Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salampessy, Ismail Naiyowehaji
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap perspektif masyarakat terhadap satuansatuan lanskap serta pemanfaatannya sebagai sumber perolehan kebutuhan hidup masyarakat adat Baduy-Dalam, Desa Kanekes, Banten. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnoekologi. Data penelitian dikumpulkan dari hasil wawancara informan kunci, observasi langsung di lokasi penelitian, serta kegiatan diskusi kelompok viiirnam (Focus Group Discussion-FGD) dengan metode distribusi kerikil (Pebble Distribution Method-PDM). Berdasarkan persepsi masyarakat adat Baduy-Dalam terhadap nilai penting unit lanskap, terdapat tujuh satuan lanskap, yaitu lembur, huma, cai, jami, reuma, reuma kolot, dan leuweung lembur. Juga berdasarkan persepsi masyarakat adat Baduy-Dalam terhadap tumbuhan sebagai sumber perolehan kebutuhan, terdapat sepuluh sumber perolehan, yaitu sebagai sumber pangan, obat, viiirnament, kayu bakar, ritual, obat padi, alat rumah tangga, bahan pewarna, dan anyaman. Lembur menjadi unit lanskap terpenting dengan skoring PDM tertinggi (28,8), dan sumber perolehan pangan pada satuan lanskap huma menjadi memiliki nilai penting tertinggi sebagai sumber perolehan, dengan skoring PDM tertinggi (33,5).
This research attempted to reveal the relationship of Baduy-Dalam people to their landscape, as well as their utilization of plants in Kanekes Village, Banten. The methodfor this research were ethnoecological approach. Data were collected by interview with the local key informant, direct observation in the site of the research, focus group discussion (FGD) and pebble distribution method (PDM) with respondent Baduy-Dalam people utilize and manage each of them differently. According to the Baduy-Dalam people's perspective for important landscape, there are seven landscape units, namely lembur, huma, cai, jami, reuma, reuma kolot, and leuweung lembur. Also from to the Baduy-Dalam people's perspective for plant utilization on landscape, there are ten utilization, which are for food, medicine, ornament, firewood, ritual, paddy's medicine, household appliance, dye materials, webbing, and building material. Lembur landscape unit gained the highest PDM score (28,8), and for important landscape plant utilization, food on huma landscape unit gained the highest PDM score (33,5).
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
T51785
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Puryanti
Abstrak :
This paper aims to show the dynamics of the Indonesian ? Malaysian border area in Sebatik Island, East Kalimantan, Indonesia. Take into account as a background is the territorial dispute between Indonesia and Malaysia over the Ligitan and Sipadan Islands which were awarded to Malaysia by the decision of the ICJ (International Court of Justice) in 2002, which was followed by the dispute over the Ambalat sea block in 2005. Sebatik Island is geographically very strategic since it faces the disputed areas. Therefore the concerns of the Indonesian state with regard to the island pertain to issues of nation-state sovereignty and territorial security, which she tries to safeguard through intensive campaigns. Research conducted in Sebatik in 2009 showed how people willingly reinforced the state by incorporating its programs, despite their ambiguous position as people in a border area, which support they used subsequently in negotiating with the state for their own local purpose.
