Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Keron A. Petrus
Abstrak :
ABSTRAK
Konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan antara masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan dengan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan suatu kawasan hutan masih terus berlangsung sebagai akibat dari implementasi berbagai kebijakan pengelolaan hutan nasional yang cenderung meminggirkan keberadaan dan peran masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Dalam tulisan ini konflik dapat diartikan sebagai suatu keadaan/sítuasi yang dapat ditanggapi sebagai tidak adanya suatu kerja sama antara berbagai pihak untuk mempertahankan suatu sumber daya tertentu. Pihak-pihak yang dimaksud adalah masyarakat dan pemerintah (eq. aparat instansi kehutanan), sedangkan sumber daya yang dimaksud adalab sumber daya hutan Gn. Betung. Ketidaksepakatan di antara para pihak ini sebagai konsekuensi berbagai kebijakan pengelolaan hutan yang berimplïkasi path ketidakpastian akses masyarakat ke dalam hutan. Mekanisme penanggulanganlpenyelesaian konflik dapat ditanggapi sebagal prosedur-prosedur, langkah-langkah, strategi-strategi yang dilakukanldikembangkan oleh berbagai pihak yang terlibat konflik atau pihak-pihak atau lembaga/forum lain sebagal upaya menyelesaikan sebuah konflik.

Secara keseluruhan kasus-kasus yang memicu terjadinya konflik dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yakni konflik penguasaan dan konflik pemanfaatan kawasan hutan. Konflik penguasaan terdiri dari penyerobotan lahan, pergeseran batas kebun/lahan paroh lahan, dan konflik warisan. Konflik pemanfaatan kawasan hutan terdiri dari pembukaan hutan sekunder (primer), perawatan bekas kebun/ladang (belukar), berladang, penebangan kayu, pengambilan basil kebun, pencurian hasil kebun, pemungutan komisi penjualan basil kebun, perantingan tanaman sonokeling, pencurian bibit/anakan dan konflik pakan temak (ramban).

Konflik-konflik yang terjadi antar warga masyarakat setempat dengan pemerintah (aparat instansi kehutanan) lebih disebabkan adanya pelarangan akses dan tindakan represif aparat terhadap warga, sedangkan konflik antar sesama warga masyarakat perkampungan Talang Mulya lebih dipicu oleh tindakan pelecehan terhadap hak-hak penguasaan (lahan) dan pemanfaatan hasil kebun yang dilakukan oleh warga setempat terhadap warga lain, demikian juga konflik warga masyarakat perkampungan Talang Mulya dengan warga masyarakat yang berasal dari luar lebih dipicu oleh tindakan pelecehan hak pemanfaatan hasil kebun milik warga masyarakat Setempat oleh warga yang berasal dari luar (kampung/desa tetangga).

Kajian ini menunjukkan bahwa jumlah jenis konflik, frekwensi dan intensitas konflik berbeda dari suatu periode ke periode lain Penode 1940-an s/d 1982, jumlah jenis konflik, frekwensi dan intensitas konflik masih bertangsung dalam jumlab jenis konflik, frekwensi dan intensitas yang relatif rendah karena ada beberapa kebijakan pengelolaan hutan yang ditanggapi sebagai kebijakan yang memberikan akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan. Penode 1983 s/d Juni 1998 jumlah jenis konflik, frewnesi dan intensitas konflik memngkat tajam sebab adanya kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan yang berimplikasi pada ketidakpastian akses. Untuk periode JuIl 1998 s/d Mel 2000, jumlah jenis konflik, frekwensi dan intensitas konflik mulai menurun. Mulai terlihat adanya ketaatan warga masyarakat setempat terhadap aturan-aturan bersama yang membawa pengaruh pada ketenangan dan kepastian akses terhadap lahan garapan masing-masing.

