Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustina Retnaningsih
Abstrak :
Bakteriosin dapat menghambat pertumbuhan bakteri terutama yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan bakteri penghasil. Bakteri Asam Laktat (BAL) telah diketahui dapat menghasilkan bakteriosin yang memiliki aktivitas antimikroba. Bakteriosin berpotensi digunakan sebagai komplemen antibiotika. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi serta mengkarakterisasi aktivitas bakteriosin dari BAL galur Leuconostoc dengan optimasi pH dan suhu inkubasi. Penelitian dilakukan melalui penentuan zona hambatan menggunakan metode difusi agar cara sumuran dan penentuan potensinya berdasarkan metode Konsentrasi Hambat Minimal (KHM). Bakteri indikator yang digunakan adalah Leu. mesenteroides TISTR 120 dan JCM 6124, Staphylococcus aureus FNCC 0047, Listeria monocytogenes FNCC 0156, Escherichia coli FNCC 0183, Pseudomonas aeruginosa FNCC 0063, Salmonella typhi FNCC 0165 dan Bacillus subtilis FNCC 0061. Katalase, Tripsin dan Protease K digunakan sebagai uji konfirmasi berdasarkan hasil skrining pengujian aktivitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Leu. mesenteroides MBF7-17 dan MBF2-5 menghasilkan bakteriosin yang hanya dapat menghambat Leu. mesenteroides TISTR 120 dan JCM 6124. Hasil penentuan potensi bakteriosin berdasarkan KHM dari BAL penghasil bakteriosin pada pH dan suhu inkubasi optimum yaitu pH 6 dan 32°C adalah 90% untuk Leu. mesenteroides MBF2- 5 dan 80% untuk Leu. mesenteroides MBF7-17. ......Bacteriocin can inhibit bacteria mostly those which have close relationship to the producer bacteria. Lactid Acid Bacteria (BAL) are known to produce bacteriocins which have function as antimicrobial activity. Bacteriocin has potentially been used as antibiotic complement. This research aimed to isolate and characterize bacteriocins activity from Leuconostoc strains. Optimization of pH and incubation temperature have also been carried out. This research used well diffusion agar method and bacteriocin potency assay by performing MIC. Bacterial indicators that used in this research are Leu. mesenteroides TISTR 120, and JCM 6124, Staphylococcus aureus FNCC 0047, Listeria monocytogenes FNCC 0156, Escherichia coli FNCC 0183, Pseudomonas aeruginosa FNCC 0063, Salmonella typhi FNCC 0165 and Bacillus subtilis FNCC 0061. Catalase, Trypsin and Protease K were also used following the screening assay for confirmation test. Results showed that both Leu. mesenteroides MBF2-5 and MBF7-17 possessed bacteriocin activity although against both Leu. mesenteroides only, the TISTR 120 and JCM 6124 indicators strains. Result for bacteriocin potency assay of bacteriocin producer LAB i.e. Leu. mesenteroides MBF2-5 and MBF7-17 by performing MIC done at optimation pH incubation temperature, i.e. pH 6 and 32°C, showed value of 90% and 80%, respectively.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
T29719
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reny Novitasari
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S32740
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Winson Jos
Abstrak :
