Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rismawidiawati
"So far, the trade and spice route historiography has focused on social, political, and economic aspects. This discussion is also fragmentarily or is part of another focus. No studies have discussed the relationship between local knowledge practices, spice routes, power networks, and Islamization. However, the spice trade and Islamization are two intersecting events important for their connection with the local culture. This article assumes that there was a local knowledge used as a strategy by the Banten rulers as a response to trade, Islamization, and power networks in the sixteenth and seventeenth centuries. It finds that Sultan Maulana Yusuf’s policy, known as “gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis”, was a local knowledge that continued to be used by Banten rulers throughout the sixteenth-seventeenth centuries. This local knowledge was transformed from its literal meaning of “building cities and fortresses from bricks and corals” into a metaphor representing development that considered the duality of Banten’s potential. This local knowledge became the foundation stone for the strategies of Banten’s rulers until Sultan Ageng Tirtayasa to respond the challenges posed by the trade, power network, and Islamization. This application of the local knowledge carried the Banten Sultanate to its peak of advancement during the reign of Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). In his sponsorship of this local knowledge, the ruler of the Banten appears as a technocrat, trader, scholar, leader, and ruler who paved the way for the expansion of the Banten Sultanate. This local knowledge was passed down from generation to generation and remains the local knowledge of the Banten people today. This study reconstructs the historiography of the existing spice route by according local knowledge (gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis), the leading role in shaping the expansion of the Banten Sultanate in the century of the spice trade and the extension of the spice route."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
909 UI-WACANA 24:3 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Franciscus Van Ylst
"Persoalan pokok dalam tesis ini yang berjudul, "Hakekat Ilmu Pemerintahan" ialah adanya ketidakjelasan mengenai obyek dan kedudukan Ilmu Pemerintahan terhadap ilmu-ilmu yang lain, khususnya Ilmu Politik. Peranan Filsafat menjadi penting, karena melalui kajian filsafat dan kritik filsafat dapat diketahui apa yang menjadi kelemahan ilmu dan sekaligus diketahui pula caranya untuk memperkuat landasan ilmiahnya.
Teori Pertumbuhan Pengetahuan dari Karl Popper, yang menyatakan bahwa pengetahuan bertolak dari problem dan ilmu bertolak hanya dengan problem menjadi relevant dalam penulisan tesis ini. Ilmu pemerintahan oleh sejumlah sarjana Ilmu Politik, dipersoalkan mengenai ada atau tidaknya ilmu tersebut. Jadi Ilmu Pemerintahan menghadapi problem utamanya, yaitu tentang keberadaannya. Polemik terhadap Ilmu Pemerintahan telah berlangsung lama dan menahun. Bagi Karl Popper problem tersebut sangat menguntungkan bagi ilmu yang bersangkutan. Karena bertolak dari "Teori Pertumbuhan Pengetahuan", problem yang dialami oleh Ilmu Pemerintahan harus menjadi pendorong terhadap tumbuhnya upaya-upaya untuk mempertahankan dan memperkuat landasan ilmiahnya.
Dalam penulisan tesis ini, dikemukakan 2 anggapan dasar:
1. Jika Ilmu Pemerintahan dapat dibedakan antara obyek materia dan obyek formanya, maka sebagai disiplin limu Pemerintahan menjadi tegas dan jelas untuk dibedakan dengan ilmu-ilmu lainnya.
2. Jika Ilmu Pemerintahan dapat dikondisikan untuk dapat mengikuti prosedur metode problem solving, maka sebagai sebuah ilmu dapat tumbuh dan berkembang secara mantap.
Hakekat Ilmu Pemerintahan adalah juga sama dengan Hakekat Ilmu Pengetahuan, hanya obyek formanya yang membedakan. Secara universal elemen-elemen yang membentuk Ilmu Pengetahuan juga berlaku sama untuk elemen-elemen yang membentuk Ilmu Pemerintahan. Keberadaan Ilmu Pemerintahan harus dapat dilihat dengan standard prosedur yang sama dengan ilmu pengetahuan lainnya.
Ilmu Pemerintahan sebagai ilmu pengetahuan memiliki struktur dan prosedur yang sama. Arti struktur ialah kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematik, sedangkan prosedur disebut juga dengan metode ilmiah merupakan suatu rangkaian langkah yang tertib dan berlaku untuk setiap ilmu agar supaya ilmu pengetahuan itu berjalan dengan langkah yang benar dan teratur.
Melihat sejarah Yunani kuno untuk membahas hubungan antara Filsafat Politik dan Ilmu Pemerintahan. Hal ini sangat panting guna memperoleh silsilah antara ilmu induk dan ilmu cabang. Melalui tokoh Filsafat Politik Plato dapat dipelajari bagaimana awal mula terjadinya pemikiran tentang apa yang disebut "politik" dan hubungannya dengan Ilmu Pemerintahan.
