Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astari Puspita Sari
"Taekwondo merupakan salah satu representasi jenis cabang olah raga beladiri berasal dari Korea Selatan yang sudah dikenal dan tersebar di kalangan komunitas internasional. Seiring dengan perkembangan budaya popular Korea (Hallyu) yang di dalamnya meliputi film, drama TV, musik popular (K-pop), fashion, bahasa, dan makanan, hallyu memberi dampak positif terhadap popularitas beladiri Taekwondo sebagai bagian dari seni beladiri pertunjukan. Taekwondo tidak hanya dilihat sebagai jenis beladiri dan olahraga yang dipertandingkan, tetapi juga telah dijadikan sebagai seni pertunjukan da hiburan yang dapat dinikmati banyak orang. Seni pertunjukan Taekwondo ini dipopulerkan oleh salah satu tim Taekwondo di Korea yang bernama K-Tigers. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana tim K-tigers mengkomodifikasikan seni beladiri Taekwondo. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan menggunakan sumber-sumber data sekunder dan sumber-sumber daring (online) dengan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada tiga hal komodifikasi budaya dalam seni beladiri Taekwondo yang dilakukan oleh tim K-Tigers antara lain (1) Taekwondo dance; (2) Taekwondo dijadikan sebagai seni pertunjukan `K- Tigers Live Show`; dan (3) modifikasi baju Taekwondo (dobok) yang digunakan sebagai kostum pertunjukan.

Taekwondo is a representation of a type of martial arts branch from South Korea well known and spread among international community. Along with teh development of Korean popular culture (Hallyu) which includes films, TV dramas, popular music (K-pop), fashion, language, and food, Hallyu TEMPhas a positive impact on teh popularity of Taekwondo martial arts as part of martial arts performance. Taekwondo is not only seen as a type of martial arts and sports dat are contested, but also been used as a performance and entertainment art can be enjoyed by many people. Taekwondo performance art was popularized by one of teh Taekwondo teams in Korea called K-Tigers. Based on teh description above, dis study aims to analyze how Taekwondo martial art commodified by K-Tigers team. dis research uses library research methods using secondary data and online sources with qualitative descriptive analysis. Teh results of dis study indicate dat there are three things of cultural commodification of Taekwondo martial art by K-Tigers team, including (1) Taekwondo dance; (2) Taekwondo become performance art called `K- Tigers Live Show`; and (3) modification of Taekwondo clothes (dobok) used as performance costumes.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Putri Nurindra
"Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tren wellness lifestyles sebagai hasil dari komodifikasi budaya. Tren wellness lifestyle ini sedang banyak ditemui di kota-kota besar, khususnya DKI Jakarta dengan banyak munculnya studio wellness dan produk-produk wellness lainnya. Studi-studi terdahulu, melihat bahwa konsepsi wellness berasal dari budaya-budaya yang diadaptasi dan di reproduksi kembali menjadi sebuah gaya hidup baru. Selain itu, studi lainnya melihat bahwa wellness lifestyle merupakan cerminan dari budaya konsumsi di kalangan kelas menengah atas. Berangkat dari temuan dari penelitian terdahulu, penulis lebih lanjut melihat bahwa tren wellness lifestyle muncul karena ada konstruksi makna baru mengenai wellness yang tidak hanya sebagai praktik pencegahan penyakit, namun bisa digunakan untuk menunjukkan status seseorang melalui lifestyle yang dikonstruksikan oleh pelaku usaha wellness industry. Penulis berargumen bahwa terdapat praktik komodifikasi budaya dari aktivitas wellness yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan. Proses komodifikasi dilakukan dengan menanamkan konstruksi-konstruksi nilai tukar baru dalam wellness dengan melakukan penyebaran informasi melalui media sosial terhadap produk budaya wellness. Hal ini dilakukan dengan mereproduksi nilai dan simbol dari kegiatan wellness seperti yoga yang menjadi suatu komoditas baru dan dilanggengkan dalam bentuk gaya hidup seseorang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan bentuk-bentuk yang terdapat dalam komodifikasi wellness lifestyle serta proses komodifikasi budaya dalam tren wellness lifestyle. Hasil dari penelitian ini mengkonfirmasi argumentasi penelitian bahwa pelaku usaha melakukan berbagai usaha untuk mengkomodififikasi kegiatan wellness melalui bantuan peran media sosial dengan melakukan difusi dan defusi yang kemudian di bentuk menjadi suatu gaya hidup baru di masyarakat. Selain itu, para konsumen juga menjalankan gaya hidup wellness sebagai cerminan status dan posisi sosial mereka yang ditunjukkan melalui media sosial pribadi mereka.

