Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Al Imam Bahaudin
"Levofloksasin merupakan antibiotika fluorokuinolon yang konsentrasinya dalam plasma sangat kecil sehingga diperlukan metode analisis yang sensitif dan selektif. Pada analisis obat dalam plasma seringkali menggunakan berbagai jenis antikoagulan untuk memperoleh plasma sebagai matriks. Sitrat, heparin, dan etilen diamin tetra asetat (EDTA) merupakan antikoagulan yang umum digunakan dalam analisis obat dalam plasma. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi optimum dan metode tervalidasi levofloksasin dalam plasma serta mengevaluasi pengaruh perbedaan jenis antikoagulan pada analisis levofloksasin dalam plasma. Pada penelitian ini dilakukan optimasi dan validasi metode analisis levofloksasin dalam plasma menggunakan sistem kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) yang dideteksi pada panjang gelombang 293 nm dengan siprofloksasin HCl digunakan sebagai baku dalam. Kondisi analisis yang optimal diperoleh menggunakan: kolom C18 SunfireTM (5μm, 250 x 4,6 mm); suhu 45°C; fase gerak trietilamin 0,5% dengan pH 3,0-asetonitril (88:12 v/v); dan laju alir 1,25 mL/menit. Ekstraksi plasma dilakukan dengan metode pengendapan protein menggunakan metanol (1:1,5 v/v). Metode yang diperoleh linear pada rentang konsentrasi 50,0 ? 10000,0 ng/mL dengan nilai r > 0,9994. Akurasi dan presisi untuk plasma sitrat, heparin, dan EDTA memenuhi persyaratan baik secara intrahari maupun antar-hari. Levofloksasin dinyatakan stabil selama 31 hari pada suhu -20°C dalam plasma sitrat, heparin, dan EDTA. Data stabilitas dan perolehan kembali levofloksasin dalam plasma menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk penggunaan plasma sitrat, heparin, maupun EDTA (p > 0,05; ANOVA), namun untuk rasio respon luas puncak levofloksasin dalam plasma sitrat, heparin, dan EDTA menunjukan perbedaan yang signifikan (p < 0,05) yaitu antara plasma sitrat-EDTA dan plasma heparin-EDTA untuk konsentrasi rendah serta antara plasma sitrat-heparin dan plasma sitrat-EDTA untuk konsentrasi sedang dan tinggi. Pada kromatogram blangko plasma EDTA terdapat interferensi plasma yang cukup mengganggu pada waktu retensi < 8 menit, sedangkan pada plasma sitrat dan heparin tidak terdapat interferensi. Secara keseluruhan, metode analisis yang diperoleh memenuhi persyaratan validasi baik untuk penggunaan plasma sitrat, heparin, maupun EDTA.
Levofloxacin is fluoroquinolone antibiotic which concentration in human plasma is very low so it requires sensitive and selective method for analysis. Analysis of drug in human plasma is often used various types of anticoagulant to obtain plasma as analytical matrix. Citrate, heparin, and ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) are anticoagulants which are commonly used to analyze drug in human plasma. The aim of this study is to obtain optimal analytical condition and validated method of levofloxacin in human plasma and evaluate the effect of anticoagulant types for analyzing levofloxacin in human plasma. In this study, optimization and validation levofloxacin in human plasma was performed by high performance liquid chromatography which was detected at wavelength of 293 nm using ciprofloxacin HCl as internal standard. Optimal analytical condition was obtained using: C18 SunfireTM column (5μm, 250 x 4.6 mm), temperature 45°C; the mobile phase contains a mixture of 0.5% triethylamine which was adjusted to pH 3.0 and acetonitrile (88:12 v/v); flow rate was 1.25 mL/min. The plasma extraction was carried out by protein precipitation method using methanol (1:1.5 v/v). The method was linear at concentration range of 50.0 - 10000.0 ng/mL with r > 0.9994. Accuracy and precision of within-run and between-run for citrate, heparin, and EDTA plasma fulfill the acceptance criteria. Levofloxacin was stable in citrate, heparin, and EDTA plasma for at least 31 days at -20°C. Based on stability and recovery of levofloxacin in plasma, there was no significant difference for using citrate, heparin, and EDTA plasma (ANOVA; p value > 0.05), but it showed significant difference for peak area ratio response (p < 0.05) between citrate-EDTA and heparin-EDTA plasma for low concentration samples and also between citrate-heparin and citrate-EDTA plasma for medium and high concentration samples. In the chromatogram of EDTA blank plasma, there were interferences at retention time less than 8 min while citrate and heparin blank plasma were not. Overall, this analytical method fulfill the acceptance criteria of validation and can be applied using citrate, heparin, and EDTA anticoagulants."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S56067
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Rahmawati
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama morbiditi dan mortaliti penyakit kronik, dilaporkan PPOK menjadi penyebab kematian keempat di dunia dan diperkirakan prevalens dan mortalitinya akan terus meningkat pada dekade mendatang. Tahun 2020 diperkirakan PPOK akan menempati urutan ketiga penyebab kematian dan urutan kelima penyebab hilangnya disability adjusted life years (DALYs) di dunia. Pertambahan jumlah perokok, perkembangan industrialisasi dan polusi udara akibat penggunaan slat transportasi meningkatkan jumlah penderita PPOK dan menimbulkan masalah kesehatan.
