Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tyas Putri Utami
"Latar belakang: Hipertensi dan aterosklerosis berkaitan dengan disfungsi endotel yang ditandai oleh pengurangan produksi nitric oxide (NO) dan penurunan NO bioavailability. Disfungsi endotel dapat terjadi sejak usia anak-anak dan inaktivitas fisik menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskular. Namun belum banyak penelitian mengenai perbedaan pengaruh latihan fisik aerobik pada juvenil dibandingkan dengan dewasa terhadap fungsi vaskular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh usia latihan fisik terhadap kadar NO, MDA dan aktivitas spesifik enzim SOD pada aorta abdominal dengan lama latihan yang sama.
Metode: Subjek penelitian adalah tikus usia juvenil dan dewasa muda yang dibagi dalam kelompok latihan dan kontrol. Latihan aerobik selama 8 minggu menggunakan treadmill dengan kecepatan disesuaikan dengan usia tikus selama 20 menit intermitten, 5x seminggu. Analisis kadar NO, MDA dan aktivitas SOD aorta abdominal menggunakan uji t-test independen (data berdistribusi normal dan homogen) atau uji U-Mann Whitney (data tidak normal).
Hasil: Kadar NO dan aktivitas spesisfik SOD lebih tinggi pada kelompok latihan dibandingkan kontrol, baik pada kelompok juvenil maupun dewasa muda. Namun hanya pada kelompok dewasa muda yang perbedaannya bermakna. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar MDA antara kelompok latihan dan kontrol pada kedua usia. Kadar MDA pada kelompok juvenil meningkat dan menurun pada kelompok dewasa muda akibat latihan aerobik selama 8 minggu.
Kesimpulan: Latihan aerobik dapat meningkatkan produksi NO dan NO bioavailability pada kelompok juvenil maupun dewasa muda. Peningkatan NO bioavailability terjadi melalui aktivitas spesifik enzim SOD. Diduga tingginya kadar MDA pada kelompok latihan dan kontrol juvenil terkait dengan usia dan stres fisik. Belum diketahui apakah peningkatan kadar MDA pada kelompok juvenil masih dalam kisaran normal atau tidak. Oleh karena itu, masih terdapat beberapa pertanyaan terkait manfaat latihan pada juvenil.

Background: Hypertension and atherosclerosis are related to endothelial dysfunction, that characterized with decrease of NO production and bioavailability. Physical inactivity has contribute to endothelial dysfunction that can occur since childhood. However, until now, there were only few studies about the difference effect of aerobic training to vascular function in juvenile and young-adult rats. Therefore, this study aimed to know the effect of age related- exercise training to level of NO, MDA and specific SOD activity in abdominal aorta.
Methode: Subjects were juvenile and young adult male wistar rats divided into 2 group: control and aerobic training. Aerobic training performed in 8 weeks with animal treadmill with age-dependent speed for 20 minutes intermittent exercise, 5x per week. Analysis of NO, MDA level, and SOD activity of abdominal aorta used t-test independent (normal distribution and homogen) or U-Mann Whitney (not normal distribution).
Results: NO level and SOD specific activity in training group were higher than control group, in both juvenile and young adult group. But, only in young adult group that had significant result. There was no significant different of MDA level in training group compared to control group in both juvenile and young-adult group, but MDA level increased in juvenile group and decreased in young-adult group because of aerobic training for 8 weeks.
