Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Rahmat Wahjudiana
"Pendahuluan
Tumor ganas maksila tidak sering dijumpai. Gejala permulaan samar-samar, dapat menyerupai radang sinus paranasal. Umumnya penderita datang telah ada benjolan sehingga penyakit telah meluas, dan telah mengenai struktur yang berdekatan. Diagnosa biasanya dibuat setelah stadium lanjut. Pengobatannya kompleks dan pronogsanya kurang baik.
Penanganan tumor ganas maksila di RSCM, disamping oleh bagian bedah, juga dilakukan oleh bagian THT. Akan dilaporkan kasus tumor ganas maksila yang dirawat di bagian bedah RSCM 1985-1986.
"
Lengkap +
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muslita Rizky Wahyuni
"Studi mengenai pengukuran dental cast telah beberapa kali dilakukan namun sedikit sekali yang terkait dengan Celah Bibir dan Langit-langit Bilateral karena jumlah kasus yang sangat jarang. Tujuan dari studi ini untuk mengevaluasi pertumbuhan maksila pasien Celah Bibir dan Langit-langit Bilateral menggunakan beberapa perlengkapan alat dan software menggunakan landmark yang sama dengan studi pengukuran lengkung maksila dan sudut palatal shelves. Penelitian Retrospektif ini diselenggarakan di RS Harapan Kita Cleft Center Jakarta, Indonesia. 35 dental cast sebelum labioplasti dan 35 dental cast setelah labioplasti dari pasienyang sama didigitisasi menggunakan scanner desktop 3D E4 dari 3shape. Lebar lengkung maksila dengan pengukuran linear dan palatal shelve dilakukan pada penelitian ini. Pengukuran dilakukan sebanyak dua kali oleh orang yang sama (intra observer) dan measurement error dihitung menggunakan dahlberg test. Laju pertumbuhan linear pada pasien ini baik, 45,1% pasien mengalami laju pertumbuhan positif setelah pembedahan, 34,3% laju pertumbuhan positif antar kaninus, dan 14,3% pasien mengalami laju pertumbuhan negatif pada interkaninus maksila dan intertuberositas. Laju pertumbuhan angular 22,9% mengalami hasil negatif dan 5,7% mengalami laju pertumbuhan positif. Laju pertumbuhan relatif normal pada penelitian ini. Palatal shelve mengalami pendangkalan pada penelitian ini namun pada tuber maksila kiri ada peninggian.

There were several studies regarding to measure the growth from dental cast, but it is severely limited study which is related to Bilateral Cleft Lip and Palate (BCLP) since the case is quite rare. The aim of this study is to evaluate the maxillary growth of BCLP patients using different tools and software with the same landmark to the previous methods for dental arch width and palatal shelves angle. This retrospective study was held in Children and Maternal Cleft Center Harapan Kita Hospital, Jakarta, Indonesia. 35 dental casts before labioplasty and 35 dental casts before palatoplasty from the same patients were digitized using 3D desktop scanner E4 from 3shape. Dental arch width of BCLP maxillary growth rate with linear measurement and palatal shelf angle were conducted in this study. The measurements were performing twice by same person (intra observer) and the measurement error was calculated by Dahlberg test. The growth rate linear in this patients results are good, 45.1% of patients experiencing positive growth rate post surgery, 34.3% positive growth surgery intercanine, but negative growth rate on intertuberosity, 14.3% patients have negative maxillary intercanine results and positive intertuberosity growth rate, and finally 14,3% patients experiencing negative growth rate in both maxillary intercanine and intertuberosity . Angular growth rate 22.9% have negative results and 5.7% have positive growth rate results. The dental arch linear growth rate relatively normal in this research. The palatal shelves were elevated in this research but in left tuber maxillary the degree is increasing."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gery Gilbert
"Latar Belakang : Distribusi frekuensi impaksi gigi molar tiga maksila berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory, Winter, dan hubungan dengan sinus maksila dapat menunjukan variasi yang dapat berperan penting dalam mengantisipasi kesulitan pada saat odontektomi. Tujuan : Mengetahui frekuensi kasus impaksi molar tiga maksila pada radiograf panoramik berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory dan Winter serta hubungan dengan sinus maksila di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kategorik menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien di RSKGM FKG UI. Hasil : Penelitian yang dilakukan pada 102 kasus impaksi molar tiga maksila menunjukkan kasus impaksi molar tiga maksila paling banyak pada wanita dengan persentase 62.7%, namun hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara perbedaan gender dengan masing-masing klasifikasi impaksi. Frekuensi tertinggi dari masing-masing klasifikasi adalah Kelas C sebesar 46.08% pada klasifikasi Pell-Gregory, impaksi distoangular sebesar 35.3% pada klasifikasi Winter, dan impaksi tipe 4 sebesar 60.78% pada klasifikasi berdasarkan hubungan dengan sinus maksila. Kesimpulan : Penelitian ini mendapatkan hasil distribusi frekuensi impaksi molar tiga maksila yang dapat menjadi acuan dalam menentukan tingkat kesulitan perawatan odontektomi.

