Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulfiatry Yubhar
Abstrak :
Telah dilakukan pengukuran Dose area Product dan Dose Area Product Rate menggunakan Dose Area Product Meter (DAP meter), Entrance Surface Dose menggunakan Thermoluminiscense (TLD) pada pemeriksaan fluoroskopi dengan obyek phantom akrilik 10 cm, 15 cm, 20 cm dan 25 cm serta phantom rando dengan fokus pada paru-paru. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan variasi waktu paparan 20 detik, 40 detik, 60 detik, 80 detik, 100 detik dan 120 detik. Untuk phantom akrilik 20 cm dan 25 cm ditambahkan variasi waktu 240 detik. Nilai DAP/mAs yang didapat adalah 0.70, 1.0, 1.4, 1.9 dan 0.83 µGym2/mAs masing-masing untuk phantom akrilik 10, 15 ,20, 25 cm dan phantom rando. Nilai ESD/mAs adalah (32.4±2.2), (35.7±1.5), (85.7±2.3), dan (143.5±10.6) dan (67.4±6.6) µGy /mAs untuk phantom akrilik 10, 15, 20, 25 dan phantom rando. Rasio antara ESD/mAs dengan DAP/mAs adalah (46.2 ± 3.1), (35.2 ± 1.3), (61.0 ± 2.9), 75.6(±5.4), dan (81.0 ± 8.0) untuk phantom akrilik 10, 15 ,20, 25 cm dan phantom rando .Nilai entrance surface dose dan nilai dose area product cenderung mempunyai hubungan yang kuat karena adanya linearitas pada relasi keduanya di setiap variasi ketebalan phantom akrilik dan phantom rando. Nilai entrance surface dose akan meningkat seiring dengan pertambahan nilai dose area product, tapi dari hubungan diantara keduanya tidak dapat dicari nilai yang pasti, sehingga nilai dose area product hanya dapat dipakai untuk memperkirakan dosis entrance surface dan untuk memonitor eksposure terhadap pasien.
Dose area Product and Dose Area Product Rate have been determined by Dose Area Product Meter (DAP meter), Entrance Surface Dose by Thermoluminiscent dosimeter (TLD) in the fluoroscopy examination of an acrylic phantom 10cm, 15 cm, 20 cm dan 25 cm and rando phantom at lung. Measurement is done by using exposure time variation within 20 ,40, 60 , 80 , 100 and 120 seconds .For acrylic phantom 20 cm and 25 cm in added time variation 240 seconds. The average values of DAP/mAs were 0.70, 1.0, 1.4 and 1.9 µGy-m2/mAs for phantom thickness of 10, 15, 20, and 25 cm, and about 0.83 - 0.84 µGy-m2/mAs for rando phantom. The average values of ESD/mAs were (32.4±2.2), (35.7±1.5), (85.7±2.3), and (143.5±10.6) and (67.4±6.6) µGy /mAs for phantom thickness 10, 15, 20, 25 and rando phantom. The ratio of ESD/mAs to DAP/mAs varied with phantom thickness were (46.2 ± 3.1)/ m2, (35.2 ± 1.3)/ m2, (61.0 ± 2.9)/ m2, 75.6(±5.4) for phantom thickness of 10 , 15, 20 and 25 cm respectively, and (81.0 ± 8.0)/ m2 for rando phantom. The values of entrance surface dose and dose area product have good correlation cause the DAP values correlate linearly with ESD for every phantom thickness and for rando phantom as well. The increase of entrance surface dose values based on the increase of dose area product values, but the relation from both of it can not find the absolute values, so that dose area product is used to estimate entrance surface dose and to monitor the patient exposure.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
T29005
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Tri Wicaksono
Abstrak :
Pada pengecoran Besi Tuang Dinding Tipis terjadi fenomena unik, yaitu terbentuknya lapisan kulit. Lapisan tersebut menjadi pusat stress konsentrasi untuk terjadinya retak material. Salah satu cara untuk meminimalisir terbentuknya lapisan kulit adalah menjaga kecepatan pendinginan pada keadaan optimum. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ketebalan isolator glasswool terhadap kecepatan pendinginan dalam pembentukan lapisan kulit. Variasi modifikasi cetakan yang digunakan adalah tanpa isolator (P4M1), isolator glasswool tebal 40mm sebelah kiri benda dan 50mm sebelah kanan benda(P5M1), dan isolator ketebalan 50mm dikedua sisi benda(P7M1). Dilakukan karakterisasi metalografi non etsa dan etsa, uji mekanis berupa uji tarik, dan uji kecepatan pendinginan pada plat urutan ketiga masing-masing benda cor. Hasil menunjukkan bahwa adanya pengaruh ketebalan isolator terhadap kecepatan pendinginan benda cor. Kecepatan pendinginan tertinggi hingga terendah adalah 21,59⁰C/menit, 3,75⁰C/menit, dan 3,61⁰C/menit. Lapisan kulit ketebalan rata-rata yang didapat P7M1 324μm, P4M1 105μm dan P5M1 71μm. Jumlah nodul tertinggi hingga terendah P4M1 1121 nodul/mm2, P7M1 916 nodul/mm2, dan P5M1 801 nodul/mm2. Nodularitas yang didapat P4M1 78%, P5M1 75% dan P7M1 64%. Nilai tensile strength yang didapat dengan nilai 287MPa, 288MPa sampai 383 MPa. Matriks yang didapat adalah full ferit.
