Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Visser, Johan Louis Albert
Utrecht: Drukkerij h.j.smits, 1901
BLD 347.05 VIS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
JK 8:5 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmatul Hidayat
"Hakim dan kebebasannya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Dimana hakim memiliki sebuah kebebasan yang sangat luas untuk menjatuhkan sebuah sanksi, meskipun hakim memiliki kewenangan yang besar ia tidak bebas secara mutlak. Kekuasaan memiliki arti penting, sebab kekuasaan tidak saja merupakan instrument pembentukan hukum (law making), tetapi juga merupakan instrument penegakan hukum (law enforcement) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum memiliki arti penting bagi kekuasaan karena hukum dapat berperan sebagai sarana legalisasi bagi kekuasaan formal lembaga-lembaga negara dan unit-unit pemerintahan. Dan dalam penegakan hukum, menghendaki agar kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh pemerintah atau kekuasaan lainnya. Discretionary power yang dimiliki oleh hakim dianggap sedemikian rupa besarnya sehingga terjadi adalah abuse of power yang berujung pada kesewenang-wenangan dalam menjatuhkan hukuman. Pedoman pemidanaan dianggap sebagai jalan terbaik dalam membatasi kebebasan hakim sehingga objektifitas dan konsistensi dalam memutuskan perkara akan tetap terjaga, sehingga dengan pedoman pemidanaan itu juga akan diperoleh sebuh hukuman yang proporsionalitas sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

Judge and independent have been regulating in Under Act No. 48 of 2009 The judge have a extensive independency to give a sanction, although the judge have a extensive authority, but his not absolutely free. The authority have significance, because the authority isn’t just a law-making instrument, but also an instrument of law-enforcement in the life of society, nations and state. Law have significance the authority cause the law could act as a means of formal authority legalization of state institutions and the government units. And in lawenforcement, calls for independent judiciary from the influence of government or other authority. Discretionary power held by judges considered such magnitude that happened was abuse of power that led to the arbitrariness in sentencing. Sentencing guidelines are considered as the best way of limiting the independent of judge so that objectivity and consistency in deciding cases will be maintained, so that the sentencing guidelines would also obtained a proportionality punishment in accordance with what has been done by criminals.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinrang
"Pada awal reformasi isu utama yang perlu dibenahi terkait dua hal yaitu maraknya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan pemerintahan yang totaliter. Kejaksaan merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang saran dengan KKN, oleh karena itu perlu adanya pembanasan internal kelembagaan sesuai dengan agenda reformasi di bidang hukum tersebut. Naskah kesepakatan bersama pimpinan lembaga penegak hukum yang isinya perlu dikembangkan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel yang salah pointnya adalah pengakajian atas kemungkinan pengembangan lembaga pengawasan eksternal kejaksaan. Pengawasan di dalam lembaga (internal control) itu sendiri dari dulu sudah dikenal seperti Pengawasan melekat (WASKAT), di kejaksaan sendiri ada JAMWAS dan Inspektur-Inspektur, tetapi sampai sekarang masih ada KKN sehingga muncul ide pembentukan semacam lembaga di luar untuk mengawasi lembaga kejaksaan. Isu tentang perlu dibentuknya pengawasan eksternal kejaksaan berkembang dengan masuknya dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kejaksaan RI.
Dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun tentang Kejaksaan Republik Indonesia disepakati Pasal 38 bahwa "untuk meningkatkan kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden. Dengan kata "meningkatkan kenirja kejaksaan", maka salah faktor untuk meningkatkan kinerja adalah masalah pengawasan. Pelaksanaan dari amanat Pasal 38 tersebut maka dibentuklah Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI. Dengan terbentuknya Komisi Kejaksaan yang mempunyai tugas utama sebagai lembaga pengawasan eksternal kejaksaan mernungkinkan adanya tumpang-tindih dengan kewenangan dengan pengawasan internal kejaksaan yang dilakukan oleh JAMWAS beserta jajarannya.