Conclussion: Aerobic training can increase NO production and bioavaibility both in juvenile and young adult group. Increase of NO bioavailability was considered to the increase of SOD specific activity. We considered that the increase of MDA level in training and control juvenile group were related to age and physical stress. We didn?t know yet the increased level of MDA in juvenile group was still in normal range level or not. Therefore is still any question if training in juvenile rat was benefit or not.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam
"Latar belakang: Artritis idiopatik juvenil (AIJ) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan sendi kronis. Anak dengan AIJ akan mengalami hambatan pertumbuhan tulang yang disebabkan beberapa mekanisme langsung maupun tidak langsung. Sebanyak 40-50 % pasien AIJ memiliki densitas mineral tulang yang rendah pada tulang belakang lumbal dan panggul. Densitas mineral tulang yang rendah dipengaruhi beberapa faktor yaitu klasifikasi penyakit, lama sakit, indeks masa tubuh, status pubertas, aktivitas penyakit, aktivitas fisik, kadar 25(OH)D, dosis kumulatif kortikosteroid, dan dosis metotreksat.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui densitas mineral tulang pada pasien AIJ dan faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan melibatkan 32 pasien AIJ. Pemilihan subjek dilakukan berdasarkan data registri pasien AIJ di poliklinik Alergi-Imunologi RSCM dan RSAB Harapan Kita tahun 2014-2019. Densitas mineral tulang diperiksa dengan Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) dengan melihat skor Z. Dilakukan analisis bivariat untuk mencari hubungan antara variabel terhadap densitas mineral tulang.
Hasil: Densitas mineral tulang total rerata adalah 0,86 g/cm2. Sebanyak 22 subjek mempunyai densitas mineral tulang rendah (osteopenia) dengan nilai skor-Z L1-L4 ≤-2 sedangkan 10 subjek menunjukkan hasil normal. Tidak ditemukan fraktur tulang belakang pada seluruh subjek. Osteopenia banyak ditemukan pada anak dengan dosis kumulatif metotreksat yang lebih banyak (p=0,016). Faktor-faktor lainnya tidak terbukti berhubungan dengan densitas mineral tulang yang rendah.
Simpulan: Sebagian besar pasien AIJ mengalami gangguan densitas mineral tulang. Dosis metotreksat yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit merupakan faktor yang berperan untuk terjadinya osteopenia.

Background: Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) is an autoimmune disease characterized by chronic inflammatory arthritis. The disease will affect bone development in children with JIA through direct and indirect mechanisms. About 40-50 % patient with JIA have low bone mineral density in the spine. The low bone mineral density is associated with disease classification, disease duration, body mass index, puberty status, disease activity, physical activity, 25(OH)D level, cumulative doses of corticosteroid and methotrexate.
Objective: This study aimed to investigate bone mineral density in children with JIA and its associated factors.
Method: A cross-sectional study involving 32 children with JIA. Patients were selected based on registry data in the outpatient clinic, subdivision of Allergy and Immunology, Department of Child Health, Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital and Harapan Kita Women and Children Hospital between 2014-2019. Bone mineral density was measured using Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) and reported using Z score. Bivariate analysis was used to identify factors associated with bone mineral density.
Result: The mean bone mineral density was 0,86 g/cm2. Low bone mineral density (osteopenia) occurred among 22 patients (Z score ≤-2 at L1-L4). 10 patients have normal bone mineral density. No vertebral fracture was seen on x-ray. Osteopenia was mainly found in patients with higher cumulative doses of methotrexate (p=0,016). The other factors were not associated with low bone mineral density.
Conclusion: Most patients with JIA have low bone mineral density. Low bone mineral density tends to occur among patients with higher cumulative doses of methotrexate treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Iman Nilam Sari
"Latar belakang: Artritis idiopatik juvenil (AIJ) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan sendi kronis. Anak dengan AIJ akan mengalami hambatan pertumbuhan tulang yang disebabkan beberapa mekanisme langsung maupun tidak langsung. Sebanyak 40-50 % pasien AIJ memiliki densitas mineral tulang yang rendah pada tulang belakang lumbal dan panggul. Densitas mineral tulang yang rendah dipengaruhi beberapa faktor yaitu klasifikasi penyakit, lama sakit, indeks masa tubuh, status pubertas, aktivitas penyakit, aktivitas fisik, kadar 25(OH)D, dosis kumulatif kortikosteroid, dan dosis metotreksat.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui densitas mineral tulang pada pasien AIJ dan faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan melibatkan 32 pasien AIJ. Pemilihan subjek dilakukan berdasarkan data registri pasien AIJ di poliklinik Alergi-Imunologi RSCM dan RSAB Harapan Kita tahun 2014-2019. Densitas mineral tulang diperiksa dengan Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) dengan melihat skor Z. Dilakukan analisis bivariat untuk mencari hubungan antara variabel terhadap densitas mineral tulang.