Background : A method of classification of third molar impaction is needed because the anatomical position of impacted third molars can show variations that will play an important role in anticipating difficulties during extraction. Objective : To determine the impaction frequency of maxillary third molar impaction cases, as seen on panoramic radiographs and classified based on Pell-Gregory and Winter classification and also the relationship with maxillary sinus in RSKGM FKG UI. Methods : The type of research conducted is categorical descriptive research, using secondary data in the form of patient medical records at RSKGM FKG UI. Results : From 102 cases of maxillary third molar impaction, it was found that maxillary third molar impaction was most common in women with a percentage of 60%, but the results of statistical tests show no significant relationship between gender differences with each classification. The highest frequency of each classification is Class C of 46.08%, distoangular impaction of 35.3%, and impaction of type 4 by 60.78%. Conclusion : Classification of maxillary third molar impact can be a reference in determining the difficulty level of odontectomy treatment."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Muhammad Arfiza Putra
"Tesis ini membahas mengenai gambaran endoskopik struktur neurovaskular fossa pterigopalatina. Karakteristik arteri maksila, foramen dan arteri sfenopalatina, ganglion pterigopalatina, foramen rotundum dan kanal vidianus dinilai dengan menggunakan nasoendoskopi. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang pada 6 subyek cadaver yang menghasilkan langkah-langkah panduan diseksi fossa pterigopalatina. Diseksi periosteum fossa pterigopalatina dimulai dari lateral foramen sfenopalatina di pertengahan dinding posterior sinus maksila. Lemak dibuang dengan mengikuti arteri sfenopalatina. Landmark penting yang harus diperhatikan adalah foramen dan arteri sfenopalatina serta nervus trigeminus cabang maksila V2, selanjutknya struktur lainnya yaitu arteri maksila, ganglion pterigopalatina, foramen rotundum dan kanal vidianus dapat diidentifikasi.

This study analyzed endoscopic neurovascular structures of pterygopalatine fossa. Maxillary artery, sphenopalatine artery and foramen, pterygopalatine ganglion, rotundum foramen and vidian canal characteristics are evaluated using nasoendoscope. The study design is descriptive crossectional on 6 kadaver subject reported procedural steps of pterigopalatine fossa dissection. Periosteum of pterygopalatine fossa is dissected from lateral sphenopalatine foramen at the middle of posterior wall of maxillary sinus. Pterygopalatine fat is removed by following sfenopalatine artery. Important landmarks firstly identified are sphenopalatine foramen and artery as wall as maxillary branch of trigeminal nerve V2 subsequently are maxillary artery, pterigopalatine ganglion, rotundum foramen and vidian canal.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rakanda Rizki Ramadhani Duddyarto
"ABSTRAK
Latar belakang: Belum adanya model kerusakan tulang alveolar yang terstandar pada maksila posterior tikus Rattus norvegicus Wistar. Tujuan: Membuat standarisasi model penelitian kerusakan tulang alveolar pada maksila posterior tikus Rattus norvegicus Wistar. Metode: Penelitian in vivo pada 8 ekor Rattus norvegicus. injeksi lipopolisakarida dengan konsentrasi 200mg, 300mg, 500mg, dan 750mg dalam 200ml saline. Pengamatan berupa pemeriksaan menggunakan stereomikroskop dengan mengobservasi area kerusakan tulang. Hasil: Pada kelompok perlakuan terjadi periodontitis dengan rata-rata kerusakan tulang sebesar 3,4mm2. Kesimpulan: Injeksi lipopolisakarida dengan konsentrasi 200mg, 300mg, dan 500mg dalam 200ml saline dapat menyebabkan kerusakan tulang pada maksila posterior