Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indrianita Melissa Purnamasari
"Penelitian hukum ini membahas mengenai urgensi penghapusan bank sebagai kreditor separatis pada proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau Pailit debitor-nya, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, serta membahas mengenai bagaimana implikasi dari adanya penghapusan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian normative yuridis dengan bentuk preskriptif, karena penelitian ini akan membahas mengenai permasalahan bank sebagai kreditor separatis dalam proses PKPU dan Kepailitan, sehingga akan memberikan saran dan solusi dari permasalahan yang dibahas. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa urgensi dari dilakukannya penghapusan bank sebagai kreditor separatis dalam proses PKPU dan pailit karena begitu banyak permasalahan dan kendala yang dihadapi bank sebagai kreditor separatis serta hak bank sebagai kreditor separatis yang telah dilindungi oleh KHUPerdata dan juga undang-undang tentang hak jaminan kebendaan lain bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, sehingga perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Selain itu Implikasi dari adanya penghapusan bank sebagai kreditor separatis memberikan dampak bagi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU sendiri, kreditor lain debitor, pengurus/curator, dan juga bundle pailit.

This legal research discusses the urgency of the elimination of banks as separatist creditors in the process of Postponing Debt Payment Obligations or Bankruptcy of their debtors, which is regulated in Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU. And also discusses the implications of elimination of the bank. This research is a normative juridical research with a prescriptive form, because this research will discuss the problems of banks as separatist creditors in the PKPU and Bankruptcy process, so will provide suggestions and solutions to the problems. The results of this research is indicate that the urgency of the elimination of banks as separatist creditors in the PKPU and bankruptcy process is because there are so many problems and obstacles faced by banks as separatist creditors and the rights of banks as separatist creditors which have been protected by the Civil Code and also the law on property security rights are contrary to Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU. So it is necessary to amend Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU. In addition, the implication of the abolition of banks as separatist creditors has an impact on Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU itself, other creditors, debtors, administrators/curators, and also the bankruptcy bundle. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anugrah Trinanto
"ABSTRAK
Pada kasus Putusan No. 68/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 1 November 2010
oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, PT. Texplastindo Kemas Industry melakukan Perjanjian
Kredit dengan Bank BNI, namun ternyata Objek Jaminan Fidusia Perjanjian Kredit tersebut
ternyata disewakan kepada PT. Inti Abadi Karya tanpa sepengetahuan Bank BNI. Sehingga
timbul permasalahan bagaimana status hukum objek jaminan fidusia Bank BNI dalam
kepailitan PT. Texplastindo Kemas Industry, serta Bagaimana upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh Bank BNI terhadap objek jaminan fidusianya tersebut. Dengan kesimpulan :
Pertama, status hukum objek jaminan fidusia adalah Bank BNI tetap berstatus jaminan atas
hutang PT. Texplastindo Kemas Industry dengan hak yang diutamakan daripada hak krediturkreditur
lainnya, namun didalamnya terdapat pula hak pengembalian harga sewa yang sudah
dibayarkan namun belum dinikmati oleh PT. Inti Abadi Karya. Kedua, upaya hukum Bank
BNI adalah mendaftarkan hutang dengan mencantumkan hak istimewanya (jaminan fidusia),
untuk kemudian melakukan eksekusi sebagaimana layaknya tidak terjadi kepailitan (sebagai
kreditur separatis), dan melaporkan debitur atas pelanggaran Pasal 36 Undang-Undang
Jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999, serta pengajuan sebagai kreditur konkuren dalam hal
jumlah hutang lebih besar nilainya daripada nilai objek jaminan fidusianya. Saran didalam
penelitian ini adalah harus adanya harmonisasi Undang-Undang Jaminan Fidusia dengan
Undang-Undang Kepailitan, serta efektifitas instansi pelaksana eksekusi jaminan.