Salah satu pendapat yang dapat disetujui oleh berbagai ahli bahwa lapangan penyelidikan Ilmu Pemerintahan adalah menyangkut tanggung jawab dan peranan yang menuntut adanya keterlibatan yangsangat besar dari pemerintah untuk dapat meningkatkan kemakmuran rakyat banyak. Menurut pendapat dari Soltau dan Gilchrist, ruang lingkup Ilmu Pemerintahan meliputi,
1. Pemerintahan menurut keadaannya sekarang
2. Pemerintahan sebagaimana yang lalu
3. Pemerintahan sebagaimana harusnya
Selain pendapat tersebut di atas ruang lingkup Ilmu Pemerintahan menyangkut juga pembuatan dan pelaksanaan dari keputusan politik menjadi kebajikan pemerintah. Pendapat aristoteles yang dikutip dari Prof. Dr.A. Hoogerwerf menyebutkan lingkup pemerintahan adalah mempelajari bentuk-bentuk pemerintahan.
Ilmu alpha dan beta mempunyai kekhususan sendiri mengingat gejala yang ditangkap juga tidak sama. Ilmu Pemerintahan digolongkan sebagai ilmu alpha. Ilmu alpha yaitu ilmu-ilmu budaya, artinya kejadikan sebagai obyek yang dipelajari adalah "peristiwa berulang-ulang" dan sebagai akibat dari keberulangan itu dapat dijabarkan hukum-hukum ilmu pasti. Obyek yang berbeda akan membedakan pula metode yang akan dipergunakan. Ada empat metode yang sering dipakai pada obyek Ilmu Pemerintahan
1. Metode Filosofis
2. Metode Historis
3. Metode Eksperimen
4. Metode Deskriptif
Ilmu Pemerintahan sebagai ilmu yang mempunyai tujuan tertentu memerlukan kurikulum sebagai alat dalam kegiatan proses belajar mengajar. Pada sub bab ini juga dikemukakan beberapa contoh kurikulum Ilmu Pemerintahan yang diajarkan pada beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia.
Penulis mengutip beberapa definisi tentang Ilmu Pemerintahan dari sejumlah ahli Ilmu Politik dan Pemerintahan, sehingga dapat di peroleh gambar bahwa ada sejumlah persamaan dasar, yaitu
1. Jalannya Pemerintahan
2. Mengatur ketentraman dan ketertiban masyarakat
3. Mewujudkan kemakmuran rakyat
Politik, Pemerintahan dan Kekuasaan adalah 3 aspek yang berakar pada substansi kekuasaan. Kekuasaan sebagia substansi dari Politik dan Pemerintahan dapat diartikan sebagai kekuasaan itu sendiri adalah abstrak letapi perwujudannya dapat kita lihat dan rasakan sebagaimana diartikan adanya "kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sistha Widyaresmi
"Kolonialisme pada mulanya adalah penguasaan rempah rempah dan hasil bumi untuk memperkaya negeri penjajah dalam meluaskan kekuasaannya. Pada fase selanjutnya, kolonialisme tidak hanya berpusat pada rempah, beras, dan sagu, melainkan juga penguasaan masyarakat atau hegemoni. Kaum penjajah tidak hanya mengambil sumber daya alam yang ada, tetapi juga membentuk pola pikir sumber daya manusianya sehingga mereka dapat menerima diri sebagai kaum inferior. Penjajah membalikkan masa lalu bangsa terjajah, dan mendistorsi, menodai, dan menulis ulang masa lalu bangsa tersebut. Skripsi ini membahas orientalisme dan pengaruh poskolonialisme pada masyarakat bekas jajahan, khususnya Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelusuran literatur kepustakaan dari tema tersebut. Hasil penelitian memperlihatkan pengetahuan dan kekuasaan tidaklah terpisahkan. Siapa yang berpengetahuan dialah yang berkuasa, dan penguasa menciptakan kebenaran atas sebuah pengetahuan. Kami dan mereka adalah sebuah kata yang diwacanakan sang penguasa. Bahasa tidak lagi sebagai alat berkomunikasi tetapi sebagai alat menghegemoni.