Pedoman yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2003 menyatakan bahwa PPOK adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun dan berbahaya.
Penurunan fungsi paru pada PPOK lebih progresif dibandingkan paru normal pertahunnya, penurunan tersebut akan diperburuk oleh eksaserbasi. Eksaserbasi pada PPOK harus dapat dicegah dan ditangani semaksimal mungkin untuk mengurangi perburukan fungsi paru. Eksaserbasi ditandai dengan sesak, batuk dan produksi sputum atau perubahan warna sputum yang meningkat dibandingkan keadaan stabil sehari-hari. Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan fungsi paru set-La meningkatkan kualiti hidup penderita.
Penderita PPOK eksaserbasi dapat diberikan pengobatan dengan antibiotik, bronkodilator dan antiinflamasi tetapi untuk menurunkan frekuensi dan lama eksaserbasi memerlukan pemberian mukolitik dan antioksidan sehingga diharapkan dapat memperbaiki fungsi paru. Eksaserbasi PPOK yang berulang tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dasar atau beratnya eksaserbasi. Antibiotik secara bermakna menurunkan relaps eksaserbasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Lestari
"Levofloksasin adalah antibakteri sintetik golongan fluorokuinolon yang memiliki efek antibakterial dengan spektrum luas. Levofloksasin merupakan obat yang diindikasikan untuk kondisi serius yang memerlukan respon pasti dan merupakan salah satu obat yang masuk dalam kategori obat wajib uji Bioekivalensi (BE), sehingga perlu dilakukan pemantauan kadarnya di dalam darah. Metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan detektor fluoresensi telah dikembangkan untuk analisis levofloksasin dalam plasma manusia in vitro.
Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh kondisi optimum untuk analisis levofloksasin dalam plasma in vitro dan melakukan validasi metode analisis tersebut. Kromatografi dilaksanakan menggunakan teknik isokratik pada kolom fase-terbalik Kromasil® C18 (5 µm, Akzo Nobel), dengan fase gerak asetonitril-air-asam fosfat 85%-trietilamin (12:88:0,6:0,3) dengan kecepatan alir 1,25 mL/menit, dan dideteksi pada panjang gelombang eksitasi 294 nm dan panjang gelombang emisi 500 nm. Teknik penyiapan sampel dilakukan dengan cara pengendapan protein menggunakan metanol. Siprofloksasin digunakan sebagai baku dalam. Metode ini valid dengan nilai koefisien korelasi r = 0,9995 dan batas terendah kuantitasi (LLOQ) 253,8 ng/mL, hasil akurasi dengan % diff -9,64 sampai 13,38 %; presisi kurang dari 4% dan nilai perolehan kembali antara 90,36 sampai 113,38 %. Levofloksasin dalam plasma stabil selama 14 hari pada penyimpanan dengan suhu -20°C.
Kata kunci: Validasi, KCKT, levofloksasin, siprofloksasin, plasma in vitro.

Levofoxacin is a synthetic fluoroquinolone antibacterial agent that has a broad spectrum antibacterial effects. Levofloxacin indicated for critical use that needs certain respons and it is one of the drug that have to be evaluated with bioequivalency test, thereby monitoring the blood drug level is necessary. A method using high-performance liquid chromatography (HPLC) with fluorescence detector has been developed for analysis of levofloxacin in human plasma in vitro.
