Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Made Indra Prasetya
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump. Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test. Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001). Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo. ......Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG. Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test. Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001). Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Radityo Prabowo
Abstrak :
Latar Belakang : Major Adverse Cardiac Events (MACE) adalah penyebab penting morbiditas dan mortalitas perioperatif pasien usia lanjut yang menjalani operasi non kardiak. Geriatric Sensitive Cardiac Risk Index diketahui memiliki akurasi yang baik dalam memprediksi kejadian henti jantung dan infark miokardium pada usia lanjut yang menjalani operasi non kardiak. Namun, belum pernah dilakukan uji performa index tersebut di Indonesia dengan perbedaan karakteristik usia dan komorbiditas yang berbeda. Tujuan: Mengetahui performa index GSCRI dalam memprediksi kejadian MACE (Major Adverse Cardiac Event) pada pasien usia lanjut yang menjalani operasi non kardiak dengan karakteristik usia lanjut pada populasi geriatri Indonesia. Metode : Studi retrospektif berbasis uji prognostik dengan data rekam medis pasien usia > 60 tahun yang menjalani operasi non kardiak di poliklinik perioperatif dan rawat Inap Gedung A yang menjalani operasi pada tahun 2021-2022 di RSCM dengan memasukkan data-data determinan sesuai kalkulator GSCRI dengan luaran berupa persentase kejadian dan dilihat luaran berupa henti jantung dan infark miokardium pasca operasi. Studi ini dianalisa dengan uji diskriminasi dengan Area Under the Curve (AUC). Hasil : Analisa dilakukan pada 225 subjek dengan median usia 65 tahun dengan proporsi MACE sebesar 3.1% (7 subjek) yang mengalami kejadian MACE pasca pembedahan non kardiak. Performa diskriminasi yang baik (AUC 0.888, IK95% 0.831-0.944). Kesimpulan : Index GSCRI memiliki performa diskriminasi baik dalam memprediksi kejadian MACE pasien usia lanjut yang menjalani pembedahan non kardiak. ......Background : Major Adverse Cardiac Events (MACEs) is an important cause of perioperative morbidity and mortality in elderly patients undergoing non-cardiac surgery. The Geriatric Sensitive Cardiac Risk Index is known to have good accuracy in predicting cardiac arrest and myocardial infarction in the elderly undergoing non-cardiac surgery. However, this performance index has never been tested in Indonesia with different age characteristics and different comorbidities. Objective: We aimed to determine the performance of the GSCRI index predicting the incidence of MACE (Major Adverse Cardiac Event) in elderly patients undergoing non-cardiac surgery with elderly characteristics in the Indonesian geriatric population. Methods : Retrospective study based on prognostic test with medical record data of patients aged > 60 years who underwent non-cardiac surgery at the perioperative outpatient and inpatient who underwent surgery in 2021-2022 at RSCM by entering determinant data according to the GSCRI calculator with outcomes form of cardiac arrest and myocardial infarction postoperative. This study was analyzed by discrimination test with Area Under the Curve (AUC). Results : The analysis was carried out on 225 subjects with an median age of 65 years with a proportion of MACE of 3.1% (7 subjects) who experienced MACE events after non-cardiac surgery. GSCRI had good discrimination performance (AUC 0.888, CI95% 0.831-0.944). Conclusion: GSCRI index has good discriminatory performance in predicting the incidence of MACE in elderly patients undergoing non-cardiac surgery.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Agustian
Abstrak :

Latar Belakang: Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kondisi serius dengan morbiditas dan mortalitas tinggi, ditandai oleh kerusakan ginjal selama lebih dari tiga bulan. Hemodialisis adalah tatalaksana umum untuk PGK lanjut, yang dijalani oleh 19,33% pasien di Indonesia. Risiko Penyakit Kardiovaskular (PKV) pada PGK stadium 4-5 mencapai 50%, dengan 40% kematian terkait PKV. Padahal sebanyak 12,5% pasien CKD ditemukan pada pasien yang sudah memiliki penyakit kardiovaskular. Maka biomarker seperti Pentraxin-3 (PTX3) penting untuk diagnosis dan prognosis, terutama karena telah ditemukan lebih efektif daripada C-Reactive Protein (CRP) dan biomarker inflamasi lain. PTX3 juga bersifat kardioprotektif dan dapat memprediksi kejadian Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) tetapi belum pernah ada penelitian yang memprediksi MACE pada pasien PGK. Penelitian ini termasuk dalam penelitian CARE-CKD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan menganalisis kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK.