Dengan tugas dan wewenang yang obyeknya sama sebagai lembaga pengawasan maka diperlukan adalah prinsip koordinasi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing sehingga sehingga tercipta suatu mekanisme pengawasan terhadap lembaga kejaksan yang baku, transparan, akuntabel dan partisipatif. Dengan prinsip koordinasi maka keberadaan Komisi Kejaksaan tidak tumpang tindih dengan tugas dan kewenangan pengasan internal kejaksaan dan justru dapat mendorong peningkatan kinerja lembaga pengawasan internal kejaksaan dan kejaksaan secara umum. Dengan demikian kehadiran Komisi Kejaksaan patut disambut secara positif untuk melaksanakan salah satu agenda reformasi, khususnya reformasi di bidang hukum. (Sinrang, Komisi Kejaksaan Sebagai Perwujudan Partisipasi Publik Dalam Pengasawasan Lembaga Kejaksaan)."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rimdan
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012
347.012 RIM k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wright, Charles Alan
St. Paul, Minn.: West Publishing, 1970
347.73 WRI h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sufiarina
"Judicial power as an independent and autonomous power must be free from any intervention and power, thus ensuring that judges possess independence and impartiality in handling cases. One of the measures for enhancing the independence and autonomy of the judiciary is by placing it under the one roof judicial arrangement developed by the Supreme Court, both from the judicial as well as the non-judicial technical aspects. Up to the present time, endeavors for bringing the four court jurisdictions under the one roof judicial arrangement developed by the Supreme Court have not been completely materialized, due to the existing dualism in judicial power at various courts. The objective of this research is to understand the developments in the endeavors towards bringing the Indonesian judicial system under the one roof judicial arrangement developed by the Supreme Court. The type of research applied is descriptive normative juridical research, namely legal research based on examining secondary data. As the research results indicate, the one roof system developed by the Supreme Court is already being implemented, with the exception of the Military Court and the Tax Court within the State Administration Court jurisdiction."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yap, Po Jen
"What is the relationship between the strength of a country's democracy and the ability of its courts to address deficiencies in the electoral process? Drawing a distinction between democracies that can be characterised as 'dominant-party' (for example Singapore, Malaysia, and Hong Kong), 'dynamic' (for example India, South Korea, and Taiwan), and 'fragile' (for example Thailand, Pakistan, and Bangladesh), this book explores how democracy sustains and is sustained by the exercise of judicial power. In dominant-party systems, courts can only pursue 'dialogic' pathways to constrain the government's authoritarian tendencies. On the other hand, in dynamic democracies, courts can more successfully innovate and make systemic changes to the electoral system. Finally, in fragile democracies, where a country regularly oscillates between martial law and civilian rule, their courts tend to consistently overreach, and this often facilitates or precipitates a hostile take-over by the armed forces, and lead to the demise of the rule of law"
New York: Cambridge University Press, 2017
e20528911
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Shalma Aisyah Anandhia Prasetya
"Skripsi ini mengkaji permasalahan hukum dalam pengisian jabatan hakim agung dan hakim konstitusi di Indonesia, dengan tujuan mengusulkan mekanisme pengisian yang bebas dari intervensi politik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan pendekatan analitis serta pendekatan perbandingan hukum. Pengisian jabatan hakim di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan hal krusial dalam menentukan independensi kehakiman. Berdasarkan temuan, terdapat intervensi politik yang dilakukan oleh DPR dalam pemilihan hakim agung yang ditunjukkan dalam pengambilan keputusan subjektif dan ketidakpatuhan DPR terhadap aturan dalam pengisian hakim agung. Sedangkan dalam pengisian hakim konstitusi, intervensi politik terjadi karena ketiadaan peraturan baku yang memungkinkan penyelundupan hukum oleh Pemerintah dan DPR. Solusi yang diajukan melibatkan penambahan syarat masa tenggang bagi anggota partai politik yang mendaftar sebagai calon hakim agung, penguatan sistem nonrenewable term dan penambahan syarat masa tenggang bagi calon hakim konstitusi. Pemerintah juga disarankan untuk mengatur penambahan ketentuan dalam UU tentang MK yang memaksa lembaga pengusul membentuk mekanisme baku yang transparan, profesional, dan memprioritaskan independensi kekuasaan kehakiman.

This thesis examines legal issues in the appointment of Supreme Court and Constitutional Court judges in Indonesia, aiming to propose a mechanism free from political intervention. The research employs a doctrinal approach with analytical and comparative legal methods. The appointment of judges in the Supreme Court and Constitutional Court is crucial in determining judicial independence. Findings indicate political intervention by the DPR (People's Consultative Assembly) in the selection of Supreme Court judges, evidenced by subjective decision-making and non-compliance with appointment regulations. In the case of Constitutional Court judges, political intervention arises due to the absence of standardized regulations, allowing legal smuggling by the Government and DPR. Proposed solutions involve adding a cooling-off period for political party members applying for the position of Supreme Court judge, strengthening the nonrenewable term system, and introducing a cooling-off period requirement for Constitutional Court candidates. Additionally, it is recommended to amend the Constitutional Court Law to compel proposing institutions to establish standardized mechanisms that are transparent, professional, and prioritize judicial independence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>