Latar belakang: Deteksi dini dengue berat dapat mengurangi mortalitas akibat infeksi dengue. Saat ini, observasi harian terhadap keadaan klinis dan laboratorium pasien merupakan cara yang paling lazim dipakai dalam mendeteksi kejadian dengue berat. Namun demikian, cara ini biasanya terlambat mendeteksi kebocoran plasma berat. Laktat serum adalah salah satu penanda yang lazim dipakai dalam menilai hipoksia atau hipoperfusi jaringan akibat penyakit sistemik sehingga dipikirkan dapat dipakai sebagai prediktor kejadian dengue berat. Tujuan: Menilai kemampuan laktat darah sebagai prediktor kejadian dengue berat. Metode: Telaah sistematis ini disusun berdasarkan standar PRISMA. Pencarian primer dilakukan melalui penulusuran artikel secara daring di PubMed/Medline®, Cochrane Library, Embase, dan Scopus®. Penelusuran sekunder dilakukan secara daring menggunakan Google Scholar® dan portal lokal di Indonesia serta secara manual dengan korespondensi dengan peneliti atau Institusi yang berhubungan. Artikel dicari dengan kata kunci “dengue” dan “laktat” dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Artikel yang diambil dan mencakup studi observasi prospektif dan retrospektif pada pasien dewasa (> 15 tahun) dengan infeksi dengue yang melaporkan hasil pemeriksaan laktat. Pencarian dilakukan tanpa membatasi waktu penelitian dan bahasa. Data dianalisis dengan RevMan dan Medcalc untuk mencari effect measure kemampuan laktat darah dalam prediksi kejadian dengue berat. Hasil: Sebanyak enam artikel diinklusi ke dalam telaah sistematis ini dan lima diantara artikel tersebut diikutsertakan ke dalam meta-analisis. Dari analisis yang dilakukan, diketahui bahwa laktat darah merupakan prediktor kejadian dengue berat yang cukup baik dengan pooled OR 8,38 (95%CI: 2,13 – 32,93); I2 87%, p <0,00001 dan pooled AUC 0,749 (95%CI 0,687-0,81); I2 48,98%, p = 0,1176. Lebih jauh, laktat darah terutama lebih baik dalam prediksi kejadian renjatan dengue/gagal organ (pooled OR 21,27 (95%CI 11,05 – 40,91); I2 44%, p = 0,17) dibandingkan terhadap kejadian kebocoran plasma tanpa gagal organ/renjatan dengue (pooled OR 1,6 (95%CI 0,77 – 3,32); I2 0%, p = 0,33). Beberapa hal yang diketahui dapat mempengaruhi kemampuan prediksi laktat terhadap kejadian dengue berat antara lain, waktu pengambilan laktat darah, luaran yang dinilai, dan nilai ambang batas laktat yang dipakai. Kesimpulan: Laktat darah merupakan prediktor kejadian dengue berat yang cukup baik, terutama terhadap kejadian renjatan dengue/gagal organ. ......Background: Early detection of severe dengue may decrease mortality caused by dengue infection. Currently, daily observation of patient’s clinical and laboratorium parameter is the most common way to detect severe dengue. However, this common practice is lacking in punctuality to detect severe dengue. Serum lactate is one of common biomarkers to detect hypoxia or hypoperfusion due to systemic disease. Accordingly, serum lactate may be a valuable predictor of severe dengue. Objective: Evaluate the value of blood lactate as a predictor of severe dengue. Methods: This systematic review is conducted by following the PRISMA standard. PubMed/Medline®, Cochrane Library, Embase, and Scopus® were systematically searched for studies evaluating the value of blood lactate to predict severe dengue. Moreover, manual searching by searching Google Scholar® and local Indonesia journal database and by corresponding to some researchers or any institution that may have conducted research about the topic. “Dengue” and “lactate” in English and Bahasa were used as keywords. Prospective and retrospective cohort studies with samples of adult (> 15 y.o) with dengue infection and reported the blood lactate result of any language and publication years are included. Data analysiswas conducted by using RevMan and Medcalc to synthesis the pooled effect measure of blood lactate as a predictor of severe dengue. Results: This systematic review included six articles. However, only five articles were included in the meta-analysis. The analysis showed that blood lactate was a fairly good predictor of severe dengue with a pooled OR: 8.38 (95% CI: 2.13 - 32.93); I2 87%, p <0.00001 and pooled AUC: 0.749 (95% CI 0.687-0.81); I2 48.98%, p = 0.1176. Furthermore, blood lactate was particularly better at predicting dengue shock/organ failure (pooled OR: 21.27 (95% CI 11.05 - 40.91); I2 44%, p = 0.17) compared to predict plasma leakage without organ failure/dengue shock (pooled OR 1.6 (95% CI 0.77 - 3.32); I2 0%, p = 0.33). Several things that are known to affect the ability of blood lactate to predict the incidence of severe dengue including the time of blood lactate examination, the outcome measured, and the value of lactate’s cut-off. Conclusions: Blood lactate is a fairly good predictor of severe dengue, particularly good predictor to predict the incidence of dengue shock/organ failure.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Septiani Farhan
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Kelelahan (fatigue) adalah suatu fenomena fisiologis teljedinya penurunan toleransi terhadap kerja flsik. Penyebabnya sangat spesiflk bergantung pada karakteristik kerja tersebut. Ada dua pendapat yang menjelaskan timbulnya kelelahan otot pada olahraga dengan intensitas tinggi dan durnsi singkat. Pertama, bahwa penimbunan asam laktat merupakan penyebub timbulnya kelelahan otot, hal ini disebabkan pemenuhan kebutuhan energi bergantung pada sistem fosfagen dan glikolisis anaerob dan jalur metabolisme int menghasilkan produk samping yaitu asam laktat. Dengan meningkatnya ketergantungan energi dari gHkolisis anaerob menyebabkan terjadinya akumulasi asam laktat. Pada pendapat kedua, kelelahan timbul akibat penimbunan It bebas yang berasal dari basil Hidrolisis ATP dan glikolisis anaerob pada otot yang aktif. Kedua proses ini menghasi!kan H+ bebas. Dengan makin meningkatnya intensitas dan kebutuhan akan ATP, maka proses glikolisis anaerob dan ATP hidrolisis semakin meningkat, maka akumulasi H+ bebas tersebut akan menimbulkan kelelahan otot. Tujuan: Bagaimanakah pengaruh 1-F dan laktat terhadap timbulnya kelelahan otot yang ditandai dengan menurunnya kekuatan kontraksi dari otot rangka tersebut? Metode: Penelitian ini menggunakan 3 kelompok perlakuan. Otot gastrocnemius Rana sp di rendarn dalam larutan perlaknan yang berbada yaitu sodium laktat (kelompok 1), asam laktat (kelompok 2) dan asam sitrat (kelompok 3) selama 30 menit. Otot yang Ielah direndam kemudiao dirangsang dengan kontraksi submaksimal dengan frekuensi 5 Hz dan voltase 20 volt. Gambatan kontraksi direkam dengan menggunakan mekanomiogram. Dihitung durasi mulai awal konttaksi hingga timbulnya penurunan kekuatan kontraksi 50%. Data dianalisis dengan uji ANOVA. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna antara waktu kelelahan yang ditimbulkan oleh sodium laktat dibandingkan dengan asam laktat (P<0,0T32809-Fanny septiani farhan5), Terdapat perbedaan yang bermakna aot:ara waktu kelelahao yang ditimbulkan oleh sodium laktat dibandingkan dengan asam sitrat (P<0,05), dan terdapat perbedaan yang bennakna ant:ara waktu kelelahan yang ditimbulkan oleh asam laktat dibaodingkan dengan asam sitrat (P<0,05), sehingga urutan timbulnya kelelahan dari yang tereepat hingga yang terlarna adalah asam sitrat, asam laktat dan natrium laktat. Kesimpulan: H+ merupakan faktor utama terhadap timbulnya kelelahan otot pada otot rangka Rana sp.