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Robert Hendra
Abstrak :
Secara geografis Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat terletak antara 00°21' sampai dengan 00°29' Lintang Selatan dan 99°52' sampai 100°33' Bujur 'I'imur, dengan luas wilayah 2.232.30 Km. Untuk menempuh Kota Lubuk Basung sebagai lbukota Kabupaten Agam, dapat ditempuh melalui tiga pintu gerbang, yaitu arah Utara melalui Lubuk Basung-Pasaman-Medan, dan arah Tinuir Lubuk Basung-Maninjau-Bukittinggi, arah Barat melalui jalan raya Lubuk Basung-Tiku-Pariaman. Dari. segi budaya, Kabupaten Agam merupakan daerah Minangkabau dengan sistem kekerabatan matrilinial. Banyak obyek wisata terdapat di Kabupaten Agam, seperti obyek wisata alam, obyek wisata sejarah/budaya, obyek wisata minat khusus dan obyek wisata seni budaya. Sedangkan tujuan penelitian ini, adalah untuk mengevaluasi pencapaian tujuan kebijakan Program Terpadu Pengembangan Kawasan Wisata Danau Maninjau dan menganalisis faktor-faktor kendala atau hambatan dalam pencapaian pelaksanaan program. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yang menggunakan data kualitatif, dengan konsep menghimpun data yang berasal dari wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, catatan atau memo serta dokumen resmi lainnya dan menjelaskan antara variabel-variabel yang berkembang kemudian menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Hasil kajian dari penelitian lapangan yang dilakukan terhadap pelaksanaan Program Pengembangan Kawasan wisata Danau Maninjau, menjelaskan bahwa banyak tantangan dan hambatan dalam mencari sasaran pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Agam. Kurangnya jumlah dan kualitas sumber daya manusia kepariwisataan, dana serta rumitnya pemanfaatan tanah ulayat/adat, merupakan sebahagian penyebab utama lambatnya pengembangan obeyk-obyek wisata di Kawasan Danau Maninjau. Selain hal tersebut, kurang eratnya hubungan antara Pemerintah daerah dengan perantau-perantau Minang yang sebahagian besar membentuk yayasan atau Lembaga Swadaya Masyarakat menyebabkan kurangnya kepedulian masyarakat perantau Minang yang berasal dari Kabupaten Agam untuk terpanggil membantu. Program-program atau kegiatan yang dilakukan pemerintah tidak seluruhnya dan tidak sepenuhnya didukung oleh masyarakat, dan hal ini diidentifikasikan karena munculnya dua pihak yang "tidak sama" yang memiliki kuasa dalam kehidupan mereka (masyarakat); kedua "kekuatan" itu adalah pemerintah dan di fihak lain adalah kaum Ninik Mamak/pimpinan adat msyarakat Minang di daerah mereka. "Rangkulan" pemerintahlah yang dibutuhkan untuk menyeiramakan setiap langkah Ninik Mamak dan pemerintah di dalam setiap pembangunan kepariwisataan Kabupaten Agam menjadi suatu keharusan untuk pencapaian tujuan-tujuan pembangunan khususnya pembangunan kepariwisataan. Promosi kepariwisataan yang kurang "gencar" dan "ampuh" mengawali ketidaktahuan wisatawan-wisatawan akan keindahan Kabupaten Agam, khususnya Kawasan Wisata Danau Maninjau . Pentingnya konsentrasi penuh dari Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan kepariwisataan di Kawasan Wisata Danau Maninjau juga sama pentingnya dengan tumbuhnya kesadaran moral masyarakat di Kawasan Wisata Danau Maninjau, untuk merasa menjadi bagian dari Pembangunan Kawasan Wisata Danau Maninjau. Upaya-upaya untuk menuju munculnya perasaan "memiliki" tersebut perlu dipikirkan dan melibatkan seluruh unsur dan aspek dalam kehidupan masyarakat di Kabupaten Agam.
