Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1994
S2360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraini Faizal
Abstrak :
Untuk menjadi bangsa yang sejahtera, maju dan mandiri, adalah penting bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas generasi mudanya; mengingat mereka adalah sumber daya manusia Indonesia yang akan memegang peranan dalam pembangunan bangsa pada masa yang akan datang. Namun, kenyataan sebagian besar generasi muda (remaja) kita saat ini. nyaris menempatkan kepercayaan masyarakat akan kemampuan, kualitas dan peran generasi muda di masa depan pada titik nadir. Sebagian dari mereka melakukan kenakalankenakalan seperti minum minuman keras, menonton film biru, tawuran, penggunaan obat terlarang, dan lain-lain (Sutoyo dalam Susiwo, 1995). Satu hal pokok yang agaknya disepakati adalah bahwa perilaku kenakalan berpangkal dari lemahnya pengendalian diri (Biran, dalam Sanusi, Badri, Syafruddin, 1996). Oleh karena pengendalian diri merupakan komponen dari kematangan emosi, maka perlu dilakukan upaya-upaya yang mendukung pembentukan kematangan emosi secara optimal pada remaja. Peneliti berasumsi bahwa salah satu wahana yang dapat digunakan untuk meningkatkan kematangan emosi remaja adalah aktivitas waktu luang. Adapun salah satu aktivitas remaja yang dapat digolongkan ke dalam aktivitas waktu luang adalah aktivitas/kegiatan ekstrakurikuler sekolah atau sering disingkat dengan ekskul. Kegiatan ekstrakurikuler sekolah dipilih sebagai wakil dari aktivitas waktu luang remaja disebabkan karena kegiatan ekstrakurikuler sekolah merupakan bagian dari sekolah sebagai suatu institusi yang memberikan lebih banyak evaluasi pada remaja dibandingkan rumah atau keluarga (Burns. 1993). Di dalamnya remaja dituntut untuk secara dinamis menyesuaikan diri dan belajar menghadapi aneka karakter manusia dan situasi yang pada akhirnya mengarah kepada terbentuknya kematangan diri remaja, khususnya pada aspek emosi. Oleh karena itu. dalam kesempatan ini akan diteliti hubungan antara partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah dengan kematangan emosi siswa SMU. Selain itu, juga diteliti dimensi manakah dari kematangan emosi yang secara signifikan berhubungan dengan partisipasi siswa SMU dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Kemudian, kegiatan ekstrakurikuler manakah yang secara signifikan berhubungan dengan kematangan emosi siswa SMU, serta memberikan sumbangan terbesar bagi kematangan emosi. Untuk itu selam korelasi Pearson Product Moment. digunakan perhitungan statistik Multiple Regression. Pelaksanaan penelitian berlangsung selama 3 minggu (25 Mei 2001-14 Juni 2001). Dengan menggunakan metode accidental sampling, peneliti menyebarkan 100 kuesioner kepada penghubung di 4 sekolah di Jakarta Selatan, yaitu SMUN 34, SMUN 28, SMUN 38, SMUN 97; masing-masing 25 buah. Hingga tanggal 14 Juni 2001, terkumpul 100 kuesioner. Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang signifikan dan positif antara antara partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah dengan kematangan emosi, terutama pada dimensi Mandiri. Mampu Beradaptasi, dan Mampu Berempati. Ini berarti bahwa makin tinggi level partisipasi siswa SMU dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah, maka makin tinggi pula tingkat kematangan emosinya. Kemudian dari 4 kegiatan ekstrakurikuler yang diteliti, diperoleh hasil bahwa kegiatan ekstrakurikuler yang secara signifikan dan positif berhubungan dengan kematangan emosi siswa SMU adalah kegiatan ekstrakurikuler ROHIS. Ini berarti bahwa makin tinggi level partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler ROHIS, makin matang pula ia secara emosi. Mengingat satu-satunya variabel bebas yang layak dimasukan dalam model regresi adalah variabel level partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler ROHIS, maka dapat dikatakan bahwa level partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler ROHIS memberikan sumbangan terbesar terhadap kematangan emosi. Sebagai tambahan, hasil pengolahan data kontrol subyek menunjukan bahwa subyek yang berpartisipasi dalam kegiatan luar sekolah lebih matang secara emosi dibandingkan subyek yang tidak berpartisipasi dalam kegiatan luar sekolah. Untuk penelitian lanjutan, sebaiknya tidak menggunakan metode accidental sampling karena metode ini memungkinkan terjadinya distribusi frekuensi yang scewed sehingga dapat menimbulkan bias dalam melakukan interpretasi hasil penelitian. Bila memungkinkan, sebaiknya sampel diambil dari seluruh kegiatan ekstrakurikuler sekolah dengan proporsi yang seimbang sehingga tidak ada kegiatan ekstrakurikuler yang luput dari perhatian. Agar lebih mendalam, dapat dilakukan penelitian tentang pengaruh dari masing-masing kegiatan ekstrakurikuler sekolah terhadap kematangan emosi. Selain itu, dapat juga diteliti kegiatan di luar sekolah dalam hubungannya dengan kematangan emosi remaja. Bagi pihak-pihak yang berwenang (Departemen Pendidikan Nasional, kepala sekolah, guru, dan para pendidik) dan para pelaksana kegiatan ekstrakurikuler sekolah, diharapkan untuk lebih menggalakan kegiatan ekstrakurikuler sekolah dengan merancang program-program menarik.sedemikian rupa sehingga seluruh siswa tertarik untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Kepada orang tua dan keluarga, disarankan untuk memberi kebebasan yang seluas-luasnya bagi anak/keluarganya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada, baik kegiatan ekstrakurikuler sekolah maupun kegiatan luar sekolah, dalam rangka mencapai kematangan emosi yang optimal.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3050
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haura Athaya Rachman
Abstrak :