The objective of this research is to find out the optimum condition of levofloxacin in human plasma in vitro analysis using HPLC, and then the method was validated. The chromatography was carried out by isocratic technique on a reversed-phase Kromasil® C18 column (5 µm, Akzo Nobel) with mobile phase consisted of acetonitril-water-phosphoric acid 85%-triethylamine (12:88:0,6:0,3) at flow rate of 1.25 mL/minute, and detection was performed at excitation wavelength of 294 nm and emission wavelength of 500 nm. The sample preparation technique was protein precipitation with methanol. Ciprofloxacin was used as the internal standard. The method was valid with correlation coefficient of 0.9995 and the lower limit of quantitation was 253.8 ng/mL, accuracy with % diff -9.64 to 13.38%; precisions less than 4% and recovery percentage was 90.36 to 113.38%. Levofloxacin in plasma was stable for 14 days in -20°C.
Keyword: Validation, HPLC, levofloxacin, ciprofloxacin, plasma in vitro.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S32756
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Baltazar Bimo Bisara
"ABSTRACT
Tujuan: Menilai keamanan injeksi intrakamera levofloksasin 0,5 sediaan tetes mata dosis tunggal 0,6 mL steril tanpa pengawet pada hewan coba kelinci. Desain: Penelitian ini merupakan uji eksperimental dengan desain paralel, acak, tersamar terhadap hewan coba kelinci albino New Zealand White . Metode: Dua puluh empat mata dari dua belas ekor kelinci dibagi kedalam ketiga kelompok, kelompok pertama LFX mendapat perlakuan injeksi intrakamera levofloksasin 0,5 sediaan tetes mata dosis tunggal steril tanpa pengawet 0,6 mL n = 6 , kelompok kedua CRAV mendapat injeksi intrakamera levofloksasin 0,5 sediaan tetes mata botol 5 mL n = 6 dan kelompok ketiga BSS mendapat balanced salt solution intrakamera sebagai kontrol n = 12 . Hasil: Skor klinis pada hari 1, 3, 5, dan 7 tidak menunjukkan adanya perbedaan antara ketiga kelompok. Perubahan klinis maksimal yang ditemukan berupa kekeruhan kornea ringan serta sel dan flare ringan dalam bilik mata depan. Pemeriksaan histopatologi tidak menunjukkan adanya perbedaan statistik kelainan akibat efek toksik yang signifikan pada semua kelompok. Vakuolisasi endotel ditemukan pada semua kelompok sehingga tidak signifikan sebagai perubahan akibat efek toksik. Kesimpulan: Injeksi intrakamera 0,1 mL levofloksasin 0,5 dalam sediaan tetes mata dosis tunggal 0,6 mL steril tanpa pengawet memiliki keamanan yang sama dengan sediaan tetes mata botol 5 mL tanpa pengawet pada mata hewan coba kelinci dalam hal perubahan klinis dan histopatologis.
"
"
"ABSTRACT
"
Purpose To evaluate the safety of intracameral injection of levofloxacin 0,5 eye drop single dose 0,6 mL preservative free LFX on rabbit eye. Methods This was an experimental, pararel, and randomized study. Twenty four eyes of twelve New Zealand White rabbit were divided to three groups. First group LFX were treated with 0,1 mL intracameral injection levofloxacin 0,5 eye drop single dose 0,6 mL preservative free n 6 , second group CRAV were treated with 0,1 mL intracameral levofloxacin 0.5 eye drop bottle 5 mL preservative free n 6 , and third group BSS were treated with 0,1 mL intracameral injection balanced salt solution n 12 . The clinical evaluation was performed on day 1st, 3rd, 5th and 7th. Each eye was enucleated on day 7th and underwent histopathology examination. Results The clinical scores among three groups did not show any significant difference on day 1st, 2nd, 3rd, and 7th p 0.05 . Mild corneal opacity, mild cells and flares in anterior chamber were the only noted in clinical scores. Histopathology score demonstrated no statistically significant difference between three groups p 0.05 . Vacuolization of corneal endothelial cells were notes in all groups, but not statistically significant.Conclusion Intracameral injection of levofloxacin 0.5 eye drop single dose 0.6 mL preservative free was safe to rabbit eye, in clinical and histopathology scores, similar with levofloxacin 0.5 eye drop bottle 5 mL preservative free"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Nur Fa'izah