Danau Maninjau Tourist Area Development Program Kabupaten Agam, Sumatera Barat Province Geographically, Kabupaten Agam, Sumatera Barat province, located between 00°21' to 00°29' southern hemisphere and 99°52' to 100°33' eastern hemisphere, with 2.232.30 km2 land space. To reach Lubuk Basung city, ethnic is the capitol city of kabupaten Agam, there are three gates, from north by Lubuk Basung-Pasaman-Medan, from east by Lubuk Basung-Maninjau-Bukittinggi and from west by Lubuk Basung-Tiku-Pariaman. Culturally, the main ethnic group in this region is Minangkabau, known for its matrilineal kind of kinship. There are many tourism objects in kabupaten Agam, such as eco-tourism, cultural or historical sites, special interest tourism, and tourism about art and culture. There are many interesting potential about tourism in kabupaten Agam, especially Danau Maninjau tourism area. Many works have been done by entrepreneurs also by local government for tourism. One of them is "Danau Maninjau Tourist Area Development Program". It runs from 1944 to 1999. For the problems in the field is so complex, 1 limit the scope of problem into two aspects; first, do Danau Maninjau's tourism area development program is a right step for tourism in Danau Maninjau Area, and second, do Danau Maninjau's tourism area development program is supported by local people. The purpose of this research is to evaluate whether "Danau Maninjau Tourism Area Development Program" reach the goal or not and to analyze the problematic factors in reaching the goal for this program.This research is a descriptive one, which using qualitative data with the concept of collecting data from interviews, field notes, photos, personal documentation, notes or memo also another official documents and explaining between the variables which is later on will make a key to what is being research on. The outcome from this field research in "Danau Maninjau Tourism Area Development Program" will explain about a lot of challenges and problems for the point in developing the tourism in kabupaten Agam. The limited number of quantity and quality in human resources in tourism, fund and also the problematic usage of ethnic land (`tanah ulayat') is part of the main causes of problems in developing the tourism areas in Danau Maninjau. Else, there is lack of good relationship between local government and the Minang people which makes big part of non-governmental organizations. This causes lack of interests in Minang people, mostly came from kabupaten Agam, to help with the program. Governments programs not fully supported by the local people and this is because of the difference in those two groups in rights, not equal in rights, to take charge of their life (in society); and second, the power in government and in the other side, `Ninik Mamak' or the leader in Minang society. Governments reach out is needed to make every step equal to Ninik Mamak and government in every tourism program in kabupaten Agam, it is important for the goals specially in tourism development. The limitation of promotion in tourism makes the tourists lack of information about the beauty of kabupaten Agam, especially Danau Maninjau Tourism Area. The importance of' full concentrate from local government in tourism in Danau Maninjau is as important to develop the sense of belonging of local people in Danau Maninjau Tourism Area, so that they could be a part of the Danau Maninjau's Tourism Area Development Program. For this `sense of belonging', it must be on the list to think of and to include all the elements and aspects of life of people in kabupaten Agam.
2001
T1980
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Pambudi Mahanto
Abstrak :
Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO) merupakan suatu bentuk pengelolaan hutan yang secara teknis disebut "management region " diperkirakan dapat mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi yang sekaligus tetap dapat memenuhi tujuan pengelolaan lestari dan sumber-sumber daya hutan. Pengelolaan hutan jati optimal di BIKPH Tangen KPH Surakarta Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah yang menjadi fokus penelitian tesis dengan demikian merupakan uji coba yang apabila dimulai berhasil dapat diterapkan ditempat-tempat lain yang juga menghadapi masalah-masalah sosial ekonomi serupa. Dipicu oleh pertambahan penduduk yang tidak terkendali, kelebihan penduduk telah menurunkan taraf kesejahteraan mereka yang pada dasarnya hidup dari bertani sangat tergantung dari ketersediaannya tanah-tanah pertanian. Menurunnya alokasi tanah pertanian bagi rata-rata penduduk di tambah dengan langkanya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di desa-desa mengakibatkan tingkat kesejahteraan mereka merosot, sehingga mereka menghadapi kehidupan miskin. Disebabkan sulitnya menemukan jalan keuar mengatasi kesengsaraan itu, penduduk merambah tanah-tanah hutan di dekat pemukimannya mencari apa saja yang dapat dimanfaatkannya, melepas ternak-ternaknya di lahan-lahan hutan Perum Perhutani, mengambil pakan ternak, merencek, menebang kayu yang ditemui, bertani liar bahkan acapkali juga membangun runah-rumah baru yang kesemuanya itu merupakan perbuatan tidak syah/ melawan hukum? ...... Teak Forest Optimal Management (TFOM) is an implementation of the technically signified as management regime intended as remedial effort to the existing social economic problems in today forest management, concurrently to maintain and continuing the sustainable teak forest management. The TFOM of BKPH Tangen came the focus of this thesis research is a trial endeavor which as it is succeeded should be further enforced in other places where similar social economic problems are encountered. Triggered by uncontrolled population growth, excess of peoples in rural areas demotes their economy, where in general they live from farming which largely depend upon the availability of agricultural lands. Due to reducing allocations of average agricultural land per capita plus their situation of veer scarce living opportunities in rural areas, the economy of the people arc demoted to turn into proverty Very hard opportunities to find solution for their living, the peoples encroach forest lands to look after whatever they found for their living. Herding their livestock, looking for rattle feed, chopping woods for firewood, cutting any available woods, savage farming even building temporary houses, are all illegal against the law?
