Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gabriella Gianova
"Penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU) adalah fenomena global yang secara terus-menerus menimbulkan ancaman besar terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan, dan itu terjadi tidak hanya di dalam yurisdiksi nasional tetapi juga di laut lepas. Skala penangkapan ikan IUU di laut lepas semakin kuat, mengingat fakta bahwa laut lepas adalah daerah yang sangat luas yang tidak tertutup, dengan pengawasan, pemantauan, dan penegakan yang lemah. Situasi ini memfasilitasi praktik penangkapan ikan ilegal untuk terus terjadi tanpa intervensi. RFMO sebagai organisasi regional yang menangani isu-isu mengenai konservasi dan pengelolaan perikanan laut lepas menjadi salah satu platform terkuat dalam menegakkan langkah-langkah untuk mencegah, menghalangi, dan menghilangkan IUU fishing. Namun, konservasi dan pengelolaan RFMO harus diikuti oleh kemauan dan komitmen serius dari anggota dan non-anggota untuk mematuhi dan menerapkan langkah-langkah yang diadopsi oleh RFMO tertentu. Jika instrumen dan langkah-langkah hukum internasional yang diadopsi oleh RFMO dilaksanakan secara konsisten dan efektif, masalah IUU memancing di laut lepas dapat diselesaikan.

Illegal, unreported and unregulated fishing (IUU) is a global phenomenon that continually poses a major threat to the sustainability of fisheries resources, and it occurs not only in national jurisdictions but also in the high seas. The scale of IUU fishing in the high seas is getting stronger, given the fact that the high seas is a vast area that is not covered, with weak supervision, monitoring and enforcement. This situation facilitates illegal fishing practices to continue to occur without intervention. RFMO as a regional organization that handles issues concerning the conservation and management of open sea fisheries is one of the strongest platforms in enforcing measures to prevent, hinder, and eliminate IUU fishing. However, conservation and management of RFMO must be followed by a serious willingness and commitment from members and non-members to comply with and implement the steps adopted by certain RFMO. If the instruments and international legal measures adopted by RFMO are implemented consistently and effectively, the problem of IUU fishing in the high seas can be resolved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Luthfi Firdaus
"ABSTRAK
Fokus dari penelitian ini adalah menjelaskan penerapan asas universal jurisdiction oleh Negara untuk memberantas pembajakan di laut (piracy). Dalam hukum internasional, terutama United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 menegaskan bahwa kejahatan pembajakan di laut terjadi di wilayah laut lepas dan diluar yurisdiksi Negara manapun. Berbeda dengan armed robbery yang terjadi di laut teritorial. Oleh karena itu untuk melawan pembajakan di laut Negara harus menerapkan yurisdiksinya di wilayah laut lepas dan menerapkan asas universal jurisdiction.
ABSTRACT
Focus of this research is explaining the implementation of universal jurisdiction principle by states to combat piracy. International law, particularly the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 emphasized that piracy shall occur in the high seas beyond jurisdiction of any States. It differs with armed robbery which is happened inside territorial waters. Therefore it is necessary for States to implement their jurisdiction on the high seas and implement universal jurisdiction principle."
Universitas Indonesia, 2016
S62269
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Mangisi
"Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, dalam UNCLOS 1982 telah diatur mengenai pembagianpembagian wilayah laut dan penggunaanya bagi masyarakat internasional, seperti halnya laut lepas yang telah dinyatakan sebagai wilayah laut yang tidak boleh berada dikedaulatan negara manapun termasuk digunakan untuk keperluan pribadi negara, seperti halnya Cina yang membangun Pangkalan Militernya di wilayah Laut Cina Selatan yang merupakan laut lepas. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian adalah penelitian yuridis-normatif dengan metode pengumpulan data studi kepustakaan (Library Reasearch) yang berupa Perundang-undangan , buku-buku, serta jurnal maupun internet yang berkaitan dangan pokok permasalahan dalam peneilitian ini, serta menggunakan analisis data kualitatif. Cina menggunakan klaim historisnya yang dikenal dengan “Nine Dash Line”,dengan klaim ini Cina mengakui bahwa Laut Cina Selatan merupakan bagian dari yurisdiksinya dan Cina memiliki kehendak untuk melakukan berbagai kegiatan-kegiatan di wilayah tersebut, untuk itu Cina melakukan pembangunan Pangkalan Militernya di Laut China Selatan tepatnya di Mischief Reef yang merupakan bagian dari Laut lepas bahkan hanya berjarak 250 mil dari Filipina dan jarak yang dimiliki dengan negara Cina cukuplah jauh, berdasarkan UNCLOS 1982 bahwa tindakan yang dilakukan oleh Cina tersebut telah bertentangan dengan UNCLOS 1982."
