Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ginting, Supriyanto
Abstrak :
Fokus dari skripsi ini adalah membahas mengenai kerja sama yang dilakukan oleh negara pantai dalam memberantas pembajakan di laut. Pembajakan di laut merupakan salah satu bentuk kejahatan yang cukup tua. Hukum internasional khususnya UNCLOS 1982, menyatakan bahwa pembajakan harus terjadi di laut lepas di luar yurisdiksi suatu negara. Namun demikian, saat ini berkembang bentuk pembajakan baru di mana pembajakan tidak terjadi di laut lepas melainkan di perairan pedalaman, laut teritorial, dan zona tambahan, contohnya yang ada di Selat Malaka. Selain di Selat Malaka pembajakan yang terjadi di Laut Cina Selatan sendiri masih terdapat perdebatan mengenai apakah pembajakan yang terjadi di Laut Cina Selatan masuk ke dalam pembajakan sebagaimana di maksud oleh UNCLOS 1982. Lebih lanjut, letak dari Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan beberapa negara pantai menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi negara manakah yang berwenang untuk menyelesaikan masalah tersebut. Upaya tunggal yang dilakukan oleh satu negara pantai tidak cukup untuk memberantas pembajakan dan luasnya lautan membutuhkan kerja sama dari negara-negara pantai untuk memberantas piracy dan armed robbery di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. ......Focus of the research is explaining regional cooperation which conducted by littoral states to combat piracy and armed robbery. Piracy is an old time crime. International law, particularly UNCLOS 1982 emphasized that piracy shall occur in the high seas beyond jurisdiction of any states. However, in modern times, a new form of piracy appeared. New form of piracy that so called armed robbery occurred in internal water, teritorial water, contigous zone of state, for instance piracy in Malacca Strait. Meanwhile, in South China Sea itself contention still exist to determine whether piracy that occurred in South China Sea can be classified as piracy within scope of UNCLOS 1982 or not. Moreover, Location of Malacca Strait and South China Sea which adjacent to littoral states raised a question with regard to jurisdiction to solve this problem. Effort from single state is not sufficient to combat piracy in the area it goes beyond vast of the sea required littoral states to cooperate to combat piracy and armed robbery in South China Sea and Malacca Strait.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43294
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Fachry Permana
Abstrak :
Regionalisme merupakan konsep yang berevolusi seiring dengan perkembangan studi dan dinamika Hubungan Internasional. Regionalisme acapkali diasosiasikan dengan integrasi dan kerja sama regional sehingga dalam perkembangannya, muncul istilah “konektivitas” sebagai turunan dari regionalisme. Melihat perkembangan ini, ASEAN memutuskan untuk mengadopsi konektivitas sebagai kerangka integrasi dan kerja sama regional. Uniknya, Konektivitas ASEAN didasari oleh mekanisme kerja sama sukarela yang difasilitasi oleh prinsip “ASEAN Way” dengan menghindari keterikatan politik yang kuat. Tulisan ini kemudian merupakan sebuah tinjauan pustaka yang memiliki tujuan untuk mengeksplorasi pembahasan Rancangan Konektivitas ASEAN sebagai instrumen integrasi dan kerja sama regional Asia Tenggara. Dengan menelaah 30 literatur akademik melalui metode taksonomi, penulis kemudian mengklasifikasikan literatur-literatur terpilih ke dalam dua tema utama, antara lain: (1) Konseptualisasi Konektivitas ASEAN; dan (2) Perkembangan Rancangan dan Implementasi Konektivitas ASEAN. Alhasil, tulisan ini menemukan bahwa Konektivitas ASEAN merupakan upaya kolektif yang perlu dijalankan melalui koordinasi tiga arah antara badan regional ASEAN, negara-negara anggota ASEAN, dan pihak eksternal yang terlibat. Upaya perwujudan Rancangan Konektivitas ASEAN pun dijumpai berbagai hambatan, yaitu keterbatasan kapasitas finansial dan teknologi, kesenjangan pembangunan antara negara-negara ASEAN, komitmen politik yang rendah, perbedaan persepsi dan potensi persaingan antarnegara, dan inefisiensi koordinasi badan regional pemantau Konektivitas ASEAN. ...... Regionalism is a concept that has evolved along with the development of the study and dynamics of International Relations. Regionalism is commonly associated with regional integration and cooperation. Therefore, the term “connectivity” appears as a derivative of regionalism. Against this background, ASEAN has adopted connectivity as a framework for regional integration and cooperation. Uniquely, the ASEAN Connectivity has implemented a voluntary cooperation mechanism facilitated by the “ASEAN Way” principle to avoid strong political ties among the institution. Accordingly, this paper constitutes a literature review which aims to explore the discussion of the Master Plan on ASEAN Connectivity as the instrument of Southeast Asia regional integration and cooperation. By examining 30 pieces of academic literature through the taxonomic method, the selected writings will be classified into two main themes: (1) The Conceptualization of the ASEAN Connectivity; and (2) The Development of the Master Plan of ASEAN Connectivity and its Implementation. As a result, this paper finds that ASEAN Connectivity is a collective effort that needs to be carried out through the three-way coordination between the ASEAN regional bodies, the ASEAN Member States, and external parties involved. However, the efforts to realize the Master Plan of ASEAN Connectivity have encountered various obstacles, specifically limited financial and technological capacity, development gaps between ASEAN Member States, low political commitment, differences in perceptions and the potential of competition between member states, and inefficiency in regional bodies monitoring the ASEAN Connectivity.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library