"Pneumonia komunitas merupakan peradangan akut pada parenkim paru yang bersumber dari masyarakat dengan tingkat mortalitas, morbiditas, dan beban biaya yang tinggi terutama pada pasien rawat inap. Rata-rata biaya yang dibutuhkan bagi pasien pneumonia komunitas di Indonesia dalam satu periode rawat inap kurang-lebih mencapai Rp11.877.120. Pemilihan antibiotik empiris yang tepat penting dalam mengendalikan infeksi dan mengurangi beban total biaya pengobatan. Studi farmakoekonomi digunakan untuk mengetahui intervensi antibiotik yang paling unggul dari aspek efektivitas-biaya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas-biaya levofloksasin monoterapi dibandingkan dengan kombinasi seftriakson-azitromisin pada pasien pneumonia komunitas rawat inap non-ICU di RSUD Tangerang Selatan. Desain studi yang digunakan merupakan cross-sectional dengan metode pengumpulan data secara retrospektif terhadap data rekam medis, data penggunaan obat, dan data billing. Efektivitas terapi dinilai sebagai proporsi pasien yang mencapai kestabilan klinis setelah 72 jam penggunaan antibiotik. Data biaya yang digunakan berupa data biaya medis langsung berdasarkan perspektif rumah sakit. Sampel pada penelitian ini berjumlah 86 pasien yang merupakan 43 pasien dari masing-masing kelompok terapi. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara efektivitas kelompok levofloksasin dan kombinasi seftriakson-azitromisin (p < 0,05). Berdasarkan perhitungan REB (rasio efektivitas-biaya), kelompok levofloksasin memiliki nilai sebesar Rp78.028,22/% efektivitas dan kelompok kombinasi seftriakson-azitromisin Rp107.666,91/% efektivitas.

Community-acquired pneumonia (CAP) is an acute inflammation of the lung parenchyma that originates from the community and carries a high mortality, morbidity, and cost burden, particularly in hospitalized patients. The average cost of treating CAP patients in Indonesia during a single hospitalization period is Rp11,877,120. Selecting the appropriate empiric antibiotic is crucial in controlling the infection and reducing the overall treatment costs. Pharmacoeconomic studies are conducted to determine the most effective and cost-efficient antibiotic intervention. This study aims to analyze the cost-effectiveness of levofloxacin monotherapy compared to the combination of ceftriaxone-azithromycin in non-ICU inpatient CAP cases at RSUD Tangerang Selatan. The study design was cross-sectional, utilizing a retrospective data collection method that involved medical records, drug usage data, and billing information. The therapy's effectiveness was assessed by the proportion of patients who achieved clinical stability after 72 hours of antibiotic use. The cost data utilized represents direct medical costs from the hospital's perspective. The study sample consisted of 86 patients, with 43 patients in each treatment group. The results indicated a significant difference in the effectiveness of the levofloxacin group compared to the ceftriaxone-azithromycin combination (p < 0.05). Calculation of the Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) revealed that the levofloxacin group had a value of Rp78,028.22 per % effectiveness, while the ceftriaxone-azithromycin combination group had a value of Rp107,666.91 per % effectiveness. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anik Widajati
"Tujuan
Untuk mengetahui peran resistensi mikroba pada infeksi saluran kemih komplikata yang sembuh setelah diobati dengan siprofloksa sin atau levofloksasin.
Cara kerja
Pada 152 sampel urin dari penderita infeksi saluran kemih komplikata diidentifikasi mikroba dan resistensinya terhadap fluorokuionolon (siprofloksasin atau Ievofloksasin) dan dibandingkan dengan tingkat keberhasilan terapinya secara klinis.
Lokasi
Bagian Urologi dan Nefrologi RSCM Bagian Nefrologi Rumah Sakit Islam Jakarta Departemen Mikrobiologi FKUI.
Sampel penelitian
Penderita infeksi saluran kemih komplikata dari Bagian Urologi dan Nefrologi RSCM dan Bagian Nefrologi Rumah Sakit Islam Jakarta sejak bulan Juni 2003 sampai bulan September 2004.
Pengobatan
Seratus lima puluh dua penderita ISK komplikata yang mikrobanya positif dibagi 2 secara acak, 76 penderita diberi terapi siprofloksasin, dan 76 diberi terapi levofloksasin.
