Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Eric Juniarto
"ABSTRAK
Latar Belakang: Cedera utama pada otot levator ani avulsi seringkali merupakan konsekuensi umum dari persalinan per vaginam. Sekitar 13-36 perempuan yang melahirkan per vaginam, terutama pertama kali,, mengalami avulsi otot levator ani. Sampai saat ini, penelitian yang berhubungan dengan area hiatal levator ani masih terbatas.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan area hiatal otot levator ani perempuan nullipara, primipara dan multipara saat istirahat/kontraksi dan manuver Valsalva serta kejadian avulsi.Metode: Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dengan melihat hasil pemeriksaan ultrasonografi transperineal yang dilakukan pada pasien perempuan nullipara, primipara dan multipara yang datang ke poli Obstetri dan Ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Mei 2015 ndash; Juni 2016.Hasil: Terdapat perbedaan bermakna untuk area hiatal otot levator ani pada saat valsava maupun istirahat untuk ketiga kelompok penelitian dengan p = 0.028 dan p = 0.012 . Saat valsava, perbedaan area hiatal otot levator ani ditemukan pada kelompok nulipara dan multipara dengan perbedaan rerata yaitu 22,26 5,45 cm2. Saat istirahat, perbedaan area hiatal otot levator ani ditemukan pada kelompok nulipara dan multipara dengan perbedaan rerata yaitu 10,70 2,26 cm2. Avulsi terjadi pada 1 dari 45 2,2 pada perempuan primipara dan perempuan multipara.Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna untuk area hiatal otot levator ani pada saat maneuver Valsava maupun istirahat untuk ketiga kelompok penelitian. Kata kunci: area hiatal levator ani, avulsi, multipara, nulipara, primipara

ABSTRACT
Background Levator ani muscle avulsion is a common consequence of vaginal childbirth that occurs in approximately 13 36 of women, mainly during the first vaginal delivery. As far as we are aware, studies assessing levator hiatus are still limited. Aim The aim of this study is to determine the relationship between hiatus of nulliparous, primiparous and multiparous woman at valsava and rest, and the prevalence of avulsion. Methods A cross sectional study design was used by evaluating the transperinal ultrasound results of all nulliparous, primiparous, and multiparous women in the Reproductive Clinic of Cipto Mangunkusumo during the period of May 2015 to June 2016. Results There were significant differences in levator hiatus between nulliparous, primiparous and multiparous woman during Valsava maneuver and at rest, averaging 22,26 5,45 cm2 p 0.028 and 10,70 2,26 cm2 p 0.012 , respectively. Levator ani muscle avulsion occurred in 1 out of 46 2.2 women from the primiparous and multiparous group.Conclusion There were significant differences in levator hiatus during Valsalva and rest between the groups. Keywords avulsion, levator hiatus, multiparous, nulliparous, primiparous"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Santoso
"ABSTRAK
Prolaps pada dinding anterior vagina terjadi karena kelemahan jaringan ikat dan fasia puboservikalis yang mengakibatkan turunnya kandung kemih yang dikenal sebagai sistokel, sedangkan prolaps dinding posterior mengakibatkan turunnya rektum, dikenal sebagai rektokel. Kemungkinan terjadinya sistokel dan rektokel dikemudian hari dapat diperkirakan dengan mengetahui titik potong optimal hiatus levator ani.Tujuan : Membandingkan derajat sistokel dan rektokel dengan maksimal area hiatal levator AHL saat Valsava.Metode : Analisa data sekunder 90 pasien prolaps uteri Januari 2012 hingga November 2013 di poliklinik Uroginekologi RSCM, Jakarta. Pengukuran ultrasonografi 3D/4D dan pelvic organ prolapse quantification system POP-Q sistokel derajat I-IV dan rektokel derajat I-IV. Dianalisis dengan stata program 20 for windows.Hasil : Perbedaan bermakna sistokel derajat I-II n=25 dengan derajat III-IV n=65 , maksimal AHL dengan perbedaan sebesar 4,33 cm2 p=0,040 . Pada rektokel derajat I-II n=64 dan derajat III-IV n=26 sebesar 3,85 cm2 p=0,130 . Nilai AUC untuk sistokel derajat I-II dengan III-IV adalah 0,607 IK95 0,467 ndash; 0.738 , untuk rektokel adalah 0,603 IK95 0,472 ndash; 0.734 . Titik potong optimal ROC untuk sistokel derajat I-II dengan III-IV dengan sensitivitas dan spesifitas tertinggi adalah 29 cm2 sensitifitas 0.523, spesifitas 0.520 , pada rektokel adalah 30 cm2 sensitifitas 0.538, spesifitas 0.584 .Simpulan : Terdapat hubungan bermakna antara derajat sistokel dengan area hiatal otot levator ani saat valsava, namun tidak terdapat hubungan pada rektokel. Nilai area under curve maksimal area hiatal otot levator ani dalam membedakan sistokel derajat I-II dan III-IV relatif sama dengan rektokel derajat I-II dan III-IV. Titik potong optimal area hiatal otot levator ani dalam membedakan sistokel derajat I-II dan III-IV adalah 29 cm2, sedangkan untuk rektokel adalah 30 cm2 dengan nilai sensitifitas dan spesifitas yang cukup baik.

