Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gita Ramadhanti
"Pada dasarnya perjanjian perkawinan dibuat untuk memisahkan harta benda dalam perkawinan antara suami dan istri.  Selain itu, perjanjian perkawinan juga dibuat guna melindungi harta kekayaan pribadi dan mempermudah pengurusan harta benda dalam perkawinan. Dalam pembuatannya, perjanjian perkawinan harus dituangkan dalam akta notaris dengan bentuk tertulis yang dihadiri oleh para pihak dan saksi. Setelah diterbitkannya akta perjanjian perkawinan maka perjanjian perkawinan harus didaftarkan ke pegawai pencatat nikah yang berada di KUA atau KCS agar mencapai tahap yang sempurna. Pencatatan perjanjian perkawinan merupakan implementasi dari asas publisitas yang terkandung dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Namun, dalam praktiknya ditemukan banyak pihak yang tidak mendaftarkan akta perjanjian perkawinan mereka kepada pegawai pencatat nikah. Pada penelitian ini penulis akan menganalisis Putusan No.449/PDT/2016/PT.BDG dengan mempertimbangkan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perkawinan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dan ketentuan terkait lainnya. Permasalahan pada Putusan No.449/PDT/2016/PT.BDG adalah pengejawantahan amar putusan hakim terhadap adanya harta bersama antara suami dan istri yang terdapat perjanjian perkawinan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis memiliki ketertarikan untuk mengetahui kepastian hukum perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan dan analisis terhadap dikabulkannya keberadaan harta bersama sementara diketahui terdapat perjanjian perkawinan dalam Putusan No.449/PDT/2016/PT.BDG. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian dengan bentuk yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian perkawinan tetap menjadi perjanjian yang sah sebagai undang-undang kepada para pihak yang membuatnya walaupun perjanjian perkawinan tidak pernah didaftarkan ke pegawai pencatat nikah. Sehingga, dengan sahnya perjanjian perkawinan tersebut seharusnya tidak pernah ada percampuran harta antara suami dan istri.
......A marital agreement is made to abolish the joint assets between husband and wife. The marital agreement was also made to protect personal assets and facilitate the management of matrimonial assets. The marital agreement must be stated in a notarial deed in written form attended by the parties and witnesses. After issuing the marital agreement deed, it must be registered by the marriage registrar at the Office of Religious Affairs or the Department of Population and Civil Registration to reach the perfect procedures. The registration of marital agreements is an implementation of a publicity principle in Article 29, paragraph (1) of the Marriage Law. However, in practice shows that many parties did not register their marital agreement with the marriage registrar. In this study, the author will analyse Decision No.449/PDT/2016/PT.BDG by considering the provisions in the Civil Code, the Marriage Law, the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015, and other related laws. The problems with Decision No.449/PDT/2016/PT.BDG are the embodiment of the judge's decision regarding the existence of joint property between husband and wife which contains a marital agreement in it. Therefore, the author has an interest in knowing the legal certainty of a marital agreement that is not weakened and an analysis of the granting of the existence of joint assets while it is known that there is a marital agreement in Decision No.449/PDT/2016/PT.BDG. In conducting research, the authors use research methods with normative juridical forms. The results of the study show that the marital agreement remains a valid agreement as a statute to the parties who make it even though the marital agreement has never been a marriage registrar. Thus, with the validity of the marital agreement, there should never have been an of assets between husband and wife."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahadiani Kireina
"ABSTRAK
Untuk dapat melangsungkan perkawinan terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Apabila terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka perkawinan
tersebut dapat diajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan. Namun pada
kenyataannya alasan untuk pembatalan perkawinan tidak hanya karena syaratsyarat
perkawinan yang tidak terpenuhi, tapi juga karena alasan salah sangka atau
penipuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 dan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Bentuk penulisan
ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum
yang terdapat di peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
pembatalan perkawinan. Pada penulisan ini, Penulis melakukan analisis terhadap
pertimbangan hakim dalam putusan nomor 678/Pdt.G/2015/PA.Mdn apakah
sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai
pembatalan perkawinan. Alasan pembatalan perkawinan dalam kasus ini adalah
karena salah sangka atau penipuan yang diajukan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Namun pada putusan dinyatakan bahwa hanya suami atau isteri saja yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan karena salah sangka atau penipuan ini.
Sehingga dalam penulisan ini Penulis melakukan analisis apakah seorang Pegawai
Pencatat Nikah dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan alasan salah
sangka atau tidak. Ternyata dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis,
ditemukan bahwa Pegawai Pencatat Nikah dapat pula mengajukan pembatalan
perkawinan dengan alasan salah sangka atau penipuan. Penulis menyarankan
kepada setiap pasangan sebelum melangsungkan perkawinan untuk mengenal
pasangannya, untuk Pegawai Pencatat Nikah diharap untuk lebih cermat dalam
melakukan penelitian berkas persyaratan perkawinan dan untuk hakim diharapkan
dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya mengacu pada rumusan pasal
tertentu, tapi juga berani melakukan penemuan hukum.

ABSTRACT
In order to perform marriage there are requirement that must be fulfilled, in the
case where those requirement are not fulfilled then the marriage could be
submitted to the court for annulment. However, the reason for annulment of a
marriage does not only happen because the marriage requirements are not
fulfilled, but can also happen because of false presumptions as stated in article 27
(2) Regulation Number 1 Year 1974 and Article 72 (2) Compilation of Islamic
Law. The writing of this research juridical normative means this the research is
based on the norm that is written on the marriage regulation which states about the
annulment of marriage. In this research the writer made an analysis on the court
judgment Number 678/Pdt.G/2015/PA.Mdn, in which the write finds out if the
judgement goes according to the marriage regulation. The reason for marriage
annulment in this case is because of false presumptions and deceit, which was
submitted by the marriage registrar. However, the court judgment states that only
husband or wife are eligible to submit a request for a marriage annulment on the
ground of deceit or false presumptions. In this research, the writer made an
analysis on the ability of the marriage registrat to submit a marriage annulment.
This Research shows that marriage registrar is authorized to submit a cancelation
request of marriage on the basis of deceit and false presumptions. The writer here
suggest that every couple must know each other well before performing marriage,
while for the marriage registrar I hope that they are more attentive and meticulous
on the file for the marriage requirement, while for judge the writer hopes that the
judgement does not only base on a particular article of regulation but being also
bold enough to do legal discovery."
2017
S66339
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library