This study aims to describe the trend of wellness lifestyles as a result from cultural commodification. This wellness lifestyle trend is being found in big cities, especially DKI Jakarta with the emergence of many wellness studios and other wellness products. Previous studies, saw that the conception of wellness came from indigenous cultures which were adapted and reproduced back into a new lifestyle. In addition, other studies see that the wellness lifestyle is a reflection of the consumption culture among the upper middle class. Departing from the findings of previous research, the author further sees that the wellness lifestyle trend arises because there is a new meaning construction regarding wellness which is not only a disease prevention practice but can be used to show one's status through a lifestyle constructed by wellness industry business actors. The author argues that there are cultural commodification practices of wellness activities carried out by business actors for profit. The process of commodification is carried out by embedding new exchange value constructs in wellness by disseminating information through social media on wellness cultural products. It’s done by reproducing the values and symbols of wellness activity like which become a new commodity and are perpetuated in the form of a person's lifestyle. This study uses a qualitative method to explain the aspects contained in the commodification of a wellness lifestyle and the process of cultural commodification in a wellness lifestyle trend. The results of this study confirm the research arguments that business actors make various efforts to commodify wellness activities through the help of the role of social media by doing diffusion and deffusion which are then shaped into a new lifestyle in society. In addition, consumers also live a wellness lifestyle as a reflection of their status and social position which is shown through their personal social media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prita Setya Maharani
"Banyak tradisi di Indonesia yang keberadaannya terancam oleh kapitalisme global dan paparan media, salah satunya tradisi Seren Taun di Kampung Urug. Seren Taun adalah ritual adat di Jawa Barat yang dilaksanakan setiap akhir panen. Ritual merupakan perwujudan rasa syukur kepada penguasa alam, terutama Dewi Sri yang diyakini sebagai Dewi Panen. Tesis ini akan menyoroti praktik komodifikasi Seren Taun di Kampung Urug yang digunakan untuk mengembangkan bisnis pariwisata di daerah tersebut. Studi ini juga akan membahas kompleksitas proses budaya, termasuk bagaimana aktor kebudayaan terlibat dalam pembangunan dan komersialisasi Kampung Urug. Penelitian ini juga menelisik keterlibatan tokoh-tokoh lokal maupun non-lokal dalam proses komodifikasi Kampung Urug. Wawancara mendalam dan observasi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi melalui etnografi. Selain itu, perspektif budaya juga dilibatkan untuk menggali secara kritis penggunaan budaya untuk kepentingan ekonomi. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa isu pembangunan negara dan peran publikasi media massa telah mengubah Kampung Urug dalam banyak aspek. Selain itu, strategi warga Kampung Urug dalam menghadapi industri pariwisata juga dipaparkan. Melalui penelitian ini, penulis menyarankan strategi alternatif yang dapat digunakan pemerintah untuk memajukan desa adat dengan mempertimbangkan perspektif budaya di wilayah yang bersangkutan.

Many villages in Indonesia are threatened by global capitalism and media exposure. The Seren Taun ritual in Kampung Urug is one of the most affected. Seren Taun is a traditional ritual in West Java that is carried out at the end of every harvest. The ritual is an expression of gratitude to the natural authorities, especially Dewi Sri who is believed to be the Harvest Goddess. This thesis will highlight the commodification of Seren Taun in Kampung Urug, which is used to develop tourism businesses in the area. The study will also discuss the complexity of cultural processes, including how cultural actors are involved in the development and commercialization of Kampung Urug. This research also investigates the involvement of local and non-local figures in the commodification process of Kampung Urug. Ethnography with in-depth interviews and field observations were conducted to collect data and information. A cultural perspective is also involved to explore critically how to use Urug's culture for economic purposes. The results of this study state that the issue of national development and the role of mass media publications have changed Kampung Urug in many aspects. Moreover, there is an explanation for Kampung Urugs resident strategy in dealing with the tourism industry. Through this research, the authors propose alternative strategies that can be used by the government to advance traditional villages by considering cultural perspectives in the area concerned."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Nadira Azzahra
"Komodifikasi adalah proses mengubah sesuatu yang sebelumnya tidak memiliki nilai ekonomis menjadi barang atau produk yang bisa dijual dan dikonsumsi secara massal. Museum dipilih sebagai fokus penelitian karena perannya dalam menyebarkan nilai-nilai budaya yang tak berwujud kepada publik, melalui penggunaan suvenir yang berfungsi sebagai media edukasi dan pelestarian budaya. Dalam era konsumerisme, suvenir yang dikurasi dengan baik tidak hanya memperpanjang pengalaman pengunjung tetapi juga membantu menyebarkan dan melestarikan budaya. Kajian dilakukan untuk menunjukkan pentingnya komodifikasi koleksi Museum Wayang Jakarta melalui suvenir yang bernarasi, yang mendukung pemahaman, apresiasi, dan pelestarian budaya wayang sebagai warisan Indonesia. Kajian mengevaluasi peran komodifikasi koleksi wayang untuk memperluas pembelajaran museum, menggunakan arkeologi teoritis sebagai panduan metodologi, pendekatan kualitatif dan arkeologi publik untuk pelestarian dan promosi budaya. Berpartisipasi dalam diskusi mengenai bagaimana komodifikasi budaya materi, yaitu koleksi museum dapat mendukung dan mempromosikan warisan budaya melalui studi kasus Museum Wayang Jakarta.