Hasil: Densitas mineral tulang total rerata adalah 0,86 g/cm2. Sebanyak 22 subjek mempunyai densitas mineral tulang rendah (osteopenia) dengan nilai skor-Z L1-L4 ≤-2 sedangkan 10 subjek menunjukkan hasil normal. Tidak ditemukan fraktur tulang belakang pada seluruh subjek. Osteopenia banyak ditemukan pada anak dengan dosis kumulatif metotreksat yang lebih banyak (p=0,016). Faktor-faktor lainnya tidak terbukti berhubungan dengan densitas mineral tulang yang rendah.
Simpulan: Sebagian besar pasien AIJ mengalami gangguan densitas mineral tulang. Dosis metotreksat yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit merupakan faktor yang berperan untuk terjadinya osteopenia.

Background: Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) is an autoimmune disease characterized by chronic inflammatory arthritis. The disease will affect bone development in children with JIA through direct and indirect mechanisms. About 40-50 % patient with JIA have low bone mineral density in the spine. The low bone mineral density is associated with disease classification, disease duration, body mass index, puberty status, disease activity, physical activity, 25(OH)D level, cumulative doses of corticosteroid and methotrexate.
Objective: This study aimed to investigate bone mineral density in children with JIA and its associated factors.
Method: A cross-sectional study involving 32 children with JIA. Patients were selected based on registry data in the outpatient clinic, subdivision of Allergy and Immunology, Department of Child Health, Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital and Harapan Kita Women and Children Hospital between 2014-2019. Bone mineral density was measured using Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) and reported using Z score. Bivariate analysis was used to identify factors associated with bone mineral density.
Result: The mean bone mineral density was 0,86 g/cm2. Low bone mineral density (osteopenia) occurred among 22 patients (Z score ≤-2 at L1-L4). 10 patients have normal bone mineral density. No vertebral fracture was seen on x-ray. Osteopenia was mainly found in patients with higher cumulative doses of methotrexate (p=0,016). The other factors were not associated with low bone mineral density.
Conclusion: Most patients with JIA have low bone mineral density. Low bone mineral density tends to occur among patients with higher cumulative doses of methotrexate treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Safrida
"Telah dilakukan penelitian mengenai studi populasi mimi juvenil Tachypleus gigas di Teluk Sungai Pisang. Lokasi penelitian dibagi menjadi 3 stasiun, yaitu Stasiun I di dekat ekosistem mangrove, Stasiun II di depan kebun kelapa, dan Stasiun III yang dekat dengan pemukiman penduduk. Setiap stasiun dibagi menjadi 4 substasiun. Setiap substasiun ditarik 3 belt transek 2 x 10 meter. Dilakukan pengukuran parameter abiotik yaitu suhu, salinitas, ukuran partikel substrat, kadar organik, dan kedalaman air pada setiap belt. Juvenil yang didapatkan diukur panjang prosoma, opistosoma, telson, lebar prosoma, dan berat tubuh. