Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hedya Zuraida, Author
Abstrak :
Pasar obligasi Indonesia bergairah ditandai dengan perkembangan instrumen investasi obligasi pemerintah akhir-akhir ini. Hal ini ditandai dengan terus meningkatnya penerbitan obligasi oleh pemerintah serta meningkatnya nilai obligasi pemerintah yang diperdagangkan. Sehingga tidak mengherankan saat ini obligasi pemerintah dijadikan salah satu alternatif investasi bagi investor terutama investor institusi. Besarnya kelebihan permintaan (oversubcription) pada setiap lelang obligasi pemerintah menjadi bukti banyaknya peminat obligasi pemerintah. Lain halnya dengan pasar obligasi korporasi, tahun 2004 kemarin pasar obligasi korporasi cenderung mengalami penurunan dibanding tahun 2003, terlihat dari sampai dengan bulan Agustus, issuer obligasi baru sekitar 24 emiten dengan nilai emisi sebesar Rp. 10,4 triliun. Padahal, tahun lalu jumlah emiten yang menerbitkan obligasi sebanyak 54 perusahaan dengan nilai emisi mencapai Rp. 25 triliun. Walaupun demikian, dari sisi permintaan kebutuhan obligasi akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan yang cepat dari reksadana, dana pensiun serta asuransi Pada penelitian ini perhitungan diawali dengan menghitung return masing-masing jenis obligasi baik obligasi korporasi maupun obligasi negara yang beredar di tahun 2004 sampai dengan tahun 2005, selanjutnya melalui metode statistik dengan memanfaatkan bantuan software solver diperoleh berbagai kombinasi portfolio yangefisien yang membentuk efficient frontier sebagai alternatif untuk memilih portofolio yang optimal. Dari hasil analisis didapatkan bahwa secara individual, proporsi investasi pada obligasi korporasi adalah terdiri dari 8 obligasi sebagai berikut: Adira Dinamika sebesar 1,16%; Excelcom I sebesar 49,55%; Jasa Marga X sebesar 13,13%; Matahari Putra Prima sebesar 16,23%; Perum Pegadaian IX sebesar 7,88%, Perum Pegadaian X sebesar 5,37%, Telkom I sebesar 1,73% dan lndosiar I sebesar 4,95%. Return dan deviasi standar yang dihasilkan adalah 1,55% dan 0,55185%. Dan untuk obligasi pemerintah terdiri dari 6 obligasi sebagai berikut: FR0013 sebesar 27,5%; FR0015 sebesar 9,53%; FR0018 sebesar 26,05%; FR0020 sebesar 13,2%; VR0014 sebesar 21,52% dan VR0015 sebesar 2,2%. Return dan deviasi standar yang dihasilkan adalah 1,2% dan 1,1232%. Sedangkan proporsi portfolio optimal investasi gabungan antara obligasi korporasi dan obligasi pemerintah adalah terdiri dari 61,46% pada obligasi korporasi dan 38,54% pada obligasi negara dengan return 1,415% dan 0,772%. Adapun rincian investasi portfolio optimal tersebut adalah obligasi Adira Dinamika sebesar 0, 71 %; Excelcom I sebesar 30,45%; Jasa Marga X sebesar 8,07%; Matahari Putra Prima sebesar 9,98%; Perum Pegadaian IX sebesar 4,84%, Perum Pegadaian X sebesar 3,3%, Telkom I sebesar 1,06%, Indosiar I sebesar 3,04%, FR0013 sebesar 10,6%, FR0015 sebesar 3,67%, FR0018 sebesar 10,04%, FR0020 sebesar 5,09%, VR0014 sebesar 8,29% dan VR0015 sebesar 0,85%. Kombinasi portfolio optimal yang dihasilkan dari analisis ini hendaknya dapat digunakan investor sebagai salah satu masukan dalam proses pengambilan keputusan dalam berinvestasi pada portfolio obligasi sehingga portfolio investasi bisa memberikan return yang seoptimal mungkin dan realistis. Walaupun tidak pemah menjadi jaminan obligasi yang memiliki kineija baik di masa lalu akan memberikan hasil yang sama dimasa depan, tetapi paling tidak konsistensi jangka panjang atas kinerja masa lalu merupakan salahsatu petunjuk atas instrumen investasi tersebut di masa depan.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suwito Haryatno
Abstrak :
ABSTRAK
Kemajuan teknologi telah mengantar industri ke tahapan lebih lanjut yang dikenal sebagai industri 4.0. Revolusi ini tidak hanya berlaku bagi perusahaan manufaktur tetapi berdampak juga bagi industri jasa yang salah satunya bergerak dalam bidang manajemen investasi. Peranan teknologi akan membantu industri ini jauh lebih berkembang guna pemenuhan kebutuhan dari para nasabahnya dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi demi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata dengan distribusi modal yang lebih optimal.
Jakarta: The Ary Suta Center, 2019
330 ASCSM 46 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agung D. Buchdadi
Abstrak :
Pada tahun 2003 kondisi ekonomi makro Indonesia cukup baik. Kondisi pasar modal Indonesia juga cukup mengembirakan yaitu mengalami kenaikan sebesar 60% atau Index Harga Saham Gabungan mendekati poin 700. Kemajuan kondisi pasar modal ini membawa angin segar pula bagi industri reksa dana. Sehingga bagi investor dengan dana sedikit terbatas dapat ikut menikmati kemajuan pasar modal Indonesia. Investor sering sekali menemui hambatan untuk masuk ke pasar modal. Hambatan tersebut antara lain keterbatasan waktu, pengetahuan dan keahlian dalam pasar modal, kebutuhan dana, dan risiko yang ada. Strategi Cost Averaging (DCA) menawarkan solusi untuk mengatasi hambatan - hambatan tersebut. Pada strategi ini investasi dilakukan pada besaran dana yang tetap pada tiap satuan waktu yang ditentukan. Mann dan Atra pada tahun 2001 melakukan penelitian mengenai performa DCA bila dibandingkan dengan strategi Lump Sum (LS). Instrumen yang digunakan adalah indeks dari Morgan Stanley di dunia, Eropa, EAFE (Europe, Asia and Far East), Pasifik, Jepang dan Amerika selama tahun 1970- 1998. Data yang dipakai dalam penelitian ini data imbal hasil bulanan dari Morgan Stanley selama tahun 1970 - 1998 untuk beberapa indeks, yaitu dunia, Eropa, EAFE (Europe, Asia and Far East), Pasifik, Jepang dan Amerika. Suku bunga instrument bebas risiko yang dipake T- Bill Amerika untuk 90 hari. Dan imbal basil dinyatakan dalam dollar Amerika. Penelitian Mann dan Atra menyimpulkan bahwa strategi DCA tidak baik dilakukan disepanjang tahun. Bulan Februari sampai September baik untuk melakukan strategi DCA. Sedangkan sisanya lebih baik dilakukan strategi LS. Selain itu Bacon, William, dan Ainina pada tahun 1997 menyelidiki performa strategi DCA pada pasar Obligasi di Amerika selama tahun 1926 -1995. