Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahmi Idris
"Disertasi ini menelaah tindak korupsi yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi keadilan sosial. Kontraktualisme dan konsep keadilan Rawls digunakan untuk menjelaskan permasalahan dalam membangun negara demokratis berkeadilan sosial. Peneliti berargumen bahwa karakteristik masyarakat Indonesia mampu menjelaskan mengapa pada masyarakat berkeadilan sosial, korupsi dapat terus terjadi. Menggunakan pemahaman evolusioner, antropologis, serta konsep-konsep dari penelitian terdahulu, peneliti merumuskan karakteristik khas masyarakat Indonesia. Peneliti menemukan bahwa karakteristik ini mencakup keberanian, afektivitas ekstrem, musyawarah mufakat, dan fleksibilitas ekonomi. Sementara itu, persepsi masyarakat terhadap keadilan sosial dan korupsi dibentuk oleh norma agama. Dengan menggunakan metode spiral hermeneutik untuk membangun koherensi dan korespondensi dari kerangka yang telah dikembangkan, pada langkah rekonstruksi, peneliti mengangkat kasus korupsi proyek KTP Elektronik dan suap pengurusan Dana Alokasi Khusus sebagai uji empiris. Selanjutnya, setelah kerangka berhasil dipertahankan, kerangka ini diuji kembali pada kasus pembelian suara pada pemilihan umum. Peneliti membandingkan model yang dirumuskan dengan model konsekuensialisme, etika kebajikan, dan etika Kantian, dan menunjukkan  kelebihan model yang dikembangkan dari model-model tersebut. Sebagai hasil akhir, peneliti mengemukakan solusi pada pemberantasan korupsi yang berbasis pada dua pendekatan yaitu pendekatan kultural dan pendekatan reflektif dialogis rasional. Kedua pendekatan ini dimanifestasikan ke dalam sejumlah panduan praktis pemberantasan korupsi di Indonesia pada aspek-aspek kultural pembentuk korupsi dan dibantu oleh infrastruktur sosioteknik seperti teknologi informasi dan pengembangan sumber daya manusia.
......This dissertation examines the problem of corruption that occurs in Indones of justice are used to explain the problems in building  democratic state with social justice. The researcher argues that the characteristics of Indonesian society are able to explain why in a socially just society, corruption can continue to emerge. Using evolutionary, anthropological, and conceptions from previous research, the researcher formulated the distinctive characteristics of Indonesian society. Researcher found that these characteristics include courage, extreme affective, deliberative consensus, and economic flexibility. Meanwhile, people's perceptions of social justice and corruption are shaped by religious norms. By using the hermeneutic spiral method to build coherence and correspondence from the framework that has been developed, in the reconstruction step, the researcher raises the corruption case of the Electronic KTP project and the bribery of the Special Allocation Fund management as an empirical test. Furthermore, after the framework has been successfully maintained, it is retested in the case of vote buying at the general election. Researcher compare the model formulated with the model of consequentialism, virtue ethics, and Kantian ethics, and show the advantages of the models developed from these models. As the final result, the researcher suggests a solution to eradicating corruption based on two approaches, a cultural approach and a rational dialogical reflective approach. Both are manifested in a number of practical guidelines on corruption eradication in Indonesia on the cultural aspects of corruption and are assisted by socio-technical infrastructure such as information technology and human resource development."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
St. Mahmud Syaukat
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti dan menemukan jawaban apakah Hak Guna Usaha yang diberikan di atas tanah ulayat memenuhi konsep keadilan dan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah “normative-empiris” yaitu dengan menganalisa aturan perundang-undangan yang ada, kemudian mengujinya dengan praktek empiris yang peneliti temukan di lapangan. Tekhnik pendekatan yang peneliti lakukanya itu kualitatif dengan melakukan wawancara yang mendalam dengan responden yang ada di lapangan. Dari hasil penelitian baik penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan, dapat dideskripsikan sebagaimana di bawah ini:
Salah satu tujaun Undang-Undang No.5 Tahun 1960, tentang Undang-Undang Pokok Agraria atau yang sering disingkat UUPA adalah “meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, UUPA telah menyusun pokok-pokok aturan yang menyangkut bumi, air, dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikelompokkan kedalam 8 (delapan) asas yang peneliti sebut sebagai 8 (delapan) asas UUPA yakni : 1) Asas Kebangsaan, 2) Asas Kekuasaan Negara, 3) Asas Pengakuan atas Hak Ulayat, 4) Asas Fungsisosial, 5) Asas kewarganegaraan, 6) Asas Kesetaraan dan Perlindungan, 7) Asas Landreform, 8) Asas Rencana Umum.
Berdasarkan asas Kekuasaan Negara, ditetapkan hak-hak atas tanah yaitu sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 16. Salah satu hak atas tanah tersebut adalah Hak guna Usaha (HGU). HGU ini adalah salah satu dari hak yang tidak berdasarkan sistematik hukum adat disamping Hak guna Bangunan (HGB), namun menurut penjelasannya, hak ini diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern saat ini Sesuai dengan pasal 28 ayat (1) UUPA, HGU merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.Sungguh pun begitu, UUPA member peluang untuk memberikan Tanah Ulayat sebagai obyekdari HGU tersebut.