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ary Wahyono
Abstrak :
ABSTRAK Kegiatan perladangan Kulit Manis di TNKS merupakan kegiatan bercocok tanam yang dikategorikan sebagai kegiatan yang mengubah ekosistem alami. Dampak perladangan terhadap erosi tanah akan semakin meningkat apabila terjadi perluasan areal tanaman kulit manic. Kegiatan perladangan tanaman kulit manis di TNKS tidak lepas dari permintaan lahan yang subur yang meningkat untuk kepentingan kelangsungan hidup penduduk sekitar. Peranan tanaman kulit manis memberikan sumbangan yang besar bagi rumahtangga petani. Di satu sisi, kegiatan bercocok tanaman di TNKS merupakan mata pencaharian hidup penduduk sekitar, tetapi di sisi lain merupakan pembatasan atau pelarangan pemanfaatan sumberdaya. Oleh sebab itu, masalah perladangan tanaman kulit manis di TNKS merupakan masalah ekologi dan sosial-ekonomi penduduk yang perlu dicari pemecahannya tanpa harus menimbulkan masalah baru terhadap penduduk yang menggantungkan hidupnya dari hasil kulit manis. Studi ini diharapkan memberikan pemahaman tentang perilaku perambahan hutan kasus tanaman perdagangan di kawasan TNKS sehingga dapat digunakan sebegai referensi di dalam pengelolaan lingkungan kawasan konservasi yang memperhatikan masyarakat sekitar. Tujuan studi adalah mengetahui motivasi dan latar belakang petani mengembangkan tanaman kulit manis dan melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kegiatan perladangan kulit manis di kawasan konservasi. Unit analisis dari penelitian ini adalah rumahtangga petani yang mengusahakan perladangan tanaman kulit manis. Sifat penelitian ini adalah kualititatif. Sungguhpun demikian dalam berbagai kasus uraian, data dianalisis dengan teknik statistik sederhana (chi-kuadrat) dan teknik korelasi. Jumlah sampel yang diambil adalah 100 orang responden. Lokasi penelitian adalah Desa Siulak Kecil, Gunung Kerinci, Jambi. Ringkasan hasil penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut : Pala ladang campuran tanaman kulit manis dan tanaman sayuran merupakan bentuk adaptasi pertanian yang dikembangkan sebagian besar responden petani sebagai strategi untuk mengatasi kebutuhan hidup. Ada sekitar 63% responden yang mengembangkan ladang tumpangsari di lakasi penelitian, sedangkan sisanya 27% terdiri dari responden yang tidak memiliki ladang sayuran, dan sebagian kecil responden (10%) yang mengembangkan ladang sayuran menetap. Sifat fleksibelitas tanaman kulit manis mendorong petani untuk mengembangkan tanaman kulil manis. Tanaman kulit manis dapat dipanen setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan keperluan petani. Tanaman kulit manis dapat berfungsi sebagai tabungan, tetapi juga dapat dipetik hasilnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ladang kulit manis yang masih muda (di bawah empat tahun) dapat ditumpangsarikan dengan tanaman berumur pendek yang menguntungkan. Tanaman sayuran merupakan penghasilan harian bagi rumahtangga petani di Kerinci. Pengembangan ladang campuran menyebabkan petani harus mengatasi kesuburan ladang, yaitu membuka ladang sayuran di lokasi lain. Ada dua strategi petani untuk mengatasi kesuburan ladang, yaitu