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah walaupun standar deviasi strategi DCA lebih kecil namun kinerja strategi DCA tidak lebih baik dibandingkan strategi LS. Penelitian karya akhir ini menggabungkan kedua penelitian tersebut diatas dengan instrumen reksa dana saham dan pendapatan tetap di Indonesia selama tahun 1999- 2003. Lama waktu investasi yang dipilih adalah 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, dan 5 tahun. Strategi DCA memberikan imbal hasil rata - rata rata terbaik pada investasi reksa dana saham untuk seluruh jangka waktu investasi. Penghitungan menunjukan bahwa imbal hasil rata- rata terbesar yaitu 18,43% diperoleh pada investasi selama 5 tahun. Sebaliknya untuk reksa dana pendapatan tetap strategi LS memberikan imbal hasil rata - rata yang terbaik. Imbal hasil akan meningkat sejalan dengan lamanya waktu investasi. lmbal hasil rata - rata terbesar diperoleh pada investasi dengan jangka waktu 5 tahun yaitu sebesar 21,73%. Strategi DCA memberikan standar deviasi terkecil. Penelitian m1 JUga menemukan bahwa strategi DCA pada investasi reksa dana saham akan semakin kecil sejalan dengan lamanya waktu investasi. Penelitian ini menunjukan bahwa rata- rata standar deviasi dengan strategi DCA pada reksa dana saham selama 5 tahun adalah 0,1570. Dan standar deviasi tersebut terkecil dibandingkan standar deviasi pada investasi reksa dana saham lainnya. Sedangkan pada reksa dana pendapatan tetap standar deviasi terkecil diperoleh pada strategi DCA untuk jangka waktu 1 tahun yaitu sebesar 0,0341. Dengan demikian rasio imbal hasil terhadap standar deviasi (adjusted return) strategi DCA akan memberikan hasil yang terbaik. Dengan memperhatikan adjusted return historis didapat bulan terbaik untuk melakukan investasi di reksa dana saham adalah bulan Januari, dan bulan Februari Maret untuk investasi di reksa dana pendapatan tetap. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa imbal hasil rata- rata pada investasi reksa dana pendapatan tetap lebih besar dibandingkan reksa dana saham. Dan standar deviasi reksa dana pendapatan tetap lebih kecil dibandingkan reksa dana saham. Hasil analisis karya akhir ini dapat digunakan sebagai tambahan referensi bagi para investor untuk menentukan strategi investasi yang dipakai untuk melakukan investasi di reksa dana saham dan pendapatan tetap di Indonesia. Namun perlu diperhatikan berbagai kekurangan dari penelitian karya akhir ini. Kekurangan - kekurangan ini memicu munculnya tingkat kesalahan (bias) tertentu dari analisis karya akhir ini. Perbaikan dari kekurangan-kekurangan tersebut melalui penelitian lebih lanjut, tentunya sangat diharapkan untuk menyempurnakan penelitian ini.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Harsono Lim
Abstrak :
Pemilihan portofolio dengan mempertimbangkan risiko belum mendapat pengakuan secara formal sampai Markowitz (1952) mengajukan suatu formulasi portofolio berdasarkan aturan tingkat pengembalian ekspektasi- varians (E- V rule). Berangkat dari dasar tersebut, Sharpe (1964) menggunakan sejumlah asumsi untuk menurunkan kondisi ekuilibrium pasar yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat pengembalian ekspektasi aset berisiko. Akan tetapi, terlepas dari eksistensi model tersebut, beberapa studi empiris menemukan bahwa model ekuilibrium yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang digambarkan Sharpe. Berangkat dari hal tersebut, penulis menguji hubungan risiko dan tingkat pengembalian di pasar modal Indonesia dengan metode yang telah dirumuskan sebelumnya untuk periode 2000-2004. Model investasi klasik pada dasamya menyatakan bahwa pemilihan portofolio adalah didasarkan pada maksimisasi tingkat pengembalian. Model demikian adalah benar bilamana tingkat pengembalian aset adalah pasti. Akan tetapi investasi pada suatu aset tidak dapat terlepas dari unsur risiko, kecuali pada aset bebas risiko. Selain itu tingkat pengembalian antar aset juga memiliki korelasi satu sama lain. Markowitz (1952) mengajukan suatu formula pemilihan portofolio yang didasarkan pada pertimbangan risiko dan interkorelasi aset tersebut. Selanjutnya, Sharpe (1964) menurunkan model penentuan harga aset (CAPM) sederhana dengan mengasumsikan adanya ekspektasi homogen dan adanya aset bebas risiko. Black (1972) memodifikasi model tersebut dengan merubah asumsi adanya aset bebas risiko dan menemukan bentuk persamaan sederhana yang sedikit berbeda. Beberapa studi empiris yang dilakukan di pasar model Amerika Serikat menemukan bahwa hubungan risiko dan tingkat pengembalian yang terjadi tidak mengkonfirmasi model Sharpe, melainkan lebih cenderung pada model Black. Roll (1976) berpendapat pada dasamya temuan-temuan empiris tersebut adalah rancu dan suatu pengujian yang benar, secara praktis, tidak dapat dilakukan. Studi empiris yang dilakukan penulis pada karya akhir ini didasarkan pada metode pengujtan CAPM yang diajukan Lintner (1965) dan Fama dan MacBeth (1973). Dalam pengujtan hubungan risiko - tingkat pengembalian dengan metode Lintner, selain menggunakan metode yang diajukan, penulis juga mengelaborasi beberapa kritik Miller dan Scholes yang menyatakan bahwa metode Lintner tersebut menyebabkan bias pada hasil yang ditemukan. Replikasi terhadap metode Fama dan MacBeth menggunakan pendekatan portofolio untuk memperoleh estimasi beta yang lebih akurat. Dengan menggunakan estimasi risiko portofolio tersebut, penulis melakukan pengujian hubungan risiko tingkat pengembalian bulan per bulan untuk mengamati relevansi risiko dan efisiensi pasar. Secara