Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Husni Junus
1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nur Masitoh
Abstrak :
Pada penelitian mi, diamati pengaruh penambahan beberapa pengisi dan lubrikan terhadap profil disolusi kapsul Kioramfenikol. Pengisi yang dipakai adalah Laktosa, Amilum, Avicel dan Prymojel. Lubrikannya adalah Asam Stearat dan Magnesium Stearat. Metode disolusi yang digunakan adalah metode basket, dengan putaran 100 rpm, suhu37 0 C, media disolusiHC1 0,1 N dan volume media 900 ml. Penambahn pengisi Laktosa pada kosentrasi yang diamati akan meningkatkan laju disolusi. Keadaan sebaliknya terjadi pada pengisi Amilum. Pengisi Avicel dan Prymojel R pada konsentrasi. yang diamati akan meningkatkan laju disolusi. Karena mempunyai sifat sebagai desintegran dan pe nsuspensi.kesu]itan penetrasi media icedalam sediaan dapat diatasi oleh kedua sifat pengisi tersebut. Penggunaan, lubrikan Magnesium Stearat tanpa pengisi, pada konsentrasi yang diamati akan menururikan laju d1soluj. Karena sediaan membentuk gumpalan. Sehingga sebagi.n zat aktif terperangkap dalam gumpalan dan tidak terdisolu g j. Hal tersebut tidakterjadj pada penggunaan asam stearat.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1992
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nellia Roza
Abstrak :
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian terhadap kestabilan beberapa sediaan tetes mata Kloramfenikol. Pada penelitian ini sediaan disimpan pada beberapa temperatur yaitu 4°C (temperatur dingin), 20°C (temperatur AC), 29°C (dianggap sama dengan temperatur kamar) dan pada beberapa temperatur yang dinaikkan yaitu 40°C, 50°C, 600C. Untuk mengetahui pengaruh EDTA terhadap adanya pengawet pada sediaan dengan dapar boraks-borat (pH ± 7) dan penambahan Fenilmerkuri nitrat/Timerosal sendiri atau dikombinasi dengan EDTA. Sebelum penetapan kadar dengan Spektrofotometer pada \270 nm dengan pelarut metanol, sediaan di pisahkan dan hasil uraiannya dengan Kromatografi Lapisan Tipis. Kloroform, metanol, asam asetat (180:16:4) digunakan sebagal eluen dan sebagai adsorben digunakan Silika Gel F 254. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sediaan dengan pengawet tanpa EDTA dapat disimpan sebulan lebih lama dibandingkan dengan sediaan yang dikombinasi dengan EDTA.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Edi
Abstrak :
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh penambahan kombinasi Amilum dan Magnesium Stearat terhadap profil laju larut kapsul kloramfenikol. Variasi konsentrasi Amilum yang digunakan dalam penelitian ini masing-masing : 10 %, 15 %, 20 % dan konsentrasi Magnesium Stearat : 0,5 %, 1 %, 1, 5 %. Metoda disolusi yang digunakan, adalah metoda basket, dengan putaran 100 rpm, temperatur 37° C, media disolusi HCI 0,1 N dan volume 900 ml. Penambahan kombinasi konsentrasi amilum 10 %, 15 %, dengan konsentrasi Magnesium Stearat 0,5 %. dapat meningkatkan laju larut kapsul kloramfenikol, dibandingkan dengan kapsul kloramfenikol tanpa bahan tambahan . Hal ini disebabkan sifat hidrofilik amilum, sehingga menyebabkan penetrasi cairan ke dalam massa kapsul lebih cepat setelah kapsul pecah. Penambahan kombinasi konsentrasi amilum 10 %, 15 %, 20 % dengan konsentrasi Magnesium Stearat 1 %, 1, 5 % dapat menurunkan laju larut kapsul kloramfenikol, dibandingkan dengan kapsul kloramfenikol tanpa bahan tambahan. Hal ini disebabkan terbentuknya gumpalan sehingga penetrasi cairan kedalam massa kapsul menjadi lebih sulit.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1992
S31895
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Mitani Nur Alfaini
Abstrak :
Demam tifoid menduduki peringkat ke-2 sebagai penyakit yang paling banyak ditemukan pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus pada tahun 2014 sebanyak 81.116 (3,15%). Prinsip penatalaksaan demam tifoid di Indonesia meliputi istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suporatif), serta pemberian antibiotik. Antibiotik yang digunakan adalah kloramfenikol injeksi (lini pertama) dan seftriakson injeksi (lini kedua). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas-biaya terapi kloramfenikol injeksi dan seftriakson injeksi pada pasien anak demam tifoid rawat inap di RSUD Ciawi tahun 2019-2021. Penelitiaan ini merupakan penelitian observasional dengan desain studi cross-sectional menggunakan teknik pengambilan data secara retrospektif. Populasi penelitian ini adalah 957 pasien rawat inap yang terdiagnosis demam tifoid di RSUD Ciawi pada Tahun 2019-2021. Sampel penelitian ini adalah 66 pasien dengan terapi seftriakson injeksi dan 66 pasien dengan terapi kloramfenikol injeksi sesuai dengan jumlah minimum sampel. Data diambil dari rekam medis pasien berupa usia, jenis kelamin dan durasi rawat inap pasien. Biaya dilihat dari perspektif rumah sakit menggunakan total biaya medis langsung yang meliputi biaya obat, biaya obat lain, biaya laboratorium, biaya alat kesehatan, biaya jasa tenaga kesehatan, biaya kamar, dan biaya administrasi. Berdasarkan perhitungan REB, kelompok terapi kloramfenikol injeksi memiliki rasio efektivitas biaya lebih tinggi sebesar Rp 2.710.452,15 / lama rawat inap dibandingkan kelompok terapi seftriakson injeksi sebesar 2.029.402,12 / lama rawat inap. Berdasarkan perhitungan RIEB, pemilihan terapi seftriakson injeksi akan membutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 3.239,6281 untuk peningkatan 1 unit efektivitas. ......Typhoid fever is occupied on the second rank as the most common disease found in hospitalized patients with a total of 81,116 cases (3.15%) in 2014. Typhoid fever management principle includes the rest and treatment, diet and supportive therapy (both symptomatic and supportive), and administration of antibiotics. The antibiotics used were chloramphenicol (first line) and ceftriaxone (second line) injection. This study aims to analyze the cost-effectiveness of chloramphenicol and ceftriaxone injection therapy in typhoid fever patients hospitalized at Ciawi Hospital in 2019-2021. This research is an observational study with a cross-sectional design using retrospective data collection techniques. The population of this study was 957 inpatients diagnosed with typhoid fever at Ciawi Hospital in 2019-2021. The sample of this study were 66 patients with injection ceftriaxone therapy and 66 patients with chloramphenicol injection therapy according to the minimum number of samples. The data collected the medical records of pediatric typhoid fever inpatients consist of age, gender, and length of stay (LoS). Costs with a hospital perspective using total direct medical costs which include drug costs, other drug costs, laboratory costs, medical equipment costs, health worker service fees, room costs, and administrative costs. Based on REB calculations, the chloramphenicol injection therapy group had a higher cost-effectiveness ratio IDR2,710,452.15 / unit effectiveness compared to the ceftriaxone injection therapy group IDR2,029,402.12 / unit effectiveness. Based on the RIEB calculation, the selection of injection ceftriaxone therapy will require an additional cost of Rp. 323,962.81 to increase 1 unit effectiveness.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Saodah
Depok: [Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, ], 2008
S32980
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Azis
Abstrak :
ABSTRAK
The existence of chioramphenicol residues in veterinary products could cause such a serious side effect like aplastic anemia. A specific and sensitive ELISA method to detect chioramphenicol residues was needed to be developed in order to get a more efficient and economical analysing method. In this study, a direct ELISA method has been done using chioramphenicol-bovine serum albumin (CAP-BSA) as antigen and antisera chioramphenicol labelled by enzyme horseradish peroxidase (HRP) as antibody. CAP-BSA with a dilution of 1:200 and antisera chioramphenicol labelled by }iRP with a dilution of 1:125 showed a limit detection of 0.05 ng/ml. CAP-BSA had been synthesized from chloramphenicol sodium succinate and BSA, using mixed anhydride reaction, whereas HRP-labelled antisera chloramphenicol had been synthesized from antisera chioramphenicol and FIRP, using periodate conjugation technique. The production of antisera chloramphenicol has been performed through CAP-BSA immunization using two New Zealand White rabbits resulting in antisera chloramphenicol with a less satisfactory specificity and sensitivity. The recovery assay of chloramphemcol in cow milk gave 98,17% ± 2,88% yield.
1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommie Prasetyo U.W.