Abstract
Background: Fatigue describes a condition in which a muscle is no longer able to generate or sustain the expected power output. Fatigue is influenced by the intensity and duration of the contractile activity. Multiple factors have been proposed to play a role in fatigue. The popular opinion says that the accumulation of lactic acid as the main cause of fatigue. During intense exercise, muscle and blood lactate can rise to very high levels. Lactic acid becomes accumulated, has a direct detrimental effect on muscle performance. The second opinion show that an increase concentration of hydrogen ions and a decrease in pH (increase in acidity) within muscle or plasma, causes fatigue. The accumulation of hydrogen ion release from glycolysis and ATP hydrolysis. The cell buffering capacity is exceeded and fatigue developed. Aims: The present study was designed to evaluate the role of W and lactate· in causing muscle fatigue. Design: the research uses 3 groups of treatment. Gastrocnemius muscle of Rana sp is submerge in 3 different solutions. Sodium lactate (group 1), lactic acid (group 2) and citric acid (group 3) for 30 minutes. The muscle is being stimulated using stimulator in sub maximum contraction with frequency 5 Hz and 20 volt. the duration of fatigue is observed from the initiation of contraction until 50% reduction of the muscle contraction. Data is analyzed with ANOVA. Result: The result of analysis showed that there were statistical differences on duration of fatigue between sodium lactate and lactic acid, between lactic acid and citric acid, and between lactic acid and citric acid (P
2009
T32809
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widia Sari
Abstrak :
Ketidakseimbangan asupan dan pengeluaran energi dapat menyebabkan terjadinya obesitas yang merupakan faktor risiko utama terjadinya noncommunicable disease (NCD). Latihan fisik dapat menurunkan berat badan penderita overweight dan obesitas melalui penekanan terhadap asupan makanan. HIIT merupakan salah satu bentuk latihan fisik yang dapat mempengaruhi regulasi asupan makanan melalui efek yang dikenal dengan exercise induced anorexia. Efek ini dapat dimediasi oleh IL-6 dan laktat yang meningkat setelah melakukan HIIT. IL-6 dan laktat bekerja secara langsung di hipotalamus untuk menurunkan sekresi AgRP yang merupakan neuropeptida oreksigenik. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh HIIT terhadap asupan makanan yang dilihat dari perubahan kadar IL-6, laktat, dan AgRP. Penelitian menggunakan bahan baku tersimpan (serum darah) dari penelitian payung yang dilakukan sebelumnya pada subjek laki-laki overweight yang diberikan HIIT selama 12 minggu. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan kadar IL-6 serum yang signifikan segera setelah HIIT di minggu ke-12 (p<0,05), peningkatan signifikan kadar laktat segera setelah HIIT di minggu ke-1 dan minggu ke-12 (p<0,05) serta ditemukan tidak ada perubahan kadar AgRP (p>0,05). Selain itu, juga tidak ditemukan korelasi antara IL-6 dan AgRP serta laktat dan AgRP. Dapat disimpulkan pelaksanaan HIIT selama 12 minggu belum dapat menekan asupan makanan jika ditinjau dari kadar IL-6, laktat, dan AgRP. ......Imbalance of energy intake and expenditure can induce obesity, a main risk factor of noncommunicable disease. Physical exercise can aid weight loss in overweight and obese patients by decreasing food intake. HIIT is a form of physical exercise that causes exercise-induced anorexia, which reduces food intake. This effect may be mediated by the increase of IL-6 and lactate following HIIT. IL-6 and lactate directly regulate the expression of AgRP, an orexigenic neuropeptide, in the hypothalamus. This study aims to investigate the effect of HIIT on food intake as seen from changes in IL-6, lactate, and AgRP. This study used blood serum from previous study conducted on overweight males who participated in HIIT for 12 weeks. This study showed a significant increased in serum IL-6 concentration immediately after HIIT at 12th week (p<0,05), a significant increased in serum lactate concentration immediately after HIIT at 1st and 12th week (p<0,05), and no change in AgRP concentration (p>0,05). In addition, no correlation was found between IL-6 and AgRP as well as lactate and AgRP. It can be concluded that the implementation of HIIT for 12 weeks has not been able to suppress food intake based on the concentration of IL-6, lactate, and AgRP