ABSTRACT
AbstractBackground the anterior vaginal wall prolapse can occur because of the weakness of the connective tissue and fascia pubocervical resulting decline in the bladder, known as cystocele, while the posterior wall prolapse resulting decline in the rectum, known as rectocele. The possibility of cystocele and rectocele in the future can be predicted by knowing the optimal cut point hiatus levator ani.Objective To compare the degree of cystocele and rectocele with a maximum of levator hiatal area AHL during Valsava.Methods Secondary data analysis of 90 patients with uterine prolapse January 2012 to November 2013 in the clinic Uroginekologi RSCM, Jakarta. 3D 4D ultrasound measurement and pelvic organ prolapse system Quantification POP Q stage I IV cystocele and rectocele stage I IV. Analyzed with Stata program 20 for windows.Results significant difference cystocele stage I II n 25 with stage III IV n 65 , the maximum AHL with a difference of 4.33 cm2 p 0.040 . In rectocele stage I II n 64 and stage III IV n 26 of 3.85 cm2 p 0.130 . AUC values for cystocele stage I II with III IV was 0.607 IK95 from 0.467 to 0738 , for rectocele is 0.603 IK95 from 0.472 to 0734 . ROC optimal cut point for cystocele stage I II with III IV with the highest sensitivity and specificity is 29 cm2 0523 sensitivity, specificity 0520 , the rectocele is 30 cm2 0538 sensitivity, specificity 0584 .Conclusion There was a significant relationship between the degree of cystocele with hiatal area levator ani muscles when Valsava, but there is no relationship at rectocele. The value of area under the curve maximum hiatal area of the levator ani muscle in distinguishing cystocele stage I II and III IV are relatively similar to rectocele stage I II and III IV. Optimal cut point hiatal area of the levator ani muscle in distinguishing cystocele stage I II and III IV is 29 cm2, while for rectocele is 30 cm2 with sensitivity and specificity values were quite good."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58935
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Fikri Ali Akbar
"Latar Belakang Prolaps organ panggul (POP) merupakan perubahan posisi organ-organ penyusun panggul dari posisi normal. Ballooning atau distensi otot levator ani dinilai menjadi penyebab POP. Penentuan balloning sejauh ini masih menggunakan USG 3D/4D yang tidak banyak ada di Indonesia. Diperlukan penelitian perbandingan ballooning dan non-ballooning dengan USG 2D untuk menentukan ballooning dengan panjang antero-posterior (AP) hiatus levator ani. Metode Digunakan metode deskriptif analitik menggunakan perbandingan rerata dengan desain penelitian potong lintang retrospektif dan pemilihan sampel penelitian secara konsekutif. Didapatkan sebanyak 72 subjek dengan 37 orang berada pada kelompok ballooning. Hasil Usia kelompok ballooning dan non-ballooning berada pada usia dewasa tua (60.35 ± 11.06 vs 56.54 ± 11.14 tahun, p=0.096), obesitas (26.73 ± 3.94 vs 24.53 ± 2.88 kg/m2, p=0.015), aktivitas berat (51.3% vs 65.7%, p=0.217), pekerjaan ibu rumah tangga (64.8% vs 65.7%, p=0.893), multiparitas (72.9% vs 60.0%, p=0.210), menopause (75.6% vs 74.2%, p=0.892), bayi lahir terberat ≥ 3500 gram (56.7% vs 45.7%, p=0.349), dan persalinan normal (83.7% vs 88.5%, p=0.420). Rerata anteroposterior ballooning lebih besar dibandingkan non-ballooning (7.09 ± 0.63 vs 5.56 ± 0.64 cm) dengan seluruh subjek ballooning memiliki panjang AP di atas 6 cm (<0.001). Kesimpulan Obesitas dan berat badan berhubungan dengan adanya ballooning pada pasien POP. Perbandingan AP hiatus levator ani menunjukkan perbedaan sehingga skrining ballooning berdasarkan panjang AP hiatus dapat dilakukan untuk membedakan kedua kelompok.