Dalam upaya penanganan/penyelesaian konflik yang melibatkan warga masyarakat perkampungan Talang Mulya berkembang beberapa mekanisme penanganan/penyelesaian antara lain dengan cara membiarkan saja dan mengelak, cara paksaan, perundingan di antara para pihak yang berkonflik, dim dengan cara mediasi melalui aparat pemerintahan kampung, instansi kehutanan, Kelompok Pengelola dan Pelestarian Hutan (KPPH), Gabungan KPHH dan Forum Musyawarah Kelompok (FMK). Secam keselurtthan dalam upaya penanggulangan/penyelesaian konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan masyarakat setempat tidak mengacu pada aturan atau hukum nasional. Karena hukum nasional (terutama di bidang kehutanan) sudah jelas melarang akses masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan Gn. Betting. Masyarakat cenderung meuggunakan aturan (hukum) yang dibuat dan disepakati sendiri oleh masyarakat.

Hasil kajian ¡ni menunjukkan bahwa melalui organisasi dan pranata pengelolaan hutan yang dibangun sendiri masyarakat berhasil menyelesaikan dan sekaligus menekan tezjadinya konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan di tingkat masyarakat. Fenomena ini mengindikasikan bahwa penanganan konflik konflik penguasaan cian pemanfaatan kawasan hutan diperlukan adanya kelembagaan secara organisatoris yang dibangun oleh komunitas hutan yang bersangkutan. Sebab dalam situasi sosial yang syarat dengan persaingan, tanpa kerjasama di antara semua pihak pengelolaan huían secam bertanggung jawab mustahil dicapai, karena itu situasi ¡ni perlu dipulihkan dengan memberi peluang agar dapat berkembangnya suasana kebersamaan untuk melihat secam kolektif bahwa persoalan huían bukan hanya menjadi persoalan pemerintah tetapi menjadi persoajan semua pihak
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T5460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Andre Abrianto
Abstrak :
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan diakomodir berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebagai penelitian yuridis normatif, artikel ini membahas mengenai tumpang tindih kawasan yang terjadi antara usaha pertambangan dan kegiatan budidaya kehutanan yang berdampak pada terhambatnya kegiatan usaha pertambangan di kawasan tersebut. Izin merupakan salah satu bentuk dari pengendalian oleh Pemerintah, sehingga dengan diperolehnya izin, maka penerima izin seharusnya dapat melakukan kegiatan pertambangan. Tertundanya kegiatan pertambangan PT. Mitra Bara Jaya di kawasan tersebut diakibatkan karena pemerintah tidak campur tangan dalam penghitungan biaya ganti investasi dan justru menyerahkan penyelesaian tersebut melalui skema business to business. Hal ini menunjukkan kelemahan manajemen pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Ombudsman Republik Indonesia berpendapat bahwa telah terjadi maladministrasi yang dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI cq Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari karena telah melakukan pengabaian kewajiban hukum dan penundaan berlarut terkait penyelesaian permasalahan ganti biaya investasi antara PT. Mitra Bara Jaya dengan PT. Adindo Hutani Lestari. ....The usage of forest area for development purpose besides forestry activity is accommodated based on Article 38 of Law Number 41 of 1999 concerning Forestry. As a normative juridical study, this article discusses the overlapping areas that occur between mining businesses and forestry cultivation activities that have an impact on the obstruction of mining business activities in these areas. Permit is one form of control by the Government, so that by obtaining license, the permit recipient should be able to carry out mining activities. PT. Mitra Bara Jaya's mining activity is delayed because instead of interfere in calculating the cost of investment, the Government hands over the settlement through a Business-to-Business scheme. This shows the weakness of government management to provide legal certainty for business. Ombudsman of the Republic of Indonesia argues that there has been a maladministration by the Indonesian Minister of Environment and Forestry cq the Director General of Sustainable Production Forest Management due to the neglection of legal obligation and prolonged delay related to the resolution of the compensation on cost of investment issue between PT. Mitra Bara Jaya and PT. Adindo Hutani Lestari.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Chandra Nico
Abstrak :
ABSTRAK
Pemberian Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kakan serta Kepala Badan Pertanahan Nasional yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar PP Tanah Terlantar secara regulasi dan kebijakan dapat dibenarkan, karena secara aspek hukum formil dapat dianggap telah memenuhi seluruh unsur yang diberikan oleh PP Tanah Terlantar. Namun didalam penerapannya banyak hal yang menjadi kendala dalam menerapkan hal tersebut, terutama kendala dalam aspek regulasi yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi unsur pendorong terjadinya potensi tanah terlantar.Maka dengan hal tersebut Tesis yang berjudul Ketentuan Pelaksanaan Penertiban Tanah Terlantar Menurut Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar mencoba mengkaji beberapa aspek yang menjadi kendala dalam penerapan kebijakan Tanah terlantar khususnya pada Kawasan Hutan yang dalam memperoleh sertifikat Hak Guna Usaha HGU yang berada di dalam Putusan Kasasi Tata Usaha Negara NomorNomor 21/G/2013/PTUN.Jkt . Hasil penelitian dari Tesis ini mendapatkan beberapa aspek yang menjadi kendala terutama didalam pengurusan perizinan pada Kawasan Hutan yang ingin dimanfaatkan oleh pemegang hak atas tanah, hal ini karena peraturan perundang-undangan tidak secara tegas mengatur mengenai regulasi dan aspek-aspek khusus yang dapat menjadi alasan pemegang hak tetap dapat mempertahankan hak atas tanahnya dan BPN sebagai pemberi Surat Keputusan dapat bekerja dengan maksimal tanpa harus terdapat tuntutan hukum dikemudian hari atas Surat Keputusan yang dikeluarkan.