Thin wall ductile iron has unique phenomena in manufacturing called skin effect. Skin effect becomes stress concentration to form crack initiation. One of many methods to decrease skin effect is providing optimum cooling rate. This research used the influence of glasswool isolator thickness leading to different cooling rate as variable. Variation of casting also investigated which are molding without isolator (P4M1), molding using isolator glasswool with thickness 40mm on the left side and 50mm on the left side of plate (P5M1) and the last is molding using isolator glaswool with 50mm on both of sides (P7M1). Samples were characterized using metallograpy technique (etching and non etching), mechanical testing especially tensile test and cooling rate testing. The result shows that thickness of isolator glasswool has influences on cooling rate. The cooling rate varies from fastest to slowest which are 21,59⁰C/minutes, 3,75⁰C/minutes, and 3,61⁰C/minutes. The skin thickness is produced from the thickest to thinnest on the mold using 50mm thickness glaswool isolator, the mold without glasswool isolator and the mold using 40mm glasswool isolator on left side and 50mm glasswool isolator on the right side. High nodul counting resulted from the mold without isolator, the mold using 50mm glasswool isolator and the mold using 40mm glasswool isolator on left side and 50mm glasswool isolator on the right side. Highest nodularity was produced on the mold without isolator which is 78%, the mold using isolator glasswool 40mm and 50mm thickness produced 75% nodularity dan the mold using glasswool isolator 50mm produced 64% nodularity. Tensile test showed tensile strength alter from 287MPa, 288MPa until 383 MPa. The matrix obtains full ferritic
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S60454
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezky Aulia Nurleili
Abstrak :
Latar belakang: Laporan mengenai hubungan obesitas dan GERD semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan meningkatnya pemahaman mengenai mekanisme GERD, diketahui terdapat peran sitokin proinflamasi dan adipositokin yang banyak terdapat di jaringan lemak viseral. Pada beberapa populasi di dunia, ketebalan lemak viseral diketahui berhubungan dengan meningkatnya insiden esofagitis erosif. Tujuan: Mengetahui profil ketebalan lemak viseral pasien GERD di RSCM. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada 56 subyek GERD. Subyek direkrut secara konsekutif pada bulan April hingga Oktober 2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pemilihan subyek GERD berdasarkan Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaires(GERDQ) dan pengukuran tebal lemak viseral menggunakan ultrasonografi. Erosi esofagus ditegakkan berdasarkan hasil endoskopi saluran cerna bagian atas. Analisis bivariat digunakan untuk menentukan perbedaan ketebalan lemak viseral antara grup esofagitis dan non-esofagitis. Hasil: Lebih dari separuh subyek penelitian ini menderita erosive reflux disease(ERD) (55,4%), didominasi oleh pasien dengan esofagitis kelas A berdasarkan klasifikasi Los Angeles sebanyak 64,5%. Rerata ketebalan lemak viseral grup NERD sedikit lebih rendah daripada grup ERD (47,9 mm untuk NERD dan 49,0 mm utk ERD). Terdapat kecenderungan peningkatan rerata ketebalan lemak viseral seiring dengan peningkatan derajat esofagitis (47,6 mm untuk esofagitis derajat A, 50,0 mm untuk esofagitis derajat B, dan 53,5 mm untuk esofagitis derajat C). Kesimpulan: Subjek ERD lebih banyak daripada NERD pada populasi GERD di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Rerata ketebalan lemak viseral subjek NERD lebih rendah daripada ERD. Terdapat kecenderungan peningkatan rerata ketebalan lemak viseral seiring dengan peningkatan derajat esofagitis. ......Background: Reports about thecorrelation between obesity and GERD had been increasedin the past few years. Along with the increasing understanding of GERD, there are roles of proinflammatory cytokines and adipocytokines which are mostly contained in abdominal fat tissue. In several populations, visceral fat thicknessis associated with the increased incidence of erosive esophagitis. Objective: To determine visceral fat thickness profile in GERD population in Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Methods: A cross-sectional study of 56 adult patients with GERD symptoms was conducted. The subjects were recruited consecutively between April and Oktober 2018 at Cipto Mangunkusumo National Hospital in Jakarta. Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaires (GERDQ) were used to select research subjects and Ultrasonography examination was used to determine visceral fat thickness. Esophageal erosions were diagnosed using upper gastrointestinal endoscopy. Bivariate analysis was used to determine visceral fat thickness difference between esophagitis and non-esophagitis group. Results: More than half of this research subject were patients who suffer erosive reflux disease(55,4%), which dominated by patient with esophagitis class A, regarding to Los Angeles (LA) classifications, there were 64,5% of all ERD patients. The mean visceral fat thickness in erosive reflux disease (ERD) group slightly higher than in non-erosive reflux disease (NERD) group (49,0 mm vs 47,9 mm respectively). There is an increasing trend in mean visceral fat thickness as the esophageal erosion progresses (47.6 mm for grade A, 50.0 mm for grade B, and 53,5 for grade C). Conclusion: ERD is more common than NERD in Cipto Mangunkusumo General Hospital's GERD population. The mean visceral fat thickness in ERD group is higher than in NERD group. There is an increasing trend in mean visceral fat thickness as the esophageal erosion progresses.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Rusdianto Gunardi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
D1794
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anggia Nadya Andjani
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketebalan resin terhadap depth of cure resin komposit serat sebagai substruktur. Lima belas spesimen dibagi menjadi 3 kelompok ketebalan berbeda: 3, 4, dan 5 mm n=5 . Masing-masing spesimen disinari dengan iradiansi 800 mW/cm selama 20 detik. Hasil penelitian menunjukkan depth of cure kelompok 1 adalah 81 , kelompok 2 adalah 78 dan kelompok 3 adalah 34. Nilai tersebut berbeda bermakna secara statistik melalui uji One-way ANOVA dan Post-hoc. Games-Howell. Disimpulkan bahwa ketebalan mempengaruhi depth of cure resin komposit serat sebagai substruktur.
The aim of this study is to know the effect of resin thickness on the depth of cure of fiber reinforced resin composite as substructure. Fifteen specimens are divided into 3 different thickness groups 3, 4, and 5 mm n 5 . Each specimen was cured with irradiation of 800 mW cm for 20 seconds. The result showed the depth of cure of group 1 was 81 , group 2 78 and group 3 34. The result was significantly different using One way ANOVA and Games Howell Post hoc test. It was concluded that resin thickness has effect on the depth of cure of fiber reinforced resin composit as substructure.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denie Kartono
Abstrak :
Latar Belakang: CT scan orbita merupakan modalitas radiologi yang mudah dan efisien untuk menilai adanya penebalan otot ekstraokular pada penderita oftalmopati Graves. Penebalan otot ekstraokular memiliki korelasi dengan masing-masing derajat oftalmopati Graves. Di Indonesia, belum ada korelasi antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves menurut klasifikasi NOSPECS. Tujuan: Mendapatkan nilai korelasi antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 89 orbita yang berasal dari 50 pasien penderita oftalmopati Graves yang telah menjalani pemeriksaan CT scan orbita di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2012 hingga Desember 2016. Penelitian dilakukan sejak Februari hingga Maret 2017. Pengukuran ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dilakukan setelah meninjau ulang derajat oftalmopati Graves melalui hasil pemeriksaan oftalmologi. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna di antara rerata ketebalan otot ekstraokular menurut derajat oftalmopati Graves (p<0,05). Uji korelasi Spearman didapatkan korelasi yang bermakna dan nilai r yang bervariasi di antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves. Nilai r=0,43 untuk rektus medial, r=0,37 untuk rektus lateral, r=0,49 untuk rektus superior, r=0,45 untuk rektus inferior dan r=0,57 untuk ketebalan total ekstraokular. Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.