keseluruhan, temuan empiris yang diperoleh menunjukkan bahwa beta adalah relevan sebagai risiko sistematis dan kompensasi atas risiko tersebut adalah positif. Selain itu, juga terbukti bahwa model dua faktor Black lebih mampu menggambarkan hubungan risiko - tingkat pengembalian yang terjadi Temuan dengan menggunakan metode Lintner menunjukkan bahwa: (1) beta adalah relevan dan terdapat price of risk positif, (2) risiko residual tidak relevan dan, (3) tingkat pengembalian portofolio zero beta selama periode pengujian adalah negatif. Temuan dengan menggunakan metode Fama dan MacBeth, selain menemukan bukti-bukti yang mendukung kesimpulan sebelumnya, juga menemukan bukti bahwa investasi di pasar modal Indonesia, khususnya BEJ, adalah ''fair game" dalam arti investor tidak dapat menggunakan informasi lampau yang diturunkan dari model ekuilibrium untuk menghasilkan strategi investasi yang superior. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa hubungan antara risiko dan tingkat pengembalian saham di pasar modal Indonesia adalah sesuai dengan apa yang dipostulasikan oleh model ekuilibrium. Akan tetapi bentuk hubungan tersebut temyata lebih mengkonfirmasi model yang diajukan Black. Selain itu juga ditemukan bahwa pasar modal Indonesia adalah efisien paling tidak dalam bentuk lemah (weakform).
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Manangar Ronywijaya Pangihutan
Abstrak :
Pasar modal di Indonesia pada saat ini sedang mengalami masa pertumbuhan yang sangat pesat, animo para investor untuk rnelakukan investasi di bursa saham juga mengalarni kenaikan yang cukup signifikan. Pertumbuhan yang sangat pesat ini ditandai dengan kenaikan angka Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta yang sangat mencengangkan dimana IHSG sepanjang tahuri 2004 mengalami kenaikan sebesar 308,338 poin atau sebesar 44,56% dibanding dengan penutupan tahun 2003. Kenaikan ini banyak didorong oleh iklim politik yang semakin aman dan stabil sehingga kondusif bagi para pelaku-pelaku usaha di Indonesia untuk menjalankan aktivitas bisnisnya termasuk diantaranya aktivitas investasi di Bursa Efek Jakarta. Dalarn setiap melakukan kegiatan investasi, seorang investor yang rasional akan senantiasa rnembandingkan tingkat pengembalian (return) investasi yang akan diperolehnya dengan resiko investasi yang akan dihadapinya. Untuk setiap pilihan investasi yang akan dilakukannya, seorang investor harus memahami faktor-faktor ekstemal apa saja yang dapat mempengaruhi kegiatan investasinya. Faktor-faktor ekstemal tersebut dapat terlihat melalui indikator-indikator moneter yang berkaitan erat dengan kegiatan investasinya tersebut. Untuk kegiatan investasi di bursa saham, ada baiknya investor memahami beberapa indikator moneter yang mempengaruhi perubahan return suatu saham yaitu seperti IHSG, suku bunga SBI, kurs US Dollar, suplai uang, dan tingkat inflasi. Setelah mengumpulkan data-data indikator moneter tersebut, kemudian diolah untuk dapat diperoleh suatu informasi yang bermanfaat sehingga siap untuk diolah dengan formulasi multiple regression. Dengan hasil perhitungan melalui multiple regression tersebut akan terlihat nilai-nilai tertentu yang menggambarkan kondisi suatu saham selama periode pengamatan. Terhadap nilai- nilai tersebut dilakukan analisa yang dapat menggambarkan korelasi perubahan indikator-indikator moneter tersebut terhadap return yang mungkin diperoleh dari investasi pada suatu saham. Pengujian dan analisa multiple regression yang dilakukan terhadap saham-saham industry farmasi pada periode pengamatan tahun 1999 hingga 2004 menunjukkan bahwa terdapat 5 saham yang mcmiliki nilai signifikansi lcbih kccil dari 5 % yaitu DNKS, DVLA, KAEF, KLI3F, dan TSPC. Sedangkan 6 saham Iainnya memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 5 %, saham-saham tersebut adalah BYSB, INAF, MERK, PYFA, SCPI, dan SQBB. Nilai signifikansi yang Iebih kecil menunjukkan bahwa return aham-saham tersebut dipengaruhi oleh perubahan indicator moneter. Namun nilai koefisien determinasi (R2) untuk semua saham industri farmasi menunjukkan nilai yang kecil, hal ini berarti walaupun beberapa saham dipengaruhi oleh perubahan indikator moneter namun korelasi perubahan tersebut sangat lemah. Hasil pengujian dan analisa multiple regression juga menunjukkan bahwa indikator moneter yang paling mempengaruhi perubahan returr saham-saham industri farmasi adalah perubahan pasar (IHSG) dan perubahan suku bunga SBI 1 bulan. Sektor industri farmasi termasuk di dalam kelompok industri consumer goods (barang-barang kebutuhan pokok), yaitu dimana produk-produknya aka11 selalu dikonsumsi oleh masyarakat dalam kehidupan saham-sahamnya walaupun kondisi perckonomian sedang mengalami krisis sehingga karakteristik industri farmasi tersebut harus dipahami oleh para investor sebelum berinvestasi. Secara keseluruhan melalui penelitian ini dapat dinilai bahwa fluktuasi harga saham-saham industri farmasi relatif stabil sehingga investasi pada saham-saham industri farmasi akan memberikan tingkat return yang relatif kecil walaupun terjadi perubahan pada indikator-indikator moneter.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Bagus
Abstrak :
ABSTRAK
Seiring dengan menurunnya suku bunga SBI, banyak investor merasakan bahwa berinvestasi pada risk free asset seperti deposito temyata kurang menguntungkan karena memberikan tingkat return yang rendah. Sehingga dirasakan perlu untuk mencari altematif investasi lain yang memberikan imbal hasil optimal dengan tetap memperhatikan tingkat risiko yang ada. Fenomena tersebut juga dialami oleh manajemen PT XYZ yang mempunyai sejumlah dana yang dikumpulkan dari karyawan dengan tujuan berinvestasi untuk kesejahteraan karyawannya. Setelah membandingkan kelebihan dan kekurangan dengan deposito, altematif investasi yang dipilih adalah reksadana.

