Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mustafidz
"Batu ginjal merupakan penyakit perkemihan yang paling sering banyak ditemukan di wilayah perkotaan. Kurangnya asupan cairan saat bekerja merupakan penyebab batu ginjal. Salah satu penatalaksanaan batu ginjal adalah dengan proses pembedahan. Pembedahan dilakukan berdasarkan letak batu. Proses pembedahan menimbulkan dampak negatif pada sistem pernapasan. Hal ini dapat menyebabkan Postoperative Pulmonary Complications (PPCs). Intervensi keperawatan berupa fisioterapi dada perlu dilakukan pada pasien post operasi. Hal ini dilakukan agar pasien terhindar dari masalah sistem pernapasan. Rekomendasi dari tulisan ini adalah penggunaan fisioterapi dada dapat dijadikan sebagai latihan yang diterapkan di rumah sakit untuk klien post operasi.
......
Kidney stones are the most common urinary diseases that commonly found in urban areas. Lack of fluid intake while working is the causes of kidney stones. One of the kidney stones treatment is surgery. Surgery is performed based on the location of the stone. Surgery has a negative impact on the respiratory system. This can lead to Postoperative Pulmonary Complications (PPCs). Nursing interventions need to be done in the form of chest physiotherapy in patients post-surgery. This is done in order to avoid patient respiratory system problems. Recommendation of this paper is the use of chest physiotherapy exercises that can be used as applied in the hospital for postoperative clients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Rhodia
"Latar Belakang: Kerusakan ginjal dapat berkembang ke arah penyakit ginjal kronik PGK dan gagal ginjal terminal. Penyakit ginjal kronik berkaitan dengan tingginya angka mortalitas dan pembiayaan yang dibutuhkan. Data mengenai PGK pada anak di dunia masih terbatas terutama di negara berkembang. Belum adanya data secara nasional yang dapat menggambarkan karakteristik penyakit ginjal pada anak di Indonesia menjadi alasan dilakukannya studi ini dengan mengolah data yang didapatkan dari Riskesdas 2013, sebuah riset kesehatan berbasis komunitas yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balitbangkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kemenkes RI .
Tujuan: Mengetahui karakteristik penyakit ginjal pada anak usia 15-18 tahun di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013.
Metode: Studi potong lintang dengan mengolah data sekunder yang didapatkan dari Riskesdas 2013. Terdapat dua kelompok data berdasarkan pencatatan di lapangan. Kelompok data 1 meliputi subjek yang diikutkan pada pengumpulan data kuesioner berupa riwayat batu ginjal, gagal ginjal kronik, riwayat hipertensi, dan minum obat antihipertensi, serta pemeriksaan fisis berupa pengukuran tekanan darah TD . Kelompok data 2 juga diikutkan pada pencatatan data kuesioner dan pemeriksaan fisis, namun disertai data laboratorium kadar hemoglobin Hb dan kreatinin serum. Setelah itu dilakukan pengklasifikasian data sesuai status nutrisi, estimasi LFG, TD, dan kadar Hb.
Hasil: Sejumlah 52.454 subjek diikutkan pada kelompok data 1, didapatkan hasil 20.537 subjek dengan penyakit ginjal, dengan karakteristik sebagian besar perempuan dan status nutrisi gizi baik. Terdapat riwayat batu ginjal 0,2 , gagal ginjal kronik 0,1 , riwayat hipertensi 0,6 , minum obat antihipertensi 0,1 , serta pra-hipertensi dan hipertensi berdasarkan pemeriksaan fisis sejumlah 51,4 dan 48,3 . Pada kelompok data 2 didapatkan hasil subjek dengan penurunan fungsi ginjal sebesar 1,4 .
