Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Rajagukguk, Tagor E.C.E.E.
"ABSTRAK
Perkembangan telcnologi sekarang ini, tennasuk layanan telekomunikasi dengan mcmpergunakan satelit dalam rangka pemenuhan penyampaian inforrnasi mengalami kemajuan yang pesat.
Satelit Palapa-CI sebagai generasi terbaru telah mengalami peningkatan teknologi dibandingkan dengan satelit generasi terdahulu (Palapa-B4)_ Perbedaan tersebut antara lain, daerah cakupannya lebih luas, jwnlah transpondemya lebih banyal-L, dan daya pancarnya lebih kuat. [4] -
Untuk analisis perbandingan perhitungan lintasan antara kedua satelit, diadakan perhitungan untuk Iintasan komunikasi Jakarta-Singapura dan sebaliknya dengan parameter yang sama pada kecepatan informasi clan diameter antena yang berbeda untuk iiekuensi pita-C.
Dari hasil perhitungan akan dapat diketahui besarnya daya pancar stasiun bumi (EHIPSB) dan satelit (EIRPSA1-Em), besamya daya I-[PA yang dipergunakan, jumlah pembawa berdasarkan lebar pita dan daya transponder, serta BER (Bit Error Rate).

"
1996
S38937
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Raditya Krishnamurti
"Penjejakan (tracking) terhadap lintasan satelit dapat dilakukan dengan mengamati lintasan satelit tersebut yang diproyeksikan ke permukaan bumi. Untuk itu diperlukan 5 parameter, yaitu eksentrisitas, ketinggian satelit/apogee, inklinasi, letak ascending node dan argument of perigee. Masing - masing parameter akan menentukan bentuk proyeksi lintasan satelit dan area cakupan maksimumnya. Bentuk orbit yang akan diamati adalah semua bentuk elips dalam berbagai posisi, termasuk orbit lingkaran sebagai kasus khusus dari orbit elips dengan eksentrisitas 0. Ketinggian yang diamati mulai dari satelit LEO, GEO, sampai yang lebih tinggi dari GEO. Dengan mengetahui proyeksi lintasan satelit dan penjejakannya maka dapat diperkirakan posisi satelit setiap saat di sepanjang orbitnya dan dapat diperhitungkan keuntungan dan kerugian yang dimiliki satelit jikaberada pada ketinggian dan posisi tertentu."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
S38887
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erizkia Melati
"Penyejajaran antar barisan DNA dilakukan untuk melihat tingkat kemiripan antara barisan tersebut. Sebagian besar metode dalam penyejajaran barisan menggunakan pendekatan program dinamik. Salah satu metode yang sering digunakan adalah Metode Needleman-Wunsch. Pada metode tersebut semua lintasan yang ada ditelusuri. Metode yang digunakan dalam tugas akhir ini, tidak menelusuri semua lintasan yang ada. Lintasan yang ditelusuri adalah lintasan yang skornya dibatasi oleh suatu nilai tetap tertentu. Pada percobaan yang telah dilakukan, nilai batas tersebut menentukan diperoleh atau tidaknya lintasan yang dicari dalam penyejajaran barisan."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S27823
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ristanto
"Gelembung adalah gas terperangkap dalam fluida yang salah satunya dihasilkan dengan menyuntikkan 'gas lieatau fluida melalui suatu nriiis (nossel) dan bergerak karena gaya apung (buoyancy). Bentuk gelembung berbeda-beda sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya Bentuk gelembung mempengaruhi bentuk lintasan dan kecepatan arah vertikalnya.
Gelembung berperan pada beberapa hal, yang walaupun terlihat jarang diperhntikan namun peranannya sangat signifikan dalam bidang-bidnng tertentu. Gelembung sangat diharapkan keberaclaannya pada pros-es~proses seperti pabrikasi bahan kimia, interaksi udara terhadap laut dan pencampuran gas dengan fluida.
Gaya apung dan tegangan permukaan merupakan faktor mama pembentuk gelembung. Keseimbangan dari kedua gaya inilah yang menyebabkan terbentuknya gelembung. Akibatnya, karena setiap fluida mempuuyai nilai tegangan permukaan yang berbeda, mal-ca gelernbung yang terbentuk untuk setiap Huidn yang berbeda tetapi dengan kondisi yang sama akan berbeda. Pada percobaan kali ini fluidanya adalah air dan gasnya adalah udara.
Pengambilan daia dilakukan pada parameter-parameter yang konstan, hanya debit aliran udara dan diameter nossel yang divariasikan. Laju aliran air pendorong udara diatur dengan pengatur aliran pada selang dan diukur oleh gelas ukur. Data yang didapat adalah gambar atau video pergerakan gelembung yang direkam dengan handycam. Setelah pengarnbilan data, hasilnya dianalisa menggunakan software image processing dan akan didapatkan gambaran fisik dari gelembung tersebut secara detiL seperti diameter, bentuk, kecepatan, proses pembentukannya, proses menghilangnya serta bentuk lintasan yang ditempuhnya.