Altematif investasi yang dipilih didasarkan pada keunggulan reksadana antara lain dari segi pengelolaannya yang dilakukan oleh tenaga profesional sehingga memudahkan di dalam menganalisa harga efek dan sebagai akses intormasi ke pasar modal, adanya diversifikasi investasi sehingga dapat mengurangi risiko, nilai investasi awal yang relatif rendah, likuiditas yang tinggi, dan biaya yang relatif rendah. Dari keempat Reksadana yang ada di Indonesia, yaitu Reksadana Pendapatan Tetap, Reksadana Saham, Reksadana Pasar Uang, dan reksadana Campuran, reksadana yang dipilih adalah Reksadana Pendapatan Tetap karena dianggap memberikan return yang stabil dan keamanan dalam berinvestasi. Juga dana yang diinvestasikan ke daiam instrumen reksadana di Indonesia sebagian besar ditanamkan pada Reksadana Pendapatan Tetap, rata-rata lebih dari 60%. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan dibebaskannya pajak atas kupon bunga dari obligasi yang diterima oleh reksadana.

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah Reksadana Pendapatan Tetap yang memberikan return positif dan aktif diperdagangkan 'Selama periode Januari 2003 sampai Desember 2003. Berdasarkan data yang diperoleh dari Biro Pengelolaan lnvestasi dan Reksadana (PIR) BAPEP AM, terdapat 7 reksadana pendapatan tetap yang akan dijadikan obyek penelitian. Langkah-langkah dalam mencari reksadana terbaik diawali dengan mcnghitung return dan standar deviasi tahunan yang diperoleh dari return standar deviasi bulanan, kcmudian dilanjutkan dengan menghitung koefisien korelasi dan kovarian dari masing-masing reksadana. Selanjutnya menghitung bobot dari masing-masing reksadana pendapatan tctap untuk mcnyusun portofolio dengan Metode Markowitz Diversification. Langkah bcrikutnya adalah mengukur reward to variability ratio pada masing-masing reksadana dan juga pada portofolio dengan menggunakan Metode Sharpe.

