Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S7232
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ilham Bustari
"Skripsi ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan korban perkosaan guna memposisikan dan mengakamodasi perlindungan terhadap para korban tersebut. Peneliti melakukan analisis terhadap hukum adat Nagari Lunang terkait perlindungan terhadap korban perkosaan. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berperspektif sosio-legal dengan melakukan analisis terhadap aturan terkait perlindungan korban perkosaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang pengesahan CEDAW, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta dengan pengumpulan data yang dilakukan dengan beberapa cara, yaitu pengamatan, wawancara secara mendalam dengan bantuan instrumen berupa pedoman wawancara, dan dokumentasi dalam rangka mengungkapkan gejala-gejala dalam kehidupan di masyarakat seperti yang dipersepsikan oleh warga masyarakat Nagari Lunang tentang kondisi mereka sendiri. Perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan baik secara yuridis maupun non-yuridis merupakan hal yang penting guna menjamin tegaknya rasa keadilan dalam masyarakat. Namun, hingga saat ini, perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan masih sangat minim, seperti yang ditunjukkan dari kurangnya komitmen negara dalam melindungi mereka. Untuk mewujudkan perlindungan yang dimaksudkan tersebut maka dibutuhkan suatu instrumen hukum yang dapat mengakamodir hak-hak perempuan atas kebenaran, keadilan dan pemulihannya secara utuh menyeluruh.

This undergraduate thesis aims to analyze the laws and regulations in Indonesia relating to rape victims to positioning and accommodate the protection of these victims. Researchers conducted an analysis of the customary law of Nagari Lunang related to the protection of rape victims. The method used in this study is a socio-legal perspective by analyzing the rules relating to the protection of rape victims regulated in Law Number 7 of 1984 concerning the ratification of CEDAW, Criminal Law Book, and Law Number 13 Year 2006 concerning Protection of Witnesses and Victims, as well as by collecting data carried out in several ways, namely observation, in-depth interviews with the help of instruments in the form of interview guidelines, and documentation in order to express symptoms in life in the community as perceived by residents of Nagari Lunang about their own condition. Protection of women victims of rape both legally and non-legally is important to ensure the upholding of a sense of justice in society. However, until now, the protection of women victims of violence is still very minimal, as shown by the lack of state commitment to protect them. To realize the intended protection, a legal instrument is needed that can fully accommodate the rights of women to truth, justice, and its full recovery."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amsori
"Ganti kerugian bagi korban perkosaan merupakan salah satu pemenuhan/perwujudan dari hak asasi manusia dan perlindungan hukum. Arti penting pemberian ganti kerugian bagi korban perkosaan juga mengingat bahwa pada umumnya mereka (korban) berasal dari golongan yang lemah mental, fisik dan sosial. Ilmu yang mengkaji permasalahan korban adalah viktimologi. Pandangan-pandangan ajaran viktimologi perlu mendapat perhatian dari para pihak yang terlibat baik dalam sistem dan proses peradilan pidana maupun perdata yaitu, polisi, jaksa penuntut umum, hakim dan advokat, karena dengan adanya persamaan pandangan tentang kepentingan korban dan keinginan untuk memperjuangkannya, akan dapat mewujudkan pemenuhan pemberian ganti kerugian tersebut. Adapun bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada korban dapat berupa kompensasi (pemberian ganti kerugian yang dilakukan oleh pemerintah) dan restitusi (pemberian ganti kerugian yang dilakukan oleh pelaku). Dalam kenyataan praktik peradilan masih jarang korban perkosaan mengajukan permohonan ganti kerugian disebabkan karena tidak tahu akan haknya, tidak tahu prosedur hukum, karena malu dan berbagai faktor lain. Pemberian ganti kerugian dalam perkara pidana telah diatur dalam Pasal 98 KW-1AP mengenai penggabungan gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana. Meskipun KUHAP telah memungkinkan bagi korban perkosaan untuk mengajukan ganti kerugian dengan penggabungan perkara, namun ada diantaranya yang mengajukan permohonan ganti kerugian melalui gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata karena dianggap prosesnya sering lambat dan hanya dapat diberikan berupa ganti kerugian materil. Mengingat perlunya ganti kerugian bagi korban perkosaan, seyogianya KUHAP perlu disempurnakan, sehingga ada landasan yuridis yang kuat untuk memperjuangkan hal tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16426
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi
"Skripsi ini membahas mengenai kontribusi hukum pidana Islam dalam pembaharuan ketentuan perlindungan korban perkosaan di dalam hukum pidana nasional Indonesia. Bentuk penelitian dalam karya tulis ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Latar belakang dalam penulisan karya tulis ini adalah melihat ketentuan hukum pidana Indonesia terkait perkosaan yang selama ini diatur dalam Pasal 285 KUHP, hanya memberikan sanksi kepada pelaku berupa pidana penjara maksimal 12 tahun. Ironinya perlindungan terhadap korban perkosaan sama sekali tidak diakomodir dalam ketentuan tersebut, padahal dampak negatif yang diderita oleh korban mencakup banyak hal di antaranya berupa kerugian fisik dan psikis. Di sisi lain, hukum pidana Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah memiliki ketentuan hukum yang komprehensif terkait delik perkosaan, yaitu berupa hukuman had zina bagi pelaku perkosaan dan sistem perlindungan bagi korban. Ketentuan hukum pidana Islam tersebut dapat diimplementasikan ke dalam RUU KUHP Indonesia mengingat ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 yaitu "Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara", dengan sila pertamanya yaitu "Ketuhanan yang Maha Esa". Demikian kesimpulan dari penelitian ini adalah untuk menjamin perlindungan hak-hak korban perkosaan perlu dilakukan pembaharuan ketentuan yang ada, yang dapat mengadopsi dari ketentuan hukum pidana Islam.