Commodification is the process of transforming something that previously had no economic value into goods or products that can be sold and consumed on a mass scale. Museums are chosen as the focus of research because of their role in disseminating intangible cultural values to the public through the use of souvenirs, which serve as educational and cultural preservation tools. In the era of consumerism, well-curated souvenirs not only extend the visitor experience but also help disseminate and preserve culture. This study highlights the importance of commodifying the Wayang Museum's collection through narrative souvenirs, which support understanding, appreciation, and preservation of wayang culture as an Indonesian heritage. The study evaluates the role of commodifying wayang collections to enhance museum learning, using theoretical archaeology as a methodological guide, and qualitative and public archaeology approaches for cultural preservation and promotion. Contributing to the discussion on how material culture commodification, specifically museum collections, can support and promote cultural heritage through a case study of the Museum Wayang Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcenda Pangestuti
"ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis komodifikasi upacara ruwatan rambut gimbal yang merupakan warisan budaya Dieng dalam festival tahunan kebudayaan masyarakat Dieng bernama Dieng Culture Festival (DCF) yang dimulai sejak tahun 2010 di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Seiring pesatnya perkembangan industri pariwisata budaya di Indonesia, upacara ruwatan rambut gimbal dikembangkan menjadi sebuah ?spectacle? (tontonan) yang bertujuan untuk menarik wisatawan. Upacara ruwatan yang bernilai sakral kini berubah menjadi sesuatu yang profan, dari tuntunan bergeser menjadi tontonan belaka sebagai dampak dari pengembangan pariwisata. Keistimewaan anak gimbal sebagai objek ruwatan tersebut kini dimaknai dan diperlakukan berbeda oleh pelaku wisata hingga pemerintah setempat. Proses komodifikasi dikuatkan melalui proses pemasaran melalui media online. Skripsi ini menggunakan konsep utama ?Spectacle? dari Guy Debord, dilengkapi dengan konsep komodifikasi dalam isu ekonomi politik pariwisata yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan kepariwisataan (tourism scholar)mulai dari Kevin Fox Gotham, Melanie K. Smith, dan John Urry. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya komodifikasi budaya upacara ruwatan rambut gimbal dalam Dieng Culture Festival yang berdampak terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat Dieng. Dampak sosial terkait dengan adanya ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat sebagai bentuk resistensi terhadap komersialisasi budaya. Sedangkan dampak kultural lebih terkait dengan isu keaslian (authenticity) budaya dimana dalam ruwatan festival terjadi beberapa pengubahan pelaksanaan ritual rambut gimbal yang dilakukan oleh penyelenggara Dieng Culture Festival.

ABSTRAK
This paper analyzes the commodification of dreadlocks hair children?s ritual ceremony in Dieng Culture Festival at the Dieng Plateau, Central Java. With the rapid development of cultural tourism industries, those ritual developed into a spectacle that aims to attract tourists in the annual cultural festival named Dieng Culture Festival which began in 2010. The sacred value of ritual now being transformed by the social actors, including Dieng Culture Festival organizer, local government with the use of online media into something profane. The dreadlock hair children as main objects of ritual now is being understood and treated differently. This paper uses the ?Spectacle? from Guy Debord as a main concept and concept of commodification in the political economy of tourism discussed and developed by three tourism scholar; Kevin Fox Gotham, Melanie Smith, and John Urry. The result indicates the existence of cultural commodification of dreadlocks hair children?s ritual ceremony in Dieng Culture Festival which is causes both social and cultural impact. The social impacts relate to the tensions between local people who confront with the rise and dominanve of tourism development within Dieng Culture Festivaland the cultural impact is focuson the issue of cultural authenticity because there are some increments and alterations of dreadlocks hair children?s ritual.
"
2016
S63604
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library