tikus Rattus norvegicus Wistar. Latar belakang: Belum adanya model kerusakan tulang alveolar yang terstandar pada maksila posterior tikus Rattus norvegicus Wistar. Tujuan: Membuat standarisasi model penelitian kerusakan tulang alveolar pada maksila posterior tikus Rattus norvegicus Wistar. Metode: Penelitian in vivo pada 8 ekor Rattus norvegicus. injeksi lipopolisakarida dengan konsentrasi 200mg, 300mg, 500mg, dan 750mg dalam 200ml saline. Pengamatan berupa pemeriksaan menggunakan stereomikroskop dengan mengobservasi area kerusakan tulang. Hasil: Pada kelompok perlakuan terjadi periodontitis dengan rata-rata kerusakan tulang sebesar 3,4mm2. Kesimpulan: Injeksi lipopolisakarida dengan konsentrasi 200mg, 300mg, dan 500mg dalam 200ml saline dapat menyebabkan kerusakan tulang pada maksila posterior tikus Rattus norvegicus Wistar.

ABSTRACT
Background There has not been a standardized model of alveolar bone destruction in maxillary posterior of Rattus norvegicus Wistar. Objective To standardize research model of alveolar bone destruction in maxillary posterior of Rattus novergicus Wistar Method In vivo study on 8 Rattus norvegicus. Injections of lipopolysaccharides with various concentrations which are 200mg, 300mg, 500mg and 750mg in 200ml saline water. Observation was done by examining the bone damage area using stereomicroscope. Result Periodontitis was observed in the treatment group with an average bone loss of 3.4mm2. Conclusion Injections of lipopolysaccharides with concentrations of 200mg, 300mg, and 500mg in 200ml saline water may cause bone damage to maxillary posterior region of Rattus norvegicus."
Lengkap +
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agrita Dridya
"Latar Belakang: Dalam talaksana kasus kedokteran gigi, seringkali dibutuhkan interpretasi gambaran radiograf dengan keakuratan yang tinggi. Meskipun gambaran radiograf diyakini sudah terinterpretasi dengan kualitas mutu yang baik, namun terdapat berbagai faktor yang menyebabkan tetap ada selisih ukuran objek pada gambaran radiograf dengan ukuran sebenarnya. Selisih ukuran ini dapat terjadi dalam arah vertikal, berupa distorsi vertikal. Distorsi vertikal penting untuk diperhatikan oleh klinisi untuk mencegah pengulangan pengambilan foto radiograf dan menghindari paparan radiasi berlebih pada pasien. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata distorsi vertikal pada radiograf periapikal gigi geligi maksila dan mandibula berdasarkan pengukuran selisih panjang gigi klinis dan radiografis. Metode: Penelitian ini menggunakan 120 sampel rekam medis klinis beserta dengan radiograf periapikal pasien endodontik di RSKGM FKG UI yang dikelompokkan menjadi 60 sampel gigi geligi maksila dan 60 sampel mandibula. Pengukuran estimasi panjang gigi klinis menggunakan rasio ukuran panjang kerja pada data rekam medis dan pengukuran panjang gigi radiograf diukur dari foto radiograf periapikal awal pasien. Ukuran distorsi vertikal didapat dari pengukuran selisih antara panjang gigi radiograf dengan estimasi panjang gigi klinis. Uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dilakukan dengan uji ICC dan dilakukan analisa komparatif menggunakan uji mann whitney. Hasil: Hasil analisa menunjukkan nilai rerata distorsi vertikal pada kelompok gigi geligi maksila sebesar 1,58 mm, dengan maksimum 5,53 mm. Nilai rerata distorsi vertikal pada kelompok gigi geligi mandibula sebesar 1,48 mm, dengan nilai maksimum 3,96 mm. Sebanyak 52 (43.33%) sampel mengalami pemanjangan, sebanyak 55 (45.83%) mengalami pemendekan, dan 13 (10.83%) data tidak terdistorsi. Kesimpulan: Rerata pengukuran estimasi panjang gigi klinis dan panjang gigi pada gambaran radiograf tidak berbeda bermakna (p 0,451). Rerata distorsi vertikal pada gigi geligi maksila dan mandibula tidak berbeda bermakna (p 0,975).