Abstrak :
Sepsis, yang salah satunya ditandai dengan adanya bakteri dalam darah (bakteremia), merupakan keadaan klinis yang mengancam jiwa seseorang. Sehingga pemilihan antibiotik yang tepat sangatlah penting untuk mengurangi angka kecacatan dan kematian. Beberapa antibiotik yang dapat digunakan untuk menangani sepsis adalah kloramfenikol, kotrimoksasol, dan tetrasiklin. Oleh karena itu diperlukan pemantauan pola resistensi bakteri penyebab sepsis terhadap ketiga antibiotik tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari hasil uji resistensi bakteri dari spesimen darah terhadap berbagai antibiotik dari tahun 2001-2006 yang dikirim ke Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dari 791 isolat darah, didapatkan enam bakteri tersering yang diisolasi dari spesimen darah yaitu Staphylococcus epidermidis (25%), Acinetobacter anitratus (16%), Pseudomonas aeruginosa (13%), Klebsiella pneumoniae (8%), Staphylococcus aureus (6%), dan Salmonella Typhi (5%). Hasil uji resistensi keenam bakteri tersebut terhadap ketiga antibiotik di atas sangat bervariasi. Staphylococcus epidermidis sudah cukup resisten (37,4-51,9%) terhadap ketiga antibiotik di atas. Resistensi Acinetobacter anitratus dan Pseudomonas aeruginosa terhadap kloramfenikol dan kotrimoksasol masih rendah, masing-masing 10-16,2% dan 6,2-21,4%, sedangkan terhadap tetrasiklin resistensinya sudah cukup tinggi, 62,5% pada Acinetobacter anitratus dan 71% pada Pseudomonas aeruginosa. Klebsiella pneumoniae sudah cukup resisten (36,6-71,4%) terhadap ketiga antibiotik di atas. Resistensi Staphylococcus aureus masih cukup rendah (5,9-28,6%) terhadap ketiga antibiotik di atas. Resistensi Salmonella Typhi terhadap ketiga antibiotik di atas juga masih rendah (0-5,6%). Dapat disimpulkan bahwa resistensi bakteri yang diisolasi dari spesimen darah terhadap ketiga antibiotik di atas sudah cukup tinggi, kecuali pada Staphylococcus aureus dan Salmonella Typhi, serta pada Acinetobacter anitratus dan Pseudomonas aeruginosa terhadap kloramfenikol dan kotrimoksasol. ......Sepsis which is characterized by the presence of bacteria in bloodstream (bacteremia) is a harmful clinical state that can be life-threatening. Correct choice of antibiotics is a very important issue in reducing morbidity and mortality rates among sepsis patients. Some antibiotics that can be used to treat sepsis are chloramphenicol, co-trimoxazole, and tetracycline. Hence, it is necessary to monitor sepsis-causing bacteria resistance pattern to those three antibiotics mentioned before. The data utilized was a secondary one that was obtained from the result of blood-specimen bacterial resistance test against antibiotics in Clinical Microbiology Laboratory of Faculty of Medicine, University of Indonesia from 2001 to 2006. Of 791 blood isolates, six most frequent bacteria isolated from blood specimen were Staphylococcus epidermidis (25%), Acinetobacter anitratus (16%), Pseudomonas aeruginosa (13%), Klebsiella pneumoniae (8%), Staphylococcus aureus (6%), and Salmonella Typhi (5%), of which the results varied widely. Moderate resistance rates (37.4-51.9%) against those three antibiotics were observed from Staphylococcus epidermidis. Low resistance rates against chloramphenicol and co-trimoxazole were observed from Acinetobacter anitratus and Pseudomonas aeruginosa, each showed 10-16.2% and 6.2-21.4% respectively, while their resistance against tetracycline were already high, 62.5% in Acinetobacter anitratus and 71% in Pseudomonas aeruginosa. Klebsiella pneumonia showed moderate resistance against those three antibiotics mentioned above (36,6-71,4%). Low resistance rates (5.9-28.6%) against those three antibiotics were observed from Staphyhlococcus aureus. Very low resistance rates (0-5.6%) against those three antibiotics were also observed from Salmonella Tyhpi. It can be concluded that the resistance rates among bacteria isolated from blood specimen against those three antibiotics are already high, except Staphylococcus aureus and Salmonella Typhi, and Acinetobacter anitratus and Pseudomonas aeruginosa against chloramphenicol and co-trimoxazole.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library