This thesis discusses the contribution of Islamic criminal law in the law reform of rape victim protection in Indonesian national criminal law. This is a legal normative research that use a qualitative approach. Indonesian criminal law provisions in Article 285 of the Criminal Code, only impose sanctions on the perpetrators in the form of imprisonment for a maximum of 12 years. The irony is the rape victim protection did not accommodated on the provisions, whereas the negative impact suffered by the victims include many things (ie. physical and psychological damages). On the other hand, Islamic criminal law that comes from al-Quran and as-Sunnah have a comprehensive legal provisions related to the offense of rape and protection system to the victims. Islamic criminal law provisions can be implemented into Indonesian Law. It is based on provision of Article 2 of Law No. 12 of 2011: "Pancasila is the source of all laws of the country", where the first principle is "Ketuhanan Yang Maha Esa". The conclusion is to ensure the protection of the rights of rape victims, it need to have a law reform due to the existing provisions that could adopt from the Islamic Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64890
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vrisca Asmara
"

Tesis ini membahas pengaturan perlindungan anak korban perkosaan (statutory rape) di peraturan perundang-undangan Indonesia yang pada saat ini masih mengatur tentang pengertian dan bentuk-bentuk tindak pidana perkosaan secara sempit. Serta penelitian ini juga melakukan studi perbandingan tentang pengaturan perlindungan anak korban perkosaan dengan Negara Filipina, Inggris dan Malaysia. Selain itu, dalam penelitian ini peneliti  juga melakukan analisa terhadap beberapa putusan pengadilan untuk melihat bagaimana peranan Hakim dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban perkosaan. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dan pendekatan perbandingan dengan mekanisme wawancara, dimana peneliti menganalisa Peraturan Perundang-Uundangan yang dikaitkan sejauh mana peraturan tersebut diterapkan dan berlaku di masyarakat. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Peraturan Perundang-Undangan tentang tindak pidana perkosaan di Indonesia yang berlaku saat ini belum memiliki pengaturan khusus dan masih mengatur secara sempit dari segi pengertian dan bentuk-bentuk tindak pidana perkosaan. Selain itu, terdapat beberapa perbedaan dalam pengaturan terkait tindak pidana perkosaan di Negara Indonesia dengan Negara Filipina, Inggris dan Malaysia. Serta perbedaan penjatuhan hukuman terhadap kasus perkosaan yang dilakukan dengan sukarela (statutory rape) dengan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh keluarga terdekat anak korban.


This thesis discusses the regulation of the protection of child victims of rape (statutory rape) Indonesian legislation, which currently still regulates the definition and forms of criminal acts of rape in a narrow manner. As well as this study also conducted a comperative study of the regulation of the protection of child rape victims with Phillipine, British and Malaysian countries. Futhermore, in this study researchers also conducted an analysis of several court decisions to see how the role of the Judge in providing protection for children who were victims of rape. This study is study a normative juridicial and comparative approach to the interview mechanism. Where the researcher analyzes the laws and regulations that are related to the extent to wich the regulation is applied and apllies in the community. The results of the study reveal that the current legislation concerning the rape crime in Indonesia does not yet have a specific regulation and still regulates narrowly in terms of understanding and forms of rape. Furthermore, there are some differences in the regulation regarding the crime of rape in the state of Indonesia with the Philippines, Britain and Malaysia. And the difference in the imposition of penalties for rape cases carried out voluntarily (statutory rape) with criminal acts of rape carried out by the immediate family of the victim’s child.

