Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Putri Balqis Sarena
Abstrak :
Diabetes Melitus adalah penyakit metabolik yang terjadi karena adanya kelainan pada sekresi insulin atau kerja insulin yang ditandai dengan adanya karakteristik hiperglikemia dan dapat berujung komplikasi berupa nefropati diabetik. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis Diabetes Melitus salah satunya adalah dengan menggunakan HbA1c, yang merupakan hasil dari proses glikosilasi nonenzimatis glukosa pada hemoglobin. Korelasi antara HbA1c dengan mikroalbumin dan laju filtrasi glomerulus sebagai penanda nefropati diabetik belum banyak diteliti di Indonesia. Penelitian ini menggunakan design penelitian cross-sectional dengan menggunakan 80 subjek yang memeriksakan kadar HbA1c, mikroalbuminuria dan laju filtrasi glomerulus ke Laboraturium RSCM. Data diolah dengan menggunakan uji spearman untuk HbA1c dan mikroalbumin dengan hasil r = 0.381 dan p < 0,001 serta uji pearson untuk HbA1c dengan laju filtrasi glomerulus dengan hasil p > 0,05. Pada penelitian didapatkan terdapat korelasi lemah antara HbA1c dan mikroalbumin serta tidak ada korelasi antara HbA1c dengan laju filtrasi glomerulus.
Diabetes Mellitus is metabolic disease with impairment of insulin secretion and insulin function which marked by hyperglycemia and could lead to diabetic nephropathy complication. Testing for HbA1c is one of the tests to diagnose diabetes mellitus. HbA1c itself is a substance that results from glucose nonenzimatic glycosylation process to hemoglobin. The correlation between HbA1c with microalbumin in urine and glomerular filtration rate is not fully known in Indonesia. This study is using cross sectional study design on 80 subjects from RSCM laboratory. The data for HbA1c and microalbumin were analyzed using spearman test r 0.381 and p 0,001 and the for HbA1c and glomerular filtration rate were analyzed using pearson test p 0,05. The conclusion are there was a weak correlation between HbA1c and microalbumin in urine and no correlation between HbA1c and glomerular filtration rate.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70419
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Gautama
Abstrak :
Latar belakang: Masyarakat kawasan urban kampung di Indonesia memiliki risiko lingkungan berupa gorong-gorong yang gelap dan ventilasi yang tidak adekuat. Hal ini menjadi risiko kadar vitamin D yang tidak optimal (serum 25OHD <20 ng/mL dan >100 ng/mL). Kadar vitamin D yang tidak optimal juga bisa menjadi risiko penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal pada masyarakat kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang. Metode: Studi potong lintang pada subjek dewasa kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang di tahun 2019-2020. Kemudian dilakukan penyesuaian dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Lalu, dilakukan pengambilan darah untuk pengukuran kadar vitamin D juga nilai penanda fungsi ginjal. Hasil: Pada 161 subjek dewasa di urban kampung Jakarta dan Tangerang diperoleh nilai median kadar vitamin D 24,46 ng/mL (10,04 – 52,55 ng/mL), kadar kreatinin serum 0,7 mg/dL (0,5 – 6,7 mg/dL), kadar ureum 20,6 mg/dL (11,9 – 50,5 mg/dL), dan nilai eGFR (CKD-EPI) 97,854 ml/min/1,73m2 (5,52 – 121,92 ml/min/1,73 m2). Hasil analisis menggunakan uji Spearman menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin dengan kadar ureum, kreatinin, dan nilai eGFR. Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal baik dengan eGFR, kadar kreatinin serum, maupun kadar ureum pada masyarakat yang tinggal di kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang. ......Background: Individuals who live in urban kampung have the environmental risk factors of dark alleyways and inadequate ventilations. These increase the risk of subjects in developing vitamin D deficiency and later may decrease the kidney function. Therefore, this study is performed to identify the correlation between vitamin D serum levels and kidney function markers in adults of urban kampung area around Jakarta and Tangerang. Methods: Cross-sectional study performed in adults of urban kampung areas around Jakarta and Tangerang in 2019-2020. We recruited participants using predetermined inclusion and exclusion criteria. Afterward, blood sample were drawn to quantify vitamin D serum level and kidney function markers of the subjects. Results: From 161 adult subjects in urban kampung around Jakarta and Tangerang, the vitamin D serum level median is 24,46 (10,04 – 52,55) ng/mL, the serum creatinine median is 0,7 (0,5 – 6,7) mg/dL, the urea serum level median is 20,6 (11,9 – 50,5) mg/dL, and the median of eGFR score (CKD-EPI), is 97,854 (5,52 – 121,92) ml/min/1,73 m2. Analysis using Spearman shows that there is no correlation between vitamin D serum level with urea serum level, serum creatinine, and eGFR score. Conclusion: There are no correlation between vitamin D serum level and kidney function markers in individuals who live in urban kampung area around Jakarta and Tangerang
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Syawaluddin Djamal
Abstrak :
Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik (PGK) pada pasien diabetes melitus tipe-2 memiliki prevalensi yang meningkat setiap tahunnya. Diabetes merupakan penyebab utama PGK. Penurunan LFG pada populasai diabetes mungkin lebih besar dan lebih cepat dibandingkan populasi non-diabetes atau prediabetes. Saat ini belum terdapat penelitian mengenai penurunan eLFG pada kategori gangguan toleransi glukosa berbeda tetrsebut dan faktor yang memengaruhinya di Indonesia. Tujuan: Membandingkan penurunan eLFG pada kelompok diabetes, prediabetes, dan non-diabetes dan faktor-faktor yang berpengaruh. Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada data Penelitian Kohort Penyakit Tidak Menular (PTM) Litbangkes Republik Indonesia Tahun 2011-2020. Pasien dikelompokkan berdasarkan status diabetes awal menjadi kelompok diabetes, prediabetes, dan non-diabetes. Penurunan eLFG berdasarkan rumus CKD-EPI Creatinine Equation. Analisis dilakukan dengan uji Kruskall Wallis, dilanjutkan dengan uji Mann Whitney U. Hasil: Didapatkan 1.245 subjek (877 non-diabetes, 274 prediabetes, dan 94 diabetes) yang diikutsertakan dalam penelitian. Didapatkan eLFG awal yang berbeda antar kelompok (non-diabetes 110 vs. prediabetes 107,3 vs. diabetes 106,1 ml/min/1,73m2, p < 0,001). Didapatkan eLFG akhir yang berbeda antar kelompok (non-diabetes 86,3 vs. prediabetes 79,8 vs. diabetes 59,3 ml/min/1.73m2, p < 0,001). Didapatkan penurunan eLFG yang berbeda antar kelompok (non-diabetes -23,1 vs. prediabetes -26,4 vs. diabetes -37,6 ml/min/1.73m2, p < 0,001). Faktor yang berhubungan dengan penurunan eLFG lebih tinggi adalah jenis kelamin perempuan, hipertensi, dan gula darah puasa tinggi. Kesimpulan: Penurunan eLFG lebih besar ditemukan pada kelompok diabetes dibandingkan dengan kelompok non-diabetes dan pre-diabetes. Jenis kelamin perempuan, hipertensi, dan gula darah puasa tinggi berhubungan dengan penurunan eLFG lebih besar. ......Introduction: Chronic kidney disease (CKD) in diabetic patients has an increasing prevalence every year. Diabetes is the main cause of CKD. Decline LFG in diabetes may be greater and faster than in non-diabetic or prediabetes populations. There has been no research on the decrease in GFR in each category and its influencing factors in Indonesia Aim: To compare the decline in eGFR in the diabetic, prediabetic, and