Tujuan: Mengetahui kadar, nilai potong, dan kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, dengan kalibrasi dan diskriminasi baik setelah dikontrol faktor jenis kelamin, usia, IMT dan infeksi.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Data sekunder dari pasien PGK yang menjalani hemodialisis dianalisis untuk melihat hubungan kadar PTX3 dengan kejadian MACE selama satu tahun. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 26.

Hasil:

Pada 74 pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, kadar PTX–3 median adalah 0,9 ng/mL. Dari mereka, 11 pasien mengalami MACE dengan PTX–3 median 1,324 ng/mL. Analisis ROC menunjukkan AUC 0,630. PTX–3 dapat memprediksi MACE, dengan cut-off 1,317 ng/mL.

Simpulan: Pentraxin 3 dapat menjadi prediktor MACE pada pasien PGK yang menjalani HD yang baik setelah dikontrol oleh variable perancu. ......

Background: Chronic Kidney Disease (CKD) is a serious condition with high morbidity and mortality, characterized by kidney damage for over three months. Hemodialysis is a common treatment for advanced CKD, undertaken by 19.33% of patients in Indonesia. The risk of Cardiovascular Disease (CVD) in CKD stages 4-5 reaches 50%, with 40% of deaths related to CVD. Therefore, biomarkers like Pentraxin-3 (PTX3) are crucial for diagnosis and prognosis, as PTX3 has been found to be more effective than C-Reactive Protein (CRP) and other inflammatory biomarkers. PTX3 also has cardioprotective properties and can predict Major Adverse Cardiovascular Events (MACE), though no studies have yet predicted MACE in CKD patients. This research is part of the CARE-CKD study at Cipto Mangunkusumo Hospital and will analyze PTX3's ability to predict MACE in CKD patients.

Objective: To determine the levels, cut-off value, and predictive ability of PTX3 for Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) in Chronic Kidney Disease (CKD) patients undergoing hemodialysis at Cipto Mangunkusumo Hospital, with good calibration and discrimination after controlling for gender, age, BMI, and infection factors.

Methods: This study utilized a retrospective cohort design. Secondary data from CKD patients undergoing hemodialysis were analyzed to examine the relationship between PTX3 levels and MACE occurrences over one year. Statistical analysis was conducted using SPSS version 26.

Results: In 74 CKD patients undergoing HD at Cipto Mangunkusumo Hospital, the median PTX-3 level was 0.9 ng/mL. Among them, 11 patients experienced MACE with a median PTX-3 level of 1.324 ng/mL. ROC analysis indicated an AUC of 0.630. PTX-3 can predict MACE, with a cut-off of 1.317 ng/mL.

