Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
H.S. Gunadi Sjarif
"Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) dengan keberadaannya sebagai Negara hukum (rechtstaat) memiliki konsekuensi yang melekat padanya, bahwa konsepsi (rechtstaat) maupun konsepsi (the rule of law), menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada Negara yang di sebut (rechtstaat). Pada setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori “berat”, atau ringan “ringan”, akan menimbulkan kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation), bentuk pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Perlindungan terhadap saksi dan korban, menjadi sesuatu yang penting dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, karena merupakan kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang berdampak luas baik tingkat nasional maupun internasional. Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat telah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran HAM berat. Kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu regulasi yang diharapkan dapat memecahkan kebuntuan serta terbukanya wacana tentang persoalan pemulihan (reparasi) bagi saksi dan korban. sehingga mampu mengatasi kelemahan-kelamahan yang selama ini terjadi dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban. Dari pengalaman tiga pengadilan pelanggaran HAM berat yang sudah dilaksanakan di Indonesia yaitu kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi dan restitusi. Bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan menimbulkan korban, tetapi karena pelaku mendapat vonis bebas, dengan demikian tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Kegagalan dari beberapa pengadilan HAM berat untuk melakukan proses penghukuman yang efektif dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai proses pengadilan yang terjadi. Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain membebaskan para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban, yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban.
Indonesia is a State of law (rechtstaat) with its existence as a state law (rechtstaat) have consequences attached to it, that the conception (rechtstaat) and conceptual (the rule of law), putting human rights as one of the characteristic of the state of the call (rechtstaat). At any violation of human rights, whether in the category of "heavy" or light "light", will give rise to an obligation for the State to seek recovery (reparation), a form known as the recovery of compensation, restitution and rehabilitation. Protection of witnesses and victims, to be something important in the case of human rights violations that heavy, because it is a criminal offense that is classified as high impact both nationally and internationally. Demands on the resolution of cases of gross human rights violations have prompted the enactment of Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, which was then followed by Law Number. 26 Year 2000 on Human Rights Court, is intended to address issues of human rights violations particularly serious human rights violations. Then the enactment of Law Number 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims is one regulation that is expected to break the deadlock and open discourse on issues of recovery (repair) of witnesses and victims. so as to overcome the weaknesses that have occurred in the context of the protection and fulfillment of the rights of victims and witnesses. From the experience of the three trials gross human rights violations that have been implemented in Indonesia, namely the case of gross human rights violations in East Timor, Tanjung Priok and Abepura. None of the victims received compensation and restitution. That decision-making in such cases states have serious human rights violations and cause casualties, but because the perpetrator gets acquittal, thus there is no obligation to make restitution to the victim. Failure of a human rights court to make the process effective punishment and provide remedies to victims leaves many questions about the litigation occurred. The failure of these human rights court, in addition to freeing the defendants, also unable to fulfill the rights of victims, which includes the right to compensation, restitution and rehabilitation for victims."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35108
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Tara Nadianti Kasih
"Perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan belum diatur dalam Statuta Roma. Dalam praktiknya, Mahkamah Pidana Internasional telah memutus perkawinan paksa sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berupa other inhumane acts dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menuntut perkawinan paksa sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan hasil yurisprudensi di berbagai pengadilan internasional yang telah menangani terkait perkawinan paksa, penuntutan atas tindakan perkawinan paksa telah dilakukan dengan menerapkan ketentuan terkait tindakan-tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berbeda. Beberapa hasil putusan beranggapan bahwa perkawinan paksa lebih tepat untuk dituntut sebagai perbudakan seksual. Namun, dalam perkembangan terkini terkait penuntutan perkawinan paksa dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, Mahkamah Pidana Internasional menyatakan bahwa perkawinan paksa dapat dituntut secara tersendiri di bawah Pasal 7(1)(k) terkait other inhumane acts. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat perlindungan hukum yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menghukum tindakan perkawinan paksa dan meneliti terkait alasan hukum yang mendasari penentuan elements of crime dari perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan, lalu bagaimana kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen dapat menuntut perkawinan paksa secara tersendiri sebagai other inhumane acts. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tindakan perkawinan paksa dan perbudakan seksual seringkali bersinggungan. Sebagaimana telah dinyatakan oleh majelis hakim dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, perkawinan paksa pada umumnya terjadi dalam situasi yang juga mencakup perbudakan seksual. Namun, ketika pemaksaan status perkawinan mengakibatkan penderitaan yang melebihi dan berbeda dari perbudakan seksual, maka perkawinan paksa patut untuk dituntut secara tersendiri agar dapat mencakup keseluruhan tindakan, dampak yang diakibatkan, serta kepentingan yang dilindungi dari tindakan kejahatan yang dilakukan.
Forced marriage as a crime against humanity has not been regulated in the Rome Statute. In practice, the Court has prosecuted forced marriage as the crime against humanity of an other inhumane act and adopted the existing provisions to prosecute forced marriage as a crime against humanity. The jurisprudence from various international courts dealing with forced marriage has adopted different provisions regarding the crime against humanity to prosecute forced marriage. Some considers that forced marriage is more adequately prosecuted as sexual slavery, but recent developments regarding forced marriage in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen shows that the Court views forced marriage as a crime that needs to be charged separately under Article 7(1)(k) of the Rome Statute as an other inhumane act. Therefore, this study aims to determine the legal protections under the Rome Statute to protect victims from forced marriage and examine the judicial reasonings in determining the elements of crime of forced marriage as a crime against humanity, particularly in prosecuting forced marriage as a separate crime against humanity in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen. The results of this study found that the act of forced marriage and sexual slavery often intersect and are not mutually exclusive. As stated by the Trial Chamber in the case of Prosecutor v. Dominic Ongwen, forced marriages generally occur in situations in which women are sexually enslaved. However, when the imposition of marital status results in suffering that goes beyond sexual slavery, forced marriage should be prosecuted separately to warrant full responsibility of the perpetrator and to adequately represent the conduct, ensuing harm, and protected interests from the crime committed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library