Background: In the management of dental cases, it is often necessary to interpret radiographs with high accuracy. Although it is believed that the radiographic image has been interpreted with good quality, there are various factors that cause the difference in the size of the object on the radiographic image to the actual size. The size of this distortion can occur in the vertical direction, in the form of vertical distortion. Vertical distortion is important for clinicians to pay attention to prevent retaking the radiographs and avoid overexposure of radiation on the patient. Objective: To determine the mean value of vertical distortion on periapical radiographs of maxillary and mandibular teeth based on the measurement of the difference in radiographic and actual size of the tooth length. Methods: The study or research is carried out on 120 samples of medical records along with periapical radiographs of endodontic patients at RSKGM FKG UI, divided into 60 samples of maxillary teeth and 60 samples of mandibular teeth. Measurement of estimated clinical tooth length obtained by using the ratio of working length recorded in the medical record, and the measurement of the radiographic tooth length obtained by using the patient's initial periapical radiograph. The measurement of vertical distortion was obtained by measuring the difference between the radiographic and the estimated clinical tooth length. Intraobserver and interobserver reliability tests were performed using the ICC test and comparative analysis was performed using the Mann Whitney test. Results: The results of the analysis showed that the mean of the vertical distortion in the maxillary teeth was 1.58 mm, with a maximum value of 5.53 mm. The mean value of vertical distortion in the mandibular teeth was 1.48 mm, with a maximum value of 3.96 mm. A total of 52 (43.33%) samples were elongated, 55 (45.83%) samples were shortened, and 13 (10.83%) samples were not distorted. Conclusion: The mean measurement of estimated clinical tooth length and tooth length on radiographs was not significantly different (p 0.451). The mean vertical distortion of the maxillary and mandibular teeth was not significantly different (p 0.975)."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Pramana Putra Lolo Allo
"Latar Belakang: Rinosinusitis kronis diasosiasikan dengan abnormalitas variasi anatomi pada kompleks ostiomeatal, salah satunya variasi proseus unsinatus. Pola perlekatan superior diketahui memiliki korelasi signifikan dengan sinusitis frontalis, namun belum terdapat laporan mengenai korelasi dengan kejadian sinusitis maksilaris. Tujuan: Menilai hubungan antara tipe perlekatan superior prosesus unsinatus dengan ada tidaknya konkha bullosa terhadap kejadian sinusitis kronis maksila. Metode: Sebanyak 262 pasien memenuhi kriteria penelitian studi kasus-kontrol yang telah dilakukan pemeriksaan HRCT scan kepala leher selama tahun 2020 hingga 2023. Analisis bivariat dilakukan pada faktor risiko kelompok usia dan faktor risiko gabungan tipe perlekatan superior dengan adanya konkha bullosa, disajikan dalam nilai Odds Ratio (OR) dengan Interval Kepercayaan (IK) 95%. Hasil: Kelompok usia 31-60 tahun pada kedua kelompok mempunyai nilai OR sebesar 2,11 (1,16-3,81 IK 95%; p <0,05) dan kelompok usia 61-82 tahun pada kedua kelompok mempunyai nilai OR 2,82 (1,20-6,61 IK 95%; p <0,05) dibandingkan kelompok usia 18-30 tahun. Perlekatan superior prosesus unsinatus tipe II dengan konkha bullosa mempunyai nilai OR 2,58 (1,28-5,20 IK 95%; p <0,05) dan tanpa konkha bullosa mempunyai nilai OR 2,53 (1,66-3,87 IK 95%; p <0,05). Kesimpulan: Terdapat peningkatan risiko terjadinya sinusitis kronis maksila pada perlekatan superior tipe II dibandingkan dengan perlekatan tipe I.