membuka ladang di kawasan hutan dan di kawasan perladangan kulit manis. Akan tetapi, dilihat dari aspek penguasaan ladang dan keragaman komposisi umur tanaman kulit manis mencerminkan bahwa petani Kerinci di Desa Siulak tidak memiliki pola perladangan berpindah yang tetap. Oleh sebab itu, dapat dimengerti jika perkembangan areal perladangan kulit manis cenderung ekspansif. Pala penguasaan ladang tanaman kulit manis tidak identik dengan pola penguasaan sawah yang masih diatur secara adat (gilir ganti melalui jalur matrilineal), tetapi dimiliki secara individual. Ladang kulit manis bukan lagi lahan pertanian yang dikuasai secara adat, melainkan kekayaan yang diperoleh dari pencaharian (tembilang emas). Oleh sebab itu dalam pewarisannya tidak diatur secara adat tetapi disesuaikan dengan kepentingan petani. Akibatnya fungsi ekonomi ladang kulit manis lebih menanjol dibandingkan dengan sawah. Kalau hak pakai pada sawah yang cenderung terbatas (gilir ganti), maka pola penguasaan ladang kulit manis dipandang sebagni hak pakai tak terbatas dan tidak ada kelembagaan yang mengontrol sebagaimana terdapat pada sawah. Sebagian besar (80%) penguasaan ladang kulit manis adalah pemilikan ladang, lebih dari separuhnya (60,8%) diperoleh melalui jual-beli. Jual beli ladang merupakan transaksi antar penduduk yang biasa terjadi di Desa Siulak Kecil. Adat dan desa tampaknya tidak mengatur secara jelas masalah jual-beli ladang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas kulit manis yang dikuasai mencerminkan jumlah petak ladang yang dimiliki. Semakin luas ladang kulit manis yang dikuasai semakin banyak jumlah petak yang dikuasai. Luas sawah yang digarap rumahtangga berkorelasi langsung terhadap luas penguasaan ladang kulit manis. Semakin besar luas sawah yang dikuasai semakin banyak jumlah petak ladang kulit manis yang dikuasai. Sawah masih merupakan kebutuhan subsistensi rumahtangga petani yang dilindungi secara adat. Jumlah anggota keluarga dalam rumahtangga petani tidak berkorelasi dengan penguasaan ladang kulit manis. Ekstensifikasi ladang kulit manis tidak ada hubungannya dengan jumlah jiwa dalam rumah tangga petani. Namun demikian, jumlah jiwa dalam dalam rumah tangga petani berkorelasi secara negatip dengan luas sawah yang digarap petani. Jadi, semakin banyak anggota keluarga dalam rumah tangga petani semakin sempit luas sawah yang digarap rumah tangga petani. Pekerjaan sampingan petani berkorelasi dengan penguasaan ladang kulit manis, sebaliknya, pekerjaan sampingan petani tidak berkorelasi dengan luas sawah yang digarap petani. Hal ini berarti bahwa luas-sempitnya sawah yang digarap petani tidak berkaitan dengan pekerjaan sampingan yang dimiliki petani. Sawah merupakan hak kaum perempuan yang sudah menikah, yang lebih ditekan pada fungsi sosial. Sawah merupakan penopang solidaritas sosial masyarakat Kerinci. Di lain pihak, pekerjaan sampingan bukan alternatif mengatasi kesulitan keterbatasan lahan sawah. Pekerjaan sampingan merupakan modal bagi petani untuk mengembangkan ladang kulit manis. Jadi dengan demikian pengembangan ladang kulit manis merupakan alternatif yang dianggap dapat mengatasi kebutuhan hidup masyarakat.
