Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ira Melintira Trinanty
"Bronkiektasis (BE) merupakan penyakit paru kronik yang ditandai dengan dilatasi bronkus ireversibel yang disebabkan kerusakan dinding bronkus yang merupakan hasil dari proses infeksi dan inflamasi. Bronkiektasis secara primer merupakan penyakit pada bronkus dan bronkiolus dengan keterlibatan siklus infeksi dan inflamasi transmural yang tidak berujung dengan pelepasan mediator inflamasi. Walaupun tidak ada studi-studi yang dilakukan pada penderita dengan stadium awal BE tetapi penemuan pada penderita yang terbukti bronkiektasis memberikan data terpercaya terhadap peningkatan respons selular dan mediator inflamasi. Pada biopsi bronkus penderita BE memperlihatkan infiltrasi neutrofil dan limfosit T, peningkatan konsentrasi elastase dan mediator inflamasi. Infiltrasi neutrofil dan mediator inflamasi ini akan menyebabkan kerusakan jaringan dinding bronkus bertambah. Produksi sputum yang berlebih akan memperberat obstruksi saluran napas yang terjadi. Pemberian antibiotik makrolid (khususnya eritromisin) dapat menghambat influks dan aktiviti kemotaktik neutrofil dan mediator inflamasi. Eritromisin dapat menghambat produksi sitokin proinflamasi yaitu tumor nekrosis faktor (TNF) dan menghambat produksi neutrofil elastase yang berperan dalam sekresi mukus glandula saluran napas sehingga dapat mengurangi hipersekresi mukus pada kondisi-kondisi seperti kistik fibrosis dan bronkiektasis. Secara klinis dapat memperbaiki gejala klinis dengan mengurangi produksi sputum pada penderita dengan hipersekresi mukus. Selain itu mukus yang tertahan akan menyebabkan kolonisasi bakteri yang akan mencetuskan infeksi. Penderita BE akan memperlihatkan episode berulang obstruksi, infeksi dan inflamasi yang akan merusak jaringan paru. Pemberian low-dose dan long-term antibiotik makrolid sebagai anti-inflamasi diharapkan dapat memperbaiki faal paru dan memperbaiki gejala klinis penderita dengan infeksi saluran napas kronik seperti bronkiektasis. Pemberian makrolid yang mengandung atom karbon 14 dan 15 diiaporkan dapat mengurangi jumlah eksaserbasi dan memperbaiki faal paru pada penderita fibrosis kistik, diffuse panbronchialitis (DPB), penyakit supuratif saluran napas kronik lainnya di Jepang."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Lutfiani
"Pengembangan model hewan sindrom metabolik masih diperlukan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pemilihan model hewan eksperimental yang dapat mewakili patofisiologi sindrom metabolik pada manusia. Pemberian diet tinggi lemak dan streptozotocin dosis rendah pada hewan coba diketahui berpotensi menggambarkan berbagai kelainan metabolik akibat resistensi insulin dan obesitas. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh pemberian diet tinggi lemak dan varian streptozotocin dosis rendah terhadap kadar glukosa plasma sebagai salah satu parameter penilaian komponen sindrom metabolik. Studi dilakukan terhadap empat kelompok, terdiri dari kelompok normal (N: diet standar dan dapar sitrat pH 4,5), model 1 (M1: diet tinggi lemak-streptozotocin 25 mg/kg BB), model 2 (M2: diet tinggi lemak-streptozotocin 35 mg/kg BB), model 3 (M3: diet tinggi lemak-streptozotocin 45 mg/kg BB). Pemberian induksi diet tinggi lemak peroral sehari sekali selama 49 hari disertai dengan injeksi intraperitoneal streptozotocin dosis rendah pada hari ke-28. Pemberian induksi diet tinggi lemak sebelum injeksi streptozotocin tidak memengaruhi kadar glukosa plasma secara bermakna (p > 0,05). Namun, pada akhir penelitian kadar glukosa plasma kelompok model 1 dan 2 menunjukkan peningkatan kadar glukosa plasma melebihi 200 mg/dL secara bermakna (p < 0,05) berbanding dengan kelompok normal. Pemberian streptozotocin dosis rendah juga menunjukkan adanya aktivitas dose-dependent dosis 25 dan 35 mg/kg BB, meskipun tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p > 0,05) antar kelompok model. Dosis induksi streptozotocin yang paling optimal dalam penelitian ini adalah 25 mg/kg BB.