Introduction Pelvic organ prolapse (POP) is a change in the position of the organs that make up the pelvis from their normal position. Ballooning or distension of the levator ani muscle is considered to cause POP. This determination of ballooning still uses 3D/4D ultrasound, which is not widely available in Indonesia. Comparative research between ballooning and non-ballooning with 2D ultrasound is needed to determine the ballooning through anteroposterior (AP) length of the levator ani hiatus. Method The analytical descriptive method was used using mean comparisons with a retrospective cross-sectional research design and consecutive research sample selection. There were 72 subjects with 37 people in the ballooning group. Results The ages of the ballooning and non-ballooning groups were older adults (60.35 ± 11.06 vs 56.54 ± 11.14 years, p=0.096), obesity (26.73 ± 3.94 vs 24.53 ± 2.88 kg/m2, p=0.015), heavy activity (51.3% vs 65.7%, p=0.217), housewife work (64.8% vs 65.7%, p=0.893), multiparity (72.9% vs 60.0%, p=0.210), after menopause (75.6% vs 74.2%, p=0.892) , the heaviest baby born ≥ 3500 grams (56.7% vs 45.7%, p=0.349), and normal delivery (83.7% vs 88.5%, p=0.420). The mean anteroposterior ballooning was greater than non-ballooning (7.09 ± 0.63 vs 5.56 ± 0.64 cm) with all ballooning subjects having an AP length above 6 cm (<0.001). Conclusion Obesity and body weight are associated with ballooning in POP patients. Comparison of the AP hiatus of the levator ani shows differences so that ballooning screening based on the length of the AP hiatus can be performed to differentiate the two groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthonyus Natanael
"Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) didefinisikan sebagai turunnya visera pelvis (uterus, kandung kemih, uretra, dan rektum) dari posisi normal. Otot levator ani merupakan penopang panggul yang berperan penting dalam patogenesis POP. Studi sebelumnya menunjukkan terdapat perbedaan luas area hiatus dan panjang anteroposterior hiatus levator ani pada setiap derajat keparahan POP. Diagnosis POP dapat ditegakkan dengan POP-Q, namun pelaksanannya masih terbatas sehingga dibutuhkan alat pemeriksaan lain untuk skrining pasien.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan metode consecutive sampling. Peneliti mengidentifikasi subjek POP dengan dan tanpa keluhan benjolan. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian ini menjalani pemeriksaan POP-Q, panjang genital hiatus (Gh) dan perineal body (Pb), dan pemeriksaan USG translabial 3D/4D. Data dianalisis menggunakan SPSS Statistics 20 dengan uji T tidak berpasangan untuk membandingkan rerata parameter luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani. Selanjutnya dilakukan analisa ROC untuk mendapatkan nilai titik potong dengan estimasi sensitifitas dan spesifisitas terbaik untuk membedakan prolaps bergejala dan tidak bergejala benjolan. Hasil: Sebanyak 109 subjek ikut serta dalam penelitian ini. Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus (28,9+5,59 vs 19,6+4,63, p < 0,05 saat valsalva, 15,2+4,08 vs 12,5+3,15, p <0,005 saat kontraksi) dan panjang anteroposterior levator ani (8,6+1,06 vs 6,8+1.13, p<0,05) antara kelompok dengan keluhan benjolan dan kelompok tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani untuk membedakan subjek dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan adalah 25,1 cm2 [sensitifitas 84,6%, spesifisitas 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] dan 7,75 cm [sensitifitas 87,2%, spesifisitas 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)].
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus dan panjang anteroposterior levator ani antara kelompok dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas hiatus 25,1 cm dan panjang anteroposterior 7,75 cm memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik untuk membedakan kedua kelompok.

Introduction: Pelvic organ prolapse (POP) is defined as descent of the pelvic viscera (uterus, bladder, urethra, and rectum) from its normal position. Levator ani muscle is the largest component of pelvic floor that plays an important part in POP pathogenesis. Previous study showed that there was difference in levator hiatus area and anteroposterior length on every grade of POP. The diagnosis of POP can be established from POP-Q tool, however its use is still very limited within its subspecialist practice causing the need of a new screening tool.