Hasil Penelitian
Tujuh puluh enam pasien yang mendapat pengobatan dengan levofloksasin disebut kelompok levofloksasin dan 76 pasien yang diberi pengobatan dengan siprofloksasin disebut kelompok siprofloksasin. Rata-rata umur pasien pada kelompok siprofloksasin adalah 41,1 tahun dan pada kelompok levofloksasin adalah 45,3 tahun. Perbandingan pria dan wanita adalah satu banding tiga. Jervis mikroba utama yang diternukan pada penelitian ini adalah 33% Emil dan 20% Klebsiella sp, (66% didominasi oleh Klebsiella pneumonia) dan Staphylococus sejumlah 13%.Angka kesembuhan klinis yang didapat pada kelompok siprofloksasin dan levofloksasin adalah sama yaitu sebesar 77,6% , dengan angka perbaikan masing-masing 13,2% dan 19,7% serta angka kegagalan klinis masing-masing 9,2% dan 2,6%. Tetapi secara statistik kedua nilai tersebut tidak berbeda bennakna. Nilai eradikasi mikroba dari kelompok siprofloksasin 88,2% dan pada kelompok levofloksasin eradikasi sebesar 86,8%. Angka resistensi untuk siprofloksasin berkisar antara 20%-30% sedangkan untuk levofloksa sin berkisar antara 8%-15%. Pada pasien yang sembuh secara klinis dari kelompok siprofloksasin 19,2% kumannya resisters terhadap pengobatannya. Pada kolompok levofloksasin yang sembuh klinis tetapi mikrobanya resisten sebanyak 14,8%. Dari populasi yang mikrobanya resisten terhadap siprofloksasin terjadi kesembuhan klinis 83,3%, sedangkan pada populasi yang mikrobanya resisten terhadap levofloksasin terjadi kesembuhan klinis 88,9%.
Analisis Data
Pada kedua kolompok di ataa dilakukan uji atatistik untuk data nominal xi (2x2) jika tidak ada nilai ekspektasi <5 atau Fisher (2x2) bila ada nilai ekspektasi <5a dan untuk data ordinal digunakan uji 1t oimogorov-Smirnov.
Kesimpulan
Penderita ISK komplikata yang diobati dengan fluorokuinolon (siprofloksasin atau levofloksasin) yang dan secara klinis dinyatakan sembuh temyata 18,6% dan 13,8% bakteri penyebabnya resisten pada pengobatannya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Irma Dewi K.
"Endoftalmitis merupakan kegawatdaruratan dibidang mata yang bila tidak ditangani cepat akan mengalami penurunan tajam penglihatan bahkan kebutaan. Fasilitas vitrektomi sebagai terapi baku emas jarang tersedia di RS begitupula antibiotika (seftazidim) intra vitreal belum tersedia secara komersil dengan dosis yang sesuai, sehingga perlu diracik dan dapat berisiko meningkatkan kontaminasi atau kesalahan pengenceran. Tujuan mencari alternatif antibiotika intra vitreal untuk pengobatan endoftalmitis akibat Pseudomonas aeruginosa. Metode menggunakan dua belas kelinci New Zealand White terbagi dua kelompok (n=6). Dibentuk endophthalmitis dengan injeksi intra vitreal P. aeruginosa 2x105 CFU/0,1mL. Kelompok A mendapat intra vitreal levofloksasin 0,5% 0,1mL dan kelompok B mendapat intra vitreal seftazidim 2,25 mg/0,1 mL setelah 24 jam inokulasi bakteri. Penilaian klinis dilakukan hari ke-1 hingga ke-6. Pada hari ke-6 dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dan histopatologik.
Hasil selisih skor klinis hari ke-1 dan 6 kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Terdapat 2 kelinci mengalami perbaikan di kelompok levofloksasin namun secara statistik tidak bermakna. Penghitungan jumlah bakteri memberikan hasil kelompok A dan kelompok B mengalami penurunan menjadi 1,5x102 (4x101-7,3x103) CFU/0,1mL dengan hasil yang tidak berbeda bermakna begitu pula dengan skor pemeriksaan histopatologik. Kesimpulan yang didapatkan injeksi intra vitreal tetes mata levofloksasin 0,5% 0,1mL sama efektif dengan seftazidim dan dapat dijadikan alternatif dalam terapi endoftalmitis akibat P. aeruginosa.