Masa dewasa muda merupakan sebuah masa transisi dari remaja ke dewasa di mana individu memiliki tanggung jawab yang lebih besar, mempunyai ekspektasi masa depan, dan banyak tuntutan di saat yang sama. Banyaknya tantangan yang dialami dewasa muda menyebabkan dewasa muda menjadi rentan terhadap gangguan mental. Kematangan emosi menjadi salah satu aspek penting yang harus dimiliki oleh dewasa muda agar mereka dapat menghadapi periode yang kompleks ini. Salah satu faktor yang paling berperan dalam membentuk kematangan emosi dewasa muda merupakan bahasa cinta orang tua. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara bahasa cinta orang tua dan kematangan emosi pada dewasa muda. Partisipan terdiri dari 260 dewasa muda yang berusia 18-25 tahun dan berdomisili di seluruh Indonesia. Kematangan emosi diukur menggunakan Emotional Maturity Scale (EMS) dan bahasa cinta orang tua diukur menggunakan Parental Love Language Scale (PLLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara bahasa cinta orang tua dengan kematangan emosional. Diantara lima bahasa cinta yang paling tinggi korelasinya adalah perkataan afirmasi (r = .374, p < .01), diikuti dengan waktu berkualitas (r = .197, p < .01), tindakan melayani (r = .152, p < .01), penerimaan hadiah (r = .160, p < .01), dan sentuhan fisik (r = .126, p < .05) dengan tingkat kematangan emosi. ......Emerging adulthood is a transitional phase from adolescence to adulthood, marked by increased responsibilities, future expectations, and simultaneous demands. The numerous challenges faced during this period make young adults vulnerable to mental health disorders. Emotional maturity is identified as a crucial aspect for young adults to navigate this complex period successfully. One significant factor shaping emotional maturity in young adults is the parental love language. The purpose of this study was to examine the relationship between parental love languages and emotional maturity in emerging adult. The study involved 260 young adults aged 18-25 from various regions in Indonesia. Emotional maturity was assessed using the Emotional Maturity Scale (EMS), while the parental love language was measured using the Parental Love Language Scale (PLLS). The results indicated a positive and significant relationship between parental love languages and emotional maturity. Among the five parental love languages, the highest correlation is found in words of affirmation (r = .374, p < .01), followed by quality time (r = .197, p < .01), acts of service (r = .152, p < .01), receiving gifts (r = .160, p < .01), and physical touch (r = .126, p < .05), all associated with emotional maturity.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regita Sari Cahya Ningsih
Abstrak :
Tuli memiliki potensi untuk mengalami risiko imaturitas emosi yang akan berdampak pada pengambilan keputusan termasuk pada pemilihan pelayanan kesehatan. Pengambilan keputusan yang tidak tepat dalam memilih pelayanan kesehatan dapat mengakibatkan keterlambatan pendeteksian dini suatu penyakit seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi serta karakteristik tuli dengan pengambilan keputusan dalam memilih pelayanan kesehatan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif-analitik cross-sectional dengan melibatkan 100 responden melalui metode purposive sampling dengan pendekatan convenient sampling. Pengukuran kematangan emosi menggunakan kuesioner modifikasi Emotional Maturity Scale, sedangkan variabel pengambilan keputusan menggunakan kuesioner Decision Making. Pengambilan keputusan dalam memilih pelayanan kesehatan pada masyarakat tuli berhubungan dengan tingkat pendidikan (p < 0,0001; 95% CI), penghasilan (p < 0,0001; 95% CI) dan kematangan emosional (r = 0,738; p < 0,0001; 95% CI). Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan pengambilan keputusan dalam memilih pelayanan kesehatan, yakni apabila semakin tinggi kematangan emosi maka akan semakin baik pengambilan keputusan dalam memilih pelayanan kesehatan. Penelitian ini merekomendasikan pembuatan program pengelolaan emosi seperti konseling terkait kontrol emosi; serta meningkatkan literasi bagi tingkat pendidikan; dan memberikan dukungan finansial pada masyarakat tuli sehingga dapat berdampak pada pengambilan keputusan. ...... Deafness has the potential to experience the risk of emotional immaturity which will have an impact on decision making including the selection of health services. Incorrect decision making in choosing health services can lead to delays in the early detection of a persons illness. This study aims to determine the relationship between emotional maturity and deafness characteristics with decision making in choosing health services. This study used a cross-sectional descriptive-analytic research design involving 100 respondents through a purposive sampling method with a convenient sampling approach. Measurement of emotional maturity using a modified Emotional Maturity Scale questionnaire, while the decision-making variable uses the Decision Making questionnaire. Decision making in choosing health services in deaf communities is related to emotional maturity (r = 0.738; p <0.0001; 95% CI), education level (p <0,0001; 95% CI), and income (p <0, 0001; 95% CI). The results of the analysis show that there is a significant relationship between emotional maturity and decision making in choosing health services, namely if the higher emotional maturity, the better the decision making in choosing health services. This study recommends making an emotional management program such as counseling related to emotional control and increase literacy for education level and provide financial support to deaf people so that it can have an impact on decision making.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library