Berdasarkan hasil analisis dan pemhahasan pada penelitian ini, diperoleh portofolio reksadana pendapatan tetap yang menunjukkan performa terbaik dengan proporsi 13.75% reksadana BNI Dana Plus dan 86.25% reksadana Reksa V-Plus, dan komposisi tersebut memberikan tingkat return sebesar 13.00% dengan tingkat risiko (standar deviasi) 0.63%. Nilai yang diberikan pada indeks reward to variability ratio adalah 5.2994, merupakan nilai yang tertinggi dari portofolio reksadana lainnya. Untuk Reksadana Pendapatan Tetap individu, Reksa V - Plus menunjukkan performa yang terbaik dengan indeks reward to variability ratio 5.1652 dengan tingkat return sebesar 12.74% dan standar deviasinya 0.59%. Bila dibandingkan dengan kineija Deposito 1 bulan pada periode yang sama, dapat dilihat bahwa tingkat return reksadana pendapatan tetap baik secara individu maupun portofolio masih lebih tinggi dibandingkan dengan return Deposito 1 bulan yang hanya sebesar 9.69%.

Dengan adanya hasil penelitian ini, direkomendasikan kepada manajemen PT XYZ untuk mengembangkan investasinya dengan mengalihkan sebagian atau seluruh dananya ke dalam industri reksadana khususnya Reksadana Pendapatan Tetap. Namun tetap memperhatikan perubahan pada pasar reksadana, karena kinerja reksadana di masa lalu belum tentu sama dengan kinerja reksadana di masa mendatang.
2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Irene
Abstrak :
ABSTRAK
Dengan diberLakukannya UU mengenai dana pensiun No 11 tahun 1992, dana pensiun telah memasuki era profesionalisasi dalam pengelolaan kekayaannya. Hal ini merupakan tantangan bagi dana pensiun untuk selalu meningkatkan kemampuannya dalarn perencanaan (dalam rangka rnenghadapi situasi yang senantiasa berubah baik internal dan seringkali eksternal) serta dalam implementasi dan perencanaan ínvestasi tersebut. Kedua tahap proses manajemen investasi tersebut perlu diikuti Secara proaktif dan tidak cukup hanya reaktif. Dengan kinerja positif yang berhasil dicapai, akan memberikan dampak secara makro, yaitu pemanfaatan dana yang ada untuk kepentingan nasional, mau pun dampak secara mikro, bagi perusahaan pemberi kerja dan tentunya peserta pensiun itu sendiri.

Sebagaimana yang ditemui, esbagian dari dana pensiun di Indonesia masih mengalami defisit dalam kecukupan dananya. Diantara penyebabnya adalah karena pendanaan dari sponsor yang belum terpenuhi. Dalam kondisi defisit ini, bukan berarti bahwa dana pensiun belum perlu atau tidak dapat memikirkan pengembangan dan kekayaan yang ada. Dalam kondisi defisitpun, pengembangan kekayaan dapat dilakukan karena,. seperti halnya pada kondisi pendanaan yang surplus, tetap tersedia penumpukan dana untuk sementara waktu. Begitu pula sebaliknya dalam kwalitas pendanaan yang surplus, bukan merupakan jaminan bahwa Dana Pensiun yang bersangkutan akan selalu berhasil dalam pengembangan kekayaannya. Balk bagi dana pensiun yang pendanaanya rnasih dalam kondisi defisit ataupun bagi yang pendanaannya telah dalam kondisi surplus, perlu memperhatikan kegíatan dan pengembangan kekayaannya yaitu dengan peningkatan kemampuan dalam perencanaan maupun implementasi dari perencanaan investasí.

Pada saut ¡ni, pola penempatan investasi masíh di tentukan secara konvensional dimana para investor dana pensiun cenderung untuk memilih investasi yang aman-aman saja yang sifatnya jangka pendek yaitu seperti deposito. Meskipun struktur demografi peserta dana pensiun masih memungkinlcan untuk bergerak Iebih ?agresif, sementara diiain pihak teknologi yang semakin maju juga membuka peluang yang lebih besar untuk investasi pada jenis asset lainnya, namun umumnya dana pensiun masih ragu-ragu untuk mendiversifikasikan atau merelokaslkan dananya dari deposito ke jenis asset lainnya.

Untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam perencanaan dan implmentasi dana pensiun diperlukan pengukuran-pengakuran kinerja yang Iebíh akurat yang memungkinkan investor Iebih meyakini keputusan yang diambil. Kondisi saat ini menunjukkan belum ada satupun dari dana pensiun yang mengukur kinerjanya dengan mempertimbangkan nisiko.Pada dasarnya terdapat 4 alternatif pengukuran kinerja dengan mempertimbangkan nisiko ini yaitu excess return to variability measures, excess return to systematic risk, differential return to Variability measures, dan diffirentiai return to systematic risk. Bahkan pengukuran yang disebut dengan diffrrensial return to systematic risk sangat niendukung untuk dilakukannya evaluasi terhadap atribusi kinerja yang telab berhasil dicapai.

Dari segi kinerja investasi, semua investasi yang dilakukan dana pensiun memang telah menghasilkan kinerja positif yang lebih baik dibandingkan dengan suku bunga bebas risiko. Namun bila ditelusuri dengan metode pengukuran kinerja relatif terhadap risiko, masih banyak dana pensiun yang memiliki investasi besar justru belum menghasilkan kinerja yang sepadan dengan besamya risiko yang diemban. Lembaga dana pensiun yang memiliki investasi lebih kecil menghasilkan kinerja relatif, balk differential return systematic risk maupun differential return to variability measures yang lebih balk daripada lembaga dana pensiun yang ?bermodal besar?.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basharat Ahmad, Author
Abstrak :
ABSTRAK
PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) mulai tanggal 3 Januari 2005 menetapkan kebijakan baru fraksi harga saham, yaitu menambah satu fraksi harga Rp 10,- dari sebelumnya yang berlaku tiga fraksi saham yakni Rp 5,-, Rp 25,- dan Rp 50,-. Tujuan kebijakan fraksi saham ini menurut Direktur Utama BEJ adalah untuk meningkatkan likuiditas bursa sekaligus menambah pendapatan BEJ. Fraksi harga Rp 10,- tersebut diberlakukan terhadap kelompok saham dengan harga Rp 500,- sampai dengan kurang dari Rp 2.000,-, sehingga terjadi penurunati fraksi harga bagi kelompok saham tersebut yaitu dari sebelumnya Rp 25,- menjadi Rp 10,-.

Karya akhir ini mempunyai tiga tujuan utama yaitu meneliti dampak penurunan fraksi harga saham tersebut terhadap (I) likuiditas, (2) strategi order dan (3) aktivitas perdagangan di BEJ. Likuiditas dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk bertransaksi dalam jumlah besar secara cepat, dengan biaya rendah tanpa memengaruhi harga. Mengikuti penelitian-penelitian sebelumnya, ukuran likuiditas dalam penelitian ini adalah spread dan depth. Strategi order yang diteliti adalah perubahan strategi dari limit order ke market order dan perubahan order size yang diberikan pelaku pasar. Sedangkan aktivitas perdagangan diukur dengan frekuensi, volume dan nilai perdagangan.

Hasil penelitian pada karya akhir ini menunjukkan bahwa nominal spread dan relative spread menurun secara signifikan setelah penurunan fraksi harga saham. Namun demikian depth juga turun secara signifikan. Penurunan spread dapat diartikan sebagai peningkatan likuiditas karena menurunnya biaya immediacy; sedangkan penurunan depth dapat diartikan sebagai penurunan likuiditas karena menurunnya kemampuan untuk bertransaksi dalam jumlah besar tanpa memengaruhi harga.

Karena penurunan spread dan depth mempunyai arti yang saling bertentangan terhadap likuiditas, maka penelitian ini mengukur dampak terhadap likuiditas secara keseluruhan dengan mengikuti penelitian empiris sebelumnya yaitu menggunakan rasio depth-to-spread. Penelitian ini menemukan penurunan yang signifikan pada rasio depth-tospread setelah penurunan fraksi harga. Hal ini dapat diartikan bahwa penurunan depth (penurunan likuiditas) adalah lebih besar dibandingkan penurunan spread (peningkatan likuiditas). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan penurunan fraksi harga tidak meningkatkan likuiditas.

Quote Matchers mengambil kesempatan dengan semakin kecilnya fraksi harga. Mereka dapat memberikan order dengan harga yang sedikit lebih tinggi ketika ingin membeli atau sedikit lebih rendah ketika ingin menjual untuk mendahului order yang terlebih dahulu masuk. Untuk mengatasi para quote matcher, limit order traders akan menyembunyikan order mereka, memecah order atau merubah strategi limit order ke market order. Penelitian ini menemukan penurunan yang signifikan pada jumlah order (order size) yang diberikan investor setelah penurunan fraksi harga saham. Hal ini diduga sebagai strategi investor menyembunyikan order mereka dengan cara memecah order untuk mengatasi masalah quote matching yang timbul akibat fraksi harga yang semakin kecil.