The purpose of this study was to find and evaluate intravitreal 0.5% levofloxacin as an alternative treatment for Pseudomonas aeruginosa endophthalmitis in an experimental model. Twelve New Zealand White rabbits were divided into two groups (n = 6 in each). Vitreous cavity of the right eye was inoculated with 2x105 CFU / 0,1mL of Pseudomonas aeruginosa suspension. Group A treated with intravitreal 0.5% levofloxacin and group B received intravitreal injection of 2.25 mg / 0.1 mL ceftazidime. Results showed mean clinical assessment scores in both groups were similar at 24 hours after inoculation (p> 0.05). Clinical score at day 1 and day 6 do not show any significant difference. Two rabbits experienced improvement in the levofloxacin group but there was no statistically significant difference. The number of microbiological bacteria results in group A and group B were decreased to 1,5x102 (4x101-7,3x103) CFU/ 0,1mL, but microbiological analysis and histopathological scoring demonstrated no statistically significant difference between both group (for each, P>0,05). The conclusion in this sudy was intra vitreal 0,5% levofloxacin ophthalmic appeared to be effective in the treatment of Pseudomonas aeruginosa endophthalmitis in rabbits, but was not superior to intravitreal ceftazidime administration. Therefore, intravitreal 0,5% levofloxacin may be a useful alternative to ceftazidime for Pseudomonas aeruginosa endophthalmitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Usyinara
"Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Eksaserbasi akut pada PPOK merupakan kejadian yang akan memperburuk penurunan faal paru. Saat fase ini berlalu, nilai faal paru tidak akan kembali ke nilai dasar, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat untuk mencegah terjadinya eksaserbasi.
Secara umum eksaserbasi adalah perburukan gejala pernapasan yang akut. Saat ini telah diketahui penyebab dan mekanisme yang mendasari terjadinya eksaserbasi. Faktor etiologi utama penyebab eksaserbasi adalah infeksi virus, infeksi bakteri, polusi. Perbedaan suhu dapat memicu eksaserbasi terutama saat musim dingin.
Infeksi bakteri merupakan pencetus eksaserbasi yang sangat penting. Eksaserbasi akut infeksi bakteri mudah terpicu karena pasien PPOK biasanya sudah terdapat kolonisasi bakteri. Pada 30% pasien PPOK ditemukan kolonisasi bakteri dan kolonisasi ini biasanya berhubungan dengan berat derajat obstruksi dan berat status merokok. Kolonisasi bakteri merupakan salah satu faktor penting menentukan derajat inflamasi saluran napas. Berbagai spesies bakteri dikatakan akan mempengaruhi derajat inflamasi saluran napas. Hill dkk., menemukan bahwa kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan mempengaruhi aktivifi mieloperoksidase (merupakan prediktor aktivasi neutrofil) yang tinggi sehingga derajat inflamasi akan meningkat.
Mengingat pentingnya kolonisasi bakteri sebagai faktor pencetus eksaserbasi maka peta kuman PPOK eksaserbasi akut di suatu daerah tertentu perlu diketahui. Hal ini akan mendasari pemilihan antibiotik empiris yang akurat sesuai dengan pola kuman daerah tersebut. Dengan diketahui pola dan sensitiviti kuman maka upaya penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut akan lebih akurat sehingga eradikasi bakteri penyebab eksaserbasi akan lebih mudah dilakukan.
Sputum masih sering digunakan untuk mencari kuman penyebab infeksi saluran napas bawah karena relatif murah, tidak invasif dan tanpa komplikasi walaupun menurut beberapa ahli nilai diagnostiknya kurang dapat dipercaya akibat kontaminasi kuman orofaring. Bartlett dkk., mengemukakan bahwa sensitiviti pemeriksaan sputum hanya 15 30%. Penelitian Supriyantoro membandingkan hasil seluruh sputum biakan positif dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut saluran napas bawah, ternyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang sama terdapat 30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih tingginya kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum. Terdapat berbagai metode invasif pengambilan sputum untuk menghindari kontaminasi orofaring misalnya pengambilan sekret melalui bronkoskop, aspirasi transtrakeal dan aspirasi transtorakal. Cara invasif tersebut mempunyai ketepatan yang tinggi namun membutuhkan tenaga yang terampil, biaya mahal dan risiko tinggi.
Berbagai usaha untuk memperbaiki kualiti sputum yang dibatukkan terus dilakukan. Teknik pencucian sputum merupakan salah satu metode noninvasif untuk mengurangi kontaminasi kuman orofaring pada spesimen sputum yang dibatukkan. Mulder dkk melakukan teknik pencucian sputum dengan NaCl 0,9% dan hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur spesimen yang diambil melalui bronkoskop. Bartlett dkk. melakukan pencucian sputum yang hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur aspirasi transtrakeal. Jabang melakukan penelitian dengan membandingkan hasil kultur sputum yang dibatukkan dengan dan tanpa pencucian sputum. Hasilnya pencucian sputum dapat mengurangi jumlah koloni dan keberagaman kuman dari sputum yang terkontaminasi dari sekret orofaring."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library