Conclusions: Pentraxin 3 could be a predictor of MACE in CKD patients undergoing HD after calibration of confounding factors.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dean Handimulya Djumaryo
Abstrak :
ABSTRAK Pendahuluan: Gagal jantung akut merupakan penyebab paling sering untuk perawatan rumah sakit pada pasien usia >65 tahun, yang juga berkaitan dengan prognosis buruk. N-terminal pro brain natriuretic peptide (NT-proBNP) merupakan suatu petanda peregangan miokardium yang dapat digunakan sebagai petanda prognostik pada pasien gagal jantung akut. Penambahan parameter kadar NT-proBNP pada model prognostik yang sudah ada akan memberikan nilai klinis yang lebih baik dan akurat dalam menetapkan prognosis untuk kejadian major adverse cardiac events (MACE) pasien gagal jantung akut. Metode: Desain penelitian kohort prosfektif. Subjek penelitian terdiri dari 77 penderita gagal jantung akut dan dilakukan pemeriksaan kadar NT-proBNP saat admisi, selanjutnya ditetapkan faktor risiko klinis dan laboratoris yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki, kelompok usia >65 tahun, riwayat penyakit jantung koroner, tekanan darah sistolik <115 mmHg, kadar Hb <11,3 g/dL, serta kadar natrium 135 mEq/L. Luaran klinis berupa MACE dan mortalitas pasien gagal jantung akut dilakukan pemantauan selama 30 hari. Hasil: Insiden MACE jangka pendek pada penderita gagal jantung akut sebesar 61% dengan angka mortalitas sebesar 7,8%. Riwayat penyakit jantung koroner dan kadar NT-proBNP >1000 pg/mL berhubungan dengan terjadinya MACE. Model prognostik yang didapat adalah penderita gagal jantung akut dengan riwayat penyakit jantung koroner dan kadar NT-proBNP >1000 pg/mL. Nilai cut off kadar NT-proBNP untuk terjadinya MACE adalah 859,1 pg/mL dengan nilai AUC sebesar 77,3%, sensitivitas 72,3% dan spesifisitas 63,3%. Nilai cut off kadar NT-proBNP untuk terjadinya kematian adalah 4374,5 pg/mL dengan nilai AUC sebesar 83,1%, sensitivitas 83,3%, dan spesifisitas 77,5%. Kesimpulan: Kadar NT-proBNP >1000 pg/mL dapat menilai prognosis untuk terjadinya MACE selama perawatan rumah sakit.
ABSTRACT Introduction. Acute heart failure is the most frequent cause of hospitalization in patients aged >65 years, which is also associated with poor prognosis. N-terminal pro-brain natriuretic peptide (NT-proBNP) is a marker stretching of the myocardium that can be used as a prognostic marker in patients with acute heart failure. Addition of parameter levels of NT-proBNP on existing prognostic models will provide better clinical value and accurate in determining the prognosis for the incidence of major adverse cardiac events (MACE) patients with acute heart failure. Methods. Prospective cohort study design. Subjects consisted of 77 patients with acute heart failure and examine the levels of NT-proBNP at the time of admission, the next set of clinical risk factors and laboratory consisting of a type of male sex, age group >65 years, history of coronary heart disease, systolic blood pressure <115 mmHg, Hb <11,3 g/dL, as well as levels of sodium 135 mEq/L. The clinical outcomes such as MACE and mortality of patients with acute heart failure monitoring within 30 days. Results. Incidence of acute heart failure patients with short-term MACE was 61% with a mortality rate of 7,8%. A history of coronary heart disease and levels of NTproBNP >1000 pg/mL associated with the occurrence of MACE. Prognostic models obtained is acute heart failure patients with a history of coronary heart disease and levels of NT-proBNP is >1000 pg/mL. The cut off levels of NT-proBNP for the occurrence of MACE was 859,1 pg/mL with an AUC of 77,3%, 72,3% sensitivity and 63,3% specificity. The cut off levels of NT-proBNP for the occurrence of death was 4374,5 pg/mL with an AUC of 83,1%, 83,3% sensitivity and 77,5% specificity. Conclusion. Levels of NT-proBNP >1000 pg/mL can assess the prognosis for the occurrence of MACE during hospitalization.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanti Oktikasari
