Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Artetha Mutiara Pujiantana
Abstrak :
Latar belakang: COVID-19 yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2 telah menginfeksi ribuan orang di Indonesia dan memberikan manifestasi klinis yang luas mulai dari gejala ringan hingga berat yang dapat menyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dasar, laboratoris, terapi, komplikasi, dan luaran pada pasien kritis dalam pemantauan (PDP) ataupun terkonfirmasi COVID-19. Metode: Studi ini merupakan studi deskriptif potong lintang yang dilakukan di ICU RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS Universitas Indonesia (RSUI) selama Maret 2020 hingga September 2020. Sebanyak 259 subjek yang sesuai kriteria inklusi diambil dari data rekam medis. Dilakukan pengambilan data berupa data demografik, karakteristik dasar, parameter respirasi, data laboratoris, terapi, komplikasi, dan luaran pasien. Data yang terkumpul dijabarkan dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase, serta histogram. Data yang terdistribusi normal disajikan dalam rerata dan data yang terdistribusi tidak normal disajikan dalam median. Hasil: Karakteristik dasar pasien adalah jenis kelamin laki-laki, usia 52 tahun, penyakit penyerta paling banyak hipertensi dan diabetes mellitus. Gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah sesak napas, batuk, dan demam. Suhu tertinggi selama perawatan adalah 37.20C. Awitan muncul gejala hingga pasien masuk rumah sakit adalah tiga hari, dan awitan muncul gejala hingga pasien masuk rawat ICU adalah enam hari. Metode diagnosis yang paling sering adalah adanya infiltrat bilateral pada pemeriksaan foto polos toraks, dan pemeriksaan PCR swab. Support pernapasan pada saat pasien masuk ICU paling banyak menggunakan ventilator invasif dan masker oksigen. PEEP tertinggi pasien pada 8 cmH2O, PEEP terendah 5 cmH2O. Rasio PF tertinggi adalah 299,75, dan terendah 136,1. PCO2 tertinggi pasien 47,9 mmHg, dan terendah 27,45 mmHg. Tekanan darah sistolik pasien tertinggi 151,88 mmHg, dosis norepinefrin tertinggi 1 mcg/kgBB/menit, dan dosis dobutamin tertinggi 10 mcg/kgBB/menit. Parameter laboratoris menunjukkan nilai leukosit 11.150 103/μL, neutrofil 84%, Limfosit 8,4%, monosit 5,84%, NLCR 10,11, Hb 11,61 g/dL, trombosit 284000 103/μL, D-dimer tertinggi 6730 μg/L, D-dimer terendah 1590 μg/L, ferritin tertinggi 1815,59 ng/mL, ferritin terendah 859,03 ng/mL, albumin 3,01 g/dL, ureum 45 mg/dL, kreatinin 0,94 mg/dL, SGOT 41 U/L, SGPT 34 U/L, bilirubin total 0,7 mg/dL, kadar laktat tertinggi 5,1 mmol/L, laktat terendah 1,7 mmol/L, natrium tertinggi 143 mEq/L, natrium terendah 132 mEq/L, kalium tertinggi 4,9 mEq/L, kalium terendah 3,4 mEq/L, klorida tertinggi 108 mEq/L, klorida terendah mEq/L, troponin I 49,35 pg/mL, CRP tertinggi 178,7 mg/L, CRP terendah 41,2 mg/L, PCT 1,53 ng/mL. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada biakan sputum adalah Acinetobacter sp, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, dan infeksi jamur.Terapi diberikan pada pasien mencakup pemberian antibiotik, antiviral, steroid, vitamin C, dan terapi pengganti ginjal (hemodialisa dan CRRT). Komplikasi yang paling sering terjadi adalah ARDS, Syok sepsis, dan AKI. Luaran pasien yang pindah dari ICU dalam keadaan hidup sebesar 146 pasien (56,4%), dan meninggal sebesar 41,7% pasien. Simpulan: Karakteristik dasar pasien kritis terinfeksi SARS-CoV-2 adalah lakilaki, usia lebih tua dengan komorbid, parameter laboratorium yang menonjol adalah limfopenia, peningkatan D-dimer, ferritin, CRP, dan PCT. Komplikasi yang paling banyak terjadi adalah ARDS dan syok sepsis. Mortalitas pada pasien kritis terinfeksi SARS-CoV-2 sebesar 41,7%. ......Background: COVID-19 caused by SARS-CoV-2 infection has a very broad clinical spectrum ranges from mild to critically ill cases. We aimed to describe the clinical course, laboratory findings, therapy, complication, and outcomes of critically ill patients with SARS-CoV-2 infection. Method: In this multi-centered, retrospective, observational study we enrolled 259 critically ill adult patients with SARS-CoV-2 infection who were admitted to the ICU of RSCM and RSUI between March 2020, and September 2020. Demographic data, sympthom, comorbidities, diagnostic method, respiratory parameters, laboratory values, treatments, complications, and