non-diabetic groups and their influencing factors. Methods: A retrospective cohort study was conducted on Indonesian Research and Development Cohort of Non-Communicable Diseases (PTM) and Development in 2011- 2020. Patients were grouped based on initial diabetes status into diabetic, prediabetic, and non-diabetic groups. The decline in the glomerular filtration rate was carried out by creatinine assessment and calculations based on the 2021 CKD-EPI Creatinine Equation formula. The analysis was carried out with the Kruskall Wallis test, followed by the Mann Whitney U test. Results: A total of 1,245 subjects (877 non-diabetic, 274 prediabetic, and 94 diabetic) were included in the study. There were differences in baseline eGFR between groups (non-diabetic 110 vs. prediabetic 107.3 vs. diabetic 106.1 ml/min/1.73m2, p < 0.001). There were differences in final GFR between groups (non-diabetic 86.3 vs. prediabetic 79.8 vs. diabetes 59.3 ml/min/1.73m2, p < 0.001). Different eGFR decline was found between groups (non-diabetic -23.1 vs. prediabetes -26.4 vs. diabetes -37.6 ml/min/1.73m2, p < 0.001). Factors associated with rapid decline in GFR were female gender, hypertension, and high fasting blood sugar level. Conclusion: There was a more rapid decline in eGFR in the group with diabetes than non-diabetic and pre-diabetic. Factors associated with a higher decrease in eGFR were female gender, hypertension, and high fasting blood sugar level.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Haryo Yudanto
Abstrak :
ABSTRACT
Laju filtrasi glomerulus menjadi salah satu indikator keseluruhan tingkat fungsi ginjal. Selain pemeriksaan laju filtrasi glomerulus terdapat pula pemeriksaan lainnya yang juga dinilai dapat menggambarkan kondisi tersebut, yaitu pemeriksaan kadar asam urat. Namun selama ini belum adanya kepastian korelasi dan ukuran kadar asam urat yang sesuai untuk menentukan stadium penyakit ginjal kronik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui apakah terdapat korelasi antara Kadar asam urat dalam darah dan laju filtrasi glomerulus pada penderita penyakit ginjal kronik. Penelitian menggunakan desain potong lintang pada 75 orang pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan pemeriksaan asam urat dan laju filtrasi glomerulus pada Laboratorium RSCM data sekunder. Analisis data dilakukan menggunakan uji korelasi Spearmans. Hasil penelitian ini, terdapat hubungan yang signifikan antara kadar asam urat darah dengan kadar laju filtrasi glomerulus p: 0,005; r: -0,362. Kesimpulannya, terdapat korelasi lemah negatif antara kadar asam urat darah dengan kadar laju filtrasi glomerulus pada pasien penyakit ginjal kronik. Kondisi ini kemungkinan dapat terjadi karena adanya faktor-faktor lain yang lebih berkontribusi terhadap kadar asam urat dan kadar laju filtrasi glomerulus.
ABSTRACT
Glomerular filtration rate is an indicator of kidney function. Beside of glomerular filtration rate, uric acid measurement in blood is also kidney function indicator. However, correlation between uric acid level and chronic kidney disease stadium has not been established. This research aims to find the correlation between those two variables. This research was done from laboratory result of 75 chronic kidney disease patients who underwent uric acid and glomerular filtration rate examination in RSCM laboratory. Sparmann rsquo s correlation test was done and showed significant correlation between blood uric acid level p 0.005 r 0.362 . Therefore, there is weak negative correlation between blood uric acid level and glomerular filtration rate in chronic kidney disease patients. It can be caused by other more contributing factors to blood uric acid level and glomerular filtration rate.