Abstrak :
ABSTRAK
Nama : Tanti Oktikasari Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Judul : Peran kadar ST2 dalam model prognostik untuk risiko terjadinya major adverse cardiac events jangka pendek pada pasien gagal jantung akut Pendahuluan: Gagal jantung akut merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian dan perawatan kembali penderita dengan gagal jantung kronik. Jumlah kematian akibat gagal jantung mencapai 60.000 kasus per tahun. Pasien usia >65 tahun merupakan penyebab paling sering terjadinya perawatan akibat gagal jantung akut di rumah sakit. Soluble ST2 ST2 merupakan reseptor yang termasuk ke dalam keluarga interleukin-1 yang digunakan sebagai penanda peregangan, remodelling, dan fibrosis miokardium sehingga dapat digunakan sebagai penanda prognostik terjadinya major adverse cardiac events MACE pada pasien gagal jantung akut. Metode: Desain penelitian kohort prosfektif terhadap 77 subyek dengan gagal jantung akut, dilakukan pemeriksaan kadar ST2 saat masuk rumah sakit dan ditetapkan beberapa faktor risiko klinis dan laboratoris berupa jenis kelamin laki-laki, kelompok usia >65 tahun, riwayat diabetes melitus, kadar ureum darah, dan kebiasaan merokok. Luaran klinis berupa MACE dan kematian pasien gagal jantung akut dilakukan observasi selama 30 hari. Hasil: Tidak terdapat hubungan antara kadar ST2 >35 ng/mL dengan terjadinya MACE jangka pendek pada penderita gagal jantung akut di RSUPN-CM. Faktor risiko gagal jantung akut yang berhubungan dengan terjadinya MACE adalah riwayat penyakit jantung koroner dan kadar NT-proBNP >1000 pg/mL. Peran kadar ST2 >35 ng/mL tidak dapat digunakan dalam model prognostik jangka pendek pada pasien gagal jantung akut. Nilai cut off kadar ST2 untuk terjadinya kematian selama 30 hari adalah 49,4 ng/mL. Tidak terdapat hubungan kadar ST2 setelah digabungkan dengan kadar NT-proBNP dengan terjadinya MACE jangka pendek pada pasien gagal jantung akut. Kesimpulan: Kadar ST2 >35 ng/mL tidak dapat digunakan dalam model prognostik jangka pendek pada pasien gagal jantung akut.
ABSTRACT
Name Tanti Oktikasari Study Program Clinical Pathology Residency Program Title The role of ST2 levels in the model prognosis for the short term risk of major adverse cardiac events in patients with acute heart failure Introduction. Acute heart failure is the most frequent cause of hospitalization and mortality in patients with chronic heart failure. The number of death in patients heart failure reached 60000 cases per year. Patients with age 65 years are the most frequent cause of hospitalization due to acute heart failure. Soluble ST2 ST2 is a member of interleukin 1 receptor family that used as a biomarker of myocardial stretch, remodelling, and fibrosis. This parameter is used as a prognostic marker for the occurrence of major adverse cardiac events in patients with acute heart failure. Methods. Prospective cohort study design. Subjects consisted of 77 patients with acute heart failure and examine the levels of ST2 at the time of admission, the next set of clinical risk factors and laboratory consisting of a type of male sex, age group 65 years, history of diabetes melitus, blood ureum 92 mg dL, and current smoking. The clinical outcomes such as MACE and mortality of patients with acute heart failure following within 30 days. Results. Prognostic models obtained is acute heart failure patients with a history of coronary heart disease and levels of NT proBNP is 1000 pg mL. Levels of ST2 35 ng mL can not be used to assess the prognosis for the occurrence of MACE during 30 days hospitalization. The cut off point of ST2 levels for the mortality was 49.4 ng mL. There is no substantial improvement in addition of ST2 to clinical model with NT proBNP. Conclusion. Levels of ST2 35 ng mL can not be used to assess the prognosis for the occurrence of MACE during 30 days hospitalization.