ABSTRACT
Expansion of cinnamon crop cultivation in Kerinci Seblat National Park (KSNP) area is categorized as activities which can change the natural ecosystem. Impact of swidden agricultural system on land erosion would increase when they expanded. The development of swidden agricultural system activities gives rise to the increasing demand of fertile area, which is very important for the livelihood of local people. The cinnamon bark plant contributed deal towards the father?s household. Cinnamon cultivation activities in KSNP is a source of livelihood to the local people. However, it can result in the destructive use of forest resources. The problem of establishing cinnamon tree cultivation in KSNP are ecological and socio-economic in character. This need proper solution which do not incur new problems for local people whose livelihood depends on cinnamon garden yield. This study is expected to give an understanding on the behavior of forest intruders cultivating commercial plants in KSNP, and function as reference for environmental management of forest conservation area without neglecting the local people. The objective this study is to find out the motivation and background of farmers in developing cinnamon tree crops and to find out factors which relate to the expansion of cinnamon planting activities in a conservation area. The unit of analysis of this study is the farmer's household ultimating cinnamon tree. This study is qualitative in character, although some of its data were analyzed by simple statistical technique (chi square) and correlation technique. The number of respondents (sample) interviewed was 100 people. The study location was in Siulak Kecil, Gunung Kerinci, Jambi Province. The research results can be summarized as follows: 1. The cinnamon mixed garden (ladang tumpangsari system) is a form of agricultural adaptation developed by most (farmer) respondents to meet life necessities. About 63% of respondents developed intercropping, 27% of them did not cultivate vegetables cultivation, and a few of them (10%) developed cinnamon monoculture plantation. 2. The flexibility of harvesting system enable the farmers to develop cinnamon mixed garden. These plants can be harvested any time that is suitable to the farmer's needs and wants. Cinnamon tree can function as savings. It can also be harvested to meet special needs (travel, marriage, university fee, buying modem commodities, pilgrimage). The Annual crop arc harvested throughout the year and sold. Vegetables with a peak production (annually) constitute a good revenue which fulfill the farmer's basic needs. 3. The development of cinnamon mixed gardens has caused the farmer to take into account the fertility of the land. Therefore, they cleared away another location to cultivate vegetable anew. The farmer had two strategies in order to contend wither land fertility; the first strategy is that they c)cared away the forest area and the second is to cleared away the cinnamon bark plant cultivation area. However, viewed from the ownership aspect and the age variations of cinnamon bark plant, it can be said that farmers in Siulak Kerinci do not posses permanent shifting cultivation pattern. It is understandable therefore if the development of unirrigated cultivation area tended to became expansive. 4. The ownership pattern of swidden cultivation is not identical with the ownership of wet paddy field that is still controlled by customary laws (by turns through matrilineal channels). Hence, the swidden agricultural system is no longer controlled by customer laws but became private property. Therefore, cinnamon bark plant area is not considered as inherited wealth, but adaptable according to the farmer's interest. As a result the economic function of cinnamon bark area is more prominent compared to wet paddy field. Compared to wet paddy field the ownership pattern of cinnamon tree utilization rights is unlimited and no institution is in control as in case of wet paddy field. 5. Most of swidden cultivation area ownership (80%) is private property. More than half of it (60.8%) obtained the ownership by people's interaction. Swidden cultivation trading is a common transaction among inhabitants in Siulak Kecil. Research showed that the higher number of cinnamon tree reflected more extensive land controlled by the farmer. Wet paddy field is still a subsistence need the for farmer's household and it is protected by traditional custom laws. 6. The numbers of family members in a farmer's household do not correlate with the ownership of cinnamon gardens. The greater the cinnamon trees do not correlate with the number of the household's family members. Nevertheless, the numbers of household's family members negatively correlate with wet paddy field the farmer tilled. The higher number of members the narrower the wet paddy field a farmer tilled. 7. The additional job a farmer possess correlate with cinnamon tree possessions. On the other hand, additional jobs do not correlate with the extend of wet paddy field tilled by the farmer. This means that the size of wet paddy field do not correlate with additional job a farmer has. Wet paddy field constitutes social solidarity support of the community in Kerinci. 8. The additional job farmer correlated with claims on unirrigated cultivation area. The additional job farmer do not correlate with the size of wet paddy filed cultivated by the farmer. This means that the size of wet paddy filed cultivated by the farmer do not correlate with the additional job farmer. Wet paddy field is the right of married woman due is social function. Indeed, wet paddy field is the social solidarity support of the Kerinci community. 9. The additional job is no an alternative to overcome the limited land for wet paddy field. The additional job formers constitute a capital of the farmer to develop the cinnamon plantation. Therefore, the expansion of cinnamon commercial tree is an alternative that can be considered of being capable of overcoming the needs of community livelihood. E. Reference : 54 [1926-1995]
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library