Untuk mengukur apakah investor merubah strategi limit order menjadi market order penelitian ini menggunakan relative marketable limit order yaitu rasio volume marketable limit order dibagi total order yang masuk. Penelitian ini menemukan kenaikan yang signifikan pada relative marketable limit order. Hal ini berarti tetjadi peningkatan proporsi market order pada total order yang diberikan investor. Hal ini diduga sebagai perubahan strategi order investor dari limit order ke market order

Penelitian ini menemukan harga saham sebagai faktor yang membedakan dampak penurunan fraksi harga terhadap aktivitas perdagangan. Kelompok saham harga rendah mengalami kenaikan yang signifikan pada frekuensi, volume dan nilai perdagangan. Sedangkan kelompok saham harga tinggi walaupun terjadi peningkatan aktivitas perdagangan namun tidak signifikan. Penjelasan yang mungkin tepat adalah penurunan fraksi harga menyebabkan turunnya spread yang berarti menurunnya biaya transaksi. Penurunan biaya transaksi tersebut relatif cukup berarti bagi kelompok saham harga rendah sehingga meningkatkan aktivitas perdagangan. Sedangkan bagi kelompok saham harga tinggi penurunan biaya transaksi tersebut relatif tidak berarti untuk meningkatkan aktivitas perdagangan.