Hasil yang didapat dari peroobaan adalah bahwa jika diameter nossei makin besar maka diameter gelembung yang terbentuk akan semakin besar pula. Debit aliran udara pembentuk gelembung tidak signitikan pengaruhnya terhadap diameter gelembung tetapi lebih condong kepada besar irekuensi gelembung (keseringan gelembung muncul per satuan waktu).

Bubble is gas snared in fluid which is one of them yielded by inseminating gas into a fluid or dilution through an or-#ice (nozzle) and make a move that caused by float force (buoyancy). Bubble form dwrent each other as according its characteristic. Bubbleform influence trajectory form and velocity of its vertical direction.
Bubble share at several things, what although seen seldom be paid attention but its role very significant in certain fields. The Bubble 's existence is very expected to processes like in chemical's fabrication. air interaction to sea and mating of gas with fluids.
Buoyancy and surface tension represent the main factor of bubbles former. The Balancing both of these forces cause to be formed of bubbles. As a result, because every fluid have dwrent value of surilce tension, hence formed bubble to each differentfluid but in same condition will be dWrent. At this attempt the fluid is water and the gas is air.
Intake of data done at constant parameter, only air stream debit and nozzle diameter which are variated The water 's flowrate that push the air arranged with stream regulator at hose and measured by measured tube. The accepted data are pictures or videos of bubbles movement, recorded by handycam. After intake of data, its result is analysed using image processing software and will be got image physical bubble in detail, such as diameter; shape, velocity, forming process, its disappearing process and also form of its trajecton.
Result of which is gotten from attempt are that if the nozzle diameter is bigger hence formed bubble diameter will be ever greater also. The debit of air flow of bubble former is not signyicant at influence to bubble diameter but it is more attend to bubble frequency (ojen bubble emerge per set of time).
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2004
S37504
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 1993
S26908
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Priambodo Wisnubaroto
"Pendahuluan: Instrumentasi posterior mengharuskan dipertahankannya fiksasi stabil sekrup pedikel di tulang belakang untuk mencapai fusi. Hal ini dapat menjadi sulit terutama pada kondisi tertentu, misalnya pada penurunan densitas masa tulang pedikel. Teknik insersi sekrup dengan lintasan kortikal diharapkan menambah antarmuka sekrup dan tulang dengan meningkatkan engagement antara sekrup dengan korteks tulang. Lintasan sekrup dari arah kortikal infero-superior serta kortikal supero-inferior diharapkan memiliki keunggulan kekuatan cabut (pullout strength) dibandingkan dengan lintasan konvensional dalam mengatasi masalah ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil biomekanik awal lintasan kortikal dan perbedaan pull out strength lintasan konvensional (Weinstein, 1992), kortikal infero-superior (Santoni, 2009), dan kortikal supero-inferior.
Metode: Sampel dari lumbal (L1-L5) babi Yorkshire (n=30) dilakukan pengukuran morfometri dan dibagi secara acak. Sampel dilakukan pengeboran dan sekrup dimasukkan ke dalam tulang dengan tiga lintasan: konvensional, kortikal infero-superior, dan kortikal supero-inferior. Arah lintasan diperiksa kembali dengan sinar-x. Dilakukan penarikan sekrup dengan arah sesuai aksis insersi sekrup dengan kecepatan translasi 5mm/menit. Hasil dicatat dengan satuan Newton (N).
Hasil: Didapatkan rata-rata nilai uji tarik pada kelompok konvensional, infero-superior, dan supero-inferior masing-masing 491,72 (187.23) N, 822,16 (295.73) N, dan 644,14 (201.97) N. Lintasan kortikal infero-superior dan kortikal supero-inferior masing-masing mendapatkan nilai 67% dan 30% lebih tinggi dibandingkan dengan lintasan konvensional. Hasil uji ANOVA satu arah dan uji post-hoc Tukey menunjukkan perbedaan signifikan antara lintasan kortikal infero-superior dengan konvensional (p<0.01).
Kesimpulan: Lintasan sekrup dalam tulang lumbal dapat memengaruhi nilai pullout sekrup. Keterlibatan tulang kortikal pada lintasan insersi sekrup baru ini bisa meningkatkan nilai pullout sekrup pedikel. Secara statistik pullout strength lintasan kortikal infero-superior dan kortikal supero-inferior tidak ada perbedaan. Studi ini menunjukkan nilai pullout yang lebih tinggi sebesar 30% dari lintasan yang disarankan peneliti dibandingkan dengan lintasan konvensional, walaupun tidak ada perbedaan signifikan secara statistik.

Introduction: Posterior instrumentation is aimed to achieve spinal fusion which is helped by maintaining a stable pedicle screw insertion within the pedicle. This presents a challenge especially in conditions with low bone quality. Pedicle screw insertion with cortical bone trajectory is designed to add interface between the screw and the bone through engagement between pedicles and the cortex when compared to conventional pedicle screw insertion. Pedicle screw insertion trajectory from cortical infero-superior and the proposed cortical supero-inferior should obtain better pull out performance when compared with conventional pedicle trajectory. We aim to evaluate the pull out strength differences between conventional (Weinstein, 1992) pedicle screw trajectory, cortical infero-superior (Santoni, 2009), and a proposed cortical supero-inferior trajectory.