Background: CT scan is an easy and efficient radiological modality to measure extraocular enlargement in the patient with Graves' ophthalmopathy disease. Extraocular muscles enlargements were had correlated with each grade of Graves' ophthalmopathy. In Indonesia, there is not yet a study about correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity based on NOCPECS classification. Purpose: To obtain the correlation values between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity. Method: This study used a cross sectional design. Eighty nine samples from fifty patients with Graves' opthalmopathy were chosen using consecutive sampling from patients that underwent orbital CT scan at the Radiology Departement of the Indonesia University's Faculty of Medicine' Cipto Mangunkusumo Hospital from time periode January 2012 until December 2016. This study was done from February until March 2017. The measurement of extraocular muscles diameter in orbital CT scan was performed after had reviewed Graves' ophthalmopathy severity from ophthalmology examination on medical record. Results: There are significantly differences between extraocular muscles diameter mean with Graves' ophthalmopathy severity (p<0,05). Spearman correlation test between extraocular muscles diameter with Graves' ophthalmopathy grading shows significant correlation with varied r values, r=0,43 for rectus medial, r=0,37 for rectus lateral, r=0,49 for rektus superior, r=0,45 for rectus inferior and r=0,57 for total diameters of extraocular muscles. Conclusion: There is a moderate positive correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyansa
Abstrak :
Teknologi pelapisan material telah menjadi perhatian besar di lingkungan penelitian dan industri dikarenakan merupakan cara yang efektif dan secara ekonomis lebih murah dalam menahan degradasi seperti keausan, oksidasi, korosi, atau kerusakan pada suhu tinggi tanpa mengorbankan material substrat yang dilapisinya. Salah satu metode pelapisan yang telah diterima dengan baik di kalangan industri adalah pelapisan berbasis thermal spray coating karena kemudahannya untuk diaplikasikan pada pelapisan material dalam skala besar dan merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Pada industri minyak dan gas di Indonesia khususnya wilayah kerja offshore mulai banyak penerapan pelapisan berbasis thermal spray coating ini untuk meningkatkan masa pakai equipment dilingkungan yang sangat korosif.Penelitian ini mempelajari pengaruh lapisan molybdenum dengan metode High Velocity Oxygen Fuel HVOF Thermal Spray pada baja karbon dengan variasi hasil ketebalan akhir pelapisan terhadap kekerasan permukaan, ketahanan aus, dan juga korosi serta melihat morfologi mikrostruktur dari pelapisan menggunakan mikroskop optik, SEM, dan EDX. Pengujian dilakukan pada 4 sampel dengan variasi hasil ketebalan pelapisan yang berbeda. Dengan range 1 ketebalan lapisan 10 ndash; 20 m, 2 ketebalan lapisan 25 ndash; 35 m 3 ketebalan pelapisan 40 ndash; 55 m, dan 4 ketebalan pelapisan 60 ndash; 75 m. Hasil observasi menunjukkan bahwa setelah dilakukan pelapisan dengan teknik HVOF spray coating menggunakan bahan pelapis molybdenum menghasilkan kekerasan permukaan yang meningkat dibandingkan dengan tanpa pelapisan yaitu sebesar 258 HV pada spesimen dengan ketebalan pelapisan di range 40 ndash; 55 m. Hasil dari pengujian ketahanan aus didapatkan spesifik abrasi terbesar pada sampel 1 dengan nilai 1.4998187 x 10-6 dan spesifik abrasi terkecil pada sampel 4 yaitu 1.0382507 x 10-6 dimana nilai ketahanan keausan dinilai baik pada nilai spesifik abrasi terkecil. Hasil uji korosi menggunakan metode polarisasi tafel didapatkan hasil icorr pada substrat yang tidak dilapisi 9.8701 mA dengan laju korosi 1.1469 mm/year. Dari ketiga sampel yang diuji korosi icoor pada sampel 3 mengalami penurunan yang drastis yaitu 2.5228 mA dengan laju korosi 0.29315 mm/year. Hal ini membuat efisiensi dari lapisan ini mencapai 74.40. ......Material coating technology has become a major concern in the research and industrial environment as it is an economically effective and cost effective way of resisting degradation such as wear, oxidation, corrosion, or damage to high temperatures without sacrificing the substrate material it overlays. One well accepted coating method among industries is thermal spray coatings because it is easy to apply to coating large scale materials and is an environmentally friendly technology. In the