ABSTRACT
Provision of Decree issued by Head of Land Office Head of Land Office andHead of National Land Agency according to Government Regulation Number 11Year 2010 Regarding Control and Utilization of Abandoned Land GRAbandoned Land regularly and accessible, because it is operationally adjustable.has fulfilled all that is given by GR Abandoned Land. In practice, however, muchis needed in this regard, indispensable in the provision given by law which is thesole impetus for the potential for abandoned land. So with this Thesis entitledImplementation Provisions of Land Terangarized Regulation Based onGovernment Regulation No. 11 of 2010 on the Control and Utilization ofProhibited Land to examine several factors that will be used in the implementationof the policy Cultivation Right within the Decision Cassation of StateAdministration Number 21 G 2013 PTUN.Jkt .The results of this thesis are some of the most important aspects of licensing in theforest areas that the DATA wants to use, this is because the rules do not allow forthe right reasons. permanent right may increase the right to land and BPN as adecision maker who can work maximally without having any legal risk in thefuture on the issued Decree.
2018
T50864
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Yani
Abstrak :
ABSTRAK
Untuk mempertahankan manfaat ekosistem hutan dengan berbagai fungsinya, diperlukan suatu valuasi yang bersifat komprehensif dan terintegratif. Disamping itu, valuasi terhadap manfaat dari fungsi ekosistem hutan harus menganut prinsip nilai asuransi (insurance value). Tujuan penelitian ini (1) Menghitung total nilai Manfaat bersih sekarang (NPV) kelayakan kegiatan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten. (2) Menghitung total nilai manfaat ekosistem hutan di Kabupaten Melawi (3) Menemukan model penentuan luas optimum areal perkebunan kelapa sawit pada suatu kawasan ekosistem hutan Hasil penelitian mendapatkan bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit tidak feasible untuk dilakukan dengan cara melakukan konversi terhadap ekosistem hutan. Jika hal ini dilakukan maka akan menimbulkan dampak kerugian lingkungan yang sangat signifikan dengan nilai NPV negatif sebesar Rp (248.349.067.033.000,-). Sementara itu analisis manfaat biaya mempertahankan ekosistem hutan adalah positif yaitu sebesar Rp 38.563.349.907.000,-. Berdasarkan analisis suitabilitas menunjukkan bahwa dari total pencadangan areal perkebunan pada kawasan hutan seluas 234.348 ha, maka yang dapat dikonversikan untuk lahan perkebunan kelapa sawit hanya seluas 31.498 ha dan yang tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan seluas 202.850 ha. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Konversi ekosistem hutan untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit dalam batas-batas tertentu di Kabupaten Melawi masih dapat dilakukan dengan syarat bahwa penentuan kelayakan luas areal perkebunan kelapa sawit harus menggunakan Indeks Ky. Indeks Ky adalah merupakan suatu indeks kompromi yang mengakomodasi 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu keberlanjutan lingkungan (ekologi), keberlanjutan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Selain itu, indeks ini juga mendasari pada konsep pengelolaan sumbedaya hutan yaitu prinsip kehati-hatian (prudential principle) dan prinsip standar minimum yang aman ( safe minimum standar). Sehingga Indeks Ky ini dinamakan juga dengan Social, Economy and Environment Compromise Indeks (SEECI). Hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan HHCA yang dilakukan di wilayah studi (Kabupaten Melawi) telah mendapatkan Indeks Ky sebesar 6,4401. Dengan menerapkan angka Indeks Ky ini, analisis suitabilitas terhadap total pencadangan areal perkebunan pada kawasan hutan di Kabupaten Melawi seluas 234.348 ha menemukan bahwa hanya 31.498 ha yang dapat dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, dan 202.850 ha tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan. Dengan komposisi ini, nilai kerusakan akibat konversi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dapat diimbangi manfaat mempertahankan kawasan ekosistem hutan. Sehingga konsep pembangunan berkelanjutan dengan menciptakan keseimbangan lingkungan, ekonomi dan sosial dapat dicapai.