Methods: This was a cross-sectional study with consecutive sampling method. We classified POP subject with bulge symptom and without bulge symptom. Subjects that were willing to participate in this study under underwent POP-Q examination and 3D/4D transperineal ultrasonography. Data were analyzed using SPSS Statistics 20 with student’s t-test to compare levator hiatus area and anteroposterior length mean between 2 group.
Results: A total of 109 subjects were included in this study. There was a significance difference in levator hiatus area (28.9+5.59 cm2 vs 19.6+4.63 cm2, p < 0/05 during valsalva maneuver, 15.2+4.08 cm2 vs 12.5+3.15 cm2, p <0.05 during contraction) and anteroposterior length (8.6+1.06 c, vs 6.8+1.13 cm, p<0,05) between group with bulge symptom and without bulge symptom. Levator hiatus area and anteroposterior length cutoff to differentiate between subject with and without bulge symtoms was respectively 25,1 cm2 [sensitivity 84,6%, specificity 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] and 7,75 cm [sensitivity 87,2%, specificity 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)].
Conclusion: There was a significant difference in levator hiatus area and anteroposterior length between group with and without bulge symptom. Levator hiatus area cut off at 25,1 cm2 anteroposterior length cut off at 7.75 cm showed good sensitivity and specificity to differentiate between 2 group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andro Janevbech Wawura Karubuy
"Latar Belakang: Gejala vagina dan berkemih berdampak buruk pada kesehatan seksual dan kualitas hidup wanita usia premenopause atau menopause/sindrom genitourinari menopause (SGM). Terapi laser vagina menawarkan pemulihan dan regenerasi jaringan dan organ berupa mengencangkan dan menebalkan jaringan mukosa vagina. Laser vagina diharapkan dapat memperbaiki gejala vagina, berkemih wanita, serta menguatkan kontraksi otot dasar panggul.
Objektif: Mengetahui perbaikan gejala vagina dan berkemih serta kekuatan kontraksi otot dasar panggul pasca terapi laser di RS YPK Mandiri, tahun 2017 – 2021.
Metode : Penelitian ini menggunakan studi kuasi eksperimental dengan mengambil data sekunder dari rekam medis.
Hasil: Total didapatkan 54 subjek penelitian dengan rerata usia 45,5 (SD = 11,67) tahun. Sebanyak 70,4 % wanita belum menopause, dan 29,6 % tergolong SGM. Gejala vagina kering didapatkan mengalami perbaikan pasca terapi laser dengan presentase 95 % (p = 0,006), sedangkan presentase perbaikan gejala beser, inkontinensia urin tipe tekanan dan vagina longgar berurutan sebesar 78,2 %, 84,0 %, dan 60,0 %. Kekuatan kontraksi otot dasar panggul meningkat 3 bulan pasca terapi laser dari 25,00 (interquartile range (IQR) = 15,0) cmH2O menjadi 39,33 (IQR = 11,1) cmH2O (p = < 0,001). Demikian, kekuatan kontraksi otot dasar panggul berdasarkan skor Modified Oxford Scale (MOS) didapatkan 79,6 % (43 subjek) mengalami peningkatan 1 derajat MOS.
Kesimpulan: Terapi laser vagina dapat menjadi terapi alternatif untuk melembabkan lubrikasi vagina, dan meningkatkan kekuatan kontraksi otot dasar panggul. 

Background: Vaginal and urinary symptoms often have adverse impact on the sexual health and quality of life of pre-menopausal or post-menopausal age women known as genitourinary syndrome of menopause (GSM). Vaginal laser offers tissue and organ restoration and regeneration by tightening and thickening vaginal mucosal tissue. Vaginal laser expected to improve vaginal symptoms, urination symptoms, and strengthen levator ani muscle.
Objective: To know the improvement of vaginal and urinary symptoms and levator ani muscle contraction after laser therapy at YPK Mandiri Hospital, 2017-2021.
Method: Quasi-experimental study by taking secondary data form medical records.