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prieta Adriane
Abstrak :
Latar Belakang: Disfungsi ginjal prabedah meningkatkan risiko gagal ginjal dan kematian pada pasien bedah jantung. Studi yang meneliti efek proteksifurosemid pada bedah jantung sebagian besar dilakukan pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efek furosemid dosis rendah profilaksis pada pasien bedah jantung dengan disfungsi ginjal ringan-sedang. Metode: Delapan puluh tujuh pasien bedah jantung elektif dengan disfungsi ginjal ringan -sedang (LFGe30-89 mL/min/1,73 m2), terdaftar dalam kelompok furosemid (n = 43) atau kontrol (n = 44). Furosemid (2 mg/jam) atau NaCl 0,9% 2 cc/jam diberikan setelah induksi dan dilanjutkan selama total 12 jam. Kami memeriksa sampel darah pada 12, 24, 48, dan 120 jam setelah infus mulai mengukur perubahan LFGe. Penurunan LFGe>20% dianggap sebagai perburukan fungsi ginjal, sedangkan peningkatan LFGe>20% dianggap sebagai pemulihan fungsi ginjal. Kami membandingkan kebutuhan infus furosemid terapeutik dan terapi penggantian ginjal pada kedua kelompok. Hasil: Dari 90 subjek yang direkrut, 3 subjek drop out(1 subjek data tidak lengkap dan 2 subjek dipasangintra-aortic balloon pump/IABPsaat pembedahan), hanya 87 subjek yang diikutsertakan dalam analisis. Insiden penurunan LFGepada jam ke-12, ke-24 dan ke-48 lebih banyak terjadi pada kelompok kontrol, berbedasignifikan pada sampel jam ke-48 (p value0,047). Proporsi peningkatan LFGe>20% pada sampel 120 jam hampir sama pada kedua kelompok. Subyek dalam kelompok furosemid membutuhkan lebih sedikit pemberian infus furosemid dosis terapeutik (p<0,05). Namun, penggunaan terapi pengganti ginjal lebih banyak ditunjukkan pada kelompok furosemid daripada kelompok kontrol meskipun tidak signifikan. Lama rawat di ICU dan rumah sakit lebih lama pada kelompok furosemid dibandingkan dengan kontrol, sedangkan angka kematian ditunjukkan sama antara kedua kelompok. Simpulan: Furosemid dosis rendah dapat mengurangi kejadian perburukan fungsi ginjal, dan kebutuhan infus terapeutik furosemid, tetapi tidak mencegah kebutuhanuntuk terapi pengganti ginjal. Penggunaan infus furosemid dosis rendah perioperatif dapat dipertimbangkan karena menunjukkan efek yang menguntungkan. ......Background: Preoperative renal dysfunction increases the risk of postoperative renal failure and mortality in cardiac surgery patients. Studies investigated the protective effect of furosemide in cardiac surgery mostly conducted in patients with normal renal function. This study aim to evaluate the effect of prophylactic low-dose furosemide in cardiac surgery patients with mild to moderate renal dysfunction. Methods: Eighty-seven patients of elective cardiac surgery with mild to moderate renal dysfunction (eGFR 30-89 mL/min/1.73 m2), were enrolled in either furosemide (n = 43) or control (n = 44) groups. Furosemide (2 mg/h) or 0.9% NaCl is administered after induction and continued for a total of 12 hours. We examined blood samples on 12, 24, 48, and 120 hours after infusion started to measure the change in eGFR. A >20% decrease in eGFR was considered as worsening of renal function, while >20% increase in eGFR as recovering of renal function. We compared the requirement for therapeutic furosemide infusion and renal replacement therapy in both groups.  Results: 90 subjects recruited, 3 were dropped out (1 subject's data incomplete and 2 subjects underwent intraoperativeintraaortic balloon pump/IABP installation), only 87 subjects were included in the analysis. The incidence of decreasing of GFR at the 12th, 24th and 48th hour was shown more likely in control group, more significantin 48 hours (p value 0.047). The proportion of >20% GFR increase in the 120-hour sample was almost the same in both groups. Subjects in furosemide group required less administration of therapeutic dose furosemide infusion (p<0.05). However, use of renal replacement therapy was shown more in the furosemide group than the control group although is not significant. The length of stay in ICU and hospital were longer in the furosemide group compared to  control, while the mortality rate were shown to be equal between two groups. Conclusions: Low-dose furosemide can reduce the incidence of  worsening renal function, and the need for a therapeutic furosemide infusion, but does not prevent the usage for renal replacement therapy. Continuous low-dose furosemide perioperative can be considereddue to beneficial effects proven.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Haekal Prastomo
Abstrak :