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 37 individu, terdiri dari 1 individu dari stasiun I, 25 individu dari stasiun II, dan 11 individu dari stasiun III. Suhu pada lokasi penelitian berkisar antara 29--31,5o C, salinitas berkisar antara 25--32 ppt, dan kadar organik berkisar antara 4,1 -- 9,2 %. Juvenil didapatkan dari kedalaman air yang bervariasi, yaitu 6 -- 33 cm. Substrat yang terdapat di lokasi penelitian adalah lumpur, pasir, lumpur berpasir, pasir berlumpur, kerikil berpasir, dan pasir berkerikil. Lebar prosoma mimi juvenil berkisar antara 33,25--68,01 mm, panjang prosoma 30,12--60,25 mm, panjang opistosoma 13,89 -- 41,30 mm, panjang telson 30,64 -- 70,22 mm, dan berat tubuh berkisar antara 3,16--25,5 gram. Korelasi positif terdapat pada hubungan antara panjang prosoma dengan lebar prosoma, panjang prosoma dengan berat tubuh, lebar prosoma dengan berat tubuh, lebar prosoma dengan kedalaman, dan lebar prosoma dengan telson. Jumlah individu dengan salinitas, suhu, dan kadar organik tidak memiliki korelasi. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S31650
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Berlian Kusuma
"Latar belakang. Lupus eritematosus sistemik (LES) dan artritis idiopatikjuvenil (AIJ) adalah penyakit reumatologi tersering pada anak. Penyakit ini memerlukan terapi dan tatalaksana yang cukup lama. Kualitas hidup adalah salah satu bagian penting dalam tatalaksana pasien anak dengan penyakit reumatologi. Hingga saat ini masih belum ada data kualitas hidup pasien remaja dengan penyakit reumatologi di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui kualitas hidup remaja dengan penyakit reumatologi, hubungan kualitas hidup dengan aktivitas penyakit dan lama sakit.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien remaja di Poliklinik Alergi Imunologi Departemen Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mengunkusumo sesuai dengan kriteria inklusi. Penilaian kualitas hidup menggunakan kuesioner PedsQL-RM. Pengambilan data menggunakan kuesioener yang dibagikan secara daring.
Hasil. Didapatkan subyek pada penelitian ini 82 remaja dengan penyakit LES sebanyak 91,4% dan AIJ 8,6%. Sebanyak 65,9% pasien reumatologi memiliki kualitas hidup baik dengan 69,3% pasien LES memiliki kualitas hidup yang baik dan 47% memiliki aktivitas penyakit rendah-sedang. Sedangkan hanya 2/7 pasien AIJ memiliki kualitas hidup baik dan sebagian besar memiliki aktivitas penyakit tinggi (4/7 pasien). Tidak terbukti adanya hubungan antara aktivitas penyakit reumatologi terhadap kualitas hidup dari penilaian anak secara keseluruhan (p= 0,883). Aspek kekhawatiran dan komunikasi cukup rendah pada remaja dengan penyakit reumatologi. Durasi penyakit juga tidak memengaruhi kualitas hidup dari penilaian anak (p= 0,392).
Kesimpulan. Kualitas hidup remaja dengan penyakit reumatologi (LES dan AIJ) baik. Tidak ditemukan hubungan antara aktivitas dan lama penyakit terhadap kualitas hidup menggunakan kuesioner PedsQL-RM.

Background. Systemic lupus erythematosus (SLE) and juvenile idiopathic arthritis (JIA) is the most reumatology diseases in children. These are chronic disease that needed prolonged treatment. Quality of life is the most important factor in treatment of rheumatology disease. Until now, there was no data of quality of life in rheumatology disease in adolescent in Indonesia.
Objectives: To assess the quality of life of adolescent with rheumatology disease and association with disease activity and duration.
Methods. A cross-sectional design was conducted on patients and parents/caregivers diagnosed SLE or JIA during August-November 2021 in Allergy and Immunology Policlinic Child Health Departement Cipto Mangunkusumo Hospital according to inclusion criteria. The quality of life were assess by PedsQL-RM questionnaire. Data were obtained from an online questionnaire.