clinical outcomes were all collected. The data is described in the form of a frequency and percentage table, as well as a histogram. We express descriptive data as mean (SD) or median (minmax) for continuous variables and number (%) for categorical variables. Results: Characterictic of the patients were male, age 52 years, most common comotbidities were hypertension and diabetes mellitus. Symptoms most often complained are shortness of breath, cough, and fever. The highest temperature during treatment was 37,20C. The onset of symptoms until the patients was admitted to ICU was 6 days. The most common diagnostic method were the presence of bilateral infiltrates on plain chest radiographs and PCR swabs. Respiratory support when patients admitted to ICU mostly using invasive ventilators and oxygen masks. The patient’s hightest PEEP was 8 cmH2O, the lowest was 5 cmH2O. The highest PF ratio was 299,75 and the lowest was 136,1. The highest PCO2 was 47,9 mmHg, and the lowest was 27,45 mmHg. The patient’s highest systolic blood pressure was 151.88 mmHg. The highest dose of norepinephrine was 1 mcg/kg/minute, and the higest dose of dobutamine was 10 mcg/kg/minute. Laboratory parameters showed the value of leucocytes 11.150 103/μL, neutrophils 84%, lymphocytes 8,4%, monocytes 5,84%, NLCR 10,11, Hb 11,61 g/dL, platelets 284000 103/μL, highest D-dimer 6730 μg/L, lowest D-dimer 1590 μg/L, highest ferritin 1815,59 ng/mL, lowest ferritin 859,03 ng/mL, albumin 3,01 g/dL, urea 45 mg/dL, creatinine 0,94 mg/dL, AST 41 U/L, ALT 34 U/L, total bilirubin 0,7 mg/dL, highest lactate level 5,1 mmol/L, lowest laktate level 1,7 mmol/L, highest sodium 143 mEq/L, lowest sodium 132 mEq/L, highest potassium 4,9 mEq/L, lowest potassium 3,4 mEq/L, highest chloride 108 mEq/L, lowest chloride mEq/L, troponin I 49,35 pg/mL, highest CRP 178,7 mg/L, lowest CRP 41,2 mg/L, PCT 1,53 ng/mL. The most common bacteria found in sputum are Acinetobacter sp, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, and fungal infection. Therapy given to patients are antibiotics, antivirals, steroids, vitamin C, and renal replacement therapy. The most common complications are ARDS, septic shock and AKI. ICU. Conclusion. The baseline characteristics of the critically infected SARS-CoV-2 patients were male, older age with comorbid hypertension and diabetes mellitus. Laboratory parameters showed lymphopenia, elevated D-dimer, ferritin, lactate, CRP, and PCT. The most common complications are ARDS and septic shock. Mortality in critically patients with SARS-CoV-2 was 41,7%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurraya Lukitasari
Abstrak :
Community-acquired pneumonia (CAP) adalah suatu peradangan akut pada parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme dan didapat dari masyarakat. Terapi optimal antibiotik extended empiric sering diperdebatkan sehingga penatalaksanaan CAP merupakan tantangan besar bagi para klinisi. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbandingan luaran terapi, efektivitas biaya dan pilihan terapi antibiotik yang baik serta hubungan ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric monoterapi dan dualterapi CAP. Desain penelitian ini adalah kohort prospektif dengan waktu pengambilan sampel Juni-September 2018 di ruang boarding IGD RSUP Fatmawati Jakarta. Diperoleh hasil dualterapi tertinggi diberikan pada komorbid gangguan kesadaran. Nilai P=0,643 untuk perbaikan klinis setelah hari ke-5 pemberian antibiotik extended empiric monoterapi dengan dualterapi. Nilai ACER monoterapi lebih rendah (Rp.256.896,36) dibandingkan dualterapi (Rp.609.505,56) dengan antibiotik terbaik yaitu seftriakson serta kombinasi siprofloksasin dan seftriakson. Terdapat hubungan antara ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric (r=0,282;P=0,005). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa antara penggunaan antibiotik monoterapi dengan dualterapi tidak berbeda signifikan dalam luaran klinis setelah hari ke-5 pemberian antibiotik extended empiric, efektivitas biaya monoterapi lebih baik dibandingkan dualterapi dengan pilihan monoterapi terbaik adalah seftriakson dan dapat dipertimbangkan pemberian kombinasi siprofloksasin dan seftriakson pada komorbid gangguan kesadaran serta terdapat kekuatan hubungan sedang antara ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric.