"
2019
T53119
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawati Puteri
"Skripsi ini menganalisis Putusan No. 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn yang
menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara kepada korban perkosaan yang melakukan aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Hakim yang mengadili perkara tidak cukup memperhitungkan bahwa, korban adalah seorang anak, mengalami kehamilan akibat perkosaan inses, dan tidak dapat mengakses aborsi yang legal karena keterbatasan pengetahuan dan sumber daya. Hakim hanya menggunakan
batu uji berupa ketentuan prosedural mengenai aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan turunannya. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah posisi perempuan korban perkosaan dalam pengaturan aborsi di Indonesia dan implikasinya dari perspektif teori hukum feminis. Penulis menggunakan metode normatif empiris dan teori hukum feminis
dengan konsekuensi metodologis melihat permasalahan ini dari perspektif perempuan. Korban perkosaan terbentur kebuntuan legalitas formal untuk dapat mengakses aborsi yang aman. Korban perkosaan memiliki kecenderungan mengalami trauma pasca perkosaan sehingga sulit berinteraksi dan melaporkan perkosaan yang terjadi, cenderung tidak mengetahui gejala dan usia kehamilan, sehingga terlambat melakukan visum et repertum dan laporan yang dibutuhkan. Selain itu, fenomena victim blaming meletakkan kehamilan akibat perkosaan
sebagai takdir yang harus dijalani dan dipertanggungjawabkan oleh korban. Berdasarkan hasil penelitian, pengaturan tentang aborsi di Indonesia belum dapat mengakomodasi kebutuhan dan pengalaman korban perkosaan. Terdapat batas usia kehamilan dan persyaratan birokratis untuk dapat melakukan aborsi. Selain itu, belum terdapat rumah sakit yang dapat menyelenggarakan aborsi secara legal. Sehingga diperlukan perubahan pengaturan usia kehamilan, pemangkasan prosedur birokratis, dan penetapan rumah sakit tertentu sebagai penyelenggara fasilitas layanan kesehatan yang dapat melakukan aborsi secara sehat, aman, dan legal.
This thesis analyzes Decision No. 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn which gave 6 months imprisonment for a victim of rape who had an abortion that was not in accordance with prevailing laws. The Panel of Judges have failed to consider the facts that she is a child who had a pregnancy due to incest rapes and she could not access legal and safe abortion since she had limited knowledge and resources. The Panel of Judges limitedly used the formality and procedural provisions regarding
abortion as regulated in Law Number 36 of 2009 on Health and its derivative regulations. The main problem in this thesis is the position of women rape victim in the regulation of abortion in Indonesia and its implications from feminist legal theory perspective. The author uses empirical normative method and feminist legal theory by looking at this problem from women's perspective as the methodological consequence. Rape victim is hampered by a formal legality impasse to be able to
access safe abortion. In fact, rape victim has a tendency to experience trauma after the rape. Rape victim is often founded to be difficult to interact with. It is hard for a rape victim to report the rape that has been occured, the rape victim tend to not aware of the symptoms and age of pregnancy, therefore it is often too late to conduct visum et repertum and reports as required. In addition, the phenomenon of victim
blaming puts pregnancy due to rape as a destiny that must be accounted by the victim. Those whole things lead the victim to experience re-victimization and obstacles in proving the crime of rape that has befallen her. Research results find that, regulations of abortion in Indonesia have not been able to accommodate the needs and experience of rape victim. There are limitation based on age of
pregnancy and bureaucratic requirements to be able to conduct an abortion. In addition, there has been no hospital yet that can carry out legal abortion. It is necessary to amend the age of pregnancy limitation, trim the bureaucratic procedures, and establish certain hospitals as health services providers that can conduct healthy, safe, and legal abortion."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Oktaviani
"Viktimisasi Sekunder merupakan suatu proses dimana korban mengalami kembali proses menjadi korban ketika bersentuhan dengan sistem peradilan pidana (formal) dan masyarakat (informal). Penulisan ini bertujuan untuk melihat pengalaman viktimisasi sekunder perempuan korban perkosaan, dampaknya terhadap korban, dan bagaimana viktimisasi sekunder tersebut bisa terjadi, yang direpresentasikan dalam serial Netflix Unbelievable. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan metode analisis isi kualitatif dalam menganalisis serial tersebut yang terdiri dari 8 episode. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan korban perkosaan telah mengalami pengalaman buruk seperti dieksklusikan dari hukum, diragukan dan dipertanyakan kredibilitasnya, tidak dipercaya, direndahkan, diintimidasi, diancam, dan dipaksa mengakui bahwa ia berbohong. Pengalaman tersebut merupakan bentuk dari viktimisasi sekunder yang kemudian membuat korban mengalami berbagai dampak negatif dalam hal psikologis, relasional, dan finansial. Viktimisasi sekunder yang dialami korban terjadi karena adanya penerimaan rape myth yang menganggap perempuan berbohong terkait perkosaan yang dialaminya (she lied). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa serial ini telah mematahkan rape myth lainnya yang meliputi perempuan ingin diperkosa dan menikmatinya (she enjoy rape); dan perempuan memprovokasi perkosaan melalui pakaian dan perilaku mereka (she asked to be raped). Pada akhirnya, analisis juga menunjukkan bahwa akar dari segala penderitaan perempuan korban perkosaan adalah patriarki yang sudah melembaga dalam setiap aspek kehidupan.