ABSTRACT
To maintain the benefits of forest ecosystems with a variety of functions, we need a valuation that is comprehensive and terintegratif. In addition, the valuation of the benefits of forest ecosystem function must adhere to the principle of insurance (insurance value). The purpose of this study (1) Calculate the total net present value of benefits (NPV) Feasibility of oil palm plantations in the district. (2) Calculating the total value of the benefits of forest ecosystems in the District Melawi (3) Finding the optimum model for determining the area of oil palm plantations in an area of forest ecosystem. The results find that the activities of oil palm plantations is not feasible to be done by way of conversion of forest ecosystems. If this is done it will cause environmental impacts are very significant losses with a negative NPV of USD (248.349.067.033.000, -). Meanwhile, the cost benefit analysis is positive to maintain the forest ecosystem that is Rp 38,563,349,907,000, -. Based suitabilitas analysis showed that of the total provisioning plantations on 234,348 ha of forest area, then that can be converted to oil palm plantations covering an area of only 31 498 ha and will be retained as an area of 202,850 ha of forest area. The conclusion of this research is the Conversion of forest ecosystems to serve as oil palm plantations within certain limits in the District Melawi still can be done on condition that the determination of the feasibility of oil palm plantation area must use the Index Ky. Ky Index is an index of compromise that accommodates 3 (three) pillars of sustainable development is environmental sustainability (ecological), social sustainability and economic sustainability. In addition, this index also underlies the concept of management of forest resources towards the fulfillment of the principle of prudence (prudential principle) and the principle of minimum standards of safe (safe minimum standards). So the index is called Ky also with Social, Economy and Environment compromise Index (SEECI). The result using the approach HHCA conducted in the study area (District Melawi) has gained Ky. index of 6.4401. By applying this Ky index numbers, analysis suitabilitas of the total plantation area in the reserve forest area in the district covering an area of 234,348 ha Melawi found that only 31 498 ha which can be converted into oil palm plantations, and 202,850 ha will be retained as forest area. With this composition, the value of damage caused by conversion of forests into oil palm plantations can offset the benefits of maintaining forest ecosystem area. Thus the concept of sustainable development by creating a balance environmental, economic and social development can be achieved.
Depok: 2011
D1293
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Raden Muhammad Ali Fathoni
Abstrak :
ABSTRAK Kasus sengketa tanah dapat terjadi antara institusi dengan masyarakat baik institusi swasta maupun pemerintah. Pada tesis ini dilaporkan kasus sengketa tanah antara Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) dengan masyarakat di Kabupaten Sumenep. Tujuan studi ini adalah mengkaji kekuatan hukum dari alat bukti kohir/petok D sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah dan mengkaji hak-hak masyarakat atas tanah yang termasuk kawasan hutan dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888k/PDT/2014. Metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dengan melakukan telaah terhadap kasus yang telah menjadi putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada kasus ini empat orang warga Sumenep menggugat Perhutani karena menganggap Perhutani telah menyerobot tanah milik mereka. Warga menggugat Perhutani berdasarkan kohir/petok D yang dimilikinya padahal kohir/petok D bukan alat bukti penguasaan tanah. Sementara itu Perhutani menggunakan penunjukan kawasan hutan sebagai dasar penguasaan tanah. Penunjukan kawasan hutan bukan dasar yang kuat terhadap kepemilikan tanah di kawasan hutan karena harus diikuti proses penataan batas dan penetapan kawasan hutan. Pada kasus ini, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi warga. Seharusnya Mahkamah Agung mempertimbangkan hasil penilaian dari tim IP4T karena bila terjadi sengketa tanah di kawasan hutan, perlu dibentuk tim IP4T yang akan menilai dan menyelesaikan sengketa di kawasan hutan. Selanjutnya tanah tersebut dapat dikeluarkan dari kawasan hutan dan didaftarkan permohonan hak atas tanah di kantor pertanahan setempat. Dengan demikian warga dapat melakukan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung tersebut.