Abstract
At the Ba;nkruptcy case of Decision No. 68/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst dated
November 1, 2010, by the Commercial Court of Central Jakarta, in which PT. Texplastindo
Kemas Industry entered into Loan Agreement with Bank BNI, however, it turned out that the
Object of the Fiduciary Security in order to secure the Loan Agreement has been leased to
PT. Inti Abadi Karya without the consent of Bank BNI. Therefore, the issues in this research
are regarding the legal status of the object of fiduciary security of Bank BNI in the
bankruptcy of PT. Texplastindo Kemas Industry, and what are the legal efforts which can be
taken by Bank BNI against the object of its fiduciary security. With the conclusion: Firstly,
the legal status of object of fiduciary security remains under the entitlement of Bank BNI as
the beneficiary of fiduciary securities of PT. Texplastindo Kemas Industry as the collateral of
the debt of PT. Texplastindo Kemas Industry with the right of preference over other creditors,
however, in it there is also the right over the recovery of rental which has been paid that has
not yet been enjoyed by PT. Inti Abadi Karya. Secondly, the legal effort of Bank BNI is to
register the debt by stating its right of preference (fiduciary security), to be then executed
accordingly in the case of bankruptcy (as creditor with preferred right), and report the debtor
for the violation of Article 36 of Fiduciary Security Law No. 42 of the year 1999, as well as
the filing of petition as concurrent creditor in the event that the amount of the debt is greater
than the value of the object of the fiduciary security. Advices in this research are that there
should be a harmony between the Fiduciary Security Law and the Bankruptcy Law, as well as
there should be effective institution as the executor of the security."
2011
T31554
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Diaz Herlambang
"Kemajuan ekonomi suatu negara khususnya Indonesia bersamaan dengan kelancaran pembiayaan untuk pembangunan perusahaan. Mekanisme pembiayaan atau kredit dapat mendukung kegiatan usaha debitur dan menambah nilai aset milik kreditur. Kegiatan pembiayaan tersebut dapat menggunakan jaminan seperti jaminan fidusia untuk pelaksanaan perjanjian. Akan tetapi, terdapat potensi debitur mengalami kepailitan atau likuidasi pada pertengahan pelaksanaan perjanjian. Tulisan ini akan membahas mengenai posisi kreditur pemegang jaminan tersebut ketika debitur mengalami kepailitan. Penulisan ini akan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pada dasarnya, kreditur pemegang jaminan fidusia memiliki hak untuk mendahului dalam melaksanakan eksekusi ketika debitur mengalami kepailitan. Akan tetapi, terdapat beberapa kondisi yang tidak memperbolehkan kreditur tersebut untuk melaksanakan eksekusi. Apabila kreditur tetap melaksanakan eksekusi dan menyalahi peraturan, maka akan berlaku suatu kondisi actio pauliana. Kondisi tersebut menyebabkan gugatan untuk membatalkan tindakan kreditur dapat dilakukan. Dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan yang berlaku di Indonesia, terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan larangan melakukan eksekusi oleh kreditur separatis. Kondisi tersebut adalah jangka waktu satu tahun sebelum pernyataan pailit dan masa penangguhan setelah pernyataan pailit selama 90 hari. Terdapat kasus berupa gugatan actio pauliana oleh kurator terhadap Mandiri Tunas Finance yang bertujuan untuk membatalkan eksekusi jaminan oleh kreditur. Berdasarkan pengamatan kasus, terdapat alasan dibalik eksekusi yang telah dilakukan karena pemenuhan perjanjian antara Mandiri Tunas Finance dan debitur pailit. Kedudukan kreditur separatis dalam kasus kepailitan belum tentu dapat melakukan eksekusi dengan hak mendahului yang dimiliki. Terdapat beberapa kondisi seperti satu tahun sebelum pernyataan pailit dan masa penangguhan untuk dapat melakukan eksekusi jaminan. Selain itu, kurator dalam mengurus harta milik debitur pailit perlu mengetahui status kejelasan dari masing-masing harta tersebut. Mandiri Tunas Finance dalam analisis kasus tidak dapat terbukti telah melakukan tindakan actio pauliana. Oleh karena itu, adanya gugatan yang diajukan oleh kurator dianggap telah merugikan baik bagi kurator sendiri, tergugat, serta para turut tergugat lainnya yang telah memenangkan lelang hasil eksekusi.