The development of animal models of metabolic syndrome still needed to provide a better understanding of the selection of experimental animal models that can represent metabolic syndrome pathophysiology clinically. Administration of high-fat diets and low doses of streptozotocin in experimental animals is known potentially represent various metabolic disorders due to insulin resistance and obesity. This study aims to evaluate the effect of high-fat diets and low-dose streptozotocin variants on plasma glucose level as one of assessment parameters of the metabolic syndrome component. The study was conducted on four groups, consisting of normal groups (standard diet and citrate buffer pH 4.5), model 1 (high-fat diet and streptozotocin 25 mg/kg BW), model 2 (high-fat diet and streptozotocin diet 35 mg/kg BW), model 3 (high-fat diet and streptozotocin 45 mg/kg BW). Induction oral of high-fat diet once a day for 49 days accompanied by a low-dose injection of intraperitoneal streptozotocin on the day 28. Induction of a high-fat diet before streptozotocin injection not significantly influence (p > 0,05) plasma glucose levels. However, at the end of the study the plasma glucose level of model group 1 and 2 showed increased plasma glucose levels exceeding 200 mg/dL significantly (p < 0,05) compared to the normal group. Administration low-dose streptozotocin also showed a dose-dependent activity of 25 and 35 mg/kg BW, although there were no significant differences (p < 0,05) between the model groups. The most optimal dose of streptozotocin induction in this study was 25 mg/kg BW."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tyarani Larasati Eka Putri
"Sindrom metabolik merupakan kumpulan abnormalitas metabolik dengan karakteristik obesitas abdominal, dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, dan resistensi insulin disertai intoleransi glukosa. Metode induksi diet tinggi lemak dan streptozotosin dosis rendah berpotensi membentuk model hewan sindrom metabolik namun pengaruh terhadap parameter antropometri masih perlu diamati. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh kombinasi diet tinggi lemak dan streptozotosin serta variasi dosis streptozotosin terhadap parameter antropometri. Sebanyak 32 tikus Wistar dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok normal, diet tinggi lemak-streptozotosin 25 mg/kg, diet tinggi lemak-streptozotosin 35 mg/kg, dan diet tinggi lemak-streptozotosin 45 mg/kg. Pemberian induksi diet tinggi lemak dilakukan selama 49 hari dengan induksi streptozotosin dilakukan pada hari ke-28 secara intraperitoneal.
Hasil menunjukkan pemberian diet tinggi lemak selama 27 hari dapat meningkatkan berat badan, lingkar perut, BMI, Lee index. Pasca pemberian streptozotosin, terjadi penurunan BMI, Lee index dan lingkar perut namun berat badan tetap meningkat hingga akhir penelitian. Kelompok yang diberi dosis 25 mg/kg memiliki peningkatan berat badan yang lebih tinggi serta penurunan lingkar perut, BMI, dan Lee index yang lebih besar dibanding kelompok dosis 35 mg/kg. Streptozotosin dosis 45 mg/kg menyebabkan kematian hewan uji sebesar 87,5%. Dapat disimpulkan bahwa pemberian diet tinggi lemak selama 28 hari dapat meningkatkan parameter antropometri sedangkan pemberian streptozotosin diikuti pemberian diet tinggi lemak menurunkan parameter antropometri kecuali berat badan. Evaluasi lebih lanjut diperlukan untuk pengembangan model hewan sindrom metabolik.

Metabolic syndrome is a cluster of metabolic abnormalities with abdominal obesity, atherogenic dyslipidemia, increase blood pressure, and insulin resistance with glucose intolerance. A combination of high-fat diet and low-dose streptozotocin has the potential to become animal model of metabolic syndrome; however, the effect on anthropometric parameter need to be further evaluated. The aim of this study was to identify the effect of high-fat diet and low-dose streptozotocin and dosage variation of streptozotocin to anthropometric parameter. A total of 32 Wistar rats were divided into four groups: normal, high-fat diet and streptozotocin 25 mg/kg, high-fat diet and streptozotocin 35 mg/kg, and high-fat diet and streptozotocin 45 mg/kg. High-fat diet was given for 49 days with injection of streptozotocin on day 28.