Community-acquired pneumonia (CAP) is an acute inflammation of the pulmonary parenchyme caused by microorganisms and obtained from community. Optimal therapy for extended empirical antibiotics is debated so CAP management is still a major challenge. This study aims to analyze the comparison of therapeutic outcomes, cost effectiveness and the best choice of antibiotic therapy also the correlation between the accuracy of use and cost of monotherapy and dualtherapy extended empirical antibiotics in prospective cohort. The sampling time was June-September 2018 in the ED boarding room Fatmawati Hospital, Jakarta. Highest dualtherapy results for unconsciousness comorbid. P value=0,643 for clinical improvement after the 5th day of extended empiric monotherapy and dualtherapy. Monotherapy ACER is lower (Rp 256.896,36) than dualtherapy (Rp.609.505,56), the best antibiotics are ceftriaxone and ciprofloxacin-ceftriaxone. There is a relationship between the accuracy of use and cost of extended empiric antibiotics (r=0,282;P=0,005). It can be concluded that between the use of monotherapy and dualtherapy did not differ significantly in clinical outcomes after the 5th day, cost effectiveness of monotherapy was better than dualtherapy with the best choice was ceftriaxone and consideration of ciprofloxacin-ceftriaxone for unconsciousness comorbid, there is a moderate relationship between the accuracy of use and cost of extended empirical antibiotics.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T52526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonita Ariesti Putri
Abstrak :
Latar belakang: Aliansi kerja terapis dan pasien diketahui sebagai faktor penting dalam memrediksi keberhasilan terapi. Instrumen yang sering digunakan dalam penelitian adalah Working Alliance Inventory, yang didasarkan pada konsep pan-teoritis. WAI menilai tiga aspek aliansi kerja, yakni ikatan, tujuan, dan tugas, serta memiliki tiga versi penilai, yaitu terapis (WAI-T), pasien (WAI-C), dan pengamat (WAI-O). Terdapat studi yang melaporkan bahwa penilaian aliansi kerja oleh pengamat secara signifikan berkorelasi dengan hasil psikoterapi. Penilaian aliansi kerja dari perspektif pihak ketiga juga dapat memberikan pandangan yang lebih objektif. Saat ini telah tersedia instrumen WAI-T dan WAI-C versi Bahasa Indonesia yang memiliki nilai validitas isi dan konstruksi yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk memeroleh instrumen Working Alliance Inventory-Observer form (WAI-O) versi Bahasa Indonesia yang sahih dan andal dalam menilai aliansi kerja. Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik korelatif dengan desain longitudinal, bertujuan menguji validitas prediktif dan konstruksi, serta reliabilitas instrumen WAI-O versi Bahasa Indonesia. Pengambilan sampel menggunakan metode convenience sampling, melibatkan 15 pasang terapis- pasien di Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM dan 3 pengamat ahli psikoterapi. Validitas prediktif dievaluasi dengan mengkorelasikan skor WAI-O pada sesi ketiga dengan perbaikan klinis global (CGI-I) pada sesi keenam yang dinilai oleh terapis. Uji validitas konstruksi yang dilakukan adalah validitas konvergen dengan mengorelasikan skor WAI- O dengan skor WAI-C dan WAI-T pada sesi ketiga. Reliabilitas dinilai melalui uji konsistensi internal dan inter-rater reliability. Hasil: WAI-O versi Bahasa Indonesia menunjukkan keeratan korelasi sedang dengan perbaikan klinis global secara umum (r = 0.394 - 0.430, p>0.05), khusunya menunjukkan korelasi positif yang kuat dan signifikan dalam kelompok psikoterapi psikodinamik (r= 0.725-0.728, p<0.05). Validitas konvergen tidak menunjukkan korelasi signifikan antara penilaian aliansi kerja oleh pengamat, terapis, dan pasien. Instrumen WAI-O memiliki reliabilitas yang sangat baik dengan Cronbach's alpha sebesar 0.994 dan ICC sebesar 0.628. Simpulan: WAI-O versi Bahasa Indonesia adalah alat yang sahih dan andal untuk menilai aliansi kerja dalam psikoterapi. Terdapat korelasi moderate antara aliansi kerja yang dinilai oleh pengamat dengan perbaikan klinis global secara umum. Penggunaan WAI-O dapat memberikan perspektif yang lebih netral dalam menilai aliansi kerja antara terapis dan pasien. ......Background: The working alliance between therapists and patients is known as a crucial factor in predicting therapy outcome. The Working Alliance Inventory (WAI) is a commonly used research tool based on a pan-theoretical concept. WAI evaluates three aspects of the working alliance: bond, goals, and tasks, and has three versions for assessment: therapist (WAI-T), client (WAI-C), and observer (WAI-O). Some studies have reported that assessments of the working alliance by observers significantly correlate with psychotherapy outcomes. Additionally, assessments of the alliance from a third-party perspective can offer a more objective