oil and gas industry in Indonesia, especially offshore work areas began to apply a lot of thermal spray coating based coating to increase the life of equipment in a very corrosive environment.This study studied the effect of molybdenum coating on the method of High Velocity Oxygen Fuel HVOF Thermal Spray on carbon steel with variation of final coating thickness to surface hardness, wear resistance, and also corrosion and to see microstructure morphology of coating using optical microscope, and SEM. Tests were performed on 4 sampels with different yields of different coating thicknesses. With range 1 layer thickness 10 20 m, 2 layer thickness 25 35 m 3 coating thickness 40 55 m, and 4 coating thickness 60 75 m. The observation result showed that after coating with HVOF spray coating technique using molybdenum coating material yielded increased surface hardness compared with no coating ie 258 HV on specimen with coating thickness in the range 40 55 m.The result of the wear resistance test was found to be the largest specific abrasion in sampel 1 with the value of 1.4998187 x 10 6 and the smallest abrasion specified in sampel 4 ie 1.0382507 x 10 6 where the wear resistance value was rated well on the smallest specific abrasion value. The result of corrosion test using tafel polarization method showed icorr result on uncoated substrate 9.8701 mA with corrosion rate 1.1469 mm year. Of the three sampels tested by icoor corrosion in sampel 3 experienced a drastic reduction of 2,5228 mA with a corrosion rate of 0.29315 mm year. The efficiency of this layer reaches 74.40.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T47837
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrianus
Abstrak :
Latar belakang: Elabela merupakan peptida baru yang ditemukan tahun 2013, bersama dengan apelin bertindak sebagai ligan endogen yang mengikat reseptor angiotensin receptor-like 1 (APJ), diekspresikan di berbagai jaringan tubuh terutama pembuluh darah dan memperlihatkan profil kardiovaskular yang mirip dengan apelin. Studi-studi ekperimental dan klinis telah memperlihatkan hubungan elabela dengan hipertensi, namun belum banyak diketahui mengenai peran elabela dalam proses aterosklerosis pada pasien hipertensi. Tujuan: Mengetahui hubungan konsentrasi peptida elabela dalam plasma dengan aterosklerosis subklinis pada populasi hipertensi. Metode: Sebanyak 104 subyek dengan hipertensi diikutkan dalam studi potong lintang. Konsentrasi elabela diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dengan terlebih dahulu melakukan ekstraksi peptida sesuai protokol. Parameter aterosklerosis subklinis dinilai dengan pemeriksaan ketebalan intima-media (KIM) karotis menggunakan alat ultrasonografi. Hasil: Konsentrasi elabela pada kelompok hipertensi derajat 2 lebih rendah dibandingkan kelompok hipertensi stadium 1 (0.14 [0.09, 0.23] ng/ml vs. 0.23 [0.13, 0.45] ng/ml; P = 0.000). Konsentrasi elabela lebih rendah pada kelompok dengan KIM karotis yang meningkat (0.15 [0.10, 0.23] ng/dl vs. 0.24 [0.13, 0.38] ng/dl; P = 0.005). Elabela memiliki korelasi linier negatif bermakna terhadap tekanan darah sistolik (r = -0.340, P = 0.000) dan KIM karotis (r = -0.213; P = 0.030). Konsentrasi elabela yang rendah (cutoff 0.155 ng/dl) berhubungan dengan subkelompok risiko tinggi kardiovaskular (OR 5.0, IK 95% 1.8-13.5, P <0.001). Kesimpulan: Penelitian ini untuk pertama kalinya memperlihatkan hubungan elabela dengan aterosklerosis subklinis terkait hipertensi. Rendahnya konsentrasi elabela dikaitkan dengan patogenesis aterosklerosis terkait hipertensi sehingga menjadikan elabela sebagai kandidat penanda biologis (biomarker) vaskular yang baru. ...... Introduction: Elabela is a newly identified peptide which, alongside apelin, acts as an endogenous ligand that activates the angiotensin receptor-like 1 receptor. Previous studies have shown the association of elabela with hypertension, but information about the role of elabela in hypertension-related subclinical atherosclerosis is scarce. Aim: To determine the elabela level in hypertensive patients and reveal its association with subclinical atherosclerosis. Methods: A total of 104 subjects with hypertension were included in the study. Elabela levels were measured using an enzyme-linked immunosorbent assay, by first extracting the peptide following the manufacturer's instructions. Subclinical atherosclerosis was assessed by measuring the carotid intima-media thickness (IMT) using