2017
T55717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djallalluddin
Abstrak :
Latar belakang: Major adverse cardiac events MACE merupakan masalah yang besar yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada penderita sindrom koroner akut. Belum banyak data MACE pada penderita sindrom koroner akut SKA pasca intervensi koroner perkutan IKP . Tujuan penelitian: mengetahui faktor faktor yang menjadi prediktor MACE 7 hari penderita SKA yang dilakukan IKP. Metode: Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi prediktor terjadinya major adverse cardiac events pada penderita sindrom koroner akut yang dilakukan intervensi koroner perkutan dilakukan dengan metode kasus kontrol tanpa penyetaraan. Penelitian melibatkan 461 pasien SKA yang dirawat di unit perawatan intensif jantung RSCM dari tanggal 1 Januari 2015 sampai 30 November 2017. Umur, jenis kelamin wanita, diabetes melitus, hipertensi, gagal jantung, gangguan fungsi ginjal, renjatan kardiogenik, fraksi ejeksi le; 40 , stenosis di left main, aritmia, stenosis 3 arteri koronaria, stenosis di left anterior descending artery LAD dan stenosis di left main LM dilakukan penelitian prediktor terjadinya MACE. Hasil: Renjatan kardiogenik OR=10,65 p=0,001 , stenosis LAD OR=15,23 p=0,02 , fraksi ejeksi le; 40 OR=10,8 p=0,00 , faktor stenosis 3 arteri koroner atau lebih OR= 3,47 p=0,01 , gagal jantung OR=3,1 p=0,02 dan gangguan fungsi ginjal OR=4,76 p=0,00 terbukti sebagai prediktor terjadinya MACE 7 hari pada penderita SKA yang dilakukan IKP. Faktor jenis kelamin wanita, renjatan kardiogenik, stenosis LAD dan fraksi ejeksi le; 40 secara independen berhubungan dengam kejadian MACE pada pasien SKA yang dilakukan IKP, secara berturut-turut OR 95 CI 6.33 1.32-30.50 , 17.56 1.85-167.06 , 26.61 1,38-513,81 , dan 7.6 1.86-31.09. Kesimpulan: Renjatan kardiogenik, stenosis LAD, fraksi ejeksi le; 40 , faktor stenosis 3 arteri koroner atau lebih, gagal jantung dan gangguan fungsi ginjal merupakan prediktor terjadinya MACE 7 hari penderita SKA pasca IKP. Renjatan kardiogenik, stenosis LAD, wanita dan fraksi ejeksi le; 40 merupakan prediktor independen terjadinya MACE 7 hari penderita SKA pasca IKP. ......Introduction: Major Adverse Cardiac Events MACE are a big problem increasing morbidity and mortality to acute coronary syndrome patients. There is not much MACE data of acute coronary syndrome ACS patients who underwent percutaneous coronary intervention PCI . Therefore, the researcher investigated predictors factors of major adverse cardiac events. Objective: To investigate the predictors factors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI. Method: To investigate the predictors factors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI, unmatched case control was conducted. The research involved 461 ACS patients who were hospitalized in intensive coronary care unit ICCU RSCM from 1 January 2015 to 30 November 2017. Age, female gender, diabetes mellitus, hypertension, heart failure, renal dysfunction, cardiogenic shock, ejection fraction le 40, left main LM disease, arrhythmia, 3 vessel diseases, and left anterior descending artery LAD stenosis were investigate as the predictors of MACE. Results: Cardiogenic shock OR 10.65 p 0.001, LAD stenosis OR 15.23 p 0.02 , ejection fraction le 40 OR 10.8 p 0.00 , 3 vessel diseases OR 3.47 p 0.01 , heart failure OR 3.1 p 0.02 and renal dysfunction OR 4.76 p 0.00 had been as the predictors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI. Factors of female gender, cardiogenic shock, LAD stenosis and ejection fraction le 40 were independently predictors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI OR 95 CI 6.33 1.32 30.50, 17.56 1.85 167.06, 26.61 1.38 513.81, and 7.6 1.86 31.09 respectively. Conclusions: Cardiogenic shock, LAD stenosis, ejection fraction le 40, 3 vessel diseases or more, heart failure and renal dysfunction were the predictors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI. Cardiogenic shock, LAD stenosis, female gender and ejection fraction le 40 were independent predictors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI. The other factors were not significant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T59199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew
Abstrak :