Sementara, UUPA juga memberikan pengakuan kepada Tanah Ulayat sebagai hak dari masyarakat hukum adat, dengan persyaratan sepanjang masih ada dan sesuai dengan kepentingan nasional. Persyaratan tersebut membuat posisi Tanah Ulayat menjadi dilematis, dimana pada satu sisi diakui keberadaannya, dan di sisi lain, harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu terhadap pengakuannya. Oleh karena itu, dalam prakteknya, justru “Tanah Ulayat” sangat banyak menjadi obyek HGU dan tidak jarang menimbulkan konflik. Cara-cara penyerahan Tanah Ulayat menjadi obyek HGU ada tiga macam yaitu: 1) Diserahkan secara sukarela, 2) Pengebirian UUPA oleh undang-undang lain, dan 3) Alasan kepentingan umum.
Ketiga bentuk penyerahan tersebut sama-sama berpotensi menimbulkan konflik baik konflik vertical maupun konflik horizontal. Penyerahan Tanah Ulayat sebagai obyek HGU, telah menyebabkan terjadinya penguasaan tidak terkendali terhadap tanah masyarakat adat tersebut, meskipun pada kenyataannya, Indonesia menjadi negara yang memilki perkebunan kelapa sawit terluas di dunia, yang mencapai 9 juta hektar.Namun di balik itu, suatu hal yang ironis, keadilan dan kemakmuran sebagaimana yang menjadi tujuan UUPA tidak terwujud, bahkan sebaliknya ketidakadilan dan kemiskinan telah menjadi langganan yang abadi bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Hal tersebut dikarenakan terkosentrasinya penguasaan tanah kepada segelintir orang yang mempunyai modal, sementara program “landreform” yang merupakan salah satu asas dari UUPA dan yang diharapkan akan membawa keadilan dan kemakmuran tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Hasil penelitian lapangan yang peneliti lakukan menujukan bahwa, penguasaan tanah ulayat oleh pemegang HGU, hanya menguntungkan pemegang HGU tersebut, sementara penghasilan yang diperoleh petani yang berstatus petani plasma tidak lebih dari penghasilan buruh tani. Meskipun diakui, penghasilan tersebut bersifat tetap dan menjamin kelangsungan hidup petani tersebut. Namun, secara hakikat, jauh dari apa yang disebut "Sejahtera".
......The aim of this research is to examine and find answer whether a given leasehold on communal lands meet the concept of the justice and the greatest prosperity for the people. The technique used is a qualitative approach by conducting a depth interview with some respondents in place of research. The method used in this research is a normative- empirical by analyzing the rules and the regulation that exist, then test it with empirical practice that researcher has found in the research. The result of this research can be described as follow :
One of the purposes of the Act No.5 of 1960( herein after refer to as UUPA) is lying the groundwork for the preparation of National Agrarian Law would be an instrument to bring prosperity, the happiness, and justice for the people and nation mainly peasant society in the framework a fair and prosperous society.
To achieve the goals, UUPA has made the points rule concerning the earth, water and air space are grouped into eight principles that researchers refer to as the eight principles of UUPA namely: 1) The principle of Nationality, 2) The principle of State authority, 3) The principle of recognition of customary right, 4) The principle of social functions, 5) The principle of citizenship, 6) The principle of equality and protection, 7) The principle of land reform, 8) The principle of general plan.
Base on the principle of State authority, set the right on land namely as set in the article 16 of UUPA. One of the rights is “ leasehold” (herein after refer to as HGU). It is one of right on land which is not based on customary law. Another is building rights. But in the general explanation of UUPA, this right is made to meet the requirement of today’s modern society.
In accordance with article 28 paragraph 1 of UUPA, HGU is the right to manage the land owned directly by the state. Even though so, UUPA provide an opportunity to give Customary Land as the object of HGU. While UUPA also give recognition to Customary Land as the right of the indigenous community with conditions as long as still there and in accordance with national interest. The requirement has made the right to cultivate in a dilemma as on the one hand UUPA acknowledge its existence but in the other hand it must fulfill a certain requirement to be recognized. In practice, even the most communal lands become the object of HGU and often cause conflict with indigenous people. There are three kinds of hand over the customary land to HGU applicant. 1) Voluntary surrender, 2) Castration of UUPA by other Law, 3) The reason public interest.
The third form submission have the same potential for conflict both vertical and horizontal conflict. Submission of communal lands as an object of HGU has resulted in uncontrolled possession of the lands of the indigenous people. Even in fact, Indonesia become the largest palm oil production countries in the world achieving 9 billion hectare. However, an ironic thing, justice and prosperity as the main goal of UUPA is not realized. On the contrary, injustice and poverty have become immortal subscription to the people and the nation of Indonesia. It because the concentration of land ownership to a handful of people who have capital. While landrefom program as one of the principles in the UUPA and expected to bring justice and prosperity not working properly.
The result of research indicate that the lease hold on communal land will only benefit that concession holder of HGU. Meanwhile the income of small holder farmaer as nothing more than a hodge income. Although admittedly, the income is fixed and ensure the survival of the farmers. But in nature, away from the so-called prosperous."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39031
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library