Background: Chronic rhinosinusitis is associated with anatomical variations in the ostiomeatal complex, including uncinate process variations. The superior attachment pattern is known to have a significant correlation with frontal sinusitis, but there have been no reports on its correlation with the occurrence of maxillary sinusitis. Objective: To evaluate the relationship between the superior attachment of the uncinate process and the presence or absence of concha bullosa in the occurrence of chronic maxillary sinusitis. Method: A total of 262 patients met the criteria for a case-control research study, undergoing head and neck HRCT scans from 2020 to 2023. Bivariate analysis was conducted on age group risk factors and the combined risk factors of superior attachment type with the presence of concha bullosa, presented as Odds Ratio (OR) with a 95% Confidence Interval (CI). Results: In both study groups, the OR of 31-60 year-old group was 2,11 (95% CI 1,16-3,81; p <0,05), and the OR of 61-82 year-old group was 2,82 (95% CI 1,20-6,61; p <0,05) compared to the 18-30 year-old group. Superior attachment of uncinate process type II with concha bullosa had an OR of 2,58 (95% CI 1,28-5,20; p <0,05), and without concha bullosa, the OR was 2,53 (95% CI 1,66-3,87; p <0,05). Conclusion: There is an increased risk of chronic maxillary sinusitis in superior attachment type II compared to attachment type I.

Keywords: superior attachment of uncinate process, concha bullosa, chronic maxillary sinusitis"

Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tunjung Prasetyo Nugroho
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Sinusistis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dengan berbagai faktor penyebab: variasi anatomi, infeksi bakterial/virus, alergi dan lain-lain. Deviasi septum nasi dan sinusitis kronis dapat mempengaruhi volume sinus maksila. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara derajat deviasi septum nasi dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila. Metode : Penelitian retrospektif dengan desain kasus-kontrol, jumlah sampel diambil konsekutif dari sistem PACS hingga 86 subjek. Dilakukan pengukuran derajat deviasi septum nasi dan volume sinus maksila dari 3 dimensi. Hasil : Didapatkan rerata deviasi septum nasi pada kelompok kasus 9,35 3,05 derajat Derajat I dan II , dan 10,62 4,11 derajat Derajat I dan II pada kelompok kontrol. Volume sinus maksila sisi ipsilateral satu sisi dengan deviasi septum nasi pada kelompok kasus cenderung lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol, namun tidak berbeda signifikan p>0,05 . Volume sinus maksila ipsilateral yang disertai kejadian sinusitis kronis maksila ipsilateral tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol p>0,05 . Uji korelasi negatif yang tidak signifikan pada hubungan derajat deviasi septum nasi dengan delta volume sinus maksila ipsilateral baik kelompok kasus maupun kontrol. Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara deviasi septum nasi Derajat I dan II dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila

ABSTRACT
Background and purpose Sinusistis is an inflammatory of mucosal sinuses by various factors anatomic variations, bacterial virus, allergies and others. Nasal septal deviation and chronic sinusitis can affect maxillary sinus volume. This study aims to assess the relationship between the degree of nasal septal deviation with the incidence of chronic maxillary sinusitis and maxillary sinus volume changes. Methods The study was a retrospective case control design, consecutive samples taken from the PACS system up to 86 subjects. Measurement of the degree of nasal septal deviation and maxillary sinus volume from 3 dimensions. Results the mean of nasal septal deviation in the case group 9.35 3.05 degrees Grade I and II , and 10.62 4.11 degrees Grade I and II in the control group. The ipsilateral maxillary sinus volume the same side with the nasal septal deviation in the case group tended to be smaller than the control, but did rsquo t differ significantly p 0.05 . The ipsilateral of the maxillary sinus volume with ipsilateral chronic maxillary sinusitis incidence not significantly different compared to control p 0.05 . Test negative correlation was not significant relationship of the degree of nasal septal deviation with ipsilateral maxillary sinus volume delta, both groups of cases and controls. Conclusion There is no significant relationship between nasal septal deviation Grade I and II and the incidence of chronic maxillary sinusitis and change of maxillary sinus volume."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Wahyu Manunggal
"Latar belakang: Nyeri kepala sekunder karena variasi anatomi pada mukosa hidung, konka, dan septum dikategorikan dalam lampiran pada International Classification of Headache Disorders – 3. Posisi ini berbeda dan lebih lemah dibanding dengan nyeri kepala sekunder akibat rinosinusitis akut atau eksaserbasi akut pada rinosinusitis kronik. Variasi anatomi pada rongga hidung dan sinus paranasal menjadi stimulasi mekanik berupa kompresi antar mukosa intranasal dan perubahan tekanan barometrik dalam rongga sinus. Studi ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan peran variasi anatomi septum deviasi, konka bulosa, dan sinus etmo-maksila (SEM) sebagai faktor risiko nyeri kepala rinogenik
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang pada pasien nyeri kepala rinogenik di Departemen THT RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan dan RSUP Fatmawati periode Desember 2022 – Februari 2023. Parameter yang dinilai adalah skor NPRS, NOSE, dan ESS.
