Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kevin Ramadhino
"Tulisan ini menganalisis bagaimana penerapan justice collaborator di dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam penerapan status justice collaborator di dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.798/Pid.b/PN.Jkt.Sel. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Penerapan justice collaborator semula muncul dalam United Nations Convention Against Corruption 2003, di dalam UNCAC sebutan justice collaborator muncul untuk memerangi kasus-kasus pidana yang sulit dipecahkan hingga memerlukan orang dari dalam kasus tersebut yang bisa memberikan keterangan untuk membuka seterang-terangnya kasus tersebut, UNCAC 2003 ini kemudian di ratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi. Penerapan justice collaborator ini kemudian dijelaskan tentang bagaimana penerapan, batasan serta pengecualian di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta didukung peraturan mengatur teknis justice collaborator bari para penegak hukumseperti di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) dan juga Peraturan Bersama Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th.2011; Nomor: PER-045/A/JA/12/2011; Nomor: 1 Tahun 2011; Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011; Nomor: 4 Tahun 2011. Dalam praktiknya penerapan justice collaborator di Indonesia bisa diterapkan di dalam kasus tindak pidana umum, penerapan ini membuka banyak kemungkinan penyelesaian masalah pidana yang sulit dipecahkan.
......This article analyzes how justice collaborator is applied in criminal law provisions in Indonesia, especially in the application of justice collaborator status in the murder case of Brigadier Yosua in South Jakarta District Court Decision No.798/Pid.b/PN.Jkt.Sel. This article was prepared using doctrinal research methods. The application of justice collaborator originally appeared in the 2003 United Nations Convention Against Corruption, in UNCAC the term justice collaborator emerged to fight criminal cases that were difficult to solve and required people from within the case who could provide information to reveal the case as clearly as possible, UNCAC 2003 This was then ratified into Law Number 7 of 2006 concerning the UN Convention Against Corruption. The application of justice collaborator is then explained about how to apply, limitations and exceptions in Law Number 7 of 2006 concerning the UN Convention Anti-Corruption, Law Number 31 of 2014 concerning Amendments to Law Number 13 of 2006 concerning Protection of Witnesses and Victims, and supported by regulations governing technical justice collaborators for law enforcers, such as in the Supreme Court Circular Letter Number 4 of 2011 concerning the Treatment of Criminal Whistleblowers and Cooperating Witnesses (justice collaborators) and also Joint Regulation Number: M.HH- 11.HM.03.02.th.2011; Number: PER-045/A/JA/12/2011; Number: 1 of 2011; Number: KEPB-02/01-55/12/2011; Number: 4 of 2011. In practice, the application of justice collaborator in Indonesia can be applied in general criminal cases, this application opens up many possibilities for resolving criminal problems that are difficult to solve."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moudy Rachim Kusuma
"

Skripsi ini membahas mengenai restitusi sebagai salah satu hak korban tindak pidana. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah peraturan-peraturan mengenai hak atas restitusi bagi korban tindak pidana di Indonesia; penerapan pemberian restitusi bagi korban tindak pidana khususnya terhadap kasus tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penganiayaan, dan perkara yang melibatkan anak ditinjau dari putusan pengadilan; dan peran dan tantangan LPSK dalam pemenuhan hak atas restitusi bagi korban tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metode normatif yang pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan didukung dengan wawancara sebagai pelengkap atas data yang telah diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam menguraikan pengertian restitusi di antara peraturan perundang-undangan yang ada sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda di antara para penegak hukum dan kurangnya ketentuan subsider dalam UU No. 31 Tahun 2014, sebagai ketentuan yang mengubah UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, beserta peraturan pelaksananya sehingga menjadi kurang efektif apabila pelaku ternyata tidak dapat membayar restitusi. Penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban RI juga sangat diperlukan karena temuan dalam penelitian memperlihatkan bahwa dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan performa dari LPSK dengan tidak membantu fasilitasi restitusi bagi korban tindak pidana umum seperti yang telah dilakukan sebelumnya.


This research discusses about restitution as one of the rights of the victim of crime. The aims of this research are first, to show the critical analysis of the regulation of victims rights to receive restitution in Indonesia; second, to analyze the implementation of giving restitution to victim of crime precisely on human trafficking, battery, and relating to child abuse cases by reviewing criminal court decisions; and last but not least, to describe the role and obstacle of which LPSK has in fulfilling victims right to seek restitution. This research used normative methodology based on literature study and interview to support the existing data. The research founds that there is a slight disharmony in describing the definition of restitution between the laws, which affects the law enforcement officers especially judges to have different perceptions of the terminology; the lack of subsidiary provision in Law No. 31 of 2014 and its implementing regulations that causes ineffective protections of the victims if the perpetrator apparently unable to pay the restitution. On the other hand, in the last three years there has been a slight decline in performance of LPSK without facilitating victim(s) of crime to accomplish the restitution order.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library