ABSTRACT Land dispute cases could occur between institutions with society, either private and government institutions. This thesis reported cases of land disputes between the State Forestry Public Company (Perhutani) with peoples in Sumenep. The purpose of this study are to assess legal force of the evidence Kohir/Petok D as Proof of Land Entitlement Rights in Forest Areas and examine the rights of peoples over land including forest area is related with the Supreme Court verdict No. 1888k / PDT / 2014. The method used is the literature research to perform study towards a case that has become a court verdict and has enforceable. In this case there are four Sumenep villagers sued Perhutani because it assume Perhutani had usurped their properties. The residents that sued Perhutani based kohir/Petok D while them are not evidence of land tenure. Meanwhile, Perhutani use the designation of forest areas as a basis of entitlement of land. The designation of forest area is not a strong basis for the entitlement of land in the forest because they have followed structuring limit process and establishment of forest. In this case, the Supreme Court rejected the resident cassation. The Supreme Court should consider the results of the assessment IP4T team because, when there is land disputes in forest areas, need to be formed IP4T team that will assess and resolve disputes in the forest area. Furthermore, the land could excluded from of forest area and registered the application of land rights in the local land office. Thus residents can undertake a reconsideration of the verdict of the Supreme Court.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilson Wijaya
Abstrak :
ABSTRAK Tesis ini membahas mengenai tata cara dan mekanisme perizinan pinjam pakai kawasan hutan oleh perusahaan yang hendak melakukan kegiatan pertambangan yang diatur secara rinci berdasarkan Permenhut No. 14/KPTS-II/2013. Adapun contoh studi kasus yang digunakan adalah pengajuan perizinan yang dilakukan oleh PT. BCMG Tani Berkah. Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan bangsa Indonesia, untuk itu pemerintah perlu untuk campur tangan terhadap penggunaan kawasan hutan, salah satunya melalui mekanisme Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Filosofis pinjam pakai kawasan hutan adalah agar tidak menyebabkan tumpang tindih, luas kawasan hutan tidak terkurangi, dan memudahkan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan. Dua Komponen Peraturan Perundang-undangan yang digunakan dalam sistem tata cara perizinan pinjam pakai kawasan hutan ini adalah Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Permenhut No. 14/KPTS-II/2013. Namun ternyata masih banyak kendala yang masih dialami oleh perusahaan dalam mengajukan perizinan pinjam pakai kawasan hutan seperti (i) tumpang tindih kegiatan, (ii) Jangka waktu penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan yang terlalu lama, (iii) ketidakpastian hukum, (iv) ketidakharmonisan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan (v) penerapan hukum yang kurang mendukung iklim investasi. Adapun saran yang ditawarkan oleh penulis adalah (i) Pemerintah membentuk peraturan yang lengkap sehingga mampu mengakomodir segala aspek, (ii) sinergisitas kegiatan kehutanan dan pertambangan di kawasan hutan, (iii) Peran Pemerintah Daerah dalam menetapkan kebijakan mengacu kepada kebutuhan riil masyarakat, dan (iv) pembentukan standardisasi kompetensi bagi pengusaha yang melakukan investasi pertambangan.