Result: Total sample 54 subjects were obtained with mean age of 45,5 (SD = 11,67) years. 70,4 % of women are pre-menopausal, and 29,6 % are classified GSM. Dry vaginal symptoms were found to have improved after laser therapy with a percentage of 95 % (0,006), while the percentage of improvement in incontinence symptoms, stress urinary incontinence, and vaginal laxity respectively were 78,2 %, 84,0 %, and 60,0 %. The strength of levator ani muscle contraction increased 3 months after laser therapy from 25,00 (interquartile range (IQR) – 15,0) cmH2O to 39,33 (IQR = 11,1) cmH2O (p < 0,001). Thus, the strength of levator ani muscle contraction based on the Modified Oxford Scale (MOS) score was found to be 79,6 % (43 subjects) experiencing an increase of 1 - degree MOS.
Conclusion: Vaginal laser therapy can be an alternative therapy to moisturize vaginal lubrication, and increase the strength of levator ani muscle contraction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dafnil Akhir Putra
"Latar belakang : Prolaps organ panggul diketahui berkaitan dengan komplikasi berupa disfungsi seksual. Luas genitalia hiatus serta kekuatan otot dasar panggul merupakan salah satu parameter yang diketahui berkaitan dengan komplikasi tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan luas levator hiatus dan kekuatan levator ani pada kasus POP terutama terhadap masalah disfungsi seksual.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain perbandingan potong lintang, yang dilaksanakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Februari 2023 hingga Mei 2024. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan status ginekologis, termasuk POP-Q dan perineometer dan pemeriksaan USG dasar panggul. Kategori disfungsi dikelompokkan berdasarkan skor FSFI. Data yang diperoleh akan diuji secara parametrik maupun non parametrik sesuai normalitas data, dengan batas kemaknaan yaitu alpha 5%. Penentuan titik potong diukur dengan metoda ROC dan analisa AUC serta penghitungan nilai sensitivitas maupun spesifisitasnya. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi untuk mendapatkan signifikansi (p) serta kekuatan korelasi (r) pada setiap variabel yang akan diperiksa.
Hasil: Pengambilan data secara consecutive sampling pada seluruh pasien baru POP yang datang ke Poli Uroginekologi, terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam populasi dengan kategori 20 sample disfungsi seksual dan 20 sampel tidak disfungsi seksual. Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada sampel prolaps organ panggul pada kelompok disfungsi seksual maupun tidak disfungsi seksual. Dari uji T-tidak berpasangan didapatkan hubungan yang bermakna pada maksimal levator hiatus dengan kejadian disfungsi seksual (p=0,000). Terdapat hubungan kekuatan levator hiatus saat kontraksi dengan kejadian disfungsi seksual pada perempuan dengan prolaps organ panggul oleh uji Mann-Whitney (p=0,005). Pada luas levator hiatus didapatkan titik potong yaitu 30.865 cm2 (sensitivitas 85%, spesitifitas 80%), kemudian untuk titik potong kekuatan otot levator ani yaitu 20.5 cmH2O (sensitivitas 80%, sensitifitas 70%). Berdasarkan korelasi Pearson antara luas levator hiatus dengan skor FSFI yang bermakna pada domain rangsangan (p=0,000, r=-0,531) serta domain orgasme (p= 0,000, r=-0,581). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman pada kekuatan otot levator ani didapatkan hasil yang bermakna pada domain tingkatan rangsangan (p=0,015, r=0,383) dan pada domain orgasme yaitu (p=0.002, r=0,478).
Kesimpulan : Pemeriksaan luas levator hiatus dengan USG dasar panggul dan pengukuran kekuatan otot dasar panggul dengan perineometer dapat menjadi alternatif untuk membantu mengevaluasi resiko kejadian disfungsi seksual pada perempuan POP postmenopause.

Latar belakang : Prolaps organ panggul diketahui berkaitan dengan komplikasi berupa disfungsi seksual. Luas genitalia hiatus serta kekuatan otot dasar panggul merupakan salah satu parameter yang diketahui berkaitan dengan komplikasi tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan luas levator hiatus dan kekuatan levator ani pada kasus POP terutama terhadap masalah disfungsi seksual.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain perbandingan potong lintang, yang dilaksanakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Februari 2023 hingga Mei 2024. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan status ginekologis, termasuk POP-Q dan perineometer dan pemeriksaan USG dasar panggul. Kategori disfungsi dikelompokkan berdasarkan skor FSFI. Data yang diperoleh akan diuji secara parametrik maupun non parametrik sesuai normalitas data, dengan batas kemaknaan yaitu alpha 5%. Penentuan titik potong diukur dengan metoda ROC dan analisa AUC serta penghitungan nilai sensitivitas maupun spesifisitasnya. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi untuk mendapatkan signifikansi (p) serta kekuatan korelasi (r) pada setiap variabel yang akan diperiksa.