Temuan pada penelitian ini memberikan beberapa implikasi. Bagi BEJ penurunan fraksi harga berhasil menaikan aktivitas perdagangan terutama untuk saham dengan harga rendah sehingga meningkatkan pendapatan BEJ. Bagi para investor, penurunan fraksi harga mempunyai implikasi yang beragam. Penurunan spread berarti menurunnya biaya immediacy. Namun penurunan depth menyebabkan menurunnya kemampuan untuk bertransaksi dalam jumlah besar tanpa memengaruhi harga. Dengan demikian penurunan fraksi harga menyebabkan saham-saham menjadi lebih likuid bagi investor yang bertransaksi dalam jumlah kecil namun menjadi kurang likuid bagi investor yang bertransaksi dalam jumlah besar. Penurunan fraksi harga juga menimbulkan masalah quote matching strategy. Hal ini ditanggapi oleh investor dengan cara memecah order mereka yaitu dengan jalan menurunkan order size mereka dan lebih memilih menggunakan market order dibanding limit order. Bagi para akademisi hasil penelitian ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa penurunan fraksi harga saham akan menurunkan spread dan depth. Selain itu hasil penelitian ini memperluas studi empiris mengenai pengaruh penurunan fraksi harga saham terhadap strategi order yang dilakukan investor.
2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhi Yanuar
Abstrak :
Industri rokok dalam perekonomian Indonesia saat ini terlihat semakin besar peranannya, hal ini terbukti dari kemampuan industri ini selain sebagai motor penggerak perkenomian juga mampu menyerap tenaga kerja sehingga memperbesar peranannya dalam menyumbang pendapatan negara. Kondisi inilah yang mendorong pemerintah untuk meningkatkan target pemasukan pendapatan negara melalui cukai rokok dari tahun ke tahun seperti yang terjadi saat ini dengan kenaikan cukai rokok dalam 5 tahun terakhir yang rata-rata mencapai 34,23 % sejak tahun 1998, sementara kenaikan produksi rokok dalam periode yang sama hanya 5,3 % per tahun yang sudah pasti tidak sebanding dengan persentase peningkatan cukai rokok terutama rokok kretek. Penelitian yang dilakukan adalah menilai saham perusahaan rokok HMSP dan GGRM melalui analisa fundamental yaitu dengan melakukan perhitungan nilai intrinsik saham perusahaan dengan menggunakan metode Discounted Cash Flow, yaitu dengan mendiskontokan proyeksi Free Cash Flow to the Firm (FCFF) berdasarkan Weighted Average Cost of Capital (W ACC). Nilai FCFF diperoleh dengan melakukan proyeksi terhadap laporan keuangan perusahaan. Asumsi yang digunakan dalam melakukan proyeksi berdasarkan kondisi makro ekonomi dan kondisi masing-masing perusahaan itu sendiri serta data kinerja historis perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil perhitungan atas nilai saham PT. Hanjaya Mandala Sampoema adalah sebesar Rp.4.210,- untuk skenario most pessimistic, Rp. 5.391,- untuk skenario most likely dan Rp.6.758,- untuk skenario most optimistic atau dapat dikatakan overvalued pada skenario most pessimistic namun undervalued pada skenario most likely dan most optimistic dengan perbandingan harga penutupan per 30 desember 2003 sebesar Rp.4.475,- Demikian pula halnya dengan PT.Gudang Garam, untuk skenario most pessimistic adalah overvalued sebesar Rp.ll.775,- sedangkan undervalued pada skenario most likely dan most optimistic yaitu berturut-turut Rp.15.664,- dan Rp.20.381. Melalui Analisa Sensitifitas dengan menggunakan asumsi cukai rokok dan tingkat perekonomian dapat disimpulkan bahwa harga saham HMSP yang terbentuk adalah sebesar Rp.5.438,- dan harga saharn GGRM sebesar Rp.15.871,- yang berarti kedua saham tersebut Undervalued dibanding harga pasarnya per 30 Desember 2003 yaitu Rp.4.475,- untuk HMSP dan Rp.13.600,- untuk GGRM Sedangkan dari analisa industri dapat disimpulkan bahwa di masa mendatang akan terjadi tingkat persaingan dan kekuatan tawar supplier yang tinggi, ancaman pemain baru yang rendah, produk pengganti dan kekuatan tawar buyer yang rendah. Semua analisa dan perhitungan nilai intrinsik saham tersebut dibuat berdasarkan asumsi dan berbagai pertimbangan sesuai kondisi perusahaan. Selain itu nilai saham juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dapat dikuantifikasi, karena itu investor di dalarn mengambil keputusan harus juga mempertimbangkan faktor lainnya yang bersifat kualitatif.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman Leonardo
Abstrak :
Pada tahun 1996 ada sebuah tambahan instrumen investasi yang dikeluarkan oleh Manajer Investasi yang dikenal dengan nama reksadana. Undang-Undang No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal memberikan kesempatan kepada Manajer lnvestasi untuk mendirikan reksadana terbuka berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang lebih mudah pendiriannya serta membuat perkembangan reksadana berkembang dengan pesat dan menarik para investor lokal yang ingin melakukan investasi di pasar modal. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan jumlah reksadana, jumlah investor dan Nilai Aktiva Bersih. Makin banyaknya pilihan investor dalam menginvestasikan dananya membuat investor harus dapat membuat keputusan pemilihan produk reksadana dengan tepat, sehingga investor harus mempertimbangkan kinerja reksadana. Penelitian ini berusaha mengukur kinerja reksadana saham pada kemampuan Manajer lnvestasi untuk melakukan pemilihan sekuritas (stock selection) dan market timing serta melihat apakah ada hubungan negatif antara nilai kpitalisasi pasar reksadana (size reksadana) dengan excess return reksadana. Market timing adalah kemempuan Manajer Investasi untuk meramalkan pasar dalam keadaan naik atau turun sehingga Manajer lnvestasi dapat melakukan transaksi pembeliaan dan penjualan saham pada saat yang tepat. Sedangkan stock selection adalah kemampuan Manajer Invesatasi untuk memilih saham yang tepat untuk dijadikan bagian dari portfolionya sehingga diperoleh tingkat pengembalian yang lebih tinggi dari tingkat pengembalian pasar. Nilai kapitalisasi pasar reksadana (size reksadana) dilihat berdasarkan nilai kekayaan bersih yang dimiliki oleh reksadana. Penelitian ini akan meneliti reksadana saham dengan masa efektif operasinya sudah mencapai lima tahun pada periode Januari 200 hingga periode 2004. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Henriksson dan Merton yang dilakukan dengan menganalisis kinerja market timing terhadap 14 reksadana saham sampel. Data excess return dari data NAB reksadana sampel yang yang diambeil data bulanan sehingga terdapat 60 data untuk setiap reksadana sampel. Berdasarkan .analisis regresi yang dilakukan terhadap keseluruha reksadana sampel didapatkan bahwa dari keempatbelas reksadana sampel hanya ada satu reksadana yang secara statistik dapat dinilai yaitu Big Nusantara (signifikan pada a=5%). Kemampuan market timing Big Nusantara sebesar -0.272742 yang berarti bahwa kemampuan market timingnya mengurangi tingkat pengembalian reksadana sebesar 27.2742%. Pada analisis pemilihan sekuritas (security selection), didapatkan bahwa taksiran konstanta a untuk keseluruhan reksadana sampel hanya empat reksadana yaitu Master Dinamis, SiDana Saham, Bima dan Big Nusantara. Keempat reksadana yang signifikan ini kemampuan pemilihan sekuritas (security selection) yang memberikan kontribusi negative terhadap tingkat pengembalian reksadana. Hal ini berati bahwa kemampuan pemilihan sekuritasnya mengurangi tingkat pengembalian inestasi reksadana. Analisis hubungan nilai kapitalisasi pasar reksadana (size reksadana) sampel dapat diketahui bahwa hanya dua size reksadana yang memiliki hubungan yang secara statistic signifikan yaitu Big Nusantara dan SiDana Saham. Akan tetapi hubungan kedua variable ini bemilai positif, tidak seperti dugaan semula yang diharapkan memiliki hubungan negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar nilai kapitalisasi pasar reksadana (size reksadana) akan menaikkan tingkat pengembalian reksadana. Beberapa hal yang menyebabkan kemampuan market timing dan pemilihan sekuritas (security selection) mengurangi tingkat pengembalian investasi reksadana yaitu terbatasnya infrastruktur untuk melakukan pembobotan portfolio secara singkat, kondisi pasar modal Indonesia yang belum efisien sehingga harga saham sering dipengaruhi oleh isu sosial politik, kemampuan marekt analyst dalam meramalkan tingkat pengembalian pasar buruk atau tidak akurat dan menyebabkan tingkat pengembalian investasi reksadana lebih kecil dari tingkat pengembalian pasar.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>