Jakarta: Seskoal Press, 2022
023.1 JMI 10:1 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nicholas, Kenneth
"ABSTRAK
Aktivitas transshipment di laut lepas semakin meningkat, mencapai hampir 40% dari semuanya transshipment di dunia, dan aktivitas ini memiliki keuntungan dan kerugian. Satu Di sisi lain memberikan efisiensi bagi pelaku usaha perikanan, namun di sisi lain lebih memudahkan Praktek IUU Fishing. Penulis berpendapat bahwa dampak negatif pemindahan muatan lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang didapat aktor. Stok ikan di laut lepas cenderung berpindah muatan yang mendorong penangkapan ikan yang tidak memperhatikan unsur kelestarian. RFMO sebagai entitas yang diberi mandat untuk melestarikan stok perikanan laut bebas untuk menetapkan peraturan tentang pemindahan muatan di laut lepas, tetapi setiap RFMO memilikinya regulasi yang berbeda. Peneliti berfokus pada dua RFMO yang relevan Indonesia yaitu IOTC dan WCPFC yang dibandingkan dengan RFMO yang merupakan regulasi transfer muatannya terbaik, SEAFO. Peneliti juga menganalisis peran Indonesia dalam dua RFMO khususnya dalam konteks transshipment. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan data yang diperoleh dari studi pustaka dan wawancara dengan narasumber relevan (Kementerian, Asosiasi Perikanan, dan Satgas 115). Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi praktik terbaik dalam regulasi transshipment di laut lepas sebagai upaya konservasi stok ikan. Hasil dari studi ini adalah dari IOTC dan WCPFC mengizinkan kegiatan transshipment berdasarkan jenis kapal dan masih ada kekurangan perizinan, pelaporan dan pengawasan. Terakhir regulasi kedua RFMO sebenarnya mendorong peningkatan praktik transshipment di tengah laut dan tidak kurangi itu. Indonesia mendukung penuh larangan transshipment di laut lepas mengadvokasi hal itu di forum internasional. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa
dalam upaya menjaga stok ikan dan mengakomodir kebutuhan pelaku usaha, RFMO disarankan untuk mengizinkan jenis kapal tertentu untuk melakukan kelebihan muatan, Namun, harus dibarengi dengan mekanisme monitoring dan pelaporan yang ketat dengan target yang tertata setiap kapal transships di pelabuhan pada akhirnya. Praktek terbaik diterapkan untuk mencegah pelanggaran hukum yang mempengaruhi kinerja RFMO untuk melindungi stok ikan di laut lepas.
ABSTRACT
Transshipment activity on the high seas is increasing, accounting for nearly 40% of all transshipment in the world, and this activity has both advantages and disadvantages. One On the other hand, it provides efficiency for fishery business actors, but on the other hand it makes it easier for IUU Fishing Practices. The author argues that the negative impacts of transshipment are greater than the gains for actors. Fish stocks in the high seas tend to shift cargo which encourages fishing that does not pay attention to the element of sustainability. RFMO as an entity that is mandated to conserve the stocks of open sea fisheries to establish regulations regarding the transfer of cargo on the high seas, but each RFMO has different regulations. The researcher focuses on two RFMOs that are relevant to Indonesia namely IOTC and WCPFC which are compared to RFMO which is the best cargo transfer regulation, SEAFO. Researchers also analyzed Indonesia's role in the two RFMOs, especially in the context of transshipment. This research is a normative juridical study with data obtained from literature studies and interviews with relevant sources (Ministry, Fisheries Association, and Task Force 115). The aim of the research is to identify best practices in the regulation of transshipment in the high seas for the conservation of fish stocks. The results of this study are that the IOTC and WCPFC allow transshipment activities by ship type and there is still a lack of licensing, reporting and supervision. Finally, the second RFMO regulation actually encourages increased transshipment practices in the middle of the sea and does not reduce it. Indonesia fully supports the ban on transshipment on the high seas and advocates for this in international forums. The conclusion of this study is that
In an effort to maintain fish stocks and accommodate the needs of business actors, it is recommended that RFMOs allow certain types of vessels to be overloaded, however, this must be accompanied by a strict monitoring and reporting mechanism with a structured target for each transships vessel at the port in the end. Best practices are in place to prevent violations of laws affecting the performance of RFMOs to protect fish stocks in the high seas."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library