view. Currently, there are validated versions of WAI-T and WAI-C in the Indonesian language. This study aims to develop the Indonesian version of the Working Alliance Inventory-Observer form (WAI-O) that is valid and reliable for assessing the working alliance. Method: This study is an analytical correlational observational research with a longitudinal design, intending to test the predictive and convergent validity and the reliability of the Indonesian version of the WAI-O instrument. Convenience sampling was used, involving 15 therapist-patient dyads from the Adult Mental Health Clinic at RSCM, along with three observers who are psychotherapy experts. Predictive validity was evaluated by correlating WAI-O scores in the third session with global clinical improvement (CGI-I) in the sixth session, as assessed by the therapists. The conducted test of construct validity was convergent validity by correlating WAI-O scores with WAI-C and WAI-T scores in the third session. Reliability was assessed through internal consistency and inter-rater reliability test. Results: The Indonesian version of WAI-O showed moderate but statistically nonsignificant correlations with overall clinical improvement (ρ = 0.394 - 0.430, p>0.05). However, it demonstrated strong and significant positive correlations in the psychodynamic psychotherapy group (ρ= 0.725-0.728, p<0.05). Convergent validity did not reveal significant correlations between alliance assessments by observers, therapists, and patients. The WAI-O instrument displayed excellent reliability, with a Cronbach's alpha of 0.994 and an ICC of 0.628. Conclusion: The Indonesian version of WAI-O is a valid and reliable tool for assessing the working alliance in psychotherapy. Observer-rated working alliance moderately correlates with overall global clinical improvement. WAI- O can provide a more neutral perspective on assessing the working alliance between therapists and patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisa Salsabila Lutfi
Abstrak :
Penyakit ginjal kronis (PGK) berkaitan dengan perburukan dan kematian akibat COVID-19. Pasien COVID-19 dengan PGK yang menjalani rawat inap banyak diberikan antivirus dan/atau antibiotik yang memerlukan penyesuaian dosis. Penyesuaian dosis dianalisis berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG) pasien yang diestimasi dengan metode CKD-EPI. Studi cross-sectional ini bertujuan untuk mengevaluasi penyesuaian dosis antivirus dan/atau antibiotik pada pasien COVID-19 dengan PGK terhadap luaran terapi dan durasi rawat inap di RSUD Pasar Minggu Jakarta periode Januari hingga Desember 2021. Penelitian ini menggunakan teknik total sampling.  Hasil menemukan 70 pasien (51,1%) dari 137 pasien menerima dosis antivirus dan/atau antibiotik yang tidak sesuai anjuran pedoman. Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa pasien dengan dosis sesuai memiliki kecenderungan sebesar 2,236 kali lebih tinggi untuk mencapai luaran terapi perbaikan dibandingkan pasien dengan dosis tidak sesuai (p = 0,032). Faktor lain yang memengaruhi luaran terapi adalah usia (p = 0,000) dan derajat keparahan COVID-19 (p = 0,000). Hasil uji Mann-Whitney U menunjukkan tidak ada hubungan antara kesesuaian dosis dan durasi rawat inap (p = 0,303). Faktor lain yang memengaruhi durasi rawat inap pasien COVID-19 dengan PGK adalah derajat keparahan COVID (p = 0,020), stage PGK (p = 0,020), komorbid selain PGK (p = 0,062), dan luaran terapi (p = 0,001). ......Chronic kidney disease (CKD) is associated with worsening and death from COVID-19. COVID-19 patients with CKD who are hospitalized are often given antivirals and/or antibiotics that require dose adjustments. Dose adjustment can be analyzed based on the patient's glomerular filtration rate (GFR) estimated by the CKD-EPI method. This cross-sectional study aims to evaluate the dose adjustment of antiviral and/or antibiotic and analyze its relation with therapeutic outcomes and length of stay of COVID-19 patients with CKD at Pasar Minggu Hospital, Jakarta from January to December 2021. This study used a total sampling technique. Results found that 70 patients (51.1%) of 137 patients received inappropriate doses. Results of Chi-square test showed that patients with appropriate doses had a tendency of 2,236 times higher to achieve improved therapeutic outcomes than patients with inappropriate doses (p = 0.032). Other factors that influenced therapeutic outcomes were age (p = 0.000) and severity of COVID-19 (p = 0.000). Results of Mann-Whitney U test showed no relationship between dose adjustments and length of stay (p = 0.303). Other factors that influenced length of stay were the severity of COVID (p = 0.020), CKD stage (p = 0.020), comorbidities other than CKD (p = 0.062), and therapeutic outcomes (p = 0.001).
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library