Result. The subjects in this study were 82 adolescents with SLE is the most common in rheumatology disease (91.4%) and 8.6% were JIA. A total of 65.9% of rheumatology disease have a good quality of life that consist of 69.3% of SLE patients have a good quality of life and 47% have low-moderate disease activity. Meanwhile, only 2/7 of JIA patients have good quality of life and most of them have high disease activity (4/7 patients). There was no significant relationship between disease activity on quality of life from the overall assessment of children (p= 0.883). Worriness and communication aspects are quite low in adolescents with rheumatology disease. Illness duration did not affect the quality of life in children assessment (p= 0.392).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Sri Iswari
"Penelitian ini bertitik tolak dari pemikiran bahwa jumlah kenakalan anak semakin bertambah serta dengan tidak berfungsinya peran keluarga. Pada masa ini dimana jumlah kenakalan dan jenis kenakalan semakin banyak sering kita dengar tentang perampokan atau penyanderaan bus di kota - kota besar dan semakin maraknya Narkotik dan obat - obatan. Serta didukung pula dengan adanya krisis moneter sehingga peran dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan baik. Untuk itulah maka perlu diadakan penelitian tentang kenakalan anak terhadap keluarga.
Terkait dengan hal tersebut maka penelitian ini mengarah pada bentuk keluarga dan kenakalan anak yang dibatasi pada anak Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di salah satu Sekolah SLTP swasta yang tingkat kenakalannya sangat tinggi, Anak SLTP yang dianggap " anak baru gede " memang rawan terhadap lingkungannya karena pada masa usia ini anak masih mencari jati dirinya.
Keluarga merupakan lembaga yang pertama dan utama dimana seorang anak yang berada dalam lingkungan keluarga mau tidak mau harus menganut sistem nilai, aturan dan norma - norma yang ada. Karena didalam keluargalah anak mulai diajarkan tata nilai, norma dan aturan - aturan yang mengikat dengan tujuan agar anak dapat diterima di dalam kelompoknya. Pada proses inilah anak dituntut untuk dapat bersosialisasi dengan baik.
Proses sosialisasi biasanya ada yang dapat diterima dan ada yang tidak dapat diterima oleh diri sianak. Bagi yang dapat menerima proses sosialisasi yang baik maka anak dapat berfungsi dengan baik, sementara anak yang tidak dapat bersosialisasi dengan baik pada akhirnya akan mengalami penyimpangan perilaku terhadap norma dan aturan. Dari penyimpangan perilaku ini yang dilakukan oleh anak disebut sebagai kenakalan anak yang sesuai dengan teori Sosiogenesis. Penelitian ini dilakukan di Kotamadya Depok, karena Kotamadya Depok merupakan salah satu daerah yang baru menjadi Kotamadya sehingga terjadi perubahan sosial dan pembangunan yang pesat sehingga, secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak anak baru gede.
Tujuan penelitian ini adalah agar dapat mengetahui tentang pola, jenis kenakalan anak serta untuk dapat mengetahui tentang peran keluarga yang ada baik itu keluarga luas maupun keluarga inti.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif yang dipandang perlu untuk menguji kebenaran dari pernyataan Hubungan bentuk keluarga dan kenakalan anak. Untuk itu maka perlu diteliti tentang sejauh mana bentuk keluarga, fungsi dan peran, serta pola dan jenis apa kenakalan anak yang ada di Kotamadya Depok.
Dari hasil penelitian secara umum dapat dikatakan bahwa : (1) Kenakalan anak yang terjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ternyata masih tinggi dalam arti kata bahwa jenis kenakalan anak semakin komplek. (2) Bentuk keluarga yang ada belum memainkan peran dan fungsinya dengan baik sehingga masih mengarah pada pemenuhan kebutuhan pokok saja.
Berdasarkan dari hasil penelitian, ternyata keluarga luas pada umunya mempunyai anak dengan tingkat kenakalan yang rendah hal ini didukung oleh sifat, pola asuh orang tua serta penanaman nilai yang lebih cenderung demokratis dan kekeluargaan. Berbeda dengan keluarga inti yaitu dengan tingkat kenakalan anak yang tinggi karena sifat orang tua yang cenderung otoriter bahkan juga ada yang permisif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3029
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library