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumapea, Daller R
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian : Kelelahan merupakan salah satu kendala bagi seorang atlet untuk mempertahankan kinerja yang optimal. Kelelahan ditandai dengan terjadinya akumulasi asam laktat dalam otot dan darah, sehingga dibutuhkan suatu metode yang tepat untuk menurunkan kadar asam laktat darah melalui pemulihan pasif dan pemulihan aktif. Untuk ini telah dilakukan penelitian pada 12 orang subyek laki - laki, umur 18 - 24 th atlet balap sepeda DKI Jakarta. Subyek penelitian menjalani pemeriksaan kadar asam laktat darah istirahat dan kemudian melakukan kerja fisik maksimal dengan menggunakan ergometer sepeda, selanjutnya dilakukan analisis perubahan kadar asam laktat darah pada pemulihan pasif dan pemulihan aktif 5,10,15,20 menit. Hasil dan kesimpulan : Pada 12 subyek yang diteliti, perbedaan kadar asam laktat darah pada pemulihan pasif dan pemulihan aktif tidak berbeda bermakna pada 5 menit pertama pemulihan (P-* 0,05 ). Namun pada 10,15,20 menit pemulihan berikutnya terdapat perbedaan yang bermakna ( P < 0,05 ). Hasil ini memperlihatkan bahwa pemulihan aktif lebih banyak dan lebih cepat menurunkan kadar asam laktat darah dibandingkan pemulihan pasif.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nury Nusdwinuringtyas
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
D1793
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hermin Supena
Abstrak :
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pengaruh pengguuaan bahan penghancur Sodium Starch Glycolate (Primojel-Avebe), Crosscarmellose Sodium Type A (Ace-Di-Sol - FMC) dan Amylum manihot siccum (Setia-Bogor), terhadap waktu hancur dan kecepatan melarut Tablet Kalsium Laktat dan Tablet Parcetamol. Diteliti pula pengaruh bahan pengikat Sol. Gelatin 5 % II dan Alkohol 96 % terhadap waktu hancur dan kecepatan melarut Tablet Kalsium Lakta Pada penelitian ini ternyata bahan penghancur Ace-Di-Sol (FIL) memberikan waktu hancur yang paling cepat pada Tablet Kalsiurn Laktat, yaitu 7 menit dengan kecepatan melarut setelah 2 menit (K 2 ) = 61,17 %, sedangkan bahan penghancur Primojel (F IV waktu hancurnya 10 menit, dengan kecepatan melarut setelah 2 menit (K2) = 50,51 %; dan bahan penghancur. Amylurn manihot siccum wáktu hancurnya 9 menit, dengan kecepatan melarut seteiah 2 menit (K2) = 88,03 %. Pada formula Tablet Paracetamol ternyata bahan penghancur - Ac-Di-Sol (F1 ) memberikan waktu hancur yang relatif lebih cepat yaitu 3 menit, dengan kecepatan melarut setelah 30 menit (K30 ) 82,75 %, sedangkan bahan penghancur Primojel (F11 ) waktu hancurnya 5 menit, dengan kecepatan rnelarut Setelah 30 menit ( K30 ) = 81,78 %, dan bahan penghancur Amylum manihot siccum (F 111 ) waktu hancurnya 23 menit, dengan kecepatan inelarut setelah 30 menit (K30 ) = 19,86 .
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1984
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rineke Twistixa Arandita
Abstrak :
Hipoksia merupakan keadaan dimana kadar oksigen berada dibawah kadar 20-21%. Otak merupakan salah satu organ yang rentan mengalami kematian sel akibat hipoksia disebabkan oleh kebutuhan energi yang lebih banyak untuk melakukan fungsinya. Aktivitas Enzim Laktat Dehidrogenase (LDH) memiliki peran dalam keadaan hipoksia untuk menghasilkan energi melalui reaksi glikolisis anaerob. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati dan mempelajari adaptasi jaringan otak dengan melihat aktivitas enzim LDH di jaringan otak tikus normoksia dibandingkan dengan hipoksia. Penelitian ini merupakan studi eksperimental yang dilaksanakan sejak Maret 2011. Dilakukan pengkondisian hipoksia dalam hypoxic chamber (oksigen 10% dan nitrogen 90%) selama 1 hari, 3 hari, 7 hari, dan 14 hari kepada 20 tikus galur Sprague Dawley, sedangkan 5 ekor tikus akan berperan sebagai kontrol. Pasca perlakuan, otak tikus diambil melalui proses bedah dengan melakukan eutanasia dengan eter terlebih dahulu, otak ditimbang hingga batas 100 mg, dan diubah menjadi supernatan yang akan diperiksa absorbansinya dengan menggunakan elektrofotometer untuk menentukan aktivitas enzim LDH. Hasil menunujukkan peningkatan aktivitas pada 1 dan 3 hari hipoksia, dan menurun pada 7 dan 14 hari hipoksia. Analisis dengan uji nonparametrik Kruskal-Wallis didapatkan nilai p > 0.05 sehingga tidak ada perbedaan bermakna antara aktivitas LDH pada kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi perlakuan hipoksia.