At the beginning colonialism was the mastery of spices and agricultural products to enrich the invading country in expanding his power. In the next phase, colonialism is not only centered on the spices, rice, and sago, but also the mastery of society, or hegemony. The invaders did not just take the existing natural resources, but also establish the mindset of its human resources so that they can accept themselves as the inferior. Reversing past invaders colonized people, and distort, stain, and rewriting the history of the nation. This thesis discusses orientalism and post colonialism influence on the former colonies, especially Indonesia. This study uses literature source of the theme. The results show that knowledge and power are not separated. Those who have knowledge, they have power to lead. The sovereign has power to create the truth of knowledge. 'Us' and 'them' are words that discourse of the sovereign. Language is no longer as a means of communication but as hegemony."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42023
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Geger Riyanto
"This paper was written against a background of interest to trace the formation of sociological ways of thinking that tend to legitimize power in Indonesia. During the preparation, I found problems in the perspective commonly used in researching the formation process of knowledge; knowledge is considered a form of power. Such approach is problematic because it denies subjectivity ? which includes cognitive activity and experiences that are owned only by the existence of the related ? absolute in the process of both producing and reproducing knowledge. Yet this criticism isn?t easy to elaborate because the question is, how do we insert subjectivity when the origins of sociological thinking that we?re talking about is an effort to continue in a non-reflective way of sociology in the U.S. in the Cold War era, who?s way of thinking MENATURALISASI the existing social order and its ideology. Finally, I placed Selo Soemardjan ? a figure that became the center of this analysis because of his irreplaceable role in institutionalizing sociological ways of thinking (U.S.) in Indonesia ? as a translator. Quoting Bruno Latour?s view (1987), only with exploring the process of dissemination of knowledge as an activity of translation can we find energy that has been invisible all this time in a variety of knowledge analysises. For me, this concept helps reveal subjectivity that has been buried by views that place actors as passive mediums in the forming or spreading of knowledge that is more true or beneficial in preserving structure."
2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wilfridus B. Ellu
"Penelitian ini dilakukan untuk memahami peranan kuasa-pengetahuan dalam pengembangan atau transformasi menjadi learning organization (LO). Penelitian dilakukan dengan menganalisis peranan wacana birokrasi versus konsep LO dalam pengembangan ?governing ideas? (misi, nilai-nilai inti, visi), strategi, struktur dan budaya organisasi bisnis mikro BRI pada periode 1984 ? 2006, serta penerapan kedua wacana yang terimplikasikan pada subsistem orang-orang dalam proses tersebut. Penelitian kualitatif ini dirancang dengan menggunakan paradigma posmodernisme dan pendekatan berpikir sistem posmoderen. Penelitian dilakukan terhadap peristiwaperistiwa yang menunjukkan adanya kontradiksi atau ketegangan di antara wacana birokrasi dan wacana LO pada pengembangan keempat aspek dari organisasi bisnis mikro BRI, yaitu visi, strategi, struktur, dan budaya organisasi, serta pengembangan subsistem orang-orang sehubungan dengan proses pengorganisasian yang dilaksanakan. Analisis dilakukan dengan metode dekonstruksi. Hasil analisis menunjukkan adanya penerapan yang luas dari wacana pengetahuan lokal pada awal transformasi BRI Unit menjadi BRI Unit komersial atau perbankan pedesaan komersial. Dibandingkan dengan pengorganisasian sistem BRI dalam program BIMAS, pengorganisasian BRI Unit komersial mencerminkan kondisi LO sejati, yang ditandai dengan penerapan ?paradigma bisnis baru dan cara-cara kerja baru.? Meskipun begitu, beberapa cara kerja baru dipinjam atau diambil-alih dari konsep birokrasi, dan diterapkan dalam perancangan struktur organisasi dan proses pengembangan visi, strategi, dan budaya organisasi. Kohabitasi dari dua paradigma yang bertentangan ini pada akhirnya menghasilkan suatau organisasi bisnis mikro yang dapat dikategorikan sebagai ?organisasi memfrustrasikan.? Hal ini terjadi karena praktek-praktek sistem BRI Unit komersial yang berhasil kemudian dipatenkan. Bersamaan dengan itu, birokratisasi dalam pengorganisasian bisnis mikro, baik dari dalam BRI sendiri mupun karena tekanan regulasi perbankan yang mengacu standar-standar universal, mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Dominasi wacana birokrasi dan pemapanan keberhasilan masa lalu membuat kualitas pembelajaran organisasi dalam pengorganisasian bisnis mikro mengalami kemunduran, yaitu bergeser ke posisi organisasi memfrutrasikan. Lebih dari itu, organisasi bisnis mikro dan Bank BRI pada umumnya tidak berhasil mendekonstrtuksi paradigma perbankan pedesaan komersialnya ketika harus memasuki siklus perbankan mikro dalam pengertian baru. Dengan kata lain, akumulasi pengetahuan yang dimiliki tidak memungkinkan untuk dilakukan transformasi sosial dan organisasional yang diperlukan dalam era keuangan mikro. Meskipun begitu, praktek pengorganisasian bisnis mikro BRI, khususnya dalam kondisi krisis, mendemonstrasikan suatu tipe pembelajaran organisasi yang lebih maju dari tipe triple-loop learning, dan dapat disebut sebagi quatro-loop learning. Dalam tipe pembelajaran ini, kapabilitas