The economic progress of a country, especially Indonesia, coincides with the smooth financing for company development. A financing or credit mechanism can support the debtor's business activities and increase the value of the creditor's assets. These financing activities can use collateral such as fiduciary guarantees for the implementation of the agreement. However, there is a potential for the debtor to experience bankruptcy or liquidation in the middle of the implementation of the agreement. This paper will discuss the position of the creditor holding such collateral when the debtor experiences bankruptcy. This writing will use doctrinal research methods. Basically, the creditor holding the fiduciary guarantee has the right to precede in carrying out execution when the debtor experiences bankruptcy. However, there are several conditions that do not allow the creditor to carry out the execution. If the creditor still carries out the execution and violates the regulations, an actio pauliana condition will apply. This condition causes a lawsuit to cancel the creditor's action to be carried out. In the Law on Bankruptcy applicable in Indonesia, there are several conditions that can lead to a prohibition on execution by a secessionist creditor. These conditions are a period of one year before the bankruptcy declaration and a suspension period after the bankruptcy declaration for 90 days. There is a case of an actio pauliana lawsuit by the curator against Mandiri Tunas Finance which aims to cancel the execution of collateral by creditors. Based on the observation of the case, there is a reason behind the execution that has been carried out due to the fulfillment of the agreement between Mandiri Tunas Finance and the bankrupt debtor. The position of a separatist creditor in a bankruptcy case may not necessarily be able to execute with its right of precedence. There are several conditions such as one year before the bankruptcy declaration and the suspension period to be able to execute the guarantee. In addition, the curator in managing the bankruptcy debtor's assets needs to know the clear status of each of these assets. In the case analysis, Mandiri Tunas Finance cannot be proven to have committed actio pauliana. Therefore, the lawsuit filed by the curator is considered to have harmed both the curator himself, the defendant, and other co-defendants who have won the auction of the execution results. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandiangan, Roni
"Salah satu cara penyelesaian kepailitan adalah melalui perdamaian yang mengkonversikan utang menjadi saham, penyelesaian dengan model tersebut menimbulkan masalah terhadap bank, karena bank tidak dapat menjalankan perdamaian tersebut akibat keterikatan bank dengan Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Menteri Keuangan yang melarang bank melakukan penyertaan saham dalam perusahaan bukan di bidang keuangan.
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui Memberikan penjelasan yuridis tentang kedudukan Bank sebagai Kreditur Separatis Pemegang Hak Tanggungan dalam proses kepailitan menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, mengetahui Penyelesaian hak Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan dalam hal teijadi penyelesaian Kepailitan secara damai dengan mengkonversikan hutang kepada saham, mengetahui secara empiris akibat kepailitan terhadap Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan dengan menganalisis Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor: 033/K/N/2006.
Untuk megkaji permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normative) dengan kajian normatif mengambil sikap kritis normatif yang melancarkan kritik terhadap dogmatik hukum (peraturan per Undang-Undangan) dan praktek. Pokok permasalahan dalam penulisan Tesis ini adalah Bagaimana kedudukan Bank sebagai Kreditur Separatis Pemegang Hak Tanggungan dalam proses kepailitan menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Bank sebagai Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan terhadap Kepailitan Debitur yang diselesaikan dengan Perdamaian yang mengkonversikan hutang menjadi saham Perusahaan pailit, Bagaimana Putusan Mahkamah Agung mengenai Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan dalam Perkara Nomor: 033/K/N/2006,
hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum dan jaminan yang dimuat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ternyata belum cukup untuk menjamin kepentingan Bank sebagai Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan
One of the methods for the settlement of bankruptcy is through reconciliation which converts loan into shares, such model of settlement causes problems towards the bank, because bank cannot carry out such reconciliation due to the commitment of the bank towards the Regulations o f Bank Indonesia and the Regulations of the Minister of Finance which prohibit bank to engage in share participation in companies other than in the financial sector.
The purpose of this essay is to find out how to provide juridical elucidation regarding the position of Bank as HT Holder Separatist Creditor in the bankruptcy process according to Law No. 37 of the Year 2004 regarding Bankruptcy and the Suspension of Debt Payment Obligation and Law Number 4 of the Year 1996 regarding HT over Land together with Goods related to Land, to find out how is the Settlement of rights of HT Holder Separatist Creditor in the case there is an amicable Bankruptcy settlement by converting debt into shares, to find out empirically what are the consequences of bankruptcy towards HT Holder Separatist Creditor by analyzing the Decision of Supreme Court on Case Number: 033/K/N/2006.
To study such issues will be used normative law research method (juridical normative) with normative study that which taking the normative critical stance that criticizes dogmatic law (statutory regulations) and practices. The subject matters in composing this Thesis are: How is the position of Bank as HT Holder Separatist Creditor in the bankruptcy process according to Law No. 37 of the Year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligation and Law No. 4 of the Year 1996 regarding HT over Land together with Goods related to Land, How is the Legal Protection towards Bank as HT Holder Separatist Creditor against the Bankruptcy of Debtor settled by Reconciliation which converts debt into shares in the bankrupt Company, How is the Decision of the Supreme Court regarding HT Holder Separatist Creditor in the Case Number: 033/K/N/2006.