Hypoxia is a term to a condition which oxygen level below 20-21%. The brain is an organ which is susceptible to cell death due to hypoxia caused by the need of more energy to perform its function. Lactate Dehydrogenase (LDH)?s activity has role in hypoxic condition to produce energy through anaerob glycolisis. This research aimed to observe and study about the adaptation of brain through LDH's activity in the tissue of normoxic rat brain compared to the hypoxic rat. This is an experimental study which held from March 2011. 20 rats were placed in the hypoxic chamber (10% Oxygen, 90% Nitrogen) for 1, 3, 7, and 14 days; while 5 normoxic rats will be served as control. The brain were taken by a surgery with a process of eutanaschia before it. The brain weighed up to the limit of 100 mg, then converted to supernatant. Absorbance of the supernatant examined by electrophotometer as the activity of the enzymes. There were increased activity in the 1, and 3-day hipoxia, and decreased in 7, and 14-day hipoxia. analyzed by Kruskal-Wallis nonparametric test obtained p > 0.05 which means there is no significant difference between LDH?s activity in the normoxic and hypoxic tissue.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naela Himayati Afifah
Abstrak :
Pada kondisi hipoksia, untuk tetap mencukupi jumlah adenosine trifosfat (ATP), sel akan melakukan adaptasi dengan mengubah metabolisme dari proses aerob menjadi anaerob. Sebagai enzim glikolisis anaerob, jumlah laktat dehidrogenase (LDH) pun akan meningkat di dalam sel. Paru, sebagai organ vital penyedia oksigenasi adekuat bagi tubuh, juga memiliki respon terhadap kondisi hipoksia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran adaptasi metabolisme jaringan paru melalui aktivitas spesifik LDH, pada tikus yang telah diinduksi hipoksia sistemik dibandingkan dengan normoksia (kontrol). Sejumlah tikus ditempatkan pada kandang hipoksia (kandungan O2 10%) selama 1, 3, 7, dan 14 hari. Pada akhir periode, bersama dengan kelompok tikus normoksia, semua tikus percobaan dieuthanasia, dan organ parunya dianalisis untuk pengukuran aktivitas spesifik LDH. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas LDH paru menurun pada kondisi hipoksia dibandingkan dengan normoksia. Penurunan glikolisis anaerob pada sel paru menggambarkan kegagalan mekanisme adaptasi sel yang berujung pada apoptosis. Perhitungan One-Way ANOVA menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok normoksia dan kelompok-kelompok hipoksia (p=0,015). Pada Uji Post-Hoc diketahui bahwa aktivits LDH pada kelompok hipoksia 1 hari, 7 hari, dan 14 hari, berbeda bermakna dibandingkan normoksia. Disimpulkan bahwa pada jaringan paru tikus hipoksia sistemik terdapat penurunan bermakna aktivitas spesifik LDH dibandingkan kontrol normoksia.
In hypoxia, to maintain adenosine triphosphate (ATP) production, cell conducts an adaptation mechanism by shifting metabolism from aerobic into anaerobic. As an anaerobic glycolytic enzyme, the amount of lactate dehydrogenase (LDH) is increasing intracellularly regarding hypoxia condition. Lung, as a vital organ regulating adequate oxygenation to systemic, has a response to hypoxia. This research aims to get a display of metabolism adaptation on lung tissue in systemic hypoxia induced rats compared to normoxia. Some amount of rats are divided into groups and placed inside hypoxic cage (O2 10%) in 1, 3, 7, and 14 days. In the end, together with normoxia group, they were euthanized, and the lung organ was analyzed for specific LDH activity. The result shows a declining on LDH activity in hypoxia compared to normoxia. The decreasing of anaerobic glycolytic process in lung tissue portrays a failure of lung cell adaptation mechanism, and this condicition leads to cell apoptosis. One-way ANOVA test shows significant difference on LDH specific activity between normoxia and hypoxia groups (p=0,015). Post-Hoc test then shows the significant difference is between 1 day, 7 days, and 14 days hypoxia compared to normoxia. In conclusion, there is significant decreasing of specific LDH activity on hypoxia compared to normoxia in lung tissue.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>