The results of this study exhibited high-fat feeding for 27 days could increased body weight, abdominal circumference, BMI, Lee index. After streptozotocin injection, there was reduction in weight gain, abdominal circumference, BMI, and Lee index but body weight still increased until the end of this study. Animal group given 25 mg/kg streptozotocin gained weight and reduced abdominal circumference, BMI, and Lee index more than group given 35 mg/kg streptozotocin. Streptozotocin dosage 45 mg/kg caused death on 87.5% animals population. This study conclude high-fat diet feeding for 28 days could increased anthropometric parameter. However, streptozotocin injection followed by high-fat diet feeding could decreased anthropometric parameter except body weight. Further examination needed to develop metabolic syndrome animal model.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahilda Siti Jamadilla
"Hiperglikemia menginduksi pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS) yang dapat meningkatkan stres oksidatif pada patogenesis diabetes nefropati. Ekstrak etanol kulit batang pulosari (Alyxia reinwardtii) diketahui mengandung pulosariosida, skopoletin, flavonoid, alkaloid, tanin, dan saponin yang memiliki efek antidiabetes dan antioksidan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek ekstrak etanol kulit batang pulosari pada tikus diabetes yang diinduksi oleh pakan tinggi lemak dan streptozotocin dosis rendah. Pada penelitian ini, 24 ekor tikus jantan galur Wistar dibagi menjadi enam kelompok (n = 4), yaitu kelompok normal (CMC Na 0,5%), kelompok negatif (induksi + CMC Na 0,5%), kelompok positif (induksi + Metformin 90 mg/200 g BB), kelompok dosis 1 (induksi + ekstrak 30 mg/200 g BB), dosis 2 (induksi + ekstrak 60 mg/200 g BB), dan dosis 3 (induksi + ekstrak 120 mg/200 g BB). Tikus diinduksi dengan pemberian pakan tinggi lemak yang mengandung 50% pakan standar, 20% tallow, 20% sukrosa, dan 10% mentega selama 28 hari. Kemudian, diberi injeksi streptozotocin 40 mg/kg BB dan nikotinamid 110 mg/kg BB sebanyak dua kali. Setelah kadar glukosa darah mencapai ≥ 280 mg/dL dan stabil selama 3 hari, dilanjutkan dengan pemberian ekstrak selama 21 hari. Parameter kreatinin, urea, 8-OHdG, dan MDA diukur saat sebelum dan sesudah pemberian ekstrak. Kadar kreatinin dan urea diukur menggunakan spektrofotometer UVVis, sedangkan kadar 8-OHdG dan MDA diukur menggunakan ELISA. Ekstrak pulosari secara signifikan dapat menurunkan kadar kreatinin, urea, 8-OHdG, dan MDA (p < 0,05) dan kemampuannya serupa dengan metformin.

Hyperglycemia induces the formation of reactive oxygen species (ROS) which can increase oxidative stress in the pathogenesis of diabetic nephropathy. The ethanol extract of pulosari (Alyxia reinwardtii) bark is known to contain pulosarioside, scopoletin, flavonoids, alkaloids, tannins, and saponins which have antidiabetic and antioxidant effects. This study was conducted to determine the effect of pulosari bark ethanol extract on diabetic rats induced by high-fat diet and low-dose streptozotocin. In this study, 24 male Wistar rats were divided into six groups (n = 4), namely the normal group (CMC Na 0.5%), negative group (induction + CMC Na 0.5%), positive group (induction + Metformin 90 mg/200 g BW), dose group 1 (induction + extract 30 mg/200 g BW), dose 2 (induction + extract 60 mg/200 g BW), and dose 3 (induction + extract 120 mg/200 g BW). Rats were induced by feeding high-fat diet containing 50% standar feed, 20% tallow, 20% sucrose, and 10% butter for 28 days. Then, given injection of streptozotocin 40 mg/kg BW and nicotinamide 110 mg/kg BW twice. After the blood glucose level reached ≥ 280 mg/dL and was stable for 3 days, then the extract is given for 21 days. Creatinine, urea, 8-OHdG, and MDA parameters were measured before and after administration of the extract. Creatinine and urea levels were measured using UV-Vis spectrophotometer, while 8-OHdG and MDA levels were measured using ELISA. Pulosari extract significantly reduced creatinine, urea, 8-OHdG, and MDA levels (p < 0.05) and its ability is similar to metformin. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S70522
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviana Ingrid R.S.