Hasil: Proporsi variasi anatomi septum deviasi sebesar 73,8%, konka bulosa sebesar 52,3%, dan sinus etmomaksila sebesar 47,7% pada pasien nyeri kepala rinogenik di RSCM, RSF, dan RSP yang dievaluasi melalui tomografi komputer sinus paranasal. Terdapat perbedaan rerata yang bermakna antar kelompok derajat septum deviasi dan klasifikasi Mladina terhadap skor NPRS, NOSE, ESS (p<0,05). SEM tipe 2 memiliki rerata skor NPRS yang lebih tinggi dibanding SEM tipe 1 namun tidak bermakna secara statistik. Tipe SEM memiliki perbedaan rerata yang bermakna antar kelompok terhadap skor NOSE dan ESS (p<0,05). Jumlah variasi anatomi dan skor ESS memiliki kecenderungan hubungan yang bermakna terhadap skor NPRS (p<0,05). Odds ratio regresi logistik jumlah variasi anatomi dan skor ESS adalah 4,98E9.
Kesimpulan: Proporsi variasi anatomi septum deviasi ditemukan paling banyak pada populasi nyeri kepala rinogenik. Derajat septum deviasi dan klasifikasi Mladina memiliki kecenderungan terhadap derajat nyeri kepala rinogenik. Tipe SEM memiliki kecenderungan hubungan dengan sumbatan hidung dan gangguan napas saat tidur. Jumlah variasi anatomi dan skor ESS menjadi faktor prediktor untuk derajat nyeri kepala rinogenik.

Background: Secondary headaches due to anatomic variations in the nasal mucosa, turbinates, and septum are categorized in the appendix to the International Classification of Headache Disorders – 3. This position is different and weaker than secondary headaches due to acute rhinosinusitis or acute exacerbations of chronic rhinosinusitis. This study aims to determine the trend of the role of anatomical variations of septum deviation, concha bullosa, and ethmo-maxillary sinus (SEM) as risk factors for rhinogenic headache.
Methods: This study was conducted using a cross-sectional design in rhinogenic headache patients at the ENT Department of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Friendship Hospital and Fatmawati Hospital for the period December 2022 - February 2023. The parameters assessed were the NPRS, NOSE, and ESS scores.
Results: ¬The proportion of anatomical variations of septum deviation was 73.8%, concha bullosa was 52.3%, and ethmomaxillary sinus was 47.7% in patients with rhinogenic headaches at RSCM, RSF, and RSP which were evaluated by computer tomography of the paranasal sinuses. There was a significant mean difference between the groups with the degree of septum deviation and the Mladina classification on the NPRS, NOSE, and ESS scores (p<0.05). SEM type 2 has a higher average NPRS score than SEM type 1 but it is not statistically significant. The SEM type had a significant difference between groups in the NOSE and ESS scores (p<0.05). The number of anatomic variations and the ESS score tended to have a significant relationship with the NPRS score (p<0.05). The logistic regression odds ratio for the number of anatomic variations and the ESS score is 4.98E9.
Conclusion: The proportion of anatomical variations of septum deviation was found to be the highest in the rhinogenic headache population. The degree of septal deviation and the Mladina classification tend to the degree of rhinogenic headache. The SEM type tends to be associated with nasal obstruction and difficulty breathing during sleep. The amount of anatomic variation and ESS score are predictors for the degree of rhinogenic headache.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library