apabila terdapat aset yang ditemukan dan belum disita. Selain itu, penyitaan juga menjadi salah satu faktor dalam pemulihan aset. Diharapkan pemulihan aset tersebut dapat dikembalikan kepada korban. Salah satu kasus yang melakukan penyitaan pada tahap proses persidangan adalah kasus perkara Indosurya atas putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian normatif-yuridis. Lalu, penelitian ini bersifat deskriptif dengan didukung data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan analisis penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, penyitaan terhadap aset hasil Money Laundering tidak hanya dilakukan oleh Penyidik POLRI, namun juga dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada saat proses persidangan. Pasal 81 UUU TPPU memberikan kewenangan aktif kepada hakim untuk memerintahkan jaksa melakukan penyitaan, tetapi pada praktiknya seringkali kurang dimanfaatkan. Kedua, putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023 menunjukkan isu keabsahan penyitaan oleh Jaksa Penuntut Umum, terutama ketidakmampuan POLRI dalam menyita aset. Meskipun hakim tidak menggunakan Pasal 81 UU TPPU, Jaksa tetap mengajukan penyitaan pada tahap kasasi untuk mencapai keadilan hukum. Selanjutnya, prosedur penyitaan aset selama persidangan menunjukkan pengakuan hakim terhadap langkah Jaksa Penuntut Umum yang memperjuangkan dan memberikan dasar untuk pemulihan aset korban. ......The confiscation procedure is a new idea that can be carried out by the Public Prosecutor in an effort to recover victims’ losses, especially in money laundering cases. Generally, confiscation is carried out by the Indonesian National Police at the Investigation stage. However, due to time limits in investigations, in practice it is often not effective in confiscating assets. Therefore, the Prosecutor can assist with the confiscation if there are assets found that have not been confiscated. Apart from that, confiscation is also a factor in asset recovery. It is hoped that the recovery of these assets can be returned to the victims. One of the cases involving confiscation at the trial stage was the Indosurya case regarding decision number 2113K/Pid.Sus/2023. This research was studied using normative-juridical research methods. Then, this research is descriptive in nature, supported by secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials which are analyzed qualitatively. Based on the analysis of this research, several conclusions can be drawn. First, confiscation of assets resulting from money laundering is not only carried out by POLRI investigators, but can also be carried out by the Prosecutor during the trial process. Article 81 of UU TPPU gives active authority to judges to order prosecutors to carry out confiscations, but in practice it is often underutilized. Second, decision number 2113/K/Pid.Sus/2023 shows the issue of the legality of confiscation by the Prosecutor, especially the inability of the POLRI to confiscate assets. Even though the judge did not use Article 81 of the UU TPPU, the prosecutor still proposed confiscation at the cassation stage to achieve legal justice. Furthermore, the asset confiscation procedure during the trial shows the judge’s recognition of the Public Prosecutor’s steps in fighting for and providing a basis for the recovery of the victim’s assets.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Roberto Bosta
Abstrak :
Skripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, pengaturan sistem koordinasi antara Penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut umum dalam KUHAP. Kedua, mengenai penerapan sistem koordinasi check and balance dalam kasus korban salah tangkap. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan wawancara narasumber, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sistem koordinasi perseimbangan dan berimbang antara penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut Umum, baik secara peraturan perundang-undangan maupun dalam prakteknya. Permasalahan mengenai adanya sistem koordinasi yang dimulai oleh penyidik pada saat dimulainya penyidikan terkait dengan pemberitahuan oleh penyidik dengan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada Jaksa Peneliti. Seperti yang telah ditetapkan oleh KUHAP bahwa penyidik wajib menyampaikan kepada jaksa sejak dimulainya penyidikan agar Jaksa mengikuti perkembangan kasus sejak dimulainya penyidkan, yang mana menjadi dasar penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. ......This thesis addresses two issues. First, regarding the rules and regulation concerning coordination system between National Police Investigator and Public Prosecutor in accordance with Criminal Law Procedure. Second, regarding the implementation of such coordination system in respect of check and balance system against the victim of wrongful arrest. By using the method of literature research combined with sources interviews, this thesis aims to determine the coordination system as check and balance system between National Police Investigator and Public Prosecutor, both in rule and regulation and in practice. The issue regarding coordination system must be addressed when Investigator starting the investigation in relation with the notification to Prosecutor that the investigation is formally commencing. As stipulated in Criminal Law Procedure (KUHAP) that Investigator obliged to convey the case progress to the Prosecutor as from the investigation is commencing, considering such investigation result would be determine as the basis of prosecution.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57392
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library