Introduction The emerging of chronic kidney disease (CKD) as one of the dominant causes for death and suffering over the past two decades has been concerning. Additionally, increase oxidative stress in urban area and its association with other chronic diseases raising a notion of increase in chronic disease in area with low socio-economic status, namely, urban kampung. Due to that, this research was carried out to find the association between plasma MDA and factors related to decrease renal function in adult urban kampung population. Method This is cross-sectional research that used secondary data from participant with age ranging from 30-60 years and living in four area in Jakarta-Tangerang. Participants’ MDA level was measured as an indicator for oxidative stress. Kidney markers including eGFR, urea, and creatinine were also measured. Results From 153 participants, high level of oxidative stress was not found and all within normal capacity (0.1−2.9 µmol/L). Overall kidney function using eGFR showed 58.8% normal condition and function and 41.2% with decreased kidney function. Only 1.3% had increased creatinine levels (>1.3 mg/dL), while 51% of participants had increased urea level (>20 mg/dL). Conclusion No association between high plasma MDA and decreased kidney marker was found in adult participant of urban kampung area in Jakarta-Tangerang. ......Latar Belakang Meningkatnya angka penyakit ginjal kronik sebagai salah satu penyebab kematian dan penderitaan pasien sangat menghawatirkan. Peningkatan stress oksidatif di wilayah urban dan hubungannya dengan banyak penyakit kronis menyebabkan dugaan peningkatan penyakit kronik di wilayah dengan sosio-ekonomik yang rendah seperti di kampung urban. Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan untuk mencari tahu adanya hubungan asosiatif antara hasil plasma MDA sebagai indikator stress oksidatif dengan penurunan fungsi ginjal. Metode Metode penelitian merupakan penelitian potong lintang (cross-sectional) dengan data sekunder yang berasal dari partisipan berumur 30-60 tahun di 4 wilayah kampung kota Jakarta-Tangerang. Partisipan dinilai menggunakan Plasma MDA sebagai indikator stress oksidatif dan penanda fungsi ginjal yaitu eGFR, urea, dan creatinin. Hasil Dari 153 partisipan, tidak ditemukan tingkat oksidatif tinggi dan semua berada pada batas normal (0.1−2.5 µmol/L). Hasil kondisi ginjal partisipan menggunakan eGFR terdiri dari 58.8% kondisi ginjal normal dan 41.2% mengalami penurunan funsi ginjal. Hanya 1.3% mengalami kenaikan nilai creatinine (>1.3 mg/dL) dan lebih dari 51% partisipan mengalami kenaikan nilai ureum (>20 mg/dL). Kesimpulan Hubungan Asosiatif antara tinggi plasma MDA dan penanda penurunan fungsi ginjal tidak ditemukan pada partisipan dewasa yang tinggal di daerah kampung urban
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Ginova
Abstrak :
Studi eksperimental hewan memperlihatkan bahwa kadar vasopresin serum yang tinggi berhubungan dengan hiperfiltrasi, albuminuria dan hipertrofi glomerulus, dan dikhawatirkan berlanjut menjadi penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dalam jangka panjang. Namun, belum terdapat laporan yang membuktikan hubungan sebab-akibat antara peningkatan vasopresin serum dengan gangguan ginjal. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peningkatan vasopresin serum dengan gangguan ginjal, beserta lokasi gangguan ginjal tersebut. Studi ini juga ditujukan untuk melihat kemampuan berat jenis (BJ) urin untuk mendeteksi gangguan ginjal. Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan consecutive sampling di sebuah pabrik sepatu pada bulan Januari–Maret 2020. Subjek adalah pekerja terpajan panas yang dinyatakan sehat berdasarkan medical checkup tahun 2019. Sampel darah dan urin diambil lima jam setelah subjek bekerja. Subjek diperiksakan kreatinin plasma, estimasi LFG berdasarkan CKD-EPI, BJ urin, albuminuria carik-celup, albumincreatinine ratio (ACR) urin, vasopresin serum, kidney injury molecule-1 (KIM-1) urin, dan nefrin urin. Data masa kerja, dan jenis kelamin diperoleh melalui wawancara. Pada studi ini, diperoleh 119 subjek wanita dengan median usia 38 (31–51) tahun dan median masa kerja 10 (3–14) tahun. Hiperfiltrasi didapatkan pada 18 subjek, LFG tidak menurun pada 104 subjek (87,4%), dan peningkatan nefrin urin pada 104 pekerja (87,4%). Tidak terdapat hubungan antara vasopresin meningkat dengan hiperfiltrasi, penurunan LFG, albuminuria, nefrin urin, dan KIM-1 urin. Terdapat hubungan bermakna antara peningkatan nefrin urin dengan masa kerja ≥ 10 tahun (p = 0,03). Terdapat hubungan peningkatan KIM-1 urin dengan albuminuria (p = 0,008). Terdapat area under the curve (AUC) antara BJ urin dan nefrin urin sebesar 81,7% (95% CI 68,8–94,6%), dengan titik potong BJ urin ≥ 1,018 yang memiliki sensitivitas 71,2% dan spesifisitas 80% untuk kenaikan nefrin. Sebagai simpulan, peningkatan vasopresin serum tidak berhubungan dengan hiperfiltrasi, penurunan LFG, albuminuria, dan peningkatan KIM-urin. Masa kerja > 10 tahun dihubungkan dengan peningkatan nefrin urin. BJ urin ≥ 1,018 dapat dijadikan acuan untuk mendeteksi kenaikan nefrin urin pada pekerja terpajan panas.