kebijaksanaan merupakan tataran yang mendorong pengelolaan perbedaan-perbedaan paradigmatik melalui manajemen keberagaman (diversity management). Dengan demikian, penelitian ini menawarkan suatu model organisasi alternatif dari LO, yaitu model yang menempatkan kebijaksanaan atau kearifan?pengetahuan yang paling tinggi?sebagai pusat dan penggerak dari berbagai sub-sistem dan aspek LO. Dalam kerangka pengembangan dan pendayagunaan kebijaksanaan secara maksimal untuk mendukung pembelajaran organisasi dan pengembangan fungsi transformatif dari bisnis perbankan mikro BRI, disarankan agar Pimpinan BRI memberikan otonomi pengorganisasian yang lebih tinggi kepada organisasi bisnis mikro BRI. Dengan begitu, organisasi bisnis mikro dapat dengan lebih leluasa memajukan kapabilitas pembelajaran dan penciptaan pengetahuannya yang diperlukan bagi transformasi kemasyarakatan dalam kerangka perbaikan kehidupan bagi semakin banyak kalangan dari masyarakat melalui perwujudan misi dan visinya di bidang perbankan mikro. Dengan begitu, organisasi bisnis mikro dapat dengan lebih mudah meningkatkan kapabilitas dan otoritasnya dalam mendekonstruksi paradigma perbankan mikro secara terus-menerus sehingga mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, bahkan menjadi agen pembangunan atau transformasi masyarakat kebanyakan. Akhirnya, BRI mampu mempertahankan reputasinya di bidang perbankan mikro dengan bertumpu pada keunggulan kompetitifnya dalam pengembangan dan pendayagunaan pengetahuan lokal. Peningkatan otonomi organisasi bisnis mikro BRI dapat ditempuh melalui penyerahan semakin banyak wewenang kepada bisnis mikro, atau spin-off bisnis mikro dan pembentukan perusahaan induk (holding company) pada Bank BRI dimana bisnis mikro merupakan salah satu unitnya yang otonom. Dengan demikian, Bank BRI dapat mempertahankan keunggulan kompetitif dalam pelayanan perbankan mikro dan berkontribusi secara maksimal dalam memajukan perekonomian rakyat dan mendukung daya saing bangsa dalam masyarakat pengetahuan-global dengan berakar pada akar sejarah dan pengetahuan lokal.

This research aims at better understanding of the role of knowledge-power in organizational development or transformation into a learning organization (LO). The analysis puts concern on the role of the bureaucracy paradigm versus the learning organization concept in the development of the ?governing ideas? (mission, core values, and vision), strategy, organizational structure and culture in the period of 1984?2006, and the implied role of the two competing paradigms on the people subsystem in that processes. The research design assumes the postmodernism standpoint of view and applies the postmodern systems approach and qualitative style of research. The study investigates the role of the two competing paradigms in directing the organizing policies by scrutinizing the interplays and contradictions of the two paradigms in the organizational aspects and subsystems studied. The deconstruction or critical text analysis is applied as the main method of analysis. The research reveals that local knowledge as usually practiced in learning organizations was adopted in designing the governing ideas and the content of the organizational strategy and culture of BRI?s Micro Banking Business at the beginning of the transformation into a commercial rural banking in 1984. Compared to the organizing of BIMAS program, the organizing of BRI?s commercial Unit System at its early phase demonstrated the character of a genuine LO, in the sense of performing ?new thinking and new way of doing? commercial rural banking. Meanwhile, the role of bureaucracy paradigm was dominantly held in designing the organizational structure and also in the processes of developing the organizational vision, strategy, and culture. This co-habitation of the two contradictory paradigms eventually results in a retreat to a ?frustrating organization.? This tendency has been contributed by the fixation of the past successful practices along with the increase of bureaucratization in organizing BRI?s micro banking business that was caused by internally and externally imposed regulations. BRI?s micro banking system suffers learning disabilities that inhibits its ability to grow better in the new landscape of micro banking world. It fails in deconstructing its own paradigm on commercial rural banking and also in inventing the new ways in organizing micro banking business in the new context of micro banking. But in the major crises, some senior leaders of BRI practiced a higher type of organizational learning that can be typified as quatro-loop learning. In this type of organizational learning, the fourth loop is the deployment of wisdom in facing the diversity of paradigms. Based on this finding, the research comes out with an alternative model of organization of LO in which the virtue or the wisdom capability is deployed as the center and driver of all subsystems and aspects of organization and/or in organizing. In order to support the development and utilization of wisdom as the topmost level of knowledge in organizing BRI?s micro banking business, it is suggested that the BRI?s Micro Banking Business should be given more autonomy, either through providing greater decentralization or by splitting it up from BRI?s other businesses and positioning it as an autonomous unit along with other businesses of BRI?s holding company. By so doing, BRI can maintain its reputation and contribution in eradicating the poverty in the country and help the nation in building her competitive advantage in the global-knowledge society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D00738
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library