"Ruang lingkup dan Cara penelitian: Pengembangan metoda kontrasepsi pria Cara medikamentosa yang aman, efektif clan reversibel sekarang ini adalah penyuntikan intramuskular kombinasi hormon. Penyuntikan ini dapat menekan sekresi testosteron melalui penekanan gonadotropin hipofisis. Penyuntikan ini diharapkan tidak mempengaruhi fungsi hematopoietik, fungsi ginjal dan antigen spesifik prostat relawan yang turut berpartisipasi pada penelitian ini. Kombinasi hormon yang dipergunakan adalah kombinasi dosis rendah 100 mg TE + 100 mg DMPA dan kombinasi dosis tinggi 250 mg TE + 200 mg DMPA, disuntikkan setiap bulan dalam jangka waktu 12 bulan dan pemeriksaan fungsi hematopoietik, fungsi ginjal dan antigen spesifik prostat setiap 3 bulan. Penelitian ini dibagi dalam 3 We, yaitu fase kontrol atau pra-perlakuan (1 bulan), face penekanan (6 bulan) dan fase pemeliharaan (6 bulan). Pada fase kontrol atau pra-perlakuan dipilih 20 pria sehat dan subur yang memenuhi syarat pemeriksaan fisik dan laboratorium darah sebanyak 2 kali pemeriksaan normal, kemudian dibagi secara acak ke dalam 2 kelompok (masing masing kelompok 10 orang). Kelompok pertama mendapat penyuntikan kombinasi hormon dosis rendah dan kelompok kedua penyuntikan hormon kombinasi dosis tinggi. Parameter yang diteliti adalah: (a) fungsi hematopoietik, meliputi hematokrit, hemoglobin, leukosit, trombosit; (b) fungsi ginjal, meliputi ureum dan kreatinin darah; (c) antigen spesifik prostat.
Hasil penelitian: Pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa hasil kedua kelompok berada diantara batas normal: Ht. 41.67 - 47.46 %; Hb. 14.5 - 15.58 gldl; leukosit 7.48 - 11.54 (103/ul); trombosit 234.78 - 300.11 (103/ul); ureum 21.6 -- 28 mg/dl; kreatinin 0.92 - 1.21 mg/dl dan PSA 0.32 - 0.71 mg/dl. Setara keseluruhan penyuntikan hormon kombinasi dosis rendah 100 mg TE + 100 mg DMPA dan kombinasi dosis tinggi 250 mg TE + 200 mg DMPA tidak mempengaruhi fungsi hematopoietik, fungsi ginjal dan antigen spesifik prostat.
Kesimpulan: Penyuntikan hormon kombinasi dosis rendah 100 mg TE + 100 mg DMPA dan kombinasi dosis tinggi 250 mg TE + 200 mg DMPA setiap bulan selama 12 bulan penelitian dan setiap 3 bulan pemeriksaan laboratorium tidak menimbulkan atau mengakibatkan perubahan bermakna pada fungsi hematopoietik, fungsi ginjal dan antigen spesifik prostat, sehingga kemungkinan aman sebagai slat kontrasepsi hormonal pria.

The Influence of Monthly Injection both a Low Dose and a High Dose Combination of TE + DMPA on the Hematopoietic and Kidney Functions and PSAScopes and methods of study: The medicinal approach to male contraception which is safe, effective and reversible is currently being investigated using a combination of hormones. The hormones, given by intramuscular injection, will suppress testosterone secretion through the suppression of gonadotropin release by the hypophysis. This study is carried out to investigate if there is any adverse effect on hematopoiesis (hematocrit, hemoglobin, leucocyte and thrombocyte as parameters), kidney functions (serum urea and creatinine), and prostate apecific antigen (serum) PSA during the use of this contraceptive means. Two hormonal combinations being evaluated are 1) a low dosage of 100 mg TE + 100 mg DMPA, and 2) a high dosage of 250 mg TE + 200 mg DMPA. The study is divided into 3 consecutive phases: control phase (1 month), suppression (6 months) and maintenance (6 months). The selected volunteers are twenty healthy and fertile males who show normal laboratory findings during the control period, which is carried out twice at a biweekly interval. They are then divided randomly into two groups of ten subjects each. Throughout the suppression and maintenance phases each member of the group receives a monthly injection of the low and high dosage hormonal combination, respectively. Venous blood samples are obtained every three months, the hematological and kidney parameters are examined at the Clinical Laboratory Department of the Cipto Mangunkusumo Hospital, and PSA measured by immunoassay (Abbott, IMx) at the Immunoendocrinology Laboratory of the Indonesia School of Medicine. The laboratory findings are analyzed by two-way anova, using a spreadsheet program (Lotus 123 or Exe1).