Hasil: Pengambilan data secara consecutive sampling pada seluruh pasien baru POP yang datang ke Poli Uroginekologi, terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam populasi dengan kategori 20 sample disfungsi seksual dan 20 sampel tidak disfungsi seksual. Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada sampel prolaps organ panggul pada kelompok disfungsi seksual maupun tidak disfungsi seksual. Dari uji T-tidak berpasangan didapatkan hubungan yang bermakna pada maksimal levator hiatus dengan kejadian disfungsi seksual (p=0,000). Terdapat hubungan kekuatan levator hiatus saat kontraksi dengan kejadian disfungsi seksual pada perempuan dengan prolaps organ panggul oleh uji Mann-Whitney (p=0,005). Pada luas levator hiatus didapatkan titik potong yaitu 30.865 cm2 (sensitivitas 85%, spesitifitas 80%), kemudian untuk titik potong kekuatan otot levator ani yaitu 20.5 cmH2O (sensitivitas 80%, sensitifitas 70%). Berdasarkan korelasi Pearson antara luas levator hiatus dengan skor FSFI yang bermakna pada domain rangsangan (p=0,000, r=-0,531) serta domain orgasme (p= 0,000, r=-0,581). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman pada kekuatan otot levator ani didapatkan hasil yang bermakna pada domain tingkatan rangsangan (p=0,015, r=0,383) dan pada domain orgasme yaitu (p=0.002, r=0,478).
Kesimpulan : Pemeriksaan luas levator hiatus dengan USG dasar panggul dan pengukuran kekuatan otot dasar panggul dengan perineometer dapat menjadi alternatif untuk membantu mengevaluasi resiko kejadian disfungsi seksual pada perempuan POP postmenopause.

Introduction : Pelvic organ prolapse is known to be related to complications in the form of sexual dysfunction. The area of hiatus genitalia and the strength of pelvic floor muscles are one of the known parameters related to these complications. The aim of this study is to determine the association between the hiatus levator area and the strength of the levator ani in POP cases, specifically focusing on sexual dysfunction issues.
Methods : This study uses a cross-sectional comparison design, which was carried out at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in the period from February 2023 to May 2024. A gynecological status check, including POP-Q, perineometer, and pelvic floor ultrasound examination, is performed. The categories of dysfunction are grouped based on FSFI scores. The data obtained is then tested in a parametric or non-parametric test according to the normality of the data, with an efficiency limit of alpha 5%. The determination of the cut-off point is measured by the ROC method, the AUC analysis, and the calculation of the sensitivity and specificity values. Then a correlation test is performed to obtain the significance (p) as well as the strength of the correlation (r) on each variable to be examined.
Result : The data was collected on consecutive samples of all new POP patients who came to Uroginecology Polyclinic. There was 40 patients who met the inclusion criteria in the population had 20 sexual dysfunction samples and 20 non-sexual dysfunction samples. There were no significant characteristic differences in the pelvic organ prolapse sample in the sexual dysfunction group or non-sexual dysfunction group. From the T-unpaired test, a meaningful relationship was found between the maximum levator hiatus and the incidence of sexual dysfunction (p=0,000). There was a relationship between the strength of the hiatus levator during contraction and the incidence of sexual dysfunction in women with pelvic organ prolapse, as determined by the Mann-Whitney test (p=0.005). The area of the hiatus levator is obtained at a cutting point of 30,865 cm2 (sensitivity 85%, specificity 80%), and for the cutting point, the strength of the levator ani muscle is 20.5 cmH2O (sensitivity 80%, sensitivity 70%). Based on Pearson's correlation between the area of the hiatus levator and a meaningful FSFI score on the stimulatory domain (p=0,000, r=0.531) and the orgasm domain (p=0,000, r=0.581). Based on the results of the spearman correlation test on the strength of the levator ani muscle, meaningful results were obtained in the stimulus level domain (p=0.015, r=0.383) and in the orgasm domain (p=0.002, r=0.478).