Simpulan: Angka hipertensi dan pra-hipertensi pada remaja 15-18 tahun di Indonesia cukup tinggi. Hal ini menyebabkan upaya pemeriksaan TD secara teratur perlu digiatkan kembali sebagai upaya deteksi dini, mencari etiologi dan tata laksana mencegah berkembangnya penyakit. Kata kunci: penyakit ginjal, hipertensi, gagal ginjal, batu ginjal, remaja, Riskesdas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Indra Pradono
"ABSTRAK
Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) sebagai pendekatan untuk perawatan batu ginjal membutuhkan penggunaan fluoroskopi X-ray C-arm. Namun demikian, pemanfaatan X-ray C-arm sesuai standar sulit untuk dicapai di sebagian besar rumah sakit di Indonesia. Akses ginjal dengan panduan Ultrasonografi (USG) dalam tindakan PCNL menawarkan solusi untuk mengurangi paparan radiasi selama prosedur. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan hasil operasi prosedur PCNL supine dengan panduan USG di Rumah Sakit Adam Malik, Medan. Sebanyak 13 pasien berturut-turut menjalani prosedur supine PCNL dengan panduan USG di Rumah Sakit Adam Malik Medan, Indonesia, dari bulan April hingga Juni 2018. Pasien dengan riwayat operasi batu ginjal terbuka, gangguan fungsi ginjal, dan urosepsis tidak disertakan dalam penelitian. Penelitian prospektif dilakukan dengan mencatat data pasien yang menjalani PCNL, termasuk karakteristik pasien dan batu ginjal, data intraoperatif, dan status batu sisa. Usia rata-rata pasien adalah 46,00 ± 12,92 tahun. Rasio pria-wanita pada pasien adalah 6 : 7. Lebih dari setengah pasien mempunyai batu ginjal kiri (61,54%). Ukuran rata-rata batu adalah 25,71 ± 13,17 mm. Terdapat 11 pasien (84,62%) yang menerima puncture sebanyak satu kali, sementara yang lain menerima 2 kali (1 pasien; 7,69%) dan tiga kali (1 pasien; 7,69%). Rata-rata waktu puncture hingga tindakan nefroskopi adalah 15,64 ± 3,14 menit. Tindakan dilatasi berhasil dilakukan dengan waktu rata-rata 11,46 ± 1,56 menit. Waktu rata-rata nefroskopi adalah 25 menit (18-62 menit), dan total durasi operasi adalah 85,92 ± 33,95 menit. Tingkat keberhasilan tanpa hidronefrosis, hidronefrosis ringan, sedang, dan berat masing-masing adalah 50%, 100%, 100%, dan 50%. Sepuluh pasien bebas batu setelah prosedur (tingkat keberhasilan 76,92%).USG-PCNL memiliki hasil yang memuaskan. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bahwa USG-PCNL bisa menjadi alternatif yang baik untuk mengurangi paparan radiasi pada pasien dan ahli urologi.

ABSTRACT
Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) as an approach to kidney stone treatment requires a C-arm X-ray fluoroscopy application. Nevertheless, the utilization of standardized C-arm X-ray is complicated to achieve in most of our country hospitals. Ultrasound (US)-guided renal access for PCNL offers the solution for reducing the radiation exposure in the procedure. The present study aims to describe the operation outcomes of US-guided supine PCNL procedure at Adam Malik Hospital, Medan.A total of 13 consecutive patients underwent US-guided supine PCNL procedure at Adam Malik Hospital Medan, Indonesia, from April until June 2018. Patients with a history of open renal stone surgery, impaired renal function, and urosepsis were excluded from the study. We prospectively recorded the data of patients undergoing PCNL, including patient and stone characteristics, intraoperative data, and residual stone status. The mean age of the patients was 46.00 ± 12.92 years. The male-to-female ratio of the patients was 6:7. More than half of the patients had left kidney stone (61.54%). The mean stone size was 25.71 ± 13.17 mm. There were 11 patients (84.62%) who received one-time successful puncture attempt, while the others received 2 (1 patient; 7.69%) and three attempts (1 patient; 7.69%). The mean puncture-to-nephroscope time was 15.64 ± 3.14 minutes. All patients had successful dilation with the mean dilation time was 11.46 ± 1.56 minutes. The median nephroscopy time was 25 (18-62) minutes, and the total operation duration was 85.92 ± 33.95 minutes. The success rates for no hydronephrosis, mild, moderate, and severe hydronephrosis were 50%, 100%, 100%, and 50% respectively. Ten patients were stone-free after the procedure (76.92% success rate). US-PCNL has satisfactory outcomes. It should be considered that US-PCNL could be a good alternative for reducing radiation exposure of the patient and urologist."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wyckmell Octof Ingratoeboen
"Latar Belakang dan Tujuan: Meskipun PCNL tradisional memiliki stone-free rate yang tinggi, kadang-kadang dikaitkan dengan morbiditas pengobatan yang signifikan. Di seluruh dunia, versi miniatur dari PCNL konvensional (Mini-PCNL) telah digunakan. Menurut literatur yang tersedia, Mini-PCNL memiliki morbiditas yang lebih rendah dan stone-free rate yang serupa dengan PCNL konvensional. Dalam penelitian ini kami bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik pasien yang menjalani mini-PCNL di pusat kami di Jambi, Indonesia.