Methods: Samples from Yorkshire porcine lumbar spine (L1-L5) (n=30) were relieved of soft tissue attachments and dried. Morphometric measurements were conducted and the samples were randomly assigned to three groups. The screws were inserted into the vertebrae by drilling with the three trajectories: conventional, cortical infero-superior, and cortical supero-inferior. The trajectory of the screws were examined using x-rays. Pull-out tests were conducted by applying uniaxial traction in line with the screw trajectory with a translational speed of 5mm/minutes. The results of the pull-out are measured in Newton (N).
Results: We obtained a mean value of pullout force in conventional trajectory 491,72 (187.2) N, cortical infero-superior 822,16 (295.73) N, and cortical supero-inferior 644,14 (201.97) N. Cortical infero-superior trajectory and cortical supero-inferior trajectory attained 67% and 30% higher pullout mean respectively. Using one-way ANOVA and a post-hoc Tukey test revealed a significant difference between cortical infero-superior and conventional trajectory (p<0.01). Differing pull out strengths between cortical infero-superior and supero-inferior trajectory showed no statistical significance. Our study showed a 30% higher pull-out strength in our proposed trajectory compared with conventional trajectory although not statistically significant.
Conclusion: The trajectory of the screws within the lumbar spine seemed to have an impact in pullout strength. Cortical bone engagement using the novel trajectories may increase screw pullout strength of pedicle screws.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Kartika Purnasasmita
"Tesis ini mengeksplorasi metode perancangan arsitektur berbasis pemahaman bau yang dapat membentuk lintasan dalam proses navigasi ruang arsitektur. Studi ini diawali dengan argumen bahwa arsitektur cenderung untuk menghilangkan atau menimpa kehadiran bau yang ada. Hal ini mendiskriminasi kehadiran bau dalam ruang dan menjadikannya hanya dilihat sebagai rangsangan dari matter. Tesis ini kemudian mengangkat pentingnya pergeseran perspektif bau dalam ruang dimana yang dilihat melalui pemahaman akan lintasan bau. Hal ini menunjukkan bahwa bau menghadirkan kondisi dinamis dalam ruang. Penelusuran lintasan bau dapat mengungkap lapisan-lapisan bau dalam ruang dimana tesis ini melihat lapisan tersebut dalam komposisi foreground-background. Tesis ini melihat lintasan bau berdasarkan pergerakan bau dalam ruang, pergerakan manusia, dan susunan lapisan tersebut.
Fragmentasi kemudian dilihat sebagai metode yang dapat mengungkap dan mengintervensi lintasan bau. Kajian fragmentasi diawali dengan penelusuran makro melalui proses smellwalking pada konteks urban untuk melihat susunan lapisan dalam lintasan yang menghasilkan navigasi dinamis dalam ruang. Studi tersebut dilanjutkan dengan penelusuran mikro yaitu mengeksplorasi ragam perlakuan bau dan medium perantara dimana berfokus pada bau rempah-rempah tradisional Indonesia. Temuan dari studi ini menghasilkan rancangan arsitektur lintasan bau untuk navigasi dengan menyoroti makna temporalitas oleh bau dalam membentuk dan menembus waktu. Rancangan yang dihasilkan berupa skenario lintasan yang terdiri atas susunan lapisan foreground-background dan navigasi dinamis berupa wayfinding serta koreografi respons tubuh manusia dengan bau. Hal ini mempertimbangkan temporalitas serta hubungan aktif bau, tubuh manusia, elemen spasial (medium perantara bau), dan waktu.

This thesis explores the trajectory of smell as the basis of architectural design method development in navigating space. It argues that architecture often removes or overwrites smell based on its stimulating existence created from matter. However, it tends to discriminate the presence of smell in space. This thesis then highlights the importance of understanding smell through the idea of trajectory, enabling the dynamic condition in space. The investigation of the trajectory of smell reveals layers of smell in space which can be seen in the form of foreground-background compositions. Furthermore, the trajectories of smell in this study are driven by the distribution of smell in space, human movement, and the existing layers within the space.
Fragmentation is seen as an architectural design method that reveals and intervenes the trajectory of smell. The study began with a macro investigation by conducting the process of smellwalking in urban context. It reveals the compositions of foreground-background enabling dynamic navigations in space. Further micro investigations are done through various explorations of the smells’ treatment and mediums by focusing on the smell of traditional Indonesian herbs and spices. These findings then suggest possible architectural programming in navigating space by developing various scenarios of trajectory. It highlights the notion of temporality of smell in making and passing through time. The scenarios consist of foreground-background layers and dynamic navigation in the form of wayfinding and various choreographies of bodily response towards the smell. This thesis then higlights the notion of temporality and the active relations between smell, human body, spatial elements (mediums), and time.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>