Fidings and Conclusion: The laboratory parameters of the two groups are within the normal ranges throught out the study period: Ht. 41.67 - 47.46 %, Hb. 14.5 - 15.58 gldl, leucocyte 7.48 - 11.54 x 103/ul, thrombocyte 234.78 - 300.11 x 103/ul, ureum 21.6 - 28 mg/dL, creatinine 0.92 - 121 mg/dL and PSA 0.32 - 0.71 mg/dL. It is there for concluded that the administration of the combination of TE and DMPA, at both low and high dosages, has no adverse effect on hematopoiesis, kidney function and the prostate, and could therefor be considered safe for use in male contraception.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
T11455
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Baziad
"Penelitian ini untuk melihat efek terapi sulih hormon (?HRT?) dan pil kombinasi dosis rendah terhadap ketebalan kulit ( kolagen ), profil lipid dan kimia darah pada wanita menopause. Penilitian ini berlangsung selama 1 tahun. Sebanyak 36 wanita menopause dilakukan randomisasi yaitu 18 orang mendapat HRT dan 18 orang mendapatkan pil kombinasi dosis rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketebalan kulit ( kolagen ) baik pada wanita yang mendapat HRT maupun pada wanita yang mendapat pil kombinasi dosis rendah. Namun peningkatan ketebalan kulit lebih besar pada wanita yang menggunakan pil kombinasi dosis rendah. Peningkatan ketebalan kulit tersebut dapat mencegan osteoporosis. Pemberian HRT maupun pil kombinasi dosis rendah terjadi perubahan profil lipid maupun kimia darah, namun perubahan tersebut masih dalam batas normal. Pemberian pil kombinasi dosis rendah dapat dipertimbangkan diberikan pada wanita menopause. (Med J Indones 2003; 12: 224-8)

This study to evaluate the effect of hormone replacement therapy ( HRT ) and low-dose combinated oral pill on skin thickness , lipid profile and blood chemistry on menopausal woman.This study was carried out in one year randomized prospective study. 36 women were divided into 18 women receiving HRT and the other 18 receiving low-dose oral pill. The result of this study showed an increase in skin thickness ( collagen ) in both groups. But Those received low dose oral pill showed more . The increase of the skin thickness can prevent osteoporosis. The administration of HRT or low-dose oral pill could cause allteration in blood lipip profile and blood chemistry. But The changes were still within in normal limit. The administration of low-dose oral pill can be considered in postmenopausal women. (Med J Indones 2003; 12: 224-8)
"
2003
MJIN-12-4-OctDec2003-224
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Novie Amelia Chozie
"ABSTRAK
Hemartrosis berulang dan artropati merupakan morbiditas utama pada hemofilia A berat. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, terapi profilaksis dosis standar tidak terjangkau karena memerlukan biaya yang sangat mahal. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi profilaksis sekunder dosis rendah dibandingkan terapi on-demand pada anak hemofilia A berat.
Uji klinis acak terbuka selama 24 minggu telah dilakukan pada anak hemofilia A berat berusia 4?18 tahun dengan riwayat perdarahan sendi berulang, di Poliklinik Hematologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM. Subjek dialokasikan secara acak menjadi dua kelompok yaitu kelompok profilaksis dan on-demand. Kelompok profilaksis mendapat terapi faktor VIII 10 IU/kgBB 2 kali seminggu, sedangkan kelompok on-demand mendapat terapi sesuai protokol standar. Luaran primer adalah kekerapan perdarahan sendi dan luaran sekunder adalah skor HJHS) dan skor ultrasonografi (HEAD-US). Penelitian ini juga membandingkan kadar CTX-II urin dan inhibitor faktor VIII (Bethesda Assay) pada kedua kelompok.