Pendahuluan: Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) telah menjadi salah satu pilihan terapi pada pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang dapat menurunkan angka kematian dengan signifikan. Sebagian pasien yang menjalani IKPP mengalami kegagalan reperfusi optimal yang disebut sebagai no-reflow phenomenon (NRP). Penilaian NRP ini dapat menggunakan berbagai metode, salah satunya dengan menggunakan thrombolysis in myocardial infarction flow (TIMI flow). Kegagalan reperfusi juga meningkatkan kejadian major adverse cardiac event (MACE) pada pasien. Hiperaktivitas trombosit diketahui berperan pada patofisiologi terjadinya NRP. Nilai mean platelet volume (MPV) yang merupakan ukuran rerata volume dari trombosit dianggap dapat menggambarkan aktivasi trombosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran nilai MPV dengan TIMI-flow dan MACE pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan terhadap 137 subyek dengan IMA-EST yang menjalani IKPP. Pemeriksaan MPV dilakukan pada saat masuk rumah sakit dengan alat Sysmex XN-2000. Subyek dibagi berdasarkan kelompok dengan reperfusi sub-optimal (TIMI flow < 3) dan reperfusi optimal (TIMI flow 3). Luaran klinis berupa MACE dilakukan observasi selama minimal 90 hari pasca tindakan. Hasil: Sebanyak 27.7% dan 28.9% pasien mengalami kegagalan reperfusi dan MACE. Tidak terdapat hubungan antara nilai MPV pada saat masuk rumah sakit dengan kegagalan reperfusi dan kejadian MACE 90 hari pada pasien IMA-EST di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Kesimpulan: Nilai MPV tidak dapat digunakan dalam memprediksi kegagalan reperfusi dan kejadian MACE pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
Introduction: Primary percutaneous coronary intervention (PCI) has become one of the treatment options in patients with acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) which can significantly reduce mortality. In some patients who undergo primary PCI experience failure of optimal reperfusion called the no-reflow phenomenon (NRP). NRP assessment can use various methods, one of them using thrombolysis in myocardial infarction flow (TIMI flow). Failure of reperfusion also increases the incidence of major adverse cardiac events (MACE) in patients. Platelet hyperactivity is known to play a role in the pathophysiology of NRP. The mean platelet volume (MPV) which is a measure of the average volume of platelets is considered to be able to describe platelet activation. This study aims to determine the role of MPV values ​​with TIMI-flow and MACE in STEMI patients undergoing primary PCI. Methods: A retrospective cohort study was conducted on 137 STEMI patients who underwent primary PCI. MPV examination is performed at hospital admission with Sysmex XN-2000. Subjects were divided into groups with sub-optimal reperfusion (TIMI flow <3) and optimal reperfusion (TIMI flow 3). Clinical outcomes in the form of MACE were observed for at least 90 days post-treatment. Result: 27.7% and 28.9% of patients experienced failure of reperfusion and MACE, respectively. There is no relationship between the MPV value at hospital admission with failure of reperfusion and the incidence of 90-day MACE in IMA-EST patients at the Harapan Kita Heart and Vascular Hospital. Conclusion: MPV values ​​cannot be used in predicting reperfusion failure and MACE events in STEMI patients undergoing primary PCI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58733
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhadi
Abstrak :
ABSTRAK
Major adverse cardiac event (MACE) adalah komplikasi akut utama yang terjadi pada pasien infark miokard, meliputi gagal jantung akut, syok kardiogenik, dan aritmia fatal. Diperlukan biomarker yang akurat, mudah dilakukan, dan cost-effective untuk memprediksi MACE dan kematian. Cedera hati hipoksik atau HLI (hypoxic liver injury) adalah salah satu biomarker potensial menggunakan kadar enzim hati transaminase (serum glutamic-oxaloacetic transaminase/SGOT) sebagai parameter. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran HLI sebagai prediktor MACE pada pasien infark miokard tanpa gambaran EKG elevasi segmen ST (NSTEMI). Metode. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan luaran berupa MACE dan kohort retrospektif dengan keluaran kematian selama masa perawatan. Populasi penelitian adalah semua pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sampel penelitian adalah pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU RSCM pada tahun 2006-2016 dan memenuhi kriteria penelitian. Penentuan titik potong HLI berdasarkan kadar SGOT yang dapat memprediksi MACE dan kematian dihitung dengan kurva ROC. Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik untuk mendapatkan nilai prevalence odds ratio (POR) terhadap MACE dengan memasukkan kovariat. Analisis bivariat mengenai sintasan pasien terhadap kematian dilakukan dengan menggunakan kurva Kaplan-Meier dan diuji dengan log-rank. Hasil. Sebanyak 277 subjek diikutsertakan pada penelitian ini. Proporsi subjek dengan MACE pada penelitian ini adalah 51,3% (gagal jantung akut 48,4%, aritmia fatal 6,5%, syok kardiogenik 7,2%) dan angka kematian sebesar 6,13%. Median nilai SGOT adalah 35 U/L pada seluruh subjek, 40 (rentang 8-2062) U/L pada subjek dengan MACE dan 31 (rentang 6-1642) U/L pada subjek tanpa MACE (p = 0,003). Nilai titik potong yang diambil untuk memprediksi MACE adalah 101,0 U/L (sensitivitas 21,8%; spesifisitas 89,6%; POR 2,727 (IK 95%: 1,306-5,696), p = 0,006). Pada analisis multivariat tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara HLI dengan MACE. Nilai titik potong untuk memprediksi kesintasan terhadap kematian adalah 99,0 U/L (sensitivitas 23,5%; spesifisitas 83,8%; likelihood ratio +1,46). Tidak didapatkan perbedaan kesintasan yang bermakna antara subjek dengan nilai HLI di bawah dan di atas titik potong kadar SGOT. Simpulan. Cedera hati hipoksik (HLI) tidak dapat digunakan untuk memprediksi MACE pada pasien NSTEMI kecuali dikombinasikan dengan variabel lain. Tidak terdapat perbedaan kesintasan yang bermakna antara subjek dengan atau tanpa HLI.
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Naomi Niari
Abstrak :
Latar Belakang: Skor Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) adalah model stratifikasi risiko yang secara luas telah digunakan untuk memprediksi luaran pada pasien infark miokard akut (IMA). Pasca IMA dapat terjadi disfungsi miokard baik sistolik maupun diastolik. Myocardial Performance Index (MPI) merupakan parameter ekokardiografi yang mampu menggambarkan fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri secara bersamaan dan merupakan prediktor independen kejadian Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) pasca IMA. Tujuan: Mengetahui peranan penambahan MPI ke dalam skor GRACE untuk memprediksi MACE selama lima hari perawatan rumah sakit. Metode: Penelitian kohort prospektif pada 75 pasien IMA di ruang perawatan intensif jantung RSCM antara Juli-November 2020. Dilakukan perhitungan total skor GRACE saat pasien masuk rumah sakit dan pemeriksaan ekokardiografi untuk mendapatkan nilai MPI dilaksanakan dalam 72 jam perawatan rumah sakit. Observasi terhadap kejadian MACE selama 5 hari perawatan rumah sakit dilakukan pada seluruh pasien. Peranan penambahan parameter MPI ke dalam skor GRACE dinilai menggunakan perubahan area under curve (AUC) metode DeLong, likelihood ratio test (LRT) dan continous net reclassification improvement (cNRI). Hasil: Kemampuan prediksi skor GRACE baik (AUC 0,753 IK 95% 0,639-0,868). Penambahan MPI ke dalam skor GRACE secara signifikan meningkatkan performa model kombinasi (AUC 0,801 IK 95% 0,699-0,902 p=0,354, LRT 4,65 p=0,03 dan cNRI 0,515 IK 95% 0,008-1,021 p=0,046). Simpulan: Penambahan MPI ke dalam skor GRACE signifikan meningkatkan kemampuan skor kombinasi untuk memprediksi MACE selama lima hari perawatan rumah sakit pada pasien IMA. ......Background: The Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) risk score is widely recommended for risk assessment in patients with acute myocardial infarction (AMI). Myocardial infarction induces variable degrees of impairment in left ventricular (LV) systolic and diastolic function. Myocardial Performance Index (MPI) is an echocardiography parameter that capable of estimating combined systolic and diastolic LV performance and can independently predict Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) post AMI. Objective: To investigate whether MPI has incremental predictive value over the GRACE risk score in predicting MACE during five days of hospitalization after AMI. Methods: A prospective cohort study was conducted in 75 