Animal experimental studies have shown that high serum vasopressin levels are associated with hyperfiltration, albuminuria, and glomerular hypertrophy, which may lead to decreased glomerular filtration rate (GFR) in long-term. However, there was no earlier report that has established the causal relationship between elevated serum vasopressin and renal impairment. This study aims to determine the association between increased serum vasopressin and kidney impairments, along with the location of these impairments. This study is also aimed to look at the ability of urine specific gravity to detect elevated serum vasopressin and kidney impairments. This study was a cross-sectional study with consecutive sampling in a shoe factory from January–March 2020. Subjects were heat-exposed workers who were declared healthy based on the medical checkup in 2019. Blood and urine samples were taken five hours after the subject worked. Subjects were examined for plasma creatinine, estimated GFR (eGFR) based on CKD-EPI, urine specific gravity, dipstick albuminuria, urine albumin-creatinine ratio (ACR), serum vasopressin, urine kidney injury molecule-1 (KIM-1), and urinary nephrin. Data on age, length of service, and gender were obtained through interviews. There were 119 female subjects with a median age of 38 (31–51) years and a median length of service 10 (3–14) years. eGFR was not decreased in 104 subjects (87.4%) and urinary nephrin increased in 104 workers (87.4%). There were no increase in urinary albumin excretion and urinary KIM-1. There were significant association between increased urinary nephrin with length of service ≥ 10 years (p = 0.03), normal-increased eGFR with age 30–39 years (p = 0.001), and increased urinary KIM-1 with albuminuria (p = 0.008). There was an area under the curve (AUC) of 81.7% (95% CI 68.8–94.6%) between urine specific gravity and urinary nephrin, with a cut-off point of urine specific gravity > 1.018 having a sensitivity of 71.2% and a specificity of 80% for the increase in urinary nephrin. In conclusion, increased serum vasopressin does not cause a decrease in GFR, albuminuria, and increase in urinary KIM, but does cause an increase in urinary nephrin. urine specific gravity ≥ 1.018 can be used as a cut-off for detecting increased urinary nephrin in heat-exposed workers.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmaningtyas Nurifahmi
Abstrak :
ABSTRAK
Gangguan fungsi ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang dapat ditandai oleh senyawa 8-iso-Prostaglandin F2a. Pada penelitian ini, dilakukan analisis hubungan antara kadar 8-iso-Prostaglandin F2a dengan estimasi Laju Filtrasi Glomerulus (eLFG). Sampel yang dianalisis adalah 50 pasien diabetes melitus tipe 2 di RSK Dr. Sitanala Tangerang yang terbagi menjadi dua yaitu kelompok sulfonilurea dan kombinasi biguanid-sulfonilurea dengan teknik total sampling. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode kohort retrospektif. Nilai eLFG diperoleh berdasarkan kadar kreatinin serum, sedangkan kadar 8-iso-Prostaglandin F2a diukur dengan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Uji beda dilakukan terhadap nilai eLFG antara kedua kelompok, yaitu Cockroft Gault (p = 0,961), MDRD (p = 0,567), CKD-EPI (p = 0,443), serta pada kadar 8-iso-Prostaglandin F2a (p = 0,070). Hubungan antara kadar 8-iso-Prostaglandin F2α dengan nilai eLFG dianalisis pada seluruh sampel (n=48), yaitu Cockroft-Gault (r = 0,329; p = 0,023), MDRD (r = 0,231; p = 0,115) dan CKD-EPI (r = 0,256; p = 0,079). Sehingga, tidak terdapat perbedaan nilai eLFG dan kadar 8-iso-Prostaglandin F2a di antara kedua kelompok. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar 8-iso-Prostaglandin F2a dengan nilai eLFG berdasarkan Cockroft-Gault, namun tidak terdapat hubungan pada nilai eLFG MDRD dan CKD-EPI.