Conclusion : An extensive examination of the hiatus levator with a pelvic floor ultrasound and measurement of pelvic floor muscle strength with a perineometer may be an alternative to help evaluate the risk of sexual dysfunction incidence in postmenopausal POP women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lestari Mustika Rini
"ABSTRAK
Latar Belakang: Avulsi levator ani merupakan lepasnya otot puborektalis dari insersinya pada dinding pelvis. Kejadian ini seringkali terjadi akibat trauma persalinan pervaginam dan dapat menyebabkan gejala uroginekologi beberapa tahun kemudian. Tujuan: Untuk mengetahui proporsi avulsi levator ani menggunakan ultrasonografi 3D/4D dan menentukan faktor-faktor persalinan pervaginam yang berkontribusi pada terjadinya avulsi levator ani diantara pasien dengan gejala prolaps organ panggul. Metode: Studi potong-lintang dilakukan pada pasien dengan gejala prolaps organ panggul di Poliklinik Uroginekologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Secara retrospektif dan prospektif dilakukan pengumpulan data sejak Januari 2012 hingga April 2017 dengan pemeriksaan klinis menggunakan POP-Q dan ultrasonografi 3D/4D transperineal untuk menilai otot levator ani.Hasil: Dari total 127 pasien prolaps organ panggul yang dimasukkan sebagai subjek memiliki median usia 61 26-80 tahun, median paritas 3 0-13 dengan 2 pasien nuligravida dan 2 pasien menjalani persalinan hanya dengan seksio sesarea. Sebanyak 10 subjek 7.9 , IK95 3.1-12.6 terdeteksi adanya avulsi levator ani menggunakan USG 3D/4D transperineal. Diantara kelompok avulsi tersebut dilakukan analisis dengan mengeksklusi 4 pasien tanpa persalinan pervaginam. Dari total 123 pasien, median usia pertama melahirkan adalah 26 18-31 tahun, p=0.156; median jumlah persalinan pervaginam adalah paritas 3 1-9 , p=0.19; riwayat persalinan dengan forsep hanya terdapat 1 kasus 10 , p=0.081; riwayat persalinan dengan vakum 10 , p=0.35, dari total 5 kasus vakum; dan berat lahir bayi terbesar dengan median 3470 3100-3700 gram, p=0.752.Kesimpulan: Proporsi avulsi levator ani pada pasien prolaps organ panggul di Poliklinik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebesar 7.9 . Faktor risko obstetri seperti usia pertama melahirkan, jumlah persalinan pervaginam, riwayat persalinan dengan forsep, riwayat persalinan dengan vakum dan berat lahir bayi terbesar tidak dapat disimpulkan hubungannya dengan terjadinya avulsi levator ani.

ABSTRACT
Background Avulsion of levator ani could arise from detachment of puborectalis muscle form its insertion on the pelvic sidewall. This manifest is a common consequence of vaginal childbirth trauma and could represent urogynecological symptoms many years later. Objective To estimate the proportion of levator ani avulsion using 3D or 4D ultrasound and determine the vaginal birth factors that contribute to levator ani avulsion among the symptomatics of pelvic organ prolapse women. Methods Cross sectional study was conducted among women with symptomatic pelvic organ prolapse in Urogynecology Clinic RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Patients were retrospective and prospectively investigated from January 2012 until April 2017 by clinical examination using POP Q system and 3D 4D imaging of levator ani muscle.Results A total 127 women with pelvic organ prolapse were included in this study, median age was 61 26 80 years, median parity was 3 0 13 with 2 patients were nulligravid and 2 patients have giving birth by c section only. There were 10 cases 7.9, IK95 3.1 12.6 levator avulsion by transperineal 3D 4D US exam. In the group of levator avulsion, 4 cases without history vaginal birth were excluded. Of total 123 patients, first age delivery median was 26 18 31 years, p 0.156 vaginal birth parity median was 3 1 9, p 0.19 1 case forceps delivery 10, p 0.081 vacuum delivery 10, p 0.35, from total vacuum history was 5 cases and maximum birthweight median mas 3470 3100 3700 gram, p 0.752.Conclusion Proportion of levator avulsion in women with pelvic organ prolaps at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was 7.9 . First age delivery, vaginal birth parity, forceps delivery, vacuum delivery, dan maximum birth weight as obstetric factors cannot be concluded these association to levator avulsion.
"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fernandi
"Disfungsi dasar panggul disebabkan tersering oleh trauma otot dasar panggul persalinan. Platelet rich plasma (PRP) adalah serum darah yang disertifugasi sehingga mengandung konsentrasi platelet dan growth factors yang tinggi. Terapi PRP mudah dilakukan dan aman untuk proses regenerasi trauma otot levator ani pascasalin. Studi ini bertujuan untuk mengetahui peran PRP dalam mendukung pemulihan trauma otot dasar panggul pascasalin.