patients presented with AMI in Intensive Cardiac Care Unit Cipto Mangunkusumo Hospital between July to November 2020. Total GRACE score was calculated on patient admission and echocardiography was conducted within 72 hours of hospitalization for measurement of MPI. All patients were observed for the incidence of MACE during five days of hospitalization. The incremental predictive value of the GRACE risk score alone and combined with MPI was assessed by the change in area under curve (AUC) by DeLong’s method, likelihood ratio test (LRT) and continuous net reclassification improvement (cNRI). Results: The GRACE risk score demonstrated good discrimination for MACE (AUC 0.753 95% CI 0.639-0.868). Adding MPI to the GRACE risk score improved model performance significantly (AUC 0.801 95% CI 0.699-0.902 p=0.354, LRT 4.65 p=0.03 and cNRI 0.515 95% CI 0.008-1.021 p=0.046). Conclusions: Adding MPI to the GRACE risk score significantly improves risk prediction of MACE during five days of hospitalization after AMI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Widragama Putra
Abstrak :
Para penyandang tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat resmi di Indonesia, yaitu SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia). Dengan menggunakan aplikasi penerjemah Bahasa isyarat ke teks akan membantu komunikasi antara tunarungu maupun non-tunarungu. Dengan menggunakan pre-trained model CPM (EdvardHua, 2018) akan mendapatkan informasi berupa titik-titik skeleton seperti titik tangan, bahu, dan siku. Informasi titik skeleton itu akan digunakan untuk memprediksi kata. Namun, proses tersebut perlu berjalan secara real-time, yaitu ketika pengguna membuka kamera maka akan langsung mendapatkan respon. Untuk mencapai itu diperlukan mobile deep learning framework, sehingga proses inference bisa menjadi lebih cepat dengan bantuan runtime GPU. Penelitian ini berfokus menjalankan inference menggunakan mobile deep learning framework untuk implementasi modul ekstraksi skeleton secara real-time pada Android. Pada penelitian ini digunakan Tensorflow mobile (runtime hanya CPU), MACE, dan SNPE. Dilakukan pengukuran dari sisi latency, penggunaan energi, penggunaan memori, penggunaan daya, dan perubahan suhu. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa penggunaan MACE dan SNPE dengan runtime GPU menghasilkan latency yang lebih kecil dibandingkan penggunaan CPU. Penggunaan CPU menyebabkan thermal throttling, sehingga terjadi penurunan kinerja. Dengan runtime GPU menghasilkan penggunaan energi, memori, dan daya yang lebih sedikit dibandingkan CPU. Kenaikan suhu ketika menggunakan runtime GPU lebih kecil dibandingkan CPU. ......People with hearing impairments use the official sign language in Indonesia, namely SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia). Using a sign language-to-text translator application will help the communication between people with hearing impairments and people without hearing impairment. By using the pre-trained CPM model (EdvardHua, 2018), the information in the form of skeleton points such as the points of the hands, shoulders, and elbows will be obtained. The skeleton point information will be used to predict its translation words. However, the translation process needs to be run in real- time, which is when users open their cameras then they will immediately receive a respond. To achieve that goal, we need a mobile deep learning framework, with the result that the inference process is faster with the help of the GPU runtime. This research focuses on running inferences using a mobile deep learning framework to implement real-time skeleton extraction module in Android. This research uses Tensorflow mobile (runtime only for CPU), MACE, and SNPE. Measurements of the latency, energy usage, memory usage, power usage, and temperature change were taken. The measurement results show that the use of MACE and SNPE with GPU runtime is in lower latency than with the use of CPU. Measurement with CPU usage causes thermal throttling, resulting in decreased performance. Measurement with GPU runtime results in lower usage of energy, memory and power compared to the measurement with CPU. The temperature increase when using the GPU runtime is lower than when using the CPU.
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library