ABSTRACT
Renal dysfunction is a common complication in type 2 diabetes mellitus patient that can be characterized by 8-iso-prostaglandin F2a compound. The aim of this study was to analyze the correlation between the level of 8-iso-prostaglandin F2a and estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR). Samples analyzed were 50 patients with type 2 diabetes mellitus in Dr. Sitanala Tangerang Hospital were divided into two groups of sulfonylurea and combination of biguanide-sulfonylurea using total sampling technique. This study was an observasional study using cohort retrospective method. The value of eGFR obtained by serum creatinine levels, while the level of 8-iso-Prostaglandin F2a measured by the method of Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Different test carried out on eGFR values ​​between the two groups, those were Cockroft-Gault (p = 0,961), MDRD (p = 0,567), CKD-EPI (p = 0,443), as well as on the level of 8-iso-prostaglandin F2a (p = 0.070). The correlation between the levels of 8-iso-prostaglandin F2a with eGFR was analyzed on all samples (n=48), those are Cockroft-Gault (r = 0,329; p = 0,023), MDRD (r = 0,231; p = 0,115) and CKD-EPI (r = 0,256; p = 0,079). Thus, there was no difference in eGFR values ​​and levels of 8-iso-Prostaglandin F2a between the two groups. There was significant correlation between the levels of 8-iso-Prostaglandin F2a and eGFR values were calculated by Cockroft-Gault equation, meanwhile there was no correlation in eGFR values were calculated by MDRD and CKD-EPI equation.
2015
S60238
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Faturrahman Jundi
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian dalam mengevaluasi fungsi ginjal pada kasus diabetes melitus menggunakan kamera gamma dan radiofarmaka 99mTc-DTPA. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui perbedaan korelasi nilai Glomerular Filtration Rate GFR antara pasien diabetes dengan pasien non-diabetes yang dikalkulasi menggunakan metode Gates dan metode Inoue, peta biodistribusi radiofarmaka 99mTc-DTPA, dan radioaktivitas selama pemeriksaan Renogram. Penelitian dilakukan menggunakan pesawat SPECT dan 99mTc-DTPA pada 53 pasien dengan usia di atas 40 tahun, dan 22 diantaranya memiliki riwayat diabetes melitus tipe 2. Nilai GFR terukur mGFR dibandingkan dengan perhitungan manual eGFR menggunakan metode Gates dan Inoue. Pemetaan biodistribusi diambil dari citra statik pada region of interest ROI organ jantung, hati, kedua ginjal, dan kandung kemih. Radioaktivitas dikuantifikasi secara kasar menggunakan nilai cacahan pada peta biodistribusi dan faktor kalibrasi kamera gamma. Korelasi mGFR terhadap eGFR menggunakan metode Gates dan metode Inoue yaitu strongly positive. Peta biodistribusi radiofarmaka menunjukkan nilai cacahan pasien diabetes lebih tinggi pada organ ginjal kiri dan ginjal kanan, dan lebih rendah pada organ jantung dan hati relatif terhadap pasien non-diabetes. Organ kandung kemih tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kedua grup. Untuk radioaktivitas radiofarmaka, aktivitas rata-rata tertinggi terletak pada kedua ginjal.