Sejak bulan Juni 2015?Februari 2016 didapatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kekerapan perdarahan sendi pada kelompok profilaksis (5 ± 4,3) lebih baik dari pada kelompok on-demand (8 (3?30)), IK95% 0.9?6.99; p = 0,009. Perubahan skor HJHS pada kedua kelompok menunjukkan perbaikan klinis pada kelompok profilaksis dan perburukan pada kelompok on-demand, walaupun tidak bermakna secara statistik (IK95% -0.99?3; p = 0,320). Skor HEAD-US kelompok profilaksis lebih baik dibandingkan kelompok on-demand (IK95% 2? 8,81; p = 0,003). Perubahan kadar CTX-II urin pada kedua kelompok berbeda bermakna (IK95% 2.777?16.742; p < 0,001). Tidak didapatkan subjek yang terbentuk inhibitor faktor VIII pada kedua kelompok selama penelitian.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terapi profilaksis sekunder dosis rendah efektif mengurangi kekerapan perdarahan sendi, memperbaiki skor HEAD-US dan kadar CTX-II urin, dibandingkan terapi on-demand.

ABSTRACT
Repeated joint bleeds leading to irreversible progressive joint damage (hemophilic arthropathy) is the main problem in children with hemophilia. Current standard prophylacytic treatment in developed countries is beyond our capability as Indonesia has constraint resources. This study aimed to investigate the efficacy and safety of low dose secondary prophylaxis compare to on-demand treatment in children with severe hemophilia A.
An open, randomized controlled trial was conducted on severe hemophilia A children aged 4?18 years in Pediatric Hematology-Oncology Division Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital for 24 weeks. Eligible subjects were randomized into 2 groups: prophylaxis and on-demand group. All subjects were evaluated at week-0 and week-24 for inhibitor factor VIII (Bethesda Assay), ultrasonography (HEADUS scores) of six index joints (bilateral knees, ankles and elbows), HJHS (version 2.1, 2011) and urinary CTX-II (EIA). Subjects in prophylaxis group received factor VIII 10 IU/kgBW 2 times per week for 24 weeks. Any bleeding episodes in both groups were treated according to standard treatment (on-demand).
During June 2015?February 2016 there were 50 subjects enrolled in the study. Mean age in prophylaxis group was 12 ± 3.5 years and median age in on-demand group was 11.9 (6.518.2) years. Mean frequency of joint bleeds in prophylaxis group was 5 ± 4.3 compare to 8 (3?30) in on-demand group (95%CI 0.9?6.99; p = 0.009). Mean difference of HJHS between two groups was not significant (95% CI -0.99?3; p = 0.320). HEAD-US scores and urinary CTX-II in prophylaxis group was significantly better compare to on-demand group (95%CI 2?8.81; p = 0.003 and 95%CI 2,777?16,742; p < 0.001 respectively). No subjects showed showed inhibitor factor VIII in both groups.
We conclude that secondary low dose prophylaxis was effective to decrease joint bleeding episodes and improved HJHS scores, HEAD-US scores and urinary CTX-II, compared to on-demand treatment."
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Ingewaty Wijaya
"Paparan radiasi pengion dosis rendah (<0,5 Gy) dapat menyebabkan gangguan sirkulasi. Namun, belum diketahui apakah paparan radiasi pengion dosis rendah dapat menyebabkan hipertensi. Seorang petugas radiologi berjenis kelamin laki-laki yang berusia 27 tahun menanyakan tentang hasil pemeriksaan berkalanya dimana hasilnya menyatakan ia mengidap hipertensi. Dia juga menyebutkan bahwa pada tahun sebelumnya, hasil pemeriksaan EKG-nya tidak baik, tetapi dia tidak dapat mengingat apa yang dikatakan oleh dokter spesialis jantung. Apakah hipertensi pada pekerja radiologi disebabkan oleh paparan radiasi pengion di tempat kerja? Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus dan Cochrane. Didapatkan sebuah artikel yang relevan, yang memenuhi kriteria inklusi. Sebuah studi kohort oleh Preetha R, et al (2015) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara risiko hipertensi dan paparan FGIP. Penelitian ini valid dan dapat diterapkan pada pasien saya karena metodenya sesuai dan cukup baik. Selain itu, populasi dalam penelitian ini memiliki kemiripan dengan pasien saya. Namun, hanya ada satu artikel yang ditemukan. Hal ini mungkin dikarenakan kurangnya penelitian mengenai hal ini. Oleh karena itu, hubungan sebab akibat masih belum dapat dibuktikan. Dianjurkan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pengukuran paparan dan hasil yang lebih baik.