ultrasound. Results: Compared to stage 1, elabela levels decreased in stage 2 hypertension (0.23 [0.13, 0.45] ng/ml vs. 0.14 [0.09, 0.23] ng/ml; P = 0.000), and in the group with increased carotid IMT compared to normal IMT (0.24 [0.13, 0.38] ng/ml vs. 0.15 [0.10, 0.23] ng/ml; P = 0.005). Additionally, a linear correlation analysis showed that elabela had a significant negative correlation with systolic blood pressure (r = -0.340, P = 0.000) and carotid IMT (r = -0.213; P = 0.030). In multivariate analysis, lower elabela levels were associated with a higher cardiovascular risk group in this study (OR 5.0, 95% CI 1.8-13.5, P < 0.001). Conclusions: This study demonstrated for the first time that circulating elabela declined in a higher stage of hypertension and hypertensive patients with increased carotid IMT, implicating that elabela may be involved in the pathogenesis of hypertension-associated subclinical atherosclerosis
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Andianto
Abstrak :
Lapis Iindung dengan pengecatan adalah salah satu cara yang paling banyak dipakai untuk mencegah terjadinya korosi. Ketebalan lapisan dan konsentrasi dari inhibitor pada Iapisan cat adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dari suatu sistem pengecatan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh ketebalan lapisan cat dan pengaruh konsentrasi inhibitor Zn3(PO4)2 terhadap kebzotan adlzesif dan kemhanan korosi dad lapisan cat. Variasi ketebalan cat yang digunakan adalah 50pm, 75pm, dan 100pm dengan konsentrasi inhibitor Zn3(PO4)2 0%, 15% dan 30%. Proses pelapisan benda uji dilakukan dengan cara disemprot dengan Spraying Gun setelah sebelumnya dilakukan persiapan permukaan dengan Sand Blasting. Ketebalan kering lapisan cat (Dry Film Thickness) diukur dengan mengunakan alat Magnetic Elcometer A5134 D U86-SZ Pengujian ketahanan korosi dilakukan dengan metode Salt Spray ASTM B 117-85 selama 504 jam, sedangkan untuk mengetahui kekuatan adhesif dari Iapisan cat dilakukan dengan metode Pull-Off Strength ASIM D 4541. Hasil pengujian diamati dengan menggunakan mikroskop optik (fota makro) dan dilakukan klasifikasi ketahanan korosi dengan menggunakan standar JIS Z2371. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan ketebalan lapisan cat akan meningkatkan kekuatan adgesif dan ketahanan korosi. Sedangkan peningkatan konsentrasi inhibitor Zn3(PO4)2 akan meningkatkan ketahanan korosi meskipun terjadi penurunan nilai kekuatan adhesif dari lapisan cat.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
S41556
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Hotlan
Abstrak :
Hull khususnya shell & bottom plates yang dibawah garis air merupakan daerah yang rawan terjadinya corrosion. Akibat corrosion tersebut akan menimbulkan proses pengurangan ketebalan lebih cepat. Pengurangan ketebalan hull tersebut berkolerasi dengan kualitas dan standar material dari badan klasifikasi. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu analisa untuk mengetahui penyebab berkurangannya ketebalan secara cepat tersebut. Juga untuk mengetahui apakah pemilihan material, pemeliharaan yang dilakukan pemilik kapal sudah sesuai dengan standar dan peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah serta badan klasifikasi. Dalam hal itu semua peraturan, persyaratan dan standarnya mengacu kepada UU No. 17 Tahun 2008, Peraturan Menteri Perhubungan No. 7 Tahun 2013, PP No.51 Tahun 2002 Pasal 60, Peraturan BKI-Pt 1 - Vol 1 ? 2012, dan BKI Rules for Materials -Vol 5 - 2014.
Hull, especially shell & bottom plates, are prone to corrosion for its location is beneath the water. Corrosion will accelerate the decreasing thickness of the hull itself. Hull's thickness correlate with quality and material standard from classification organization. Therefore, a method to analyze the cause of such event is required to point out the source of trouble. Also, in order to know wether or not the material used and the maintenance that has already been done by the owner of the ship is according to the standards and rules set by government and the classification organization. All in all, the rules, requirements and standards, are set in UU No. 17 Tahun 2008, Peraturan Menteri Perhubungan No. 7 Tahun 2013, PP No.51 Tahun 2002 Pasal 60, Peraturan BKI-Pt 1 - Vol 1 ? 2012, dan BKI Rules for Materials -Vol 5 - 2014.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S65753
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>