Secondary Victimization is a process where victims experience the process of being victims again when they come into contact with the criminal justice system (formal) and society (informal). This writing aims to look at the experience of secondary victimization of rape victims, their impact on victims, and how this secondary victimization can occur, which is represented in the Netflix series Unbelievable. This writing uses radical feminist theory and qualitative content analysis methods in analyzing the series which consists of 8 episodes. The results of the analysis show that women victims of rape have experienced bad experiences such as being excluded from the law, doubting and having their credibility questioned, distrusted, humiliated, intimidated, threatened, and forced to admit that they lied. This experience is a form of secondary victimization which then makes the victim experience various negative impacts in terms of psychological, relational, and financial. The secondary victimization experienced by the victim occurs because of the acceptance of the rape myth which assumes that women lied about the rape they experienced. The results of the analysis also show that this series has broken other rape myths which include women enjoying rape; and women asked to be raped. In the end, the analysis also shows that the root of all the suffering of women victims of rape is patriarchy which has been institutionalized in every aspect of life."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adine Berlianti
"Pemberitaan tentang anak laki-laki yang menjadi korban perkosaan seringkali mendapat tanggapan buruk oleh pembaca berupa komentar negatif. Hal tersebut dapat disebut sebagai secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Munculnya tanggapan tersebut berhubungan dengan upaya patriarki untuk menegakkan mitos tentang perkosaan laki-laki di masyarakat atau disebut male rape myth. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan konsep male rape myth dari Turchik dan mengelaborasinya dengan konsep secondary victimization dari Tavares. Data yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini diperoleh dari kolom komentar pada dua pemberitaan di media massa online TribunNews, dan dianalisis menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa komentar buruk yang diberikan masyarakat merupakan bentuk secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Komentar buruk tersebut muncul karena adanya upaya untuk menegakkan male rape myth dalam masyarakat patriarki. Pemberitaan tentang anak laki-laki yang menjadi korban perkosaan seringkali mendapat tanggapan buruk oleh pembaca berupa komentar negatif. Hal tersebut dapat disebut sebagai secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Munculnya tanggapan tersebut berhubungan dengan upaya patriarki untuk menegakkan mitos tentang perkosaan laki-laki di masyarakat atau disebut male rape myth. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan konsep male rape myth dari Turchik dan mengelaborasinya dengan konsep secondary victimization dari Tavares. Data yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini diperoleh dari kolom komentar pada dua pemberitaan di media massa online TribunNews, dan dianalisis menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa komentar buruk yang diberikan masyarakat merupakan bentuk secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Komentar buruk tersebut muncul karena adanya upaya untuk menegakkan male rape myth dalam masyarakat patriarki.

News about boy being a victim of rape is often get bad responses from readers in the form of negative comments. This can be referred as secondary victimization towards boy victim of rape. The emerge of these responses is related to patriarchal efforts to enforce false beliefs about male rape in society known as male rape myth. To explain this, the authors uses Turchik’s male rape myth concept and elaborates it with Tavares’ concept of secondary victimization. The data used to explain this phenomenon were obtained from the comments column on two news reports in the online mass media TribunNews, and analyzed using qualitative content analysis methods. The results of the analysis show that bad comments that given by the community are form of secondary victimization towards boy victim of rape. These bad comments arise because of efforts to enforce male rape myth in patriarchal society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library