Exposure to low dose ionising radiation (<0.5 Gy) can cause circulation disorders. It is not yet known whether exposure to low dose ionising radiation can cause hypertension. A 27-year-old male radiologist asked about the result of his periodic examinations in which written hypertension. He also said that in the previous year, his ECG examination resulted in no good, but he couldn’t remember what the cardiologist said. Does hypertension in radiology workers due to exposure to ionising radiation at work? The literature searches were conducted through PubMed, Scopus and Cochrane. A relevant article, which fitted the inclusion criteria, was found. A cohort study by Preetha R, et al (2015) suggested that there is a relationship between the risk of hypertension and FGIP exposure. This study is valid and applicable to my patient because the method is quite good and suitable. Also, the population in the study is similar to my patient. However, there was only one article found which might be due to the lack of research on this subject. Hence, the causal relationship still cannot be proven. Further research is recommended with a better measurement of exposure and outcome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Suci Pertiwi
"Alyxia reinwardtii dikenal sebagai Pulosari digunakan untuk pengobatan kencing manis dan beberapa penyakit lainnya, memiliki kandungan utama berupa Pulosariosida dan Skopolentin. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efek antidiabetes dan antihiperlipidemia ekstrak etanol dari kulit batang pulosari pada tikus diabetes yang diinduksi kombinasi pakan tinggi lemak, streptozotocin, dan nikotinamid. Untuk mencapai tujuan tersebut, pada penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus wistar jantan. Tikus dibagi menjadi enam kelompok (n=4). Kelompok normal dan negatif diberi CMC 0,5%, kelompok positif diberi Metformin dosis 90mg/200g/hari secara oral; dan tiga variasi dosis ekstrak kulit batang pulosari 150mg/kgBB tikus/hari; 300mg/kgBB tikus/hari; 600mg/kgBB tikus/hari secara oral.
Tikus diinduksi pakan tinggi lemak (pakan standar : tallow : sukrosa : mentega, 50%:20%:20%:10%) selama 28 hari dan diinduksi nikotinamid (110mg/kgBB) dengan streptozotocin dosis rendah (40mg/kgBB) dua kali injeksi secara intraperitoneal. Kemudian diberikan baik dengan ekstrak kulit batang pulosari dan metformin selama 21 hari. Dosis 300mg/kg dan dosis 600mg/kg ekstrak pulosari melalui uji Anova memberikan perbedaan bermakna pada kadar glukosa darah setelah 21 hari (p<0,05). Ekstrak kulit batang pulosari memiliki potensi yang sama dengan metformin untuk menurunkan kadar glukosa, kolesterol, trigliserida, LDL dan meningkatkan kadar HDL. Berdasarkan hasil penelitian, ekstrak kulit batang pulosari dapat menurunkan dan memperbaiki profil lipid hewan model.

Alyxia reinwardtii as known as Pulosari is used traditionally for the treatment of diabetes and some other diseases, the main constituent is Pulosarioside and Scopolentin. The aimed of this study to investigate the antidiabetic effects of extract etanol from bark Alyxia reinwardtii in diabetic rats induced by combination of high-fat diet, streptozotocin, and nicotinamide. To this end, we used 24 Wistar male rats. The rats were divided into six groups (n=4). The normal and negative groups were given 0,5% CMC, positive group was given Metformin dose 90mg/200g/day orally; and three variation dose groups of extract pulosari 150 mg/kg BW rats/day orally; 300 mg/kg BW rats/day orally; 600 mg/kg BW rats/day respectively.
All the treatment rats were induced by the combination of high-fat diet (standard feed: tallow: sucrose: butter, 50%:20%:20%:10%) for 28 days and received nicotinamide (110mg/kg BW) with Low dose STZ (40mg/kg BW) twice by intraperitoneal injection. Then treated with extract pulosari either metformin for 21 days. Doses 300mg/kg BW and 600 mg/kg of extract pulosari after 21 days significantly reduced glucose level (p<0,05). The power of extract pulosari similar to metformin to reduce glucose level, cholesterol level, triglyceride level, LDL level, and increase HDL level. Based on this result, pulosari extract have potency as antidiabetic and improve lipid profiles of animal model.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>