Metode: Ini adalah studi deskriptif yang melibatkan pasien batu ginjal yang diobati dengan mini- PCNL selama 2017 – 2021 di Jambi, Indonesia. Pemilihan subjek penelitian menggunakan metode total sampling. Semua pasien memiliki riwayat medis yang diambil dan pemeriksaan fisik dilakukan sebelum operasi. Prosedur dilakukan oleh tiga operator di satu rumah sakit kabupaten rujukan. Hasil: Selama periode 2017 hingga 2021, pusat kami telah melakukan 188 prosedur mini-PCNL untuk pengangkatan batu ginjal. Namun, hanya 186 kasus yang dimasukkan dalam studi ini setelah mengesampingkan 2 kasus karena data yang tidak lengkap. Dari 186 kasus tersebut, sebanyak 165 pasien menjalani prosedur mini-PCNL. Usia rata-rata pasien dalam penelitian ini adalah 49,3 tahun (berkisar antara 12-87 tahun) dengan mayoritas laki-laki (101/165). [61,21%]). Waktu operasi rata- rata adalah 113,5 ± 50,5 menit, dan rata-rata lama tinggal di rumah sakit adalah 2,8 ± 1,3 hari. Dari 186 kasus, sebanyak 175 kasus tidak memiliki sisa batu dan hanya 11 yang memiliki sisa batu (stone- free rate [SFR] 94,08%). Sebagian besar pasien mengalami hidronefrosis, dan penempatan DJ stent dilakukan pada 44 dari 186 kasus. SFR menurun seiring dengan peningkatan ukuran batu Kesimpulan: Mini-PCNL terbukti menjadi pilihan yang baik untuk mengelola batu ginjal, terutama untuk batu berukuran sedang dan keras, memberikan hasil yang lebih baik dan mengurangi komplikasi pasca-operasi.
......Background and Aim: Although traditional PCNL has a high stone-free rate, it is sometimes associated with significant treatment morbidity. Worldwide, a miniaturized version of a conventional PCNL (Mini-PCNL) has been used. According to the available literature, Mini-PCNL has lower morbidity and a similar stone-free rate to conventional PCNL. In this study we aim to describe the characteristics of patients undergoing mini- PCNL at our center in Jambi, Indonesia.
Methods: This is a descriptive study involving patients with kidney stones treated with mini-PCNL during 2017 – 2021 in Jambi, Indonesia. The selection of the study subjects was using total sampling method. All patients had a medical history taken and a physical examination performed prior to surgery. The procedure was performed by three operators in one referral district hospital.
Results: From 2017 to 2021, a total of 188 mini-PCNL procedures were performed at our center for the removal of kidney stones. However, only 186 cases were included in this study after excluding 2 due to incomplete data. The mean age of patients in this study was 49.3 years old (ranging from 12–87 years old) with the majority being a male (101/165 [61.21%]). Of 186 cases, a total of 175 cases having no residual stone and only 11 having residual stone (stone-free rate [SFR] 94.08%). Most patients presented with hydronephrosis, and DJ stent placement was performed in 44 out of 186 cases. The SFR decreased as the stone size increased.
Conclusion: Mini-PCNL proves to be a valuable choice for managing kidney stones, especially for medium-sized and hard stones, leading to enhanced patient results and reduced post-operative complications."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Johannes R. Wibowo
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat terapi perkusi mekanik inversi pada penderita batu kaliks inferior ginjal pasca ESWL.
Suatu uji klinis terkontrol dilakukan terhadap 40 penderita batu kaliks inferior ginjal yang menjalani terapi Extra Corporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) di RSCM Jakarta dan masih terdapat sisa batu dengan ukuran 4 mm, antara bulan Desember 2002 hingga Desember 2003. Secara acak, penderita penelitian dimasukkan ke dalam kelompok terapi (dilakukan terapi perkusi mekanik inversi) dan kelompok non terapi (tidak dilakukan terapi perkusi mekanik inversi). Keberhasilan terapi ditentukan dengan adanya pergerakkan fragmen batu dan keadaan bebas batu yang dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen. Uji kemaknaan menggunakan Pearson Chi Square cross tabulation dengan nilai p < 0,05 dianggap bermakna.
Hasil penelitian menunjukkan dari 20 orang kelompok terapi, 14 orang (70%) terjadi pergerakkan fragmen batu dan tercapai keadaan bebas batu segera setelah terapi dilakukan, sedangkan 6 orang (30%) tidak terjadi pergerakkan fragmen batu, sedangkan dari 20 orang kelompok non terapi, 13 orang (65%) terjadi keadaan bebas batu dan 7 orang (35%) tidak terjadi keadaan bebas batu, sehingga secara statistik hal ini tidak bermakna (p>0,05). Penelitian ini jugs menunjukkan dari 20 orang kelompok terapi terdapat 13 ()rang (65%) mempunyai ukuran sisa batu 2-4 mm dan 1 prang (5%) dengan ukuran sisa batu 1-2 mm sedangkan pada 20 prang kelompok non terapi terdapat 7 orang (35%) mempunyai ukuran sisa batu 2-4 mm dan 6 prang (30°Io) dengan ukuran sisa batu 1-2 mm yang mencapai keadaan bebas batu, secara statistik hal ini tidak terdapat hubungan bermakna (p . 0,05).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan baik dilakukan atau tidak dilakukan terapi perkusi mekanik inversi, keduanya dapat mencapai keadaan bebas batu pada penanganan batu kaliks inferior ginjal pasca ESWL, sedangkan ukuran sisa batu pasca ESWL tidak mempengaruhi keadaan bebas batu.