ABSTRACT This research discusses about the procedure and mechanism of leasing forest area by companies that want to conduct mining activities which are regulated by Permenhut No. 14 / KPTS-II / 2013. The example study case that be used is the licensing submission PT. BCMG Tani Berkah. Forest is the capital of national development which has real benefits for the life of the Indonesian people, so that the government need to intervene against the use of forest areas, one of them through the mechanism of License Borrow and Use of Forest Areas. Philosophical leasing forest area is not to cause overlap, the forest area is not reduced, and facilitate monitoring and evaluation by the Ministry of Forestry. Two components of legislation used in the system of licensing procedures for leasing forest area are Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2009 About Pertambangan Mineral and Batubara and Permenhut No. 14/KPTS-II/2013. But there are still many obstacles still faced by companies in filing a licensing leasing forest areas such as (i) overlapping activities, (ii) The period of issuance of use permit forest areas that are too long, (iii) legal uncertainty, (iv) the disharmony between Central and Local Government, and (v) application of the law unfavorable investment climate. The sugesstion offered by the authors are (i) the Government should establish rigid regulations that can accommodate all aspects, (ii) synergy forestry and mining activities in forest areas, (iii) The Role of Local Government in term of making regulation which in line with the real needs of the society, and ( iv) the establishment of competency standardization for the investors who do mining invest.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44891
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Permata Sari
Abstrak :
Pendaftaran tanah di Indonesia bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dengan memberikan sertipikat sebagai tanda bukti haknya. Namun dalam penerbitannya seringkali membawa akibat hukum bagi para pihak. Salah satu contohnya terdapat penerbitan sertipikat oleh Kantor Pertanahan yang secara yuridis kawasan tersebut adalah kawasan hutan dan belum mendapat keputusan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Akibatnya, terjadi tumpang tindih antara areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman dengan Izin Usaha Perkebunan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kurang menunjangnya data fisik dimana belum terdapatnya sistem update peta secara otomatis atas segala tindakan hukum yang dilakukan pemerintah sehingga menyebabkan kekeliruan dalam mengambil suatu kebijakan. ......Land registration in Indonesia aims to ensure legal by giving a certificate. However in issuing the certificates often carry legal consequences for the parties. One example is the presence of dispute of the issuance of the certificate by the Land Office, which legally the region is forest area and has not, received a decision the forest area release from the Minister of Forestry. Due to this, there is an overlap between the areas of Business License Utilization of Forest Plants with Plantation Business and the rights over the land. The method used in this research is normative juridical research using secondary data. This study concluded that the lack of support that the physical data which has not been the presence of the map automatically updates the system for any legal action taken by the government, causing an error in taking a policy.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cerli Febri Ramadani
Abstrak :
Riau memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Sebanyak 1,2 juta hektar perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan dan tidak memiliki izin. Penelitian ini menggunakan penelitian normatif yuridis. Penelitian ini mengindetifikasi penyebab terjadinya alih fungsi kawasan hutan yang tidak memiliki izin khususnya untuk perkebunan kelapa sawit. Dampak yang terjadi akibat alih fungsi ini adalah rusaknya ekosistem hutan, negara mengalami kerugian pajak, konflik perusahaan dengan masyarakat, dan hilangnya mata pencaharian masyarakat setempat. Alih fungsi kawasan hutan diperbolehkan berdasarkan Pasal 19 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun harus diimbangi dengan pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Undang-undang Kehutanan dan Perkebunan sebagai undang-undang dasar alih fungsi kawasan hutan sudah cukup memperhatikan lingkungan, namun hal ini tidak sejalan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang banyak mengganti dan menghapus pasal-pasal dari Undang-undang Kehutanan dan Perkebunan menjadi tidak ramah lingkungan dan tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai grundnorm yang menganut Green Constitution. ......Riau has the largest oil palm plantations in Indonesia. As much 1,2 million hectares of oil palm plantations are located in forest land and unlicensed. This research used normative juridical. This research identifies cause functions shift forest land unlicensed especially for oil palm plantation. Impact this functions shift is damaged forest ecosystems, tax losses, corporate conflict with communities, and livelihood loss. The functional shift of forest land be permitted based on article 19 Law Number 41 of 1999 on Forestry but must balance with sustainable and environmentally friendly development. Forestry law and Plantation law as the constitution  forest shift functional land notice environment,  but not in line with Law Number 11 of 2020 on Job Creation which replaces a lot and removes articles from The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia as grundnorm follow The Green Constitution.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T55477
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>