From the result of this research can be concluded that legal protection and warranty contained in Law No. 37 of the Year 2007 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligation is not yet sufficient to secure the interest o f Bank as HT Holder Separatist Creditor
"
Jakarta: Fakultas Hukum, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pandiangan, Roni
"ABSTRAK
Salah satu cara penyelesaian kepailitan adalah melalui perdamaian yang mengkonversikan utang menjadi saham, penyelesaian dengan model tersebut menimbulkan masalah terhadap bank, karena bank tidak dapat menjalankan perdamaian tersebut akibat keterikatan bank dengan Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Menteri Keuangan yang melarang bank melakukan penyertaan saham dalam perusahaan bukan di bidang keuangan. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui Memberikan penjelasan yuridis tentang kedudukan Bank sebagai Kreditur Separatis Pemegang Hak Tanggungan dalam proses kepailitan menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, mengetahui Penyelesaian hak Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan dalam hal teijadi penyelesaian Kepailitan secara damai dengan mengkonversikan hutang kepada saham, mengetahui secara empiris akibat kepailitan terhadap Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan dengan menganalisis Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor: 033/K/N/2006. Untuk megkaji permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normative) dengan kajian normatif mengambil sikap kritis normatif yang melancarkan kritik terhadap dogmatik hukum (peraturan per Undang-Undangan) dan praktek. Pokok permasalahan dalam penulisan Tesis ini adalah Bagaimana kedudukan Bank sebagai Kreditur Separatis Pemegang Hak Tanggungan dalam proses kepailitan menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Bank sebagai Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan terhadap Kepailitan Debitur yang diselesaikan dengan Perdamaian yang mengkonversikan hutang menjadi saham Perusahaan pailit, Bagaimana Putusan Mahkamah Agung mengenai Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan dalam Perkara Nomor: 033/K/N/2006, hasil penelitian ini dapa disimpulkan bahwa perlindungan hukum dan jaminan yang dimuat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ternyata belum cukup untuk menjamin kepentingan Bank sebagai Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan.

ABSTRACT
One of the methods for the settlement of bankruptcy is through reconciliation which converts loan into shares, such model of settlement causes problems towards the bank, because bank cannot carry out such reconciliation due to the commitment of the bank towards the Regulations o f Bank Indonesia and the Regulations of the Minister of Finance which prohibit bank to engage in share participation in companies other than in the financial sector. The purpose of this essay is to find out how to provide juridical elucidation regarding the position of Bank as HT Holder Separatist Creditor in the bankruptcy process according to Law No. 37 of the Year 2004 regarding Bankruptcy and the Suspension of Debt Payment Obligation and Law Number 4 of the Year 1996 regarding HT over Land together with Goods related to Land, to find out how is the Settlement of rights of HT Holder Separatist Creditor in the case there is an amicable Bankruptcy settlement by converting debt into shares, to find out empirically what are the consequences of bankruptcy towards HT Holder Separatist Creditor by analyzing the Decision of Supreme Court on Case Number: 033/K/N/2006. To study such issues will be used normative law research method (juridical normative) with normative study that which taking the normative critical stance that criticizes dogmatic law (statutory regulations) and practices. The subject matters in composing this Thesis are: How is the position of Bank as HT Holder Separatist Creditor in the bankruptcy process according to Law No. 37 of the Year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligation and Law No. 4 of the Year 1996 regarding HT over Land together with Goods related to Land, How is the Legal Protection towards Bank as HT Holder Separatist Creditor against the Bankruptcy of Debtor settled by Reconciliation which converts debt into shares in the bankrupt Company, How is the Decision of the Supreme Court regarding HT Holder Separatist Creditor in the Case Number: 033/K/N/2006. From the result of this research can be concluded that legal protection and warranty contained in Law No. 37 of the Year 2007 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligation is not yet sufficient to secure the interest o f Bank as HT Holder Separatist Creditor."