The purpose of this study is to know the benefit of mechanical inversion therapy for lower pole kidney stone after shock wave lithotripsy in Cipto Mangunkusumo hospital.
A clinical control trial has been done to 40 patients with stone in the lower pole of the kidney who had undergone ESWL treatment with residual stone less than 4 mm in CiptoMangunkusumo hospital between December 2002 to December 2003. Randomly the patients were divided into 2 groups, one of which is with mechanical percussion inversion therapy and the other is without. Successful treatment is based on stone fragment movement and stone free condition which were examined by KUB photos. Pearson chi square tabulation probability test is used with p value less than 0,05 is considered significant.
The result showed that from 20 patients with mechanical percussion inversion therapy, 14 patients (70%) had stone free condition as soon as the treatment done, on the contrast 6 patients (30%) did not have stone fragment movement, whereas from 20 patients without treatment, 13 patients (65%) had stone free condition and 7 patients (35%) did not, so statistically this was not significant (p>0,05). This study also showed that from 20 patients with MPI therapy, 13 patients (65°Io) with residual stone of 2-4 mm and 1 patient (5%) with residual stone of 1-2 mm achieved stone free condition, whereas from control group, there were 7 patients (350/s) with residual stone of 2-4 mm and 6 patients (30%) who had residual stone of 1-2 mm achieved stone free condition. Statistically, this was also not significant (p>0,05).
In conclusion, our study revealed that stone free condition could happen with or without mechanical percussion inversion therapy for lower pole kidney stone after ESWL and the residual stone size after ESWL was not correlated with stone free rate.
Keywords: mechanical percussion inversion therapy, shock wave lithotripsy, lower pole kidney stone
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezania Khairani Mochtar
"Angka prevalensi hiperurisemia yang sudah menunjukkan manifestasi sebagai penyakit sendi atau gout tercatat sebesar 1.36%. Kondisi hiperurisemia diketahui merupakan faktor risiko yang berperan dalam penurunan fungsi ginjal dan memiliki hubungan erat dengan batu ginjal.
Tujuan: Mengetahui adanya hubungan antara kondisi hiperurisemia pada pasien dengan batu ginjal terhadap fungsi ginjal.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 942 pasien batu ginjal di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2000-2013.
Hasil: Dari 5464 pasien batu di RSUPN Cipto Mangunkusumo sepanjang tahun 2000-2013, didapatkan 942 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Hasil analisis menunjukkan hubungan yang bermakna antara hiperurisemia dengan fungsi ginjal pada pasien dengan batu ginjal (p < 0.001). Didapatkan pula bahwa predominansi pasien dengan batu ginjal adalah laki-laki (68.5%), serta rerata usia pasien batu ginjal adalah 47 tahun (SD = 12.4). Subjek dengan hiperurisemia yang mengalami penurunan fungsi ginjal tercatat sebanyak 11.3%.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi hiperurisemia dengan fungsi ginjal pada pasien dengan batu ginjal. Oleh karena itu, pengendalian kadar asam urat dalam darah harus menjadi perhatian khusus untuk menghindari terjadinya perburukan fungsi ginjal.

The recorded prevalence of hyperuricemia demonstrated as a manifestation of joint disease or gout is 1.36%. Hyperuricemia is known as a risk factor which plays an important role in the declining of renal function and has a close relationship with kidney stones.
Aim: To find out the relationship between the hyperuricemia in patients with kidney stones and renal function.
Method: A cross-sectional study conducted on 942 kidney stone patients in the Cipto Mangunkusumo Hospital through 2000-2013.
Result: Out of 5464 kidney stone patients in Cipto Mangunkusumo Hospital during the years 2000-2013, we obtained 942 subjects who meet the appointed inclusion and exclusion criterias. The analysis revealed a significant association between hyperuricemia and renal function in patients with kidney stones (p <0.001). It was also found that the predominance of patients with kidney stones are men (68.5%), and the mean age of the patients with kidney stones was 47 years (SD = 12.4). Prevalence of hyperuricemic subjects whom renal function declines, is recorded as 11.3%.
Conclusion: There is a significant association between hyperuricemia and renal function in patients with kidney stones. Therefore, the control of serum uric acid levels should be a particular concern to avoid the deterioration of renal function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library