Research has been conducted to evaluate the renal function on diabetes mellitus case using gamma camera and 99mTc DTPA. The evaluation was performed to determine the difference of correlation of Glomerular Filtration Rate GFR values between diabetic patients and non diabetic patients which were calculated using Gates method and Inoue method, radiopharmaceutical biodistribution of 99mTc DTPA, and radioactivity during Renogram examination. The research was conducted using SPECT and 99mTc DTPA in 53 patients with over 40 years of age, and 22 of them had diabetes mellitus type 2. The measured GFR mGFR values were compared with manual calculations eGFR using Gates and Inoue method. The biodistribution was taken from the static image in the region of interest ROI of the heart, liver, kidneys, and bladder. The radioactivity was quantified roughly using the counts value in biodistribution map and calibration factor. The correlation of mGFR to eGFR using Gates method and Inoue method is strongly positive. The biodistribution map in diabetic patients showed higher values on left and right kidney, and lower values on heart and liver. The bladder showed no significant difference of biodistribution map in both groups. For radioactivities, the highest average activity lies in both kidneys.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fajar Dwi Putra
Abstrak :
Nefropati diabetik disebabkan oleh peningkatan aktivitas NADPH oksidase NOX yang diinduksi angiotensin II dan hipergikemia. Terapi ACE-inhibitor dan ARB memiliki potensi dalam menghambat aktivitas NOX. Namun perbandingan efektivitas keduanya belum diketahui. Peningkatan Aktivitas NOX ditandai oleh penurunan NADPH serum dan laju filtrasi glomerulus LFG. Namun hubungan antara NADPH serum dengan LFG juga belum diketahui. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan kadar NADPH serum dan eLFG pada pasien diabetes melitus DM tipe 2 yang mendapat terapi ACE-inhibitor dan ARB serta menilai hubungan NADPH serum dengan eLFG. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan pada periode April hingga Mei 2018 di RSCM dan Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang mendapat terapi ACE-inhibitor n=11 dan kelompok yang mendapat terapi ARB n=25. Kadar NADPH dan kreatinin serum diukur menggunakan metode kolorimetri. Kelompok ARB memiliki rata-rata konsentrasi NADPH yang lebih tinggi 9,61 1,33 dibandingkan dengan kelompok ACE-Inhibitor 6,56 1,5 namun tidak memiliki perbedaan yang bermakna p>0,05. Selain itu kelompok ARB juga memiliki rata-rata eLFG 66,24 3,95 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ACE-Inhibitor 61,11 7,41 namun tidak memiliki perbedaan yang signifikan p>0,05. Namun demikian terdapat hubungan yang bermakna dan positif antara kadar NADPH serum dengan eLFG r= 0,383. ......Diabetic nephropathy is caused by increased activity of NADPH oxidase NOX induced angiotensin II and hyperglycaemia. ACE inhibitor and ARB therapy have the potential to inhibit NOX activity. But the comparison of the effectiveness of both is unknown. Increased NOX activity is characterized by decreased serum NADPH and glomerular filtration rate GFR. However, the association between serum NADPH and GFR is also unknown. The purpose of this study was to compare serum NADPH and eGFR levels in type 2 diabetes mellitus DM patients who receiving ACE inhibitor and ARB therapy and also to evaluate serum NADPH association with eGFR. This research use cross sectional method. Sampling was conducted from April to May 2018 at RSCM and Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Subjects were divided into 2 groups, the group receiving ACE inhibitor therapy n 11 and the group receiving ARB therapy n 25. NADPH and serum creatinine levels were measured using colorimetric method. The ARB group had a higher mean serum NADPH concentration 9.61 1.33 than the ACE Inhibitor group 6.56 1.5 but did not have a significant difference p 0.05 . In addition the ARB group also had an average eGFR 66.24 3.95 higher than the ACE Inhibitor group 61.11 7.41 but did not have a significant difference p 0.05. However, there was a significant and positive relationship between serum NADPH levels and eGFR r 0.383.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>