2008
T37460
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maura Dinda Helmina
"Asas keadaan diam mengatur bahwa sejak dinyatakan pailit oleh pengadilan, harta pailit debitur akan dalam keadaan diam di bawah sita umum kurator, yang kemudian harta tersebut akan dikelola dan diurus oleh kurator hingga proses kepailitan berakhir. Sita umum terhadap harta pailit debitur menyebabkan tidak ada satupun pihak yang diperbolehkan untuk mengalihkan maupun mengeksekusi harta pailit tersebut, baik debitur, kreditur, maupun pihak ketiga. Meskipun demikian, penerapan asas keadaan diam sendiri masih belum diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, sehingga masih menimbulkan banyak kekeliruan dalam penerapannya. Salah satunya adalah terkait dengan penerapan asas keadaan diam terhadap kreditur pemegang jaminan hak kebendaan atau terhadap kreditur separatis. Mengacu pada hukum keperdataan, kreditur separatis seharusnya memiliki hak didahulukan untuk melakukan eksekusi sendiri. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 hak tersebut harus ditangguhkan terlebih dahulu selama harta pailit dalam keadaan diam atau yang disebut juga sebagai masa stay, yang mana hal ini diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Penelitian ini akan membahas mengenai kesalahan majelis hakim dalam menerapkan asas keadaan diam perkara Putusan Nomor 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 serta membahas mengenai akibat hukumnya terhadap kreditur pemegang jaminan hak kebendaan atau kreditur separatis. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menganalisis bagaimana majelis hakim menerapkan asas keadaan diam serta penerapan dan akibat hukumnya berdasarkan Putusan Nomor 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013. Dalam analisis yang dilakukan ditemukan bahwa majelis hakim dalam kasus pada Putusan Nomor 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 telah salah menerapkan hukum dengan mengesampingkan ketentuan periode keadaan diam yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

The principle of stay (automatic stay) provides that from the moment it is declared bankrupt by the court, the debtor's insolvent property will be in a state of stay under the general confiscation of the curator, which property will then be managed and taken care of by the curator until the insolvency proceedings end. The general confiscation of the debtor's insolvent property causes no party to be allowed to transfer or execute the bankruptcy property, whether the debtor, creditor, or third party. However, the application of the principle of stay itself is still not comprehensively regulated in Law Number 37 of 2004, so it still causes many errors in its application. One of them is related to the application of the principle of stay to creditors holding guarantees of treasury rights or to separatist creditors. Referring to civil law, separatist creditors should have the right of precedence to carry out their own executions. Meanwhile, in Law Number 37 of 2004, this right must be suspended first as long as the bankruptcy property is in a state of stay, also known as the stay period, which is regulated in Article 56 paragraph (1) of Law Number 37 of 2004. This study will examine the panel of judges' error in applying the principle of stay in the case of Decision No. 494 K / Pdt.Sus-Pailit / 2013 and the legal consequences for creditors holding treasury rights guarantees or separatist creditors. The research method used in this study is to use normative juridical research methods by analyzing how the panel of judges applies the principle of stay and its application and legal consequences based on Decision Number 494 K / Pdt.Sus-Pailit/ 2013. In the analysis, it was found that the judges in the case of Decision No. 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 had misapplied the law by setting aside the provisions of the period of stay regulated in Article 56 paragraph (1) of Law Number 37 of 2004."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Rezkyanti
"Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran mengatur kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang mempunyai 2 (dua) prosedur dan ketentuan yang berbeda khususnya tentang masa insolvensi.
Penelitian ini membahas tentang penerapan ketentuan jangka waktu yang diberikan oleh Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 kepada kreditur separatis untuk melakukan eksekusi obyek jaminan debitur pailit. Jangka waktu eksekusi ini dibatasi selama 2 (dua) bulan dihitung dari terjadinya masa insolvensi. Pada ketentuan penundaan kewajiban pembayaran utang masa insolvensi ini terjadi saat pernyataan pailit yang diucapkan setelah penundaan kewajiban pembayaran utang sedangkan pada ketentuan kepailitan masa insolvensi terjadi ketika tidak terjadi perdamaian pada saat rapat verifikasi piutang. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif.
Hasil dari penelitian ini adalah perbedaan ini perlu diperhatikan oleh kreditur separatis agar tetap dapat melaksanakan haknya untuk mengeksekusi objek jaminannya melalui lelang. Kesalahan dalam menentukan masa insolvensi ini akan mengakibatkan kreditor separatis tidak dapat menggunakan haknya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43080
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library