Studi prospektif, penyamaran tunggal, uji acak terkendali merupakan studi yang melibatkan wanita hamil anak pertama, dilakukan di kamar bersalin di Rumah Sakit tempat rujukan berjenjang, Puskesmas Lingkungan Suku Dinas, dan praktik bidan mandiri. Subjek diinjeksi dengan PRP autologus atau plasebo pada otot levator ani selama perineorafi pascasalin. Pemeriksaan utrasonografi transperienal dan perineometri dilakukan untuk menilai luas hiatus genital dan kekuatan otot levator ani pada kehamilan trimester 3, 40 hari pascasalin, dan 3 bulan pascasalin. Uji Mann-Whitney dan Wilcoxon signed-rank digunakan untuk analisis.
Dari total 116 subejk, 58 subjek memenuhi syarat untuk analisis. Penurunan kekuatan otot pada 3 bulan pascasalin bermakna secara statistik dari 41.45 (Interquartile Range, IQR = 18.05) menjadi 30.88 (IQR = 18.33) cmH2O pada kelompok kontrol, namun pada kelompok intervensi penurunan dari 37.45 (IQR = 13.89) menjadi 35.83 (IQR = 18.81) cmH2O (uji Wilcoxon, p = 0.001 vs p = 0.29). Sub-kelompok kasus ballooning menunjukkan peningkatan luas hiatus genital pada kelompok intervensi dari 26/59 (IQR = 7.53) menjadi 20.25 (IQR = 8.47) cm2, secara kontras terjadi perburukan pada kelompok kontrol dari 22.45 (IQR = 6.59) menjadi 26.8 (IQR = 7.16) cm2 (uji Wilcoxon, p = 0.047 vs p = 0.508). Selain itu, secara bermakna kekuatan otot levator ani menurun dari 47.1(IQR = 24.9) menjadi 34.7 (IQR = 33.8) cmH2O pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok intervensi yang mengalami penurunan dari 38.5 (IQR=17.2) menjadi 35.45 (IQR = 16.3) cmH2O (uji Wilcoxon, p = 0.038 vs p = 0.878).
Simpulan: Platelet rich plasma dapat menjadi terapi alternatif menjanjikan untuk trauma mikro atau ballooning otot dasar panggul pada wanita pascasalin anak pertama.

Pelvic floor dysfunction (PFD) is mostly caused by childbirth pelvic floor muscle trauma. Platelet rich plasma (PRP) is centrifugated blood which contains concentrated platelets and high level of growth factors. PRP can be a feasible and safe therapy for post-partum levator ani muscle trauma regeneration process. This study aims to explore the role of PRP in supporting pelvic floor muscle recovery after childbirth trauma.
A prospective, single blind, randomized control trial was enrolling primigravid women at 21 health facilities in Jakarta, Indonesia, from November 2016 to July 2019. Subjects were injected with autologous PRP or placebo at levator anal muscles (LAM) during perineorraphy after childbirth. Transperineal ultrasound and perineometry was used to asses the levator hiatal area and LAM strength at third trimester of pregnancy,40 days post-partum and three months post-partum. Mann- Whitney U-test and Wilcoxon signed-rank test were used to analyze.
Among 116 primigravid women, 58 women were eligible for analysis. Muscle strength reduction three months after childbirth was found statistically significant from 41.45 (Interquartile Range, IQR = 18.05) to 30.88 (IQR = 18.33) cmH2O in control group, not in intervention group which reduction only from 37.45 (IQR = 13.89) to 35.83 (IQR = 18.81) cmH2O (Wilcoxon test, p = 0.001 vs p = 0.29). In ballooning subgroup case analysis showed hiatal area improvement in intervention group from 26.59 (IQR = 7.53) to 20.25 (IQR = 8.47) cm2, in contrast with worsening in control group from 22.45 (IQR = 6.59) to 26.8 (IQR = 7.16) cm2 (Wilcoxon test, p= 0.047 vs p = 0.508). Also, significant LAM strength reduction was also found from 47.1 (IQR = 24.9) to 34.7 (IQR = 33.8) cmH2O in control group compared to intervention group which only from 38.5 (IQR = 17.2) to 35.45 (IQR = 16.3) cmH2O (Wilcoxon test, p = 0.038 vs p = 0.878).
Conclusion: Platelet rich plasma can be a promising